Judul :
Korelasi Penemuan Hukum dalam Tantangan Revolusi Industri 4.0
Disusun oleh :
Nama NIM
Tyta Ayu Afianis 1910622008
Muhammad Billal Saputra 1910622009
Andina Rahmayani 1910622010
Taupik Alpiyandi 1910622011
Sobari 1910622012
Melissa Efiyanti 1910622013
Hisyam Fahmi 1910622014
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga tugas ini bias
selesai pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada Dosen mata kuliah Penemuan Hukum
Dr. Muhammad Arafah Sinjar, S.H., M.Hum yang telah memberikan tugas kepada teman
teman kelompok II mata kuliah Penemuan Hukum sehingga kami dapat memberikan ide-ide
untuk makalah ini sampai disusun dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca serta rekan
rekan Hukum lainya. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
2
ABSTRAK
Makalah ini bertujuan untuk mengembangkan korelasi kemajuan dalam bidang teknologi
informasi yang merupakan hasil karya intelektual manusia yang telah banyak membawa
perubahan luar biasa dalam pola hidup manusia modern yang merupakan tantangan tersendiri
dalam penemuan hukum di era revolusi industri 4.0.
Agar makalah kelompok ini dapat menjadi pembahasan keilmuan hukum tentang penemuan
hukum, materi dalam makalah ini menjelaska korelasi penemuan hukum dalam tantangan
revolusi industri 4.0 yang sangat erat kaitanya dengan teknologi yang terus menerus
berkembang yang dalam bidang hukum diatur dalam UU ITE.
Karena dengan adanya teknologi dalam revolusi industri 4.0 yang diyakini sebagai solusi
mampu merubah tatanan seluruh bidang kehidupan, terutama bidang hukum Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (sebelum saat masih berbentuk rancangan bernama
Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, disingkat RUU IKTE, dan
kemudian manjadi Rancangan Undang-Undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik,
RUU IETE, dan kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Informasi Elektronik, dan
akhirnya menjadi Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dengan adanya makalah ini di harapkan dapat dijadikan penelitian pada jurnal dan tesis
mahasiswa S-2 Magister Hukum Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta.
3
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
I.2. Rumusan Masalah
I.3. Ruang Lingkup
I.4. Tujuan dan Manfaat
BAB II PENINJAUAN
II.2. Penemuan Hukum
II.3. Revolusi Industri dan Perkembangan Masyarakat
II.4. Undang-undang ITE
BAB IV PENUTUP
IV.1.1.1. Simpulan
IV.1.1.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
(ATM), ancaman perkembangan teknologi informasi jual beli barang dan jasa yang
menggantikan tenaga manusia seperti online shopping.
Pada tanggal 21 April 2008 Pemerintah Indonesia telah mengundangkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE). Hal ini menjadi tonggak sejarah bagi perkembangan hukum di Indonesia
terkait teknologi informasi. Kehadiran Undang-Undang ini membuktikan bahwa
Pemerintah Indonesia harus mengikuti arus globalisasi dalam segala bidang, termasuk
dalam transaksi elektronik yang memiliki perbedaan dengan perbuatan hukum pada
umumnya. Pemberlakuan Undang-Undang ini juga menjawab tantangan hukum di
dunia maya atau hukum siber yang selama ini belum diatur secara khusus di
Indonesia.
Berbagai perbuatan hukum, baik perdata maupun pidana dilakukan oleh
manusia dengan mempergunakan sistem teknologi informasi. Hal ini dapat
dibuktikan, betapa banyaknya masyarakat internasional yang melakukan aktivitas bisnis
usahanya di dunia maya dengan menggunakan internet. Sistem elektronik yang menjadi
teknologi dunia maya merupakan serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang
berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/ atau menyebarluaskan informasi
elektronik. Dalam UU ITE ini juga ditetapkan mengenai perluasan dari alat bukti yang
sah yang selama ini dikenal dalam Hukum Acara di Indonesia. Semua informasi
elektronik dan/ atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti
yang sah, apabila menggunakan sistem elektronik.
Pada era revolusi industri 4.0 ini akhirnya meninggalkan banyak tantangan
dan pekerjaan rumah bagi ahli dan penegak hukum di Indonesia yang menuntut
tingkat profesionalisme yang tinggi dan handal dengan penguasaan soft skill seperti
inetrnet, komputer dan bahasa inggris sebagai bahasa yang digunakan dalam dunia
internasional. Permasalahan ini harus dihadapi dengan cara, teknis, dan strategi yang
tepat, sehingga dapat diatur dan diimplementasikan dalam hukum positif.
6
I.7. Ruang Lingkup
Ruang lingkup makalah ini adalah hubungan antara penemuan hukum dan
tantangannya dalam menghadapi era revolusi industri 4.0.
7
BAB II
PEMBAHASAN
8
pancasila demi terselenggaranya negara hukum republik Indonesia. Selain itu, pada
pasal 27 UU No. 14 tahun 1970 yang berbunyi, hakim sebagai penegak hukum dan
keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Tahapan-tahapan hakim dalam melakukan penemuan hukum antara
lain:
Pertama, mengkonstatir peristiwa konkrit yaitu menyatakan bahwa benar telah terjadi
suatu peristiwa melalui proses pembuktian. Setelah peristiwanya dibuktikan maka harus
dicarikan hukumnya (penemuan hukum) untuk kemudian diterapkan pada peristiwa
konkritnya. Jadi penemuan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri
sendiri melainkan kegiatan yang runtut dan berkesinambungan dengan proses
pembuktian.
Kedua, hakim harus mengkualifikasikan peristiwanya, yaitu menilai peristiwa yang
telah dianggap benar-benar terjadi termasuk menemukan hukumnya bagi peristiwa yang
telah dikonstatir.
Ketiga, hakim harus mengkonstitusikan atau memberikan konstitusinya, bahwa hakim
menetapkan hukumnya kepada peristiswa yang bersangkutan.
3
Ibid, hlm. 118.
9
dilakukan secara fisik. Hadirnya teknologi ini telah mendorong perubahan sikap dan
perilaku manusia dengan difasilitasi teknologi ada kecenderungan melakukan
tindakan-tindakan di luar batas kewajarannya sebagai manusia. Di samping itu,
terkadang melalui pemanfaatan teknologi internet, manusia menjadi berlaku
sewenang-wenang terhadap hak-hak orang lain, bahkan dapat dimaknai melanggar
hukum dalam perspektif hukum konvensional.
Menurut Alvin Tofler dalam bukunya the third wave yang dikutip tim BPHN
(Badan Pembinaan Hukum Nasioanal) sejarah umat manusia menjadi tiga gelombang:
Pertama, Gelombang pertama (masyarakat pembaharu), antara tahun 800 SM – 1700
M disebut sebagai gelombang pembaruan. Manusia menemukan dan menerapkan
teknologi pertanian. Tanah merupakan dasar bagi kegiatan ekonomi, kehidupan sosial
budaya, struktur sosial dan politik. Hubungan antar manusia sangat akrab, personal, dan
komunikasi bersifat sederhana, tulisan sebagai alat bantu. Kemudian struktur ini diubah
secara total oleh datangnya peradaban industri (gelombang kedua). Kedua, masyarakat
industri, era ini manusia mulai berimpit dengan revolusi industri. Manusia beralih ke
energi terbaru seperti minyak, batu bara, dan gas. Mulai ditemukan mesin uap yang
kemudian dipadukan dengan pabrik yang menghasilkan barang-barang produksi.
Industri bersandar pada kegiatan produksi massal. Gelombang ini akhirnya tergusur
oleh gelombang ketiga. Ketiga masyarakat informasi, adalah peradaban yang didukung
oleh kemajuan teknologi komunikasi dan pengolahan data, penerbangan dan aplikasi
angkasa luar, energi alternatif dan energi terbarukan serta rekayasa genetik dan
bioteknologi, dengan komputer dan mikro teknik sebagai teknologi intinya. Pada era ini
jaringan komunikasi, data dan informasi, komputer, latihan dan teknologi modernlah
yang terpenting. Informasi merupakan faktor penentu. Jika pada gelombang
kedua mengutamakan kekuatan fisik manusia, pada gelombang ketiga menekankan
pada kekuatan pikiran. Peradaban yang mutakhir ini melahirkan masyarakat informasi.
10
Rancangan Undang-Undang Informasi Elektronik, dan akhirnya menjadi Rancangan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku
untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar
wilayah hukum Indonesia dan atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentingan Indonesia. RUU ini disahkan menjadi Undang-Undang dalam sidang
Paripurna DPR RI pada tanggal 25 Maret 2008.
Rancangan Undang-Undang ini beberapa kali disosialisasikan di beberapa
kota besar di Indonesia, banyak permintaan masyarakat agar RUU ITE segera
disahkan menjadi UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik).
Beberapa alasan bahwa UU ITE akan memberikan manfaat, sebagai berikut, yakni
menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi elektronik,
mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, sebagai salah satu upaya untuk
mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi, melindungi masyarakat
pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Pembahasan pertama RUU ITE mulai dirancang sejak Maret 2003 oleh
Kementrian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo), dan Ditjen Pos dan
Telekomunikasi, Departemen Perhubungan serta Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, bekerja sama dengan TIM dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
(Unpad) dan Tim Asistensi dari ITB, serta Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi
Universitas Indonesia (UI).
Dalam rancangan tersebut, Pemerintah semula mengusulkan RUU ITE terdiri
13 BAB dan 49 Pasal serta Penjelasan. Kemudian RUU ITE disahkan menjadi UU
ITE terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal serta Penjelasan. Dengan demikian terdapat
penambahan sebanyak 5 (lima) Pasal.
Penyusunan RUU ITE merupakan salah satu terobosan yang sangat penting
yakni Tanda Tangan Elektronik diakui memiliki kekuatan hukum yang sama dengan
tandatangan konvensional (tinta basah dan materai). Undang-Undang ITE tersebut
juga berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum baik yang berada
di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di
Indonesia, penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan dengan metode penyelesaian
sengketa alternatif atau arbitrase.
11
Adapun asas UU ITE berdasarkan pemanfaatan teknologi informasi dan
transaksi elektronik antara lain:
a. Asas Kepastian hukum ialah landasan hukum bagi pemanfaatan teknologi
informasi dan transaksi elektronik serta segala sesuatu yang mendukung
penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan di luar
pengadilan.
b. Asas manfaat berarti asas bagi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi
elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi sehingga dapat
menyejahterakan masyarakat.
c. Asas kehati-hatian adalah landasan bagi pihak yang bersangkutan harus
memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian, baik bagi
dirinya maupun bagi pihak lain dalam pemanfaatan teknologi informasi dan
transaksi elektronik.
d. Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi adalah asas pemanfaatan
teknologi informasi dan transaksi elektronik tidak terfokus pada penggunaan
teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan pada masa yang akan
datang
Adapun tujuan dibuatnya UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik ini, diantaranya adalah:
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia.
b. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
c. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik.
d. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan
pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi
informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab.
e. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan
penyelenggara teknologi informasi.
UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sangat
penting dan ditunggu masyarakat. Cyber Crime yang beredar di masyarakat telah
menimbulkan rasa resah dalam kehidupan masyarakat.
Adapun prinsip-prinsip UU Informasi dan Transaksi Elektronik adalah:
12
a. Perlindungan hukum bagi masyarakat yang memanfaatkan informasi dan transaksi
elektronik.
b. Tidak mengekang. UU Informasi dan Transaksi Elektronik sama sekali tidak
mengekang kebebasan internet dan kebebasan berekspresi itu tetap sesuai dengan
norma dan etika berbangsa dan bernegara.
13
BAB III
PEMBAHASAN
4
Ganda Martunas Sihite, “Hukum dalam Pusaran Revolusi Industri 4.0”, diakses dari
https://www.kompasiana.com/machsvorming/5befd75dc112fe3024079132/hukum-dalam-pusaran-revolusi-
industri-4-0?page=all, pada tanggal 24 September 2019.
14
manusia, namun di sisi lain bisa menjadi peradaban yang bersifat sementara. Seiring
perkembangan waktu, laju peradaban dikemas dalam bentuk revolusi industi 4.0.
Terjadinya suatu gempuran di berbagai bidang dan serbuan teknologi yang serba
disruptif yang saat ini dikenal sebagai “disruptive era” pada era revolusi industri 4.0
baik itu Internet of Things (IoT), big data, artificial intelligence, hingga rekayasa
genetika, robot dan mesin pintar berhasil menorehkan penandaan besar dalam sejarah
termasuk diantaranya dalam tatanan hukum.
15
5
persoalan hukum seiring revolusi teknologi ini”. Suksesnya suatu negara dalam
menghadapi revolusi industri 4.0 erat kaitannya dengan inovasi yang diciptakan oleh
sumber daya yang berkualitas dan bagaimana menciptakan regulasi yang mampu
mengaturnya. Tentunya diharapkan agar hukum mampu memberikan penguatan pada
era revolusi industri 4.0.
Pada tanggal 21 April 2008 merupakan tonggak sejarah bagi perkembangan
hukum di Indonesia karena pada tanggal tersebut Pemerintah Indonesia telah
mengundangkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Dengan hadirnya undang-undang sebagai bukti bahwa
Indonesia mengikuti arus globalisasi dalam segala bidang termasuk transaksi
elektronik yang jelas berbeda dengan perbuatan hukum pada umumnya.
Pemberlakuan undang-undang ini juga menjawab tantangan hukum di dunia maya
atau hukum siber yang selama ini belum diatur secara khusus di Indonesia. Ciri khas
dari perbuatan hukum siber ini, yakni:
1. Walaupun perbuatan hukum tersebut dilakukan di dunia virtual yang tidak
mengenal locus delicti namun perbuatan tersebut berakibat nyata (legal facts),
sehingga perbuatan tersebut harus dianggap sebagai perbuatan yang nyata dan
dengan demikian segala bukti yang terdapat dan menggunakan teknologi
informasi seperti email dan lain-lain dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.
2. Undang-Undang ini tidak mengenal batas wilayah dan siapa subjek hukumnya
atau pelakunya sehingga siapapun pelakunya dan dimanapun keberadaannya tidak
begitu penting asalkan perbuatannya tersebut dapat menimbulkan akibat hukum di
Indonesia.
Berbagai perbuatan hukum pada dunia maya baik perdata maupun pidana
dilakukan oleh manusia dengan menggunakan teknologi informasi. Hal ini dibuktikan
dengan makin banyaknya subjek hukum yang melakukan aktivitas bisnis usahanya di
dunia maya melalui internet. Banyak pelaku ekonomi yang memperjualbelikan
dagangannya baik berupa barang maupun jasa melalui internet tanpa harus bertemu
secara fisik antara penjual dan pembeli. Sebagai contoh adalah pemberlakuan electronic
ticket pada bisnis penerbangan.
Mochtar Kusumaatmadja menegaskan bawa peran hukum dalam
pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang
5
Loc.cit.
16
teratur yang didasarkan oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau
kombinasi dari kedua-duanya. Perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik
berwujud perundang-undangan atau keputusan badan-badan peradilan. Pemberlakuan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 membawa konsekuensi logis di tubuh institusi
penegak hukum di Indonesia. Undang-undang ini menuntut aparatur hukum agar
betul-betul memahami dan menguasai teknologi informasi secara komprehensif dalam
pelaksanaan tugas-tugas ke depan. Hal ini disebabkan karena perbuatan-perbuatan yang
dulu dilakukan secara konvensional mudah untuk diselesaikan, namun dengan
berkembangnya revolusi industri 4.0 yang salah satunya perbuatan-perbuatan
berkembang di dunia maya maka harus berhadapan dengan suatu perbuatan hukum yang
hanya dirasakan akibatnya saja tanpa diketahui siapa pelaku dan dimana perbuatan
tersebut dilakukan. Disini dibutuhkan peran institusi hukum dan penegak hukum
(kepolisian, kejaksaan, kehakiman, advokat) dalam upaya mendapatkan kepastian
hukum, kemanfaatan dan keadilan (justice for all).
Dengan hadirnya revolusi industri 4.0 harus disikapi dengan cermat dan kritis
melalui kajian dan riset ilmiah supaya dalam pelaksanaannya hukum tetap tajam
keatas dan menguat secara hakiki. Regulasi dan ketentuan hukum yang sudah ada
maupun yang akan dibuat diharapkan dapat memberikan kemanfaatan positif dan
selaras dengan perkembangan kemajuan teknologi demi terciptanya tatanan hukum
dalam upaya penguatan dan penegakan hukum.
17
BAB IV
PENUTUP
IV.2. SIMPULAN
1. Penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh penegak hukum
yang muncul dari permasalahan-permasalahan hukum, pertanyaan-pertanyaan
hukum dan perkembangan sosial teknologi yang baru. Peradaban digital yang
melesat memerlukan koridor yang memastikan terpenuhinya hak dan kewajiban
para pelaku ekonominya dan terjaganya kepentingan umum. Cyber law terus
berupaya mengantisipasi dampak dari Revolusi Industri 4.0 terutama dengan telah
lahirnya peradaban digital ekonomi, melalui pendekatan legislasi (upaya untuk
membentuk peraturan perundang-undangan sebagai dampak dari tren konvergensi
dan sekaligus sebagai antisipasi terhadap fenomena konvergensi dari teknologi
informas), regulasi, dan swa-regulasi.
2. Indonesia sebagaimana dikatakan sebagai negara hukum, yang menjunjung tinggi
akan hukum seakan terguncang oleh kehadiran kemajuan teknologi pada era
revolusi industri 4.0, karena memperngaruhi semua lini baik dari kebijakan dan
regulasi pemerintah, produk legislatif, bahkan peradilan. Terguncangnya lini-lini itu
meninggalkan jurang pertanyaan antara perkembangan teknologi yang melesat dan
sikap publik terhadapnya. Salah satu regulasi yang diatur oleh Pmerintah untuk
menghadapi era revolusi industri 4.0 yakni dengan mengundangkan undang-
undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kehadiran UU ini membuktikan bahwa Pemerintah Indonesia harus mengikuti arus
globalisasi dalam segala bidang, termasuk dalam transaksi elektronik yang jelas
berbeda dengan perbuatan hukum pada umumnya. Pemberlakuan UU
ini sekaligus juga menjawab tantangan hukum di dunia maya atau hukum siber yang
selama ini belum diatur secara khusus di Indonesia.
IV.3. SARAN
1. Ilmu Hukum yang ada sangat dibutuhkan sebagai sarana intelektual untuk
membantu proses pembentukan hukum melalui perundang-undangan dan
yurisprudensi, serta membantu penyelenggaraan hukum menjalankan fungsi
18
hukum sebagai sarana pendidikan dan pembaharuan masyarakat. Oleh karena itu,
regulasi atau ketentuan hukum pun harus dibuat selaras dengan kemajuan
teknologi supaya dapat berfungsi sebagai penguatan dan penegakan hukum dalam
masyarakat.
2. Pada prinsipnya hukum diciptakan agar tatanan kehidupan berbangsa bisa terarah,
lahirnya Undang-Undang ITE (UU Nomor 11 Tahun 2008) tentu dengan tujuan
demikian. Namun masih sangat menghawatirkan jika masih banyak masyarakat kita
yang belum paham akan kandungan aturan tersebut, sehingga perlu sosialisasi
memberikan edukasi ke masyarakat luas.
19
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Idris, Rachminawati dan Imam Mulyana. 2012. Penemuan Hukum Nasional dan
Internasional. Cet. ke-1. Bandung: Fikahati Aneska.
Metrokusumo, Sudikno. 1996. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Liberty.
Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo. 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Cet.
ke-1. Yogyakarta: Citra Aditya Bakti.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
C. Internet
Sihite, Ganda Martunas. 2019. “Hukum dalam Pusaran Revolusi Industri 4.0”.
https://www.kompasiana.com/machsvorming/5befd75dc112fe3024079132/hu
kum-dalam-pusaran-revolusi-industri-4-0?page=all, diakses pada tanggal 24
September 2019.
20