Anda di halaman 1dari 17

Nama : Sony Adityawarman NIM : 8111409037

Makul : Kemahiran Bantuan Hukum

PERUBAHAN WAJAH PELANGGARAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA (Kejahatan rekayasa kasus hukum dalam proses peradilan pidana) Oleh: Raymon Sitorus, SH., M.Hum1[1]. A. Pengantar Kejahatan sebagai suatu gejala sosial yang senantiasa dihadapi oleh masyarakat. Apa pun usaha manusia untuk menghapuskannya, kecuali dikurangi intensitas maupun kualitasnya2[2]. Kejahatan yang terjadi telah mengalami perkembangan, bentuknya telah merambah kepada jenis penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Penyalahgunaan kekuasaan tersebut mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak sipil warga negara, khususnya dalam suatu proses peradilan pidana. Pelanggaran hak sipil warga negara dalam proses peradilan pidana, saat ini menjadi tren dimana bentuk pelanggaran hak asasi manusia kini bergeser dari kasus pelanggaran HAM berat, yang sebelumnya dilakukan oleh kelompok militer, saat ini menjadi kasus Pelanggaran HAM dalam proses penegakan hukum. Fenomena ini diakui oleh Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, beliau mengakui bahwa, jika pada masa lalu pelanggaran HAM dilakukan pemerintah berupa kejahatan kemanusiaan, sekarang lebih kepada pelanggaran HAM saat proses penegakan hukum3[3]. Apa yang dikatakan oleh Prof. Soetandyo Wignjosoebroto tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknnya kasus-kasus yang terjadi pada saat proses peradilan pidana, baik dilakukan oleh aparatur kepolisian, aparatur kejaksaan, ataupun dilakukan para hakim/majelis hakim.

Tulisan ini secara khusus membahas mengenai adanya tindakan rekayasa suatu kasus hukum pidana pada tingkatan kepolisian, sebagai garda terdepan dalam rangkaian proses peradilan pidana.

B. Kasus Pelanggaran hak asasi manusia Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lord Acton yang menyatakan bahwa: Power tends to corrupt absolute power corrupt absolutely. Pandangan ini mungkin tepat untuk menggambarkan betapa buruknya wajah kepolisian dalam beberapa waktu belakangan ini, dengan adanya fakta yang terjadi di masyarakat, mengenai perbuatan para oknum kepolisian yang kerap melakukan kesewenang-wenangan dalam melakukan proses hukum. Tidak sedikit yang terjadi pada kenyataannya, sering kali oknum tersebut melakukan kejahatan dengan melakukan pelanggaran hak asasi manusia seorang tersangka dalam pemeriksaan perkara, seperti melakukan rekayasa kasus pidana, melakukan kekerasan untuk mendapatkan informasi atau pengakuan atas suatu tindak pidana. Beberapa contoh kasus Pelanggaran kepolisian antara lain: Tahun 1970, Kasus rekayasa hukum yang terjadi kepada korban Sumarijem alias Sum Kuning. Dimana korban pada saat itu menjadi korban pemerkosaan, namun pada saat melapor ke polisi, korban malah disudutkan dan ditahan. Pengadilan Negeri Yogyakarta pada tanggal 17 Desember 1970 memvonis bebas korban4[4]. Tahun 1974, kasus rekayasa hukum terhadap korban Sengkon dan Karta atas tuduhan perampokan dan pembunuhan. Pada kasus tersebut korban divonis 12 tahun dan 7 tahun penjara, namun pada beberapa tahun kemudian korban dibebaskan melalui putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung pada tanggal 31 Januari 1980 setelah adanya pengakuan dari adanya pelaku yang sesungguhnya5[5]. Tahun 2008, Kasus rekayasa hukum Imam Hambali dan David Eko Priyanto atas tuduhan pembunuhan terhadap Asrori. Korban keduanya divonis 17 tahun dan 12 tahun penjara, dan yang terjadi yang dilakukan oleh oknum aparatur

keduanya bebas setelah pelaku asli mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut6[6]. Tahun 2007, Kasus rekayasa hukum, dengan korban Udin, seorang pemulung di Jakarta Barat. Korban ditangkap tanpa alasan yang jelas dan tidak disertai surat penangkapan, korban dituduh membunuh. Korban adalah korban rekayasa hukum sebagai pelaku

pembunuhan, diduga kuat korban hanyalah topeng untuk menutupi kegagalan polisi dalam meringkus pelaku yang sebenarnya7[7]. Tahun 2009, Kasus rekayasa hukum yang dialami oleh SRB umur 15 tahun, korban dituduh mencuri oleh Polsek Bojong Gede Bogor selama 5 hari, setelah pelaku sebenarnya tertangkap, Pelaku sebenarnya dipaksa oleh polisi untuk mengakui bahwa SRB adalah komplotannya. Pada tanggal 10 Agustus 2009 Pengadilan Negeri Cibinong memutuskan bahwa SRB tidak bersalah, tetapi jaksa tetap mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung8[8]. Tahun 2008 Kasus rekayasa hukum kepemilikan 1 butir ekstasi di sebuah diskotik di Jakarta Barat. dimana kasus tersebut diduga adalah rekayasa hukum, karena sejak awal penyergapan korban (pelaku) dituduh dan dipaksa mengakui kepemilikan 1 butir ekstasi, dan di dalam pemeriksaan pidana di pengadilan korban tidak didampingi penasihat hukum, dan hanya diperiksa dipemeriksaan awal, sedangkan pemeriksaan saksi, proses lainnya sampai dengan putusan pengadilan tidak pernah ada. Tahun 2009, Kasus rekayasa hukum kepemilikan Narkoba jenis ganja sebanyak 1,68 gram dengan korban Chaerul Saleh Nasution. Korban dijebak oleh beberapa anggota kepolisian Polsek Kemayoran yang mendatangi korban dan menunjukan ganja yang dikemas di dalam kertas. Korban meminta kepada pihak kepolisian untuk dilakukan tes urin untuk membuktikan bahwa korban bukan pelaku, namun pihak kepolisian tetap bersikeras bahwa korban adalah pelakunya9[9]. Dimana tanda tangan para penyidik dan kepala penyidik dalam

Berita Acara Pemeriksaan perkara tersebut dipalsukan, dan kepolisian telah mendapatkan pengakuan pelaku. Tahun 2009, Kasus rekayasa hukum terhadap Anton Mamarodia, korban dijebak oleh oknum kepolisian atas kepemilikan narkoba. Korban oleh oknum polisi diberikan uang sebesar Rp. 2 Juta dan disuruh oknum polisi menyamar untuk membeli ekstasi10[10]. Tahun 2009, Kasus rekayasa hukum terhadap korban Aan Susandhi, tersangka kasus narkoba yang diduga korban rekayasa oknum kepolisian Polda Maluku, selain itu korban juga mengalami penyiksaan terhadap dirinya11[11]. Kasus 2009, kasus rekayasa hukum yang melibatkan oknum kepolisian-kejaksaan-lembaga perlindungan saksi dan korban, untuk merekayasa kasus hukum terhadap korban Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah. Tahun 2010, berdasarkan pengaduan kepada Komisi Kepolisan Nasional, terjadi kasus rekayasa hukum di daerah Kalimantan, dimana menurut pengaduan tersebut, seorang Investor pembangunan jalan yang telah mengeluarkan modal sebesar Rp. 42 Miliar untuk pembangunan jalan dengan skema Built Operation and Transfer dituduh menjadi tersangka membantu tindakan korupsi, berdasarkan pengakuan di dalam pengaduan tersebut dikatakan bahwa polisi tidak pernah menetapkan tersangka utama dalam tuduhan kasus tersebut12[12]. Kasus diatas tersebut hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus rekayasa hukum yang melibatkan para aparatur penegak hukum khususnya pada tingkat kepolisian. Hal ini dapat dilihat berdasarkan tabel pengaduan yang masuk ke Komisi Kepolisian Nasional, yaitu: Tahun 2007 597 Pengaduan Tahun 2008 344 Pengaduan Tahun 2009 1466 Pengaduan
Sumber Kompas: edisi 8 Maret 2010

Berdasarkan table diatas, dapat dilihat bahwa pelanggaran yang tertinggi terjadi pada tahun 2009. Dimana pada tahun tersebut terdapat 1466 pengaduan, dengan pengaduan pelanggaran paling banyak dilakukan oleh unit Reserse, sebanyak 1386 pengaduan. Pengaduan tersebut sebagian besar diantaranya adalah kasus rekayasa hukum.

C. Pengakuan Hak Asasi Manusia dalam proses peradilan pidana. Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai suatu sistem nilai yang diakui secara universal memiliki fokus terhadap kehidupan dan martabat manusia. Sistem nilai di dalam HAM sangatlah luas, luasnya system nilai tersebut dapat dilihat, baik itu dengan melihat latar belakang objek maupun melihat hasil objek yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan. Perbuatan yang melanggar HAM tersebut kemudian melahirkan suatu dimensi yang menjadi konsentrasi HAM. Dimensi tersebut adalah dimensi hak-hak sipil, hak-hak politik, hak-hak ekonomi, social maupun hak kebudayaan. Salah satu yang menjadi fokus tulisan ini adalah dimensi mengenai hak-hak sipil secara khusus di dalam suatu proses peradilan pidana. Dalam proses peradilan pidana, kaitan antara penegakan hukum pidana dengan pelanggaran hak asasi manusia sangatlah tipis perbedaannya. Sistem peradilan pidana sebagai suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, berusaha menegakan dan menciptkan kepastian hukum yang di akui dan dijalankan oleh masyarakat. Namun sifat dari hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sifatnya yang represif. Bagaikan pedang bermata dua, ketika hukum pidana dijalankan, dia harus dijalankan dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga apabila kewenangan penegakan hukum pidana dijalankan tanpa mengindahkan peraturan-peraturan yang ada, jadilah hukum pidana tersebut menjadi otoriter dan para pelakunya tidak ada bedanya dengan pelaku criminal lainnya. Sehingga hal ini patut menjadi perhatian, ketika hukum pidana dan kewenanganya dijalankan oleh orang yang salah, dimana akibatnya adalah pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, kekerasan, dan perampasan hak-hak sipil masyarakat. Hak asasi manusia sebagai norma yang sifatnya universal, dan diakui dalam suatu masyarakat yang beradab, menjadi landasan fundamental dari suatu negara hukum. Landasan tersebut menjadi norma pokok dalam suatu negara, yang menjadi falsafah kenegaraan dan menjadi pilar hukum ketatanegaraan, sebagaimana yang dituangkan di dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana di dalam amandemen pasal 28, pengakuan hak asasi manusia menjadi salah satu tulang punggung konstitusi .

Secara umum instrument pengakuan hak asasi manusia secara universal lahir berdasarkan Dekalarasi Umum Hak Asasi Manusia pada tahun 1948, seiring dengan dibentuknya lembaga Persatuan Bangsa-Bangsa. Insturmen universal tersebut mengatur mengenai pokok-pokok perlindungan hak asasi manusia, beberapa diantaranya adalah jaminan perlindungan hak sipil. Tiada seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya13[13]; Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang14[14]; Setiap orang, dalam persamaan penuh, berhak atas pengadilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak15[15]; Dimana kemudian perindungan hak sipil tersebut dibuatkan instrumen khusus

internasionalnya pada tahun 1966 dengan ditetapkannya International Conventioan on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik) yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 16 Desember 1966. Dimana di dalam kovenan tersebut dinyatakan bahwa pengakuan terhadap martabat yang melekat dan hak yang sama dan tidak terpisahkan dari seluruh anggota umat manusia, merupakan landasan dari kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia. Konsepsi mengenai hak-hak sipil ini mengakui bahwa hak sipil tersebut berasal dari martabat yang melekat pada manusia. Mengingat pentingnya pengakuan hak sipil sebagai landasan dari kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia, maka penegakan hak-hak sipil di dalam setiap proses hukum (due process of law) mutlak menjadi perhatian bagi setiap negara-negara anggota PBB. Hal ini menjadi perhatian di dalam penegakan hak asasi manusia, karena sering sekali pelanggaran hak asasi manusia terjadi di dalam proses hukum pidana/ peradilan pidana, dimana korban sering sekali mengalami kesewenang-wenangan di dalam penjatuhan hukuman, penyiksaan, dan ketidakadilan lain.

Di dalam Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, sebagai norma fundamental ketatanegaraan Indonesia, mengakui dan menjamin hak-hak sipil setiap warga negara, dalam sistem kehidupan bernegara. Adapun jaminan hak asasi manusia, secara khusus yang mengatur mengenai hak-hak sipil di dalam proses hukum di dalam konstitusi tersebut adalah antara lain: Hak atas persamaan di hadapan hukum (equality before the law)16[16]; Hak hidup dan mempertahankan hidup17[17]; Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum18[18]; Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat yang sesuai dengan hak asasi19[19]; Setiap orang berhak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia...20[20]; Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang tidak berlaku surut21[21].

Hak tersebut sebagai suatu jaminan yang diberikan oleh Negara bagi warganya, dimana negara menjamin hak asasi setiap warga negara dan memberikan perlindungan. Hak yang diakui oleh UUD 1945 NKRI tersebut bersifat universal sebagai non derogable rights atau sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Dengan demikian pelaksanaan kenegaraan bertujuan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis. Oleh karena itu hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang berada dibawah konstitusi. Undang-Undang yang mengatur mengenai hak-hak sipil yang berkaitan dengan proses hukum adalah antara lain: 1. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Disahkannya UU HAM menjamin bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisahkan dari manusia, yang dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Adapun jaminan yang diberikan dalam UU HAM yang berkaitan dengan proses hukum adalah antara lain: Hak setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum22[22]; Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak atas aturan hukum yang tidak berlaku surut23[23]; Hak setiap orang untuk diakui sebagai pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama di depan hukum24[24]; Hak setiap orang untuk mendapatkan bantuan hukum dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak25[25];

Hak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, dan hak atas proses hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memeproleh putusan yang adil dan benar26[26];

Hak atas praduga tak bersalah dan hak atas pembelaan27[27]; Hak atas penerapan asas nonretroaktif hak positif/ menguntungkan tersangka/ terdakwa terhadap adanya perubahan perundang-undangan 28[28] ; Hak atas bantuan hukum sejak awal proses hukum/ pemeriksaan29[29]; Hak atas penerapan asas Nebis In Idem30[30]; Hak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan31[31]; Hak untuk bebas dari tindakan penghilangan paksa dan penghilangan nyawa32[32];

Hak untuk tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang33[33];

2. International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang HakHak Sipil dan Politik)34[34]. Kovenan ini telah diratifikasi oleh Indonesia sebagai peraturan perundang-undangan menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Berkaitan dengan pelaksanaan di dalam proses hukum, hak-hak sipil yang diberikan oleh kovenan dan undangundang ini adalah: Hak untuk hidup35[35]; Hak untuk bebas dari penyiksaan, atau perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat36[36]; Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi37[37]; Hak atas sistem penahanan yang manusiawi38[38]; Hak atas pemeriksaan yang adil dan proses hukum yang semestinya39[39];

Hak atas kebebasan dari hukum pidana yang berlaku surut40[40]; Hak atas pengakuan sebagai pribadi dihadapan hukum41[41]; Hak atas kedudukan yang sama dihadapan hukum42[42];

3. Selain aturan mengenai HAM hak sipil yang diatur di dalam UU HAM dan UU Hak Sipil dan Politik. Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur secara lebih spesifik mengenai seseorang yang mengalami penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi di dalam proses hukum. Pada tahun 1998, Indonesia telah meratifikasi dan mengesahkan melalui lembaga legislatif aturan internasional mengenai Convention Against Torture And Another Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman dan Perlakuan lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia43[43]. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1998 dan telah menjadi aturan positif di dalam peraturan hukum di Indonesia. Dimana peraturan ini memberikan definisi mengenai Penyiksaan44[44]. Di dalam peraturan

tersebut dikatakan bahwa Penyiksaan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, yang menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, yang dengan sengaja dilakukan kepada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi. Pengertian yang dimaksud dengan penyiksaan ini

mengandung syarat, yaitu apabila penyiksaan itu ditimbulkan oleh, atas hasutan dari atau dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi.

4. Hukum Pidana/ UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana di dalam KUHAP diatur mengenai hak-hak procedural yang diberikan oleh KUHAP kepada setiap orang di dalam suatu proses hukum, sebagaimana yang diatur di dalam pasal 50 KUHAP sampai dengan pasal 68 KUHAP. Lahirnya KUHAP pada awalnya dianggap sebagai angin kebebasan dari adanya perbuatan keswenang-wenangan, yang terjadi dan dilakukan oleh para aparatur Negara khususnya kepolisian di dalam menyelidik/menyidik suatu tindak pidana. Dimana didalam KUHAP45[45] dinyatakan bahwa suatu tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian46[46] karena ditangkap atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan kepada undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Selain diberikan hak bagi tersangka/ terdakwa untuk melakukan memohon dilakukannya rehabilitasi47[47] hakhaknya sebagai subjek hukum melalui proses praperadilan48[48].

D. Rekayasa Kasus Hukum sebagai pelanggaran HAM Salah satu kasus pelanggaran terhadap hak-hak sipil warga Negara yang kerap dilakukan oleh aparatur penegak hukum kepolisian adalah perbuatan merekayasa kasus hukum, yang melibatkan oknum aparatur kepolisian. Belakangan kasus ini mulai terkuak satu persatu, sebagai dampak memuncaknya gunung es masalah ini. Perbuatan merekayasa kasus tersebut sering kali berujung kepada pemerasan terhadap korban, atau sekedar target

asal-asalan akibat ketidakmampuan kepolisian dalam mengungkap kasus hukum. Tidak sedikit kasus rekayasa ini yang masuk sampai pemeriksaan di pengadilan entah bagaimana prosesnya hingga lolos prosedur pemeriksaan pada tingkat kepolisian dan pada tingkat kejaksaan. Permasalahan juga timbul pada saat pemeriksaan di muka persidangan, banyak kasus rekayasa hukum yang menjadi korban adalah masyarakat golongan miskin yang tidak memahami hukum, yang pada umumnya dijadikan sasaran tembak atas pemecahan kasus yang tidak terselesaikan, atau sekedar pengganti target, yang jika terkuak di media massa masalah ini lazim disebut Salah Tangkap. Bahkan terkadang hukum pun tidak memfasilitasi pemberian perlindungan peradilan yang adil dan tidak memihak (due process of law). Sehingga banyak korban kasus rekayasa tidak mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan tidak memihak, karena tidak memenuhi syarat administratif yang ditentukan oleh KUHAP49[49] ataupun karena permintaan tersangka/ terdakwa50[50] berdasarkan haknya. Hambatan itulah yang sering menjadi latarbelakang tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh kepolisian untuk memperoleh pengakuan secara paksa (melalui metode penyiksaan) kepada seorang tersangka untuk mengakui suatu perbuatan kriminal yang dituduhkan oleh pihak kepolisan walaupun tidak terdapat cukup bukti yang dituduhkan kepada dirinya51[51]. Pada kenyataannya di dalam melakukan rekayasa kasus, seperti dalam kasus narkoba, bukti-bukti yang dituduhkan seringkali tidak objektif, dan menyudutkan. Lihat saja dalam kasus diatas, korban biasanya dijebak oleh kepolisan, dengan barang bukti yang telah disediakan oleh penyidik. Alhasil penyidikan dapat berjalan dengan mulus dengan bukti saksi dari pihak kepolisian (penyidik)/ saksi tertangkap tangan, ditambah dengan keterangan tersangka/ terdakwa, walaupun harus mendapat penyiksaan untuk mendapatkan pengakuannya. Selain itu masih banyak modus operandi lainnya yang dimainkan oleh penyidik untuk merekayasa sebuah kasus, sebagai contoh dalam kasus Chaerul Saleh Nasution, dimana

penyidik yang memeriksa korban merekayasa isi Berita Acara Pemeriksaan, dimana tandatangan pimpinan dalam Berita Acara Pemeriksaan dipalsukan oleh penyidik, dan kasus ini berjalan sampai tingkat pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Seharusnya dalam proses Prapenuntutan, berkas Berita Acara Pemeriksaan yang diberikan oleh polisi/ penyidik kepada Kejaksaan, dilakukan pemeriksaan administratif dan materi dalam berita acara, dimana apabila berkas belum lengkap kejaksaan mengembalikan berkas kembali kepada penyidik, atau melakukan pemeriksaan lanjutan, sebelum berkas dinyatakan lengkap dan dilimpahkan ke pengadilan, namun di dalam kasus Chaerul Saleh kasus ini diteruskan sampai ke Pengadilan. Kejadian demi kejadian merekayasa suatu kasus di dalam proses hukum telah terjadi, lalu apakah sanksi yang ada. Sesungguhnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia cukup mengatur mengenai penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh penyidik dalam suatu proses hukum. Dalam KUHP ada jenis perbuatan yang dilakukan oleh pihak kepolisian yang diancam dengan hukuman dalam melakukan rekayasa perkara/ kasus hukum, antara lain adalah: a. Pemberian keterangan palsu52[52]; oleh pihak penyidik, baik pada saat menyusun Berita Acara Pemeriksaan atau pada saat pemeriksaan di muka persidangan. Dimana penyidik bersaksi sebagai saksi penyidik yang mendapatkan tertangkap tangan, orang yang menerima laporan, dan mendapatkan pengakuan tersangka/ terdakwa pada saat pemeriksaan di kepolisian, atas kasus tersangka/terdakwa (korban) yang diperiksa di muka persidangan b. Merampas kemerdekaan seseorang53[53]; tersangka/ terdakwa dalam suatu rekayasa kasus, yang berlindung dibalik kewenangan, dengan alasan melakukan penahanan guna kepentingan penyidikan. Pada kenyataannya polisi menggunakan sarana penahanan ini untuk menakutnakuti serta memeras korban untuk melakukan proses damai. Apabila polisi bertujuan memeras, Korban biasanya tidak ditahan di kantor polisi, melainkan ditahan/ disekap oleh petugas polisi sampai waktu berhari-hari.

c.

Penganiayaan54[54]; biasanya dilakukan oleh petugas polisi untuk mendapatkan pengakuan paksa dari korban yang diduga sebagai tersangka suatu tindak pidana.

d.

Pemeriksaan paksa55[55] yang dilakukan oleh penyidik dalam melakukan penyidikan suatu tindak pidana, merupakan cara primitif dan tidak bermartabat untuk memperoleh pengakuan/ keterangan suatu tindak pidana. Cara-cara ini sesungguhnya cara yang tidak manusiawi yang merupakan warisan HIR pada zaman colonial yang terkenal dengan asas Inkisitor, dan asas ini telah ditinggalkan oleh KUHAP. Asas Inkisitor berarti tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan. Asas ini berpandangan bahwa pemeriksaan terdakwa merupakan alat bukti terpenting, dan dalam pemeriksaan selalu pemeriksa berusaha mendapatkan pengakuan dari tersangka. Dimana kadang-kadang untuk mencapai maksud tersebut pemeriksa melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan. Walaupun asas ini secara materil telah ditinggalkan oleh KUHAP, namun pada kenyataannya pada tingkat pemeriksaan di kepolisian banyak penyidik melakukan cara-cara kekerasan untuk mendapatkan pengakuan/ keterangan tentang suatu tindak pidana.

Keempat cara tersebut diataslah yang pada umumnya biasa dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk merekayasa suatu kasus, mulai dari memberikan keterangan palsu atas suatu tindak pidana, menahan tersangka atas dasar kewenangan penahanan berdasarkan KUHAP, melakukan pemeriksaan paksa untuk memperoleh pengakuan, sampai kepada penganiayaan. Merupakan cara-cara yang sering sekali digunakan untuk melakukan aksi kejahatan oleh oknum pihak kepolisian.

Tindakan rekayasa kasus hukum ini jelas sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Dimana pelanggaran hak sipil tersebut berupa penyiksaan untuk memperoleh pengakuan paksa, perampasan kemerdekaan tanpa adanya suatu proses peradilan yang fair dan tidak memihak, merupakan bentuk kebiadaban dari pelanggaran hak sipil warga negara. Namun hak sipil merupakan hak-hak negatif, karena pemenuhan hak ini menyaratkan suatu tindakan yang negatif dari Negara. Tetapi sedikitpun negara tidak boleh membiarkan

terjadinya tindakan pelanggaran ini, oleh karena itu negara wajib melakukan tindakan untuk melindungi, mencegah dan menjamin pemenuhan hak asasi warga negara yang terampas oleh kesewenang-wenangan. Untuk menghindari terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang, seperti terjadinya rekayasa kasus hukum, maka negara wajib melakukan perbaikan sistem hukum dalam peradilan pidana, dengan melakukan perbaikan peraturan perundang-undangan dibidang

hukum pidana dan acara pidana, yang lebih terintegeral dan menjunjung tinggi proses peradilan yang adil dan tidak memihak. Dimana dalam peradaban politik modern umumnya kebebasan sipil ini dijamin oleh konstitusi sebagai suatu produk hukum tertinggi, atau diatur dalam suatu undang-undang dan system hukum pidana (penal code)56[56].

Penghormatan oleh negara terhadap kovenan hak-hak sipil/ kovenan anti penyiksaan merupakan suatu kewajiban setiap negara anggota yang telah meratifikasi kovenan ini. Dimana di dalam kovenan ini negara pihak memiliki kewajiban umum untuk menyesuaikan (comply) seluruh produk hukumnya (legislasi nasional) terhadap kovenan ini57[57]. International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang HakHak Sipil dan Politik/ Untuk selanjutnya disebut Kovenan) juga menyebutkan bahwa setiap negara pihak berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun. Setiap Negara pihak berjanji untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan, sesuai dengan proses konstitusinya dan dengan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan, untuk menetapkan ketentuan perundang-undangan atau kebijakan lain yang diperlukan untuk memberlakukan hak-hak yang diakui dalam Kovenan.

E. PENUTUP

Bahwa rekayasa kasus hukum merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Perbuatan pelanggaran terhadap hak sipil tersebut tidak lain diakibatkan oleh lemahnya sistem hukum nasional Indonesia dalam peradilan pidana. Oleh karena itu, negara tidak boleh membiarkan pelanggaran hak asasi manusia terjadi. Dengan demikian negara wajib untuk memberikan perhatian dengan melakukan perbaikan struktur perundangundangan dalam sistem peradilan pidana dalam rangka memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan norma minimum yang diatur dalam instrument hukum internasional dan konstitusi yang memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak sipil setiap warga negara.

F. DAFTAR PUSTAKA

Dr. Soerjono Soekanto, SH.,MA, dkk, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, 1981, Jakarta. Surat Kabar Harian Media Indonesia Tren Pelanggaran HAM Berubah, Media Indonesia tanggal 9 Desember 2009, Jakarta. Surat Kabar Harian Media Indonesia edisi Senin 14 Desember 2009 Surat Kabar Harian Kompas edisi 8 Maret 2010 Surat Kabar Harian Kompas, edisi 23 Februari 2010 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Usman Hamid Menjaga Kebebasan Sipil, http://www.icrp-

online.org/wmprint.php?ArtID=59, diunduh tanggal 15 Maret 2010

Anda mungkin juga menyukai