Anda di halaman 1dari 3

Review Artikel Jurnal Hukum Internasional Publik

Nama : Esther Melinia Sondang


NPM : 1706023971
Program : Paralel
Topik : Subjek Hukum Internasional
Bahan Utama : Suwardi, Sri Setianingsih. “Perjanjian Internasional yang Dibuat oleh Organisasi
Internasional.” Indonesian Journal of International Law Vol. 3 No. 4 (2006): 494-514.

Organisasi Internasional, Negara, dan Indonesia sebagai Subjek Hukum Internasional


Salah satu fenomena yang menjadi fakta dalam studi Ilmu Hukum kontemporer, khususnya
dalam konteks Hukum Internasional, adalah fenomena perdebatan mengenai subjek dari Hukum
Internasional itu sendiri. Salah satu literatur yang mengkaji salah satu aspek darinya adalah artikel
jurnal yang ditulis oleh Sri Setianingsih Suwardi yang berjudul Perjanjian Internasional yang Dibuat oleh
Organisasi Internasional. Tulisan ini dimaksudkan untuk memperkaya pemahaman Penulis atas studi
Hukum Internasional melalui ulasan terhadap karya tulis Suwardi tersebut, khususnya mengenai
Organisasi Internasional sebagai subjek dari Hukum Internasional. Maka dari itu, tulisan ini akan
Penulis bagi ke dalam lima bagian besar, yaitu pendahuluan, pelajaran yang didapatkan dari bahan
utama, relevansi dengan keadaan saat ini, kepentingan Indonesia, dan ditutup dengan kesimpulan.
Suwardi menyatakan bahwa organisasi internasional adalah merupakan salah satu subjek dari
hukum internasional. Suwardi mengutip pendapat dari Mahkamah Internasional dalam kasus Pangeran
Bernadotte dalam menyimpulkan bahwa organisasi internasional telah diterima sebagai subjek hukum
internasional oleh masyarakat internasional. Status organisasi internasional sebagai subjek hukum
internasional tersebut berarti bahwa organisasi internasional mempunyai kapasitas untuk membuat
perjanjian internasional. Kewenangan untuk membuat perjanjian internasional tersebut dibatasi pada
fungsi atau persyaratan yang ditetapkan pada anggaran dasar dari organisasi internasional yang
bersangkutan. Pembatasan kewenangan tersebut sesuai dengan hukum internasional atau apa yang
sudah dinyatakan dalam perjanjian internasional.1
Relevansinya dengan keadaan saat ini adalah bahwa mengenai subjek-subjek konstituen dari
Hukum Internasional itu sendiri pada hakikatnya masih terjadi perdebatan, tidak terkecuali mengenai
organisasi internasional. Mengenai subjek hukum internasional, Oppenheim menyatakan bahwa
negara adalah merupakan subjek utama dari hukum internasional. Menurut Oppenheim, hal tersebut
berarti bahwa hukum internasional pada dasarnya adalah sebuah hukum yang dimaksudkan bagi
pelaksanaan hubungan antar negara, dan bukan untuk warganegaranya. Sebagai sebuah aturan,
Oppenheim menyatakan, subjek dari hak dan kewajiban yang muncul dari hukum internasional satu-
satunya secara eksklusif adalah merupakan negara, dan hukum internasional sendiri pada umumnya
tidak membebankan seseorang, seperti orang asing atau seorang duta besar, dengan suatu kewajiban
maupun memberikannya suatu hak.2
Definisi konvensional menyatakan bahwa sebuah subjek dari hukum internasional adalah
“sebuah entitas yang mampu untuk memiliki hak dan kewajiban internasional dan memiliki kapasitas
untuk mempertahankan haknya tersebut dengan membawakan klaim internasional.” Brownlie, yang
mengutip kasus Mahkamah Internasional Reparations for Injuries Case 1949, menyatakan bahwa
proposisi yang telah ditetapkan oleh kasus tersebut dalam hubungannya dengan organisasi
internasional, dalam kasus tersebut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), telah menjadi mapan dalam
hukum internasional. 3 Dalam kasus tersebut, Mahkamah Internasional menyatakan definisi
konvensional yang sudah disebutkan sebelumnya. Semua negara memiliki kepribadian hukum ab initio
dan ipso jure, maksudnya adalah bahwa negara adalah subjek atau kepribadian dari hukum
internasional yang asli dan utama, mereka memiliki semua hak dan kewajiban internasional yang diakui
oleh hukum internasional. Entitas lain mana pun dengan kepribadian internasional memiliki kepribadian
tersebut atas hubungannya dengan negara. Maka dari itu, entitas quasi-negara seperti Tahta Suci (Kota
Vatikan), organisasi internasional, dan sampai taraf yang terbatas individu, hanya memiliki kepribadian
sedemikian rupa sejauh yang negara berikan pada mereka.4

1
Sri Setianingsih Suwardi, “Perjanjian Internasional yang Dibuat oleh Organisasi Internasional,” Indonesian Journal of
International Law Vol. 3 No. 4 (2006): 498.
2
L. Oppenheim, Oppenheim’s International Law: 9th Edition, diedit oleh R. Y. Jennings dan Arthur Watts (London: Longman,
1992).
3
Ian Brownlie, Principles of Public International Law: 7th Edition (Oxford: Oxford University Press, 2008).
4
Janne Elisabeth Nijman, “The Concept of International Legal Personality: An Inquiry into the History and Theory of International
Law,” Netherlands International Law Review Vol. 55 (2008).

1
Selain negara dan organisasi internasional yang memiliki kepribadian hukum atas pemberian
negara tersebut, terdapat beberapa kategori entitas lain yang memiliki status yang lebih terbatas dalam
hukum internasional. Brownlie menuliskan bahwa entitas-entitas tersebut antara lain wilayah yang di-
internasionalisasi-kan (internationalized territories, secara historis Danzig dan Memel), badan yang
didirikan antar-negara (seperti sebuah tribunal arbitrase), badan dari organisasi internasional (seperti
WHO, badan dari PBB), kepribadian-kepribadian khusus lain, masyarakat yang tidak memerintah
dirinya sendiri (non-self-governing peoples), negara yang baru berdiri maupun mati (emergent and
defunct states), dan komunitas belligerent maupun insurgent. Dengan beberapa maksud dan tujuan,
khususnya dalam hal kejahatan internasional dan hak petisi di bawah instrumen-instrumen hak asasi
manusia, status dari seorang individu juga diakui dalam hukum internasional.5
Hal senada disampaikan oleh Mosler yang menyatakan bahwa organisasi internasional sampai
dengan individu pun dapat menjadi subjek dari hukum internasional.6 Jumlah dan variasi dari subjek
hukum internasional sendiri sebenarnya mengalami peningkatan sejak abad ke-18, khususnya sejak
tahun 1945.7 Penggunaan frasa “international law” itu sendiri pun sebenarnya dianggap oleh beberapa
ahli sebagai kontroversial, karena aktor-aktor non-negara, non-nation pun juga menjadi bagian dari
pembentukan sistem hukum internasional itu sendiri. 8 Pendapat-pendapat yang disampaikan
sebelumnya disetujui oleh Krylov yang menyatakan bahwa subjek dalam hukum internasional bukanlah
hanya negara sebagai sebagai subjek tunggal, hukum internasional juga memberi pengakuan kepada
individu dengan ekstensi hak-hak kepada individu oleh hukum internasional atas dasar traktat-traktat
atau sumber hukum lainnya, walaupun memang individu tidak menjadi subjek langsung dari hukum
internasional.9
Kemudian, beberapa penulis lain telah berusaha untuk menjauh dari dikotomi subjek/objek
tradisional yang mereka anggap sebagai “kekangan intelektual yang dibuat oleh kita sendiri,” salah
satunya adalah Higgins. Higgins berargumen bahwa hukum internasional adalah sebuah proses
pembuatan keputusan yang diikuti oleh banyak aktor. Selain itu, Higgins menyatakan bahwa
sebagaimana dunia kita diatur pada saat ini, adalah negara yang memiliki kepentingan dalam perihal
seperti wilayah laut, perbatasan, dan perjanjian, maka dai itu negara yang saling mengajukan klaim
mengenai hal-hal tersebut. Namun, kepentingan dari seorang individu terletak pada area lain, seperti
standar minimal perlakuan orang asing, prasyarat dilakukannya peperangan, dan hak asasi manusia.
Maka dari itu, hal-hal tersebut bukanlah semata-mata menjadi pengecualian yang diizinkan oleh negara
dalam sebuah sistem peraturan yang berlaku antar negara, melainkan hal-hal tersebut adalah
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum internasional yang mewakili klaim yang
secara alamiah dibuat oleh para partisipan individual yang berbeda dari partisipan negara.10
Kepentingan Indonesia dalam hal ini adalah bahwa Indonesia sebagai negara berarti bahwa
Indonesia adalah merupakan subjek dari hukum internasional. Mengenai negara sebagai subjek hukum
internasional, setidaknya tidak mengalami perdebatan. Penyematan status subjek hukum internasional
pada Indonesia berarti bahwa Indonesia memiliki hak dan kewajiban dalam hukum internasional. Hak
dan kewajiban dari sebuah negara dalam hukum internasional telah diatur dalam hukum kebiasaan
internasional dan dikodifikasi dalam Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak dan Kewajiban dari
Negara-negara. Antara lain, konvensi tersebut mengatur bahwa sebuah negara yang telah berdiri
sebagai legal person memiliki hak atas populasi, wilayah, pemerintahan, dan kapasitas untuk
mengadakan hubungan dengan negara lain; untuk mempertahankan diri; dan lain sebagainya; serta
bahwa negara memiliki kewajiban antara lain untuk mempertahankan perdamaian dan untuk tidak
mengakuisisi wilayah dengan kekerasan.11
Kesimpulannya, organisasi internasional dapat dikatakan sebagai salah satu subjek dari
hukum internasional. Namun, statusnya sebagai sebuah subjek hukum internasional didapatkan
sebagai hasil perdebatan mengenai subjek-subjek dari hukum internasional itu sendiri, yang membuat
perdebatan tersebut menjadi relevan dalam diskusi. Indonesia memiliki kepentingan dalam hal tersebut
dikarenakan Indonesia adalah sebuah negara, yang berarti bahwa Indonesia memiliki hak-hak beserta
kewajiban-kewajiban tertentu yang diperoleh dari statusnya sebagai sebuah subjek hukum
internasional.

5
Ian Brownlie, Op Cit.
6
Hermann Mosler, The International Society as a Legal Community, (Amsterdam: Springer Netherlands, 1980).
7
Robert Kolb, Theory of International Law (Portland: Hart Publishing, 2016).
8
Mark Weston Janis, “International Law?” Harvard Journal of International Law Vol. 32 (1991).
9
Serge B. Krylov, “Les Notions Principales dua Droit des Gens,” Hague Rec Vol. 70 (1947).
10
Rosalyn Higgins, Problems and Process: International Law and How We Use It (London: Clarendon Press, 1994).
11
Organization of American States, “Montevideo Convention on the Rights and Duties of States” (Dokumen, Montevideo, 1933).

2
Referensi

Brownlie, Ian. Principles of Public International Law: 7th Edition. Oxford: Oxford University Press, 2008.

Higgins, Rosalyn. Problems and Process: International Law and How We Use It. London: Clarendon
Press, 1994.

Janis, Mark Weston. “International Law?” Harvard Journal of International Law Vol. 32 (1991).

Kolb, Robert. Theory of International Law. Portland: Hart Publishing, 2016.

Krylov, Serge B. “Les Notions Principales dua Droit des Gens,” Hague Rec Vol. 70 (1947).

Mosler, Hermann. The International Society as a Legal Community. Amsterdam: Springer Netherlands,
1980.

Nijman, Janne Elisabeth. “The Concept of International Legal Personality: An Inquiry into the History
and Theory of International Law,” Netherlands International Law Review Vol. 55 (2008).

Oppenheim, L. Oppenheim’s International Law: 9th Edition, diedit oleh R. Y. Jennings dan Arthur Watts
(London: Longman, 1992).

Organization of American States, “Montevideo Convention on the Rights and Duties of States”
(Dokumen, Montevideo, 1933).

Suwardi, Sri Setianingsih. “Perjanjian Internasional yang Dibuat oleh Organisasi Internasional,”
Indonesian Journal of International Law Vol. 3 No. 4 (2006): 494-514.

Anda mungkin juga menyukai