Anda di halaman 1dari 26

Rekonstruksi Konsep Rechtsverwerking Untuk Mencapai Kepastian

Hukum Dalam PendaftaranTanah


Oleh: Rofiq Laksamana1

1. Pendahuluan
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menyatakan , Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan inilah yang kemudian
menjadi landasan filosofi bagi pemerintah dalam mengelola sumber daya alam dan
mengatur penguasaan hak-hak atas tanah, yang kemudian dituangkan dalam UndangUndang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agrarai
(selanjutnya disebut UUPA). Dalam penjelasan UUPA dinyatakan:2Di dalam Negara
Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya,
terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun
masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan.
Hukum Agraria Nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya
fungsi bumi, air dan ruang sangkasa sebagai yang dimaksudkan di atas dan harus
sesuai pula dengan kepentingan rakyat Indonesia dan negara serta memenuhi
keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria. Lain dari itu
hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan daripada azas kerohanian
Negara dan cita-cita Bangsa yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan,
Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan
pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar. Lebih lanjut
dalam penjelasan UUPA yang menyebutkan asas-asas pembangunan hukum agraria:
Dasar yang keempat diletakkan dalam pasal 6, yaitu bahwa : Semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun
yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan
dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada
haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.
1
2

Makalah Disampaikan dalam acara Diskusi Bulanan PPPM-STPN Yogyakarta, tanggal 22 Oktober 2014.
Boedi Harsono, 1996. Hukum Agraria Indonesia. Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah.
Djambatan. Jakarta.

Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya
bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya
serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja
dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan,
melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi
yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu (pasal 15). Dalam
melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan fihak yang
ekonomi lemah.
Dalam kenyataannya terjadi kemungkinan pemilik tanah membiarkan tanah
seolah-olah tidak mempedulikan atau membutuhkan lagi tanah yang telah
dimiliknya, sehingga datang seseorang yang memerlukan tanah untuk mengusai,
menggarap atau membangunan rumah sebagaimana seorang pemiliknya. Maka
terjadilah penerlantaran tanah oleh pemilik tanah disatu sisi dan dilain pihak ada
orang yang mengusain dan memanfaatkan tanah tersebut.
Rechtsverwerking adalah suatu prinsip/asas dalam Hukum Agraria yang
menyatakan bahwa seorang pemilik tanah yang meninggalkan tanahnya terlantar
dalam waktu tertentu dan membiarkan orang lain menduduki dan mengambil
manfaat akan menyebabkan pemilik semula hak atas tanahnya. 3Dalam hukum adat
dikenal ketentuan mengenai lahir, menguat dan hilangnya hak atas yang dimiliki
seseorang dikenal dengan istilah rechtsverwerkingyang berlaku dalam masyarakat
hukum adat.

Menurut Boedi Harsono4, Hukum adat tidak mengenal lembaga

acquisieve verjaring, demikian ditegaskan dalam Putusan Hoog Gerechts Hof


(HGH) tanggal 25 Oktober 1934. Yang dikenal dalam Hukum Adat adalah lembaga
rechtsverwerking, yaitu lampaunya waktu sebagai sebab kehilangan hakatas tanah,
kalau tanah yang bersangkutan selama waktu yang lama tidak diusahakan oleh
pemegang haknya dan dikuasai pihak lain melalui perolehan hak dengan itikad
baik.
Sebagai ketentuan yang berasal dari hukum adat,

walaupun ketentuan

tersebut tidak tertulis namun hidup dalam masyarakat hukum adat. Dalam
perkembangan kemudian ketentuan dimaksud diadopsi oleh UUPA (Pasal 27,34
dan 40) dengan menegaskan bahwa hapusnya hak atas tanah dapat terjadi karena
ditelantarkan. Ketentuan hukum tadi merupakan ketentuan hukum adat (bukan
menciptakan hukum baru), yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian
3

NurhasanIsmail, 2007. Rechtsverwerking dan Pengadopsiannya Dalam Hukum Tanah Nasional.


Mimbar Hukum Volume 19 Nomor 2 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Juni 2007, hlm 1.
4
Boedi Harsono, 1997. Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,
Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional. Penerbit Jembatan. Hlm. 65.

dari hukum tanah nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud konkrit
dalam penerapan ketentuan UUPA terutama mengenai penelantaran tanah. UUPA
berusaha mengadakan dasar-dasar untuk mencapai kepastian hukum, sebagaimana
penjelasan umum:5
Usaha yang menuju ke arah kepastian hak atas tanah ternyata dari
ketentuan dari pasal-pasalyang mengatur pendaftaran tanah.Pasal 23, 32
dan 38 ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan,
denganmaksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu.
Sedangkan pasal 19ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi,
agar di seluruh wilayah Indonesiadiadakan pendaftaran tanah yang
bersifat rechts-kadaster, artinya yang bertujuanmenjamin kepastian
hukum.
Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan Kepastian hukum maka
pendaftaran itudiwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan,
dengan maksud agar merekamemperoleh kepastian tentang haknya itu
sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintahsebagai suatu instruksi;
agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah
yangbersifat rechtskadaster artinya yang bertujuan menjamin
kepastian hukum.
Pasal 32 ayat (2) PP No 24 tahun 1997 merupakan penerapan dari lembaga
hukum adat, yang dikenal dengan nama rechtsverwerking yaitu lampaunya waktu
sebagai sebab kehilangan hak atas tanah, kalau tanah yang bersangkutan selama
jangka waktu yang lama tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai
pihak lain melalui perolehan hak dengan itikad baik.6
Sertifikat yang dikeluarkan merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan
data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Ini berarti
sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang
tercantum didalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam
melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkaran di Pengadilan.
Sebagai kelanjutan dari pemberian perlindungan hukum kepada pemegang
sertifikat dinyatakan dalam Ketentuan Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997 dalam Ayat

5
6

Boedi Harsono, Ibid.


Boedi Harsono, 1997. Ibid, Hlm 67.

1: Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya.
Ayat 2: Dalam hal sudah diterbitkan sertifikat secara sah , maka pihak
lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut
pelaksanaan hak tersebut apabila dalam jangka waktu 5 tahun sejak diterbitkan
sertifikat itu tidak mengajukan keberatan
Tulisan ini akan membahas keberadaan lembaga rechtsverwerking dalam
hukum tanah nasional di Indonesia. Dengan melihat pandangan para akademisi atau
birokrasi, disamping melihat dari peraturan perundangan maupun dalam putusan
hakim baik sebelum dan sesudah adanya UUPA, PP No. 10 /1961 tentang
Pendaftaran Tanah maupun setelah adanya PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran
Tanah.

2. Rechtsverwerking, Acquisitieve Verjaring dan Adverse Possession


Dalam Hukum Adat dikenal adanya lembaga yang berkaitan dengan pendaftaran
tanah dalam rangka menutupi kelemahan-kelemahan dari sistem yang ada, yaitu
lembaga lampau waktu (Rechtsverwerking). Dalam Hukum Adat tidak dikenal
aquisitieve verjaring. Dalam Hukum Adat jika seseorang pemilik tanah dan
sekian lama membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah tersebut
dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan iktikad baik, maka hilanglah
hak pemilik tanah tersebut. Konsep inilah yang diambil oleh Hukum Agraria kita
sebagai suatu lembaga Rechtsverwerking.
Konstruksi hukumnya adalah apabila selama lima tahun pemegang hak atas
tanah lalai untuk menguasai dan menggunakan tanahnya sesuai dengan sifat dan
tujuan haknya, serta membiarkan tanahnya dikuasai dan didaftarkan oleh pihak lain
yang beritikad baik sedangkan pemilik semula tidak mengajukan gugatan ke
pengadilan, berarti yang bersangkutan telah menelantarkan tanahnya dan
kehilangan haknya untuk menggugat.
Daluarsa (lewat waktu) berkaitan dengan adanya jangka waktu tertentu yang
dapat mengakibatkan seseorang mendapatkan suatu hak milik (acquisitive verjaring)
atau juga karena lewat waktu menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu
penagihan atau tuntutan hukum (inquisitive verjaring). Selain itu diatur juga hal-hal
mengenai pelepasan hak atau rechtsverwerking yaitu hilangnya hak bukan
4

karena lewatnya waktu tetapi karena sikap atau tindakan seseorang yang
menunjukkan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak.
Dalam Hukum Harta Kekayaan Romawi kuno, dikenal istilah usucapio dan
prescriptio, kemudian digabungkan menjadi acquistive prescription dalam hukum
perdata modern (cicvil law). Dalam sistems Common law kemudian mengadopsi
prescripsi dari civil law, dengan membangun lembaga yang sepadan dengan nama
adverse possession Apabila dibandingkan secara analogi secara terbatas lembaga
tersebut bisa juga ditemui dalam tradisi hukum kitab suci seperti chazaka dalam
Talmud dan moulkya dalam Hukum Islam.
Acqusitive prescription dan adverse possession (keduanya disingkat AP),
mempunyai maksud utama untuk mempromosikan stabilitas dan kepastian dalam
penguasaa/pemilikan tanah (landholdings). Scholars dari Perancis, Terre dan Simler,
menggambarkan lembaga tersebut sebagai one of masterpieces of our system of
justuce.7 Di Amerika lembaga AP mendapat perhatian yang lebih besar dalam
diskursus hukum, sebagai cara mempromosikan penggunaan sumber daya alam yang
langka secara lebih efisien dengan mendorong pemiliknya untuk mengontrol
penggunaan tanahnya, dan secara periodik membuat status kempemilikannya
diketahui.8
Untuk mengklaim sebidang tanah (real property), seseorang haruslah
membuktikan bahwa dia telah bertindak sebagai pemilik secara terbuka dan dalam
jangka waktu tertentu yang dipersyaratkan. Perolehan hak dengan AP sangat
tergantung

dengan

mengembangkan

fakta

penguasaan,

masing-masing

yurisdiksi

telah

cara yang berbeda untuk mengorganisasikan dan mengakses

faktor-faktor yang relevan. Dalam civil law bekerja dengan dua bagian persyaratan
yaitu penguasaan nyata dan animus domini. Sedangkan dalam commmom law
peradilan secara umum memilih menerapkan dua, tiga atau lima paradigma.9
Dalam hukum Belanda, Hoge Raad, mengakui adanya kemungkinan
timbulnya suatu keadaan dimana satu pihak (dalam perjanjian) kehilangan miliknya

Michael H. Lubetsky. Adding Epicylces:The Inconsistent Use Test in Adverse Possession Law. Hlm 4
Loc.cit.
9
Ibid hlm 5.
8

karena perbuatannya sendiri, keadaan ini dikenal dengan istilah Rechtsverwerking


atau yang sama dengan Vervirkung di Jerman.10
Dalam civil law, kepemilikan (ownership) didefinisikan sebagai hak untuk
menggunakan, menikmati dan mengalihkan property secara penuh dan bebas (fully
dan freely), dengan batasan dan kondisi yang ditentukan oleh hukum.11

3. Pengertian dan Penggunaan Lembaga Rechtsverwerking.


Menurut Ismail12 Lembaga atau asasrechtsverwerking merupakan salah satu
asas yang dikenal dan berlaku dalam Hukum Adat terutama berkaitan dengan
terjadinya dan diperolehnya hak atas tanah oleh warga masyarakat. Selanjutnya
dikatakan asasrechtsverwerking keberadaannya terutama berkaitan dengan proses
melemah dan hilangnya hubungan hukum.13 Berkaitan dengan pengusaan bidang
tanah oleh warga masyarakat hukum adat.
Sedangkan

menurut

Algra

sebagaimana

dikutip

oleh

Irawan

Soerodjo14rechtsverwerking diartikan sebagai akibat yang timbul dari suatu


pelepasan hak atau akibat yang timbul karena tidak melakukan suatu perbuatan
hukum yang merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seseorang oleh
hukum, sehingga sesuatu hak menjadi hilang.
Rechtsverwerking dapat diartikan sebagai akibat yang timbul dari suatu
pelepasan hak atau akibatyang timbul karena tidak melakukan sesatu perbuatan
hukum yang merupakan kewajiban yang harus dilakukan seseorang oleh hukum,
sehingga

sesuatu

hilang. 15

menjadi

Sedangkan

menurut

R.

Subekti16Rechtsverwerking terutama didasarkan pada sikap seseorang darimana


disimpulkan bahwa ia tidak hendak mempergunakan lagi sesauatu hak, lain dari
kedaluwarsa atau lampau waktu saja. Dalam perkara ini waktu 5 (lima) tahun itu

10

Guiding Principlesof European Contract Law. Hlm 156. http://www.legiscompare.fr/siteweb/IMG/pdf/19._Guiding_Principles.pdf


11
The Civil Code of Quebec: the right to use, enjoy and dispose of property fully dan freely, subject to the
limits and conditions for doing so determined by law.
12
NurhasanIsmail, 2007, Rechtsverwerking.....
13
Loc.cit.
14
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia. Arkola, Surabaya. 2002. Hlm. 188.
15
N.E. Algra, et.al, Kamus Istilah Hukum Fockemen Andrea Belanda Indonesia. Bandung. Binacipta,
1983, hlm. 80.
16
Subekti, R. 1991. Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprodensi Mahkamah Agung, Alumni, Bandung.
Hlm. 90

hanya mempunyai arti sebagai faktor untuk menguatkan sikap berkedudukan


diamnya orang yang mempunyai kepentingan.
Sedangkan

Herman

istilahRechtsverwerking

Soesangobeng17mengemukakan

menganai

merupakan konsep yang dibahas dalam padanannya

dengan Verjaring yang berkembang dalam wacana para ahli hukum dan bukan
lembaga

hukum. Menurut

Soesangobeng18

hukum

adat

tidak mengenal

Rechtsverwerking sebagai upaya penghapusan apalagi penghilangan hak atas tanah,


Alasannya adalah karena prinsip dasar hukum adat ialah bahwa hak warga
persekutuan atas tanah tidak dapat dihilangkan atau dihapus, walaupun dapat
dianggap dilepaskan oleh warga yang bersangkutan baik secara tegas maupun
diam-diam.
Lembaga rechtsverwerkingdidefiniskan sebagai lampaunya waktu yang
menyebabkan orang menjadi kehilangan haknya yang semula milikinya, maka
lembaga ini digunakan untuk mempertahankan kepemilikan yang telah terdaftar
dalam daftar umum.19
Menurut Lutfi Nasution20 lembaga Rechtsverwerking, sebagai lembaga
rekognisi hak akibat pengaruh lampau waktu tidaklah berdiri sendiri, melainkan
menjadi satu kesatuan konsep dengan lembaga adverse possession atau
verjaring dengan lembaga title insurance. Bahkan secara substansial lembaga
Rechtsverwerking, sama dengan lembaga adverse possession atau lembaga
perolehan hak karena kedaluwarsa (verjaring), meskipun dalam konotasi dengan
iktikad baik (good faith). Perbedaannya hanya terletak pada penggunaan lembaga
tersebut. Lembaga rechtsverwerking, yaitu lampaunya waktu yang menyebabkan
orang menjadi kehilangan hak atas tanah yang semula miliknya, untuk
mempertahankan kepemilikan tanah yang telah terdaftar dalam daftar umum,
sedangkan adverse possession khususnya in good faith atau verjaring adalah
lampaunya waktu yang menyebabkan orang memperoleh hak atas tanah yang

17

Soesangobeng. 2002.Materi Perkuliahan Hukum Agraria (Lanjutan). Jakarta: STIH IBLAM, Kelas
BPHN. Hlm 2
18
Soesngobeng. Ibid.hlm 14
19
Mochtar Wahid. 2008.Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah. Republika. Jakarta.
Membandingkan dengan lembaga adverse possession (khususnya in good faith) atau verjaring, adalah
lampaunya waktu yang menyebabkan orang lain menjadi mempunyai hak atas tanah yang semula
dimiliki orang lain, maka lembaga ini digunakan unntuk memperoleh pendaftarannya dalamdaftar
umum.
20
Ibid. Hlm. 94.

semula dimiliki oleh orang lain, dengan tujuan untuk memperoleh pendaftarannya
dalam daftar umum.

Fungsi Rechtsverwerking: Perolehan Hak atas tanah : Hukum Adat, Yurisprudensi


dan Penguatan sistem publikasi Pasal 32 (2)

fungsi
rechtverwerking

penguatan
pendaftaran
tanah

perolehan hak
atas tanah

hukum adat

yurispudensi

hak atas tanah


terdaftar

4. Rechtsverwerking dalam masyarakat adat.


Rechtsverwerking adalah

suatu prinsip dalam Hukum Agraria yang

menyatakan bahwa pemilik sebidang tanah yang meninggalkan tanahnya terlantar


dalam jangka waktu tertentu dan membiarkan orang lain untuk menduduki dan
8

mengambil manfaat akan mengakibatkan pemilik awal kehilangan haknya terhadap


tanahnya.21 Jadi seorang pemilik sebidang tanah yang meninggalkan tanahnya
dalam kurun waktu tertentu, sehingga terlantar dan bahkan membiarkan orang lain
lain untuk menguasai dan mengerjakan serta mengambil memanfaatkan tanah
tersebut, maka pemilik asal dari tanah tersebut akan kehilangan hak terhadap
tanahnya. Dengan demikian adakan terjadi proses hilangnya hak atas tanah dari
pemilik semula dan diikuti dengan diperolehnya hak atas tanah bagi orang yang
kemudian menduduki dan memanfaatkan tanah tersebut. Sehingga dikatakan
Rechtsverwerking merupakan salah satu asas yang dikenal dan berlaku dalam
hukum adat terutama berkaitan dengan proses terjadinya dan diperolehnya hak atas
tanah oleh warga masyarakat.22
Intensitas menjadi faktor penentu bagi keberlangsungan hubungan hukum
yang lebih menguat23. Sebaliknya, jika faktor intensitas penguasaan dan
penggunaan tanah tidak dipenuhi karena warga yang bersangkutan meninggalkan
dan membiarkan tanahnya tidak digunakan atau dimanfaatkan, maka berlakulah
asas hukum "rechtsvetwerking" yaitu hilangnya hubungan hukum tersebut karena
yang bersangkutan dianggap telah melepaskan penguasaan atas tanahnya setelah
tidak digunakan atau diusahakannya tanah tersebut oleh pemiliknya.
Boedi Harsono24mengemukakan intinya yaitu adanya investasitenaga dan
biaya oleh orang yang mempunyaihubungan hukum dalam kerangkamemelihara
tanahnya. Seorang warga yang terus-menerus menginvestasikan tenaga danbiaya
untuk

memelihara

dan

menggunakanatau

memanfaatkan

tanah,

maka

hubunganhukum antara dirinya dengan tanah akantenls berlangsung. Orang tersebut


akan dinyatakandan diakui sebagai pemilik dari tanahtersebut. Sebaliknya. jika
seorang sudahtidak lagi menginvestasikan tenaga dan biayauntuk menggunakan
atau memanfaatkan tanahnyadan ha1 tersebut berlangsung sampaitanah tersebut
membelukar karena tumbuhtanaman alang-alang yang menunjukkan tidakadanya
lagi kegiatan penggunaan tanah,maka orang tersebut sudah dapat dimaknai telah
melepaskan haknya dan berarti harus dinyatakan telah kehilangan haknya atas
tanahtersebut.

21

NurhasanIsmail, 2007. Hlm 183.


Ibid. Halm 3.
23
Ibid. hal.188-189.
24
Boedi Harsono, 1971. Bagian 11. Loc.Cit.
22

Dalam lingkungan masyarakat Hukum Adat Indonesia pelaksanaan


rechtsverwerking disandarkan pada fakta-fakta fenomena alam yang terjadi atas
tanahnya, sebagai dasar untuk menentukan hubungan hukum semakin menguat atau
sebaliknya semakin melemahnya bahkan hilangnya hak seseorang atas tanahnya,
sehingga berlaku asas rechtsverwerking.
Menurut Nurhasan25 tanda-tanda fisik alamiah yang dapat dijadikan dasar
akan adanya intensitas penguasaan tanah adalah sebagai berikut:
Pertama,

terpeliharanya

kondisi

tanah

yang

dikuasai

dan

digunakan

tersebut.Kedua, adanya pancang-pancang yang digunakan untuk mengambil buah


dari pohon-pohon yang ada di atas tanah atau bangunan gubuk yang digunakan oleh
warga yang bersangkutan untuk beristirahat ketika mengejakan tanahnya.Ketiga,
adanya pohon-pohon besar yang dengan sengaja ditanam oleh orang yang
bersangkutan.Keempat, adanya pembangunan atau pembuatan tanggul-tanggul
tanah (tumpukan tanah yang memanjang di bagian pinggir tanah) sebagai pembatas
tanah yang dihaki oleh seorang dengan tanah yang dipunyai oleh orang lain.
Beberapa daerah tidaklah sama dalam menggunakan batasan waktu tertentu
sebagai dasar hilangnya hak seseorang atas tanah yang pernah ia miliki. Dengan
demikian setelah lewat jangka waktu tertentu seorang pemilik tanah yang tidak
menggunakan atau megusahakan tanah miliknya, maka yang bersangkutan akan
kehilangan hak astas tanahnya. Menurut Ardiwilaga26di lingkungan masyarakat
Hukum Adat Tapanuli, hapusnya hak atas tanah terjadi setelah pemiliknya tidak
lagi mengusahakan atau menggunakan tanah dalam waktu 5 (lima) tahun,
sedangkan di daerah Madiun setelah lewat waktu 20 (dua puluh) tahun.

5. Lembaga Rechtsverwerking dalam Hukum Tanah Nasional (UUPA dan PP No.


24/1997)
Undang-udang pokok agraria (UUPA) yang berdasarkan pada hukum adat,
mengadopsi ketentuan lembaga rechtsverwerking tersebut. Dan tidak menggunakan
lembaga verjaring ataupun adverse possession, karena lembaga tersebut tidak
dikenal dalam hukum adat. Dalam hukum adat demikian juga dalam hukum tanah
nasional, tanah merupakan milik bersama seluruh anggota masyarakat hukum adat,
25
26

Ismail, Nurhasan. 2007. Ibid.


R. Ardiwilaga.1962, Hukum Agraria Indoensia: Dalam Teori dan Praktek. NV. Masa Baru Jakarta, hal
53

10

atau dalam hukum tanah nasional, tanah merupakan milik bersama bangsa
Indonesia. Kepemilikan secara perorangan juga diperbolehkan, diakui, yang akan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan diri dan keluarganya,
atau bahkan untuk modal dalam usaha perekonomian yang diusahakan, sebaliknya
tanah tidak boleh sekedar dimilki sesorang tetapi tidak digunakan, atau dibiarkan
tidak dimanfaatkan, bahkan diterlantarkan.
Penegasan kembali terhadap penerapan sistem publikasi negatif dalam
pendaftaran tanah dalam yang dianut PP No. 10 Tahun 1961 maupun PP No
24/1997

diikuti

dengan

penerapan

lembaga

rechtsverwerking

bertujuan

memperkuat kedudukan sertipikat sebagai alat bukti hak atas kepemilikan tanah.
Dinegara lain digunakan lembaga kedaluwarsa, misalnya Acquisitieveverjaring
Belanda ataupun adverse possession di Inggris dan beberapa negara lainnya.
Latar belakang penggunaan lembaga rechtsverwerkingyang diambil dari
hukum adat di Indonesialebih kepada realitas kebutuhan yang bersifat nyata dan
sifat saling membatasi (menguncup-mengembang) antara kekuasaan lembaga
persekutuan adat dengan hubungan penguasaandan penggunaan tanah oleh anggota
persekutuan.27Menurut

Bagir

Manan28,

tentang

penggunaan

asas

rechtsverwerkingmenyatakan: "Dalam hukum agraria di Indonesia menganut Asas


Rechtsverwerking, ketentuan ini mengatur bahwa pihak yang merasa mempunyai
hak atas tanah yang sudah terdaftar atas nama orang lain, tidak mengajukan kebera
tansecara tertulis maka tidak dapat lagi menuntut haknya setelah 5 tahun sejak di
terbitkannya sertifikatnya itu, tujuan Rechtsverwerking ini adalah untuk menjamin
kepastian hukum kepada pihak yang memiliki tanah dengan itikad baik " .
Menurut Irawan Soerodjo29, jangka waktu lima tahun itu tidak berlaku
apabila perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah tersebut tidak diikuti dengan
penerbitan sertipikat/baliknama, karena ketentuan pasal 32 ayat (2) mengharuskan
adanya pengajuan keberatan atau gugatan sebelum(cetak miring oleh penulis)
diterbitkan sertipikat tanah, sehingga apabila suatu perbuatan hukum pemindahan
hak atas tanah tidak didaftarkan/balik nama, makaketentuanini memberikan

27

Muchtar Wahid. Ibid. Hlm 95


Bagir Manan. Asas Rechtsverwerking, Sambutan pada Seminar Nasiona l Pendaftaran Tanah,
Universitas Trisakti - Jakarta , 2002, hlm. 2.
29
Irawan Soerodjo, 2002. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia. Arkola, Surabaya, hlm 190.
28

11

perlindungan bagi pemegang hak ats tanah sesungguhnya untuk mengajukan


tuntutan tanpa pembatasan jangka waktu.
Tujuan diterapkannya lembaga rechtsverwerking adalahuntuk memberikan
kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai tanah dan
didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah dengan sertipikat tanah sebagai
bukti kepemilikannya.
Pengaturan dalam PP No 24//1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berkaitan
langsung dengan rechtsverwerking ini diuraikan dalam Pasal 32 Ayat (2) yang
menegaskan bahwa: dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat
secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut
dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa
mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut
apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak
mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegan sertifikat dan kantor
pertanahan yang bersangkutan maupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan
mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
Pasal 32 ayat (2) PP No 24 tahun 1997 merupakan penerapan dari lembaga
hukum adat, yang dikenal dengan nama rechtsverwerking yaitu lampaunya waktu
sebagai sebab kehilangan hak atas tanah, kalau tanah yang bersangkutan selama
jangka waktu yang lama tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai
pihak lain melalui perolehan hak dengan itikad baik.30
Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) tersebut sebenarnya bukan merupakan
suatu ketentuan baru, karena konsep dari pasal ini merupakan konsep yang dipakai
dalam menyelesaikan sengketa tanah pada hukum adat sebelum berlakunya PP
Nomor 24 tahun 1997. Konsep yang digunakan dalam pasal ini adalah
rechtsverwerking yang sudah diterapakan sebelum PP 24 tahun 1997 berlaku
bahkan jauh sebelum UUPA ada.
Lembaga rechtsverwerking yang diatur dalam pasal tersebut berusaha
mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif bertenden positif yang dianut oleh
Indonesia, untuk mencapai tujuan pendaftaran tanah, yaitu adanya kepastian hukum
terhadap penguasaan/pemilikan hak atas tanah.

30

Boedi Harsono, op.cit., hal 67

12

Keberlakuan lembaga rechtsverwerking

sebagaimana yang diatur dalam

pasal 32 ayat (2) PP No. 24/1997, mensyaratkan beberapa hal yaitu: a) adanya
unsur itikad baik; b) penguasaan fisik secara nyata; c) adanya jangka waktu yang
terlewati; d) terhadap bidang tanah yang sudah ada haknya dan diterbitkan
sertipikatnya; e) orang yang merasa mempunyai hak tidak mengadakan aksi
menuntut haknya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh peraturan.
Sampai dengan saat ini Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang
seharusnya dapat menjadi jalan keluar bagi permasalahan di atas masih
mendapatkan banyak pro dan kontra. Mengingat keberadaan pasal ini tidak sesuai
dengan sistem publikasi negatif yang dianut oleh pendaftaran tanah di Indonesia,
dimana sertipikat bukanlah merupakan alat bukti yang mutlak melainkan sertipikat
merupakan alat bukti yang kuat.
Apabila suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikatnya secara sah atas
nama orang atau badan hukum (sebagai subyek hak atas tanah) yang memperoleh
tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasai tanah tersebut, maka
pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah tersebut tidak dapat lagi
menuntut haknya, apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya
sertipikat tersebut, tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang
sertipikat dan Kepada Kantor Pertanahan atau tidak mengajukan gugatan ke
pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat. Inilah yang
disebut sebagai rechtsverwerking.31
Ketentuan ini merupakan penyempurnaan dan penegasan terhadap sistem
publikasi negatif bertendensi positif dari pendaftaran tanah yang diatur UndangUndang Pokok Agraria (UUPA). Dalam pendaftaran tanah dengan sistem publikasi
negatif, negara tidak menjamin kebenaran data yang ada pada kantor pendaftaran,
sehingga orang yang tercantum namanya dalam sertipikat selalu dihadapkan pada
kemungkinan adanya gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai hak atas
bidang tanahnya. Tetapi dengan penentuan batas waktu ini, maka orang yang
tercantum namanya dalam sertipikat akan bebas dari kemungkinan adanya gugatan
setelah lewat waktu 5 (lima) tahun dan statusnya sebagai pemilik tanah akan terus
dilindungi sepanjang tanah itu diperoleh dengan itikad baik dan dikuasai secara
nyata oleh pemegang hak bersangkutan atau kuasanya.
31

Badan Pertanahan Nasional, 2005. Himpunan Peraturan Bidang Pendaftaran Tanah, Pasal 32 (2) PP No.
24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.

13

Penjelasan tentang rechtsverwerking ini di uraikan dalam Pasal 32 Ayat (2)


Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menegaskan bahwa : dalam hal
atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau
badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata
menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak
dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun
sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis
kepada pemegan sertipikat dan kantor piertanahan yang bersangkutan maupun tidak
ataupun mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau
penerbitan sertipikat tersebut.
Adanya ketentuan dalam PP No. 24/1997 ini telah mempertegas kembali
bahwa sistem pendaftaran tanah di Indonesia tidak menggunakan sistem publikasi
negatif yang murni32 (Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam
bukti hak), tetapi menggunakan sistem publikasi negatif bertendensi positif, artinya
walaupun Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam bukti hak,
namun bukti hak tersebut dikategorikan sebagai bukti hak yang kuat (selama tidak
ada putusan hakim yang menyatakan sebaliknya, maka data yang disajikan dalam
bukti hak tesebut merupakan data yang benar, sah dan diakui serta dijamin menurut
hukum). Selanjutnya dengan adanya proses pemeriksaan tanah dalam rangka
penetapan hak yakni pengumpulan dan penelitian data yuridisnya sehingga dengan
pemeriksaan tanah tersebut hasilnya diharapkan dapat mendekati kebenaran materil
dari alas hak yang menjadi dasar penetapan haknya.
6. LembagaRechtsverwerking dalam putusan hakim sebelum lahirnya

UUPA

sampai sesudah adanya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang


Pendaftaran Tanah.
Lembaga rechtsverwerking digunakan dalam sistem hukum tanah di
Indonesia baik sebelum berlakunya UUPA maupun setelah berlakunya UUPA. Hal
ini terbukti dari banyaknya kasus-kasus rechtsverwerking yang telah diputus oleh
Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tinggi di Indonesia. Tanah telantar menurut
yurisprudensi tidak lepas dari pendapat para hakim di Indonesia berdasarkan
kewenangannya memberikan keputusan atas peristiwa yang terjadi dan masuk ke
pengadilan. Pendapat hakim ini disimpulkan dalam pertimbangan-pertimbangan
32

Lihat Boedi Harsono, halm 81

14

yang diberikan dalam memutuskan hukumnya mengenai kasus tanah telantar.


Dalam keputusan pengadilan dalam berbagai kasus tanah yang terjadi, untuk
memberikan keputusan atas status tanah Hak Milik yang dibiarkan selama kurun
waktu tertentu tidak dikerjakan oleh pemegang haknya, sikap hakim dalam
mengambil

keputusan

banyak

memilih

untuk

menggunakan

lembagarechtsverweking yang dikenal dalam Hukum Adat yaitu dianggap telah


melepaskan haknya.
Menurut Boedi Harsono33, dalam beberapa putusan Mahkamah Agung
menunjukkan

adanya

lembaga

rechtsverwerking

menerapkannya. Sedangkan menurut Muchtar Wahid

34

dan

bagaimana

tata

menyatakan adanya relaitas

bahwa putusan peradilan menunjukkan bahwa lembaga rechtsverwerking tidak


mengikat para hakim dalam memutuskan perkara.
Penegakan hukum (lembaga rechtsverwerking) menurut Satjipto Rahadjo
adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi
kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum dalamhal ini adalah
pikiran-pikiran badan pembuat undang-udang yang dirumuskan dalam peraturan
hukum35.
Berikut ini beberapa Putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan
penggunaan lembaga rechtsverwerking dalam hukum adat:

a. Putusan Mahkamah Agung sebelum adanya UUPA, antara lain sebagai berikut:
1) Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1956 Nomor 210/K/Sip/1055
dalam kasus di Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat. Gugatan dinyatakan tidak
dapat diterima oleh karena para Penggugat dengan mendiamkan soalnya
sampai 25 tahun harus dianggap menghilangkan haknya (rechtsverwerking).
Dalam putusan tersebut di atas berkaitan dengan sikap seseorang
(penggugat) yang mendiamkan tanah yang dia anggap miliknya dalam jangka
waktu yang lama (25 tahun), atas sikap diam tersebut sudah cukup untuk
menentukan bahwa dia melepaskan haknya.
2) Putusan Mahkamah Agung tanggal 1 Agustus 1956 Nomor 34 K/Sip/1956.
Pembeli tanah dengan itikad baik harus dilindungi, pembelian dilakukan secara
33

Boedi Harsono. 2008. Ibid.hlm 67.


Muchtar Wahid (2008). Ibid.hlm 96.
35
Satjipto Rahardjo, 1984. Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis. Sinar Baru,
Bandung.hlm 24.
34

15

terang di muka yang berwajib, sedang dalam perkara ini memang benar sulit
untuk mengetahui siapa pemilik tanah yang sebenarnya, karena pemilik ini
sudah menguasai tanahnya sejak tahun 1932, sedangkan tanah tersebut sebelum
dibeli oleh pembeli tersebut telah diperjual-belikan oleh orang lain dari
pemiliknya.
Unsur itikad baik dipakai sebagai dasar melindungi tindakan
seseorang membeli tanah. Itikad baik tersebut nampak dalam pelaksanaan jual
beli tanah yang dilakukan secara terang dihadapan pejabat.
3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 329 K/Sip/1957. Bahwa berdasarkan
kelaziman dalam adat yang berlaku di wilayah Padang Lawas, sawah yang
ditinggalkan 5 tahun berturut-turut dianggap kembali menjadi tanah kosong,
sehingga penguasaannya oleh orang lain sesudah berlangsungnya masa 5 tahun
adalah sah, jika tanah itu diperoleh dari yang berhak memberikannya.
4) Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 Nomor 210/K/Sip/1955.
Kasus ini terjadi di Kabupaten Pangdeglang, Jawa Barat. Gugatan dinyatakan
tidak diterima, oleh karena para penggugat dengan mendiamkan soalnya
sampai 25 tahun, harus dianggap menghilangkan haknya (rechtsverwerking).
Mahkamah Agung berpendapat, bahwa pembeli sawah kini patut dilindungi,
oleh karena dapat dianggap, bahwa ia adalah beritikad baik dalam membeli
sawah itu dari seseorang ahli waris dari almarhum pemilik sawah.36
5) Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 27 Mei 1958 Nomor
132/1953.Pdt. Kasus terjadi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Pelepasan hak
(rechtsverwerking) penggugat dianggap melepaskan haknya atas dua bidang
tanah, oleh karena selama 20 tahun membiarkan sawah sengketa digarap orang
lain.
6) Putusan

Mahkamah

Agung

tanggal

24

September

1958

Nomor

239/K/Sip/1957. Kasus terjadi di Tapanuli Selatan, bahwa walaupun si


penggugat asli yang masih dibawah umur, adalah yang berhak atas sawah itu,
tapi ibunya yang berkewajiban sebagai wali untuk memelihara hak si
penggugat asli sampai ia menjadi dewasa, dan dalam perkara ini tampak
kelalaian ibu penggugat asli dengan tidak bertindak sama sekali sehingga tanah
tersebut dapat dikuasai oleh tergugat asli selama lebih kurang 18 tahun, dan
36

Soebekti Tamara, Kumpulan Putusan Mahkamah Agung Mengenai Hukum Adat, (Jakarta: Gunung
Agung, 1961), hal. 31.

16

karena

kelalaian

itu

atas

dasar

penganggapan

melepaskan

hak

(rechtsverwerking) penggugat asli dianggap telah melepaskan hak atas tanah


sengketa. 37
7) Putusan Mahkamah Agung tanggal 7 Maret 1959 Nomor 70/K/Sip/1959. Kasus
terjadi di Kotapraja, Malang, dengan Ketua Majelis Wirjono Prodjodikoro.
Suatu tangkisan kadaluwarsa dalam perkara perdata tentang tanah, ditolak
dengan alasan, bahwa penggugat telah berulang kali minta dari tergugat, untuk
menyerahkan tanah itu pada penggugat, hal mana berarti bahwa kadaluwarsa
itu telah tertahan.

b. Putusan Mahkamah Agung Setelah diundangkan UUPA


1) Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Maret 1975 Nomor 1192 K/Sip/1973.
Kasus terjadi di Padang Sidempuan, bahwa menurut peraturan adat setempat hak
seseorang atas tanah usahanya menjadi gugur apabila ia cukup lama belum/tidak
mengerjakan lagi tanahnya, kemudian ia diberi teguran oleh Kepala
Persekutuan/ Kampung untuk mengerjakannya tetapi teguran itu dihiraukan,
dalam hal ini bolehlah tanah tersebut oleh Kepala Persekutuan Kampung
diberikan kepada orang lain yang memerlukannya.38
2) Putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Januari 1976 Nomor 783 K/Sip/1973.
Bahwa penggugat terbanding telah menduduki tanah tersebut secara terusmenerus selama 27 tahun tanpa digugat. Bahwa benar hukum adat yang berlaku
bagi kedua belah pihak tidak mengenal lembaga verjaring tetapi hukum adat
mengenal lembaga pengaruh lampau waktu. Bahwa seandainya memang
penggugat terbanding tidak berhak atas tanah tersebut, kenyataan bahwa tergugat
sampai sekian lama menunggu untuk menuntut pengembalian tanah tersebut
minimbulkan anggapan hukum bahwa mereka telah melepaskan hak mereka
(rechtsverwerking). Bahwa Penggugat terbanding yang telah menduduki tanah
tersebut untuk waktu yang lama tanpa gangguan dan bertindak sebagai pemilik
yang jujur harus dilindungi oleh hukum.
3) Putusan Mahkamah Agung tanggal 21 Januari 1974 Nomor 659 K/Sip/1973.
Hilangnya hak karena daluwarsa. Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang
37
38

Ibid.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Hukum Adat Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia, (on line), (www.kennywiston.com/hukum adat htm.), diakses 11 Mei 2014, hal 31.

17

dibenarkan Mahkamah Agung, bahwa sekalipun penghibahan tanah-tanah


sengketa oleh tergugat satu adalah tanpa ijin penggugat, namun karena ia
membiarkan tanahnya dalam keadaan tersebut sekian lama, yakni mulai 23
Oktober 1962 samapai gugatan diajukan yakni 18 Juni 1971, sikap Penggugat
harus dianggap membenarkan keadaan tersebut, mengingat bahwa tergugat satu
selaku isteri penggugat berhak pula atas bagian dari gono-gini, maka
penghibahan tersebut dan juga penjualan tanah itu dari tergugat dua kepada
tergugat tiga karena telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku,
yakni UUPA jo PP nomor 10 tahun 1961 adalah sah.
4) Putusan Mahkamah Agung tanggal 9 Desember 1975 Nomor 408 K/Sip/1973.
Hilangnya hak karena daluwarsa. Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang
dibenarkan Mahkamah Agung. Karena para penggugat-terbanding telah selama
30 tahun lebih membiarkan tanah-tanah sengketa dikuasai oleh almarhum
nyonya Ratiem dan kemudian oleh anak-anaknya, hak mereka sebagai ahli waris
yang lain dari almarhum Atma untuk menuntut tanah tersebut telah sangat lewat
waktu (rechtverwerking).

c. Putusan Mahkamah Agung setelah adanya PP No. 24 Tahun 1997 tentang


Pendaftaran tanah, yang secara eksplisit menyebutkan penggunaan lembaga
rechtsverwerking.Putusan Mahkamah Agung No. 2561 K/Pdt/2006:
A. Konsistensi Putusan-Putusan Pengadilan dan Mahkamah Agung dalam Perkara
Perdata Tanah Khususnya dalam Perolehan Hak Atas Tanah.
1. Pengadilan Yang Telah Memutuskan Perkara
Pengadilan

Negeri

Purbalingga

No.

11/Pdt.G/2005/PN.PBG.

tanggal

dengan

Nomor

8September 2005.
Pengadilan

Tinggi

Semarang

putusan

75/PDT/2006/PT.SMG.tanggal 18 Mei 2006;


Mahkamah Agung dengan Putusan No. 2561 K/Pdt/2006, Selasa tanggal 4 Maret
2008.

2. Posisi Kasus
NY. SOESI HARJANTINI, bertempat tinggal di PerumahanSaung Gintung Blok
E.12 No. 43 Pisangan Barat Rt.002/Rw.05Cireundeu, Ciputat, Tangerang 15419,
Pemohon Kasasi dahuluPenggugat/Pembanding ;
18

melawan:
MULIA HARSONO alias HARSONO KARTOSOEPONO, BSc,bertempat
tinggal di di Jalan Jenderal Sudirman No. 126Rt.02/Rw.04 Purbalingga Kidul,
Kecamatan Purbalingga,Kabupaten Purbalingga, Termohon Kasasi dahulu
Tergugat/Terbanding ;
dan:
BADAN PERTANAHAN KABUPATEN PURBALINGGA, TurutTermohon
Kasasi dahulu Turut Tergugat/Turut Terbanding ;
Pada tanggal 01 Oktober 1973 Penggugat mengirim uang sebesar Rp.200.000,(dua ratus ribu rupiah) melalui Bank Dagang Negara Cabang Palembang
yangditujukan kepada Tergugat (Bukti P-1) ;
Bahwa sehubungan dengan pengiriman uang tersebut, orang tuaPenggugat telah
mengirim surat kepada Penggugat yang menyatakan, bahwauang sebesar Rp.
200.000,- (dua ratus ribu rupiah) telah diterima dan telahdibayarkan untuk
pembelian sebidang tanah di Desa Mewek Purbalingga seluas4770 M2, namun
karena Penggugat selaku Pembeli berdomisili dan berada diPalembang, maka
untuk sementara waktu dokumen transaksi jual beli (AktaJual Beli) tanahnya
dibuat atas nama Tergugat (adik kandung Penggugat) danpada saatnya nanti bisa
diatur pemindahan haknya kepada Penggugat ;
Bahwa pada tanggal 15 Agustus 1974, pada waktu suami Penggugatsekeluarga
mengambil cuti tahunan, menyempatkan diri untuk berkunjungkepada orang tua
di Purbalingga dan pada kesempatan itu orang tua Penggugatbersama-sama
dengan tergugat menunjukkan lokasi tanah di Desa Mewek yangtelah dibeli
dengan uang yang dikirim sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus riburupiah) tersebut,
yang diatasnya telah didirikan sebuah bangunan Rice Mill,pindahan dari
bangunan Rice Mill di Jalan Jenderal Sudirman No. 126Purbalingga milik orang
tua Penggugat.
Bahwa pada saat ini orang tua Penggugat yang juga adalah orang tuaTergugat
telah meninggal dunia, sedangkan tanah milik Penggugat tersebutbelum
diselesaikan

balik

namanya

dari

atas

nama

Tergugat

menjadi

atas

namaPenggugat, karenanya Penggugat bermaksud untuk menyelesaikan


haltersebut, akan tetapi Tergugat tidak mau segera melaksanakan dengan
alasanalasannyayang tidak dapat diterima oleh Tergugat ;
Bahwa ternyata :
19

Setelah Penggugat bersama suami mengurus mengenai hak atassebidang tanah


yang dibuat atas nama Tergugat tersebut, tergugat denganpenuh kesadaran dan
keinsyafannya menyerahkan hak tanah tersebut kepadaPenggugat dengan cara
memberikan Surat Pernyataan tertanggal 13 Mei2004, bahwa Tergugat
mengaku/menyatakan sebidang tanah bersertifikat HakMilik No. 660 tertanggal
20 Juni 2003 tersebut adalah benar Hak MilikPenggugat (Bukti P-3), akan tetapi
tanpa sepengetahuan Penggugat, padatanggal 14 Mei 2004 Tergugat ada
mencatatkan (Gevaarmerkt) SuratPernyataannya tertanggal 05 Mei 2004 kepada
Tajudin Nasution, SH. Notaris diPurbalingga (Bukti P-4) dan hingga sekarang
Tergugat tidak mau menyerahkansebidang tanah tersebut kepada Penggugat
dihadapan Pejabat Pembuat AktaTanah (PPAT) setempat, karenanya Tergugat
telah melakukan perbuatanmelawan hukum terhadap Penggugat.
bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas Penggugat mohon kepadaPengadilan
Negeri Purbalingga supaya memberikan putusansebagai berikut :
1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2) Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap
Penggugat ;
3) Menyatakan hukumnya bahwa Sertifikat Tanah Hak Milik Nomor 660 tertanggal
20 Juni 2003 seluas 2.787 M atas nama Harsono Kartosoepono, Bachelor of
Science batal demi hukum;
4) Menyatakan hukumnya bahwa Penggugat adalah pemilik yang sah atas tanah
Hak Milik Sertifikat Nomor 660 tertanggal 20 Juni 2003 seluas 2.787 M yang
terletak di Desa Mewek, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga, dengan
batas-batas sebagai berikut : Sebelah Utara : tanah milik Sukyatno. Sebelah
Timur : parit selanjutnya jalan raya Purbalingga Toyareka. Sebelah Selatan :
parit selanjutnya tanah milik Yasroni, Yatminah, Partini dan Sanbari ; Sebelah
Barat : parit selanjutnya tanah milik Kartameja dan Yatinah.
5) Menyatakan sah dan berharga penyitaan jaminan yang telah diletakkan atas
sebidang tanah tersebut;
6) Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian materiil kepada Penggugat
sebesar uang ganti kerugian akibat pelebaran jalan ditambah bunga pertahun
15% selama 2 tahun sehingga berjumlah Rp 2.475.000,- + Bunga (15% x Rp.
2.475.000,- x 2 tahun) Rp. 742.500,- = Rp. 3.217.500,- (tiga juta dua ratus tujuh
belas ribu lima ratus rupiah) ;
20

7) Menghukum Tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari padanya untuk
menyerahkan sebidang tanah Sertifikat Hak Milik No. 660 tertanggal 20 Juni
2003 seluas 2.787 M tersebut kepada Penggugat dalam keadaan baik dan
kosong dari segala beban, barang dan orang secara sukarela bilamana perlu
dengan bantuan alat Negara (Polisi) ;
8) Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada
Penggugat atas kelalaiannya melaksanakan isi Putusan tersebut, sebesar Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah) sehari, terhitung sejak Putusan ini mempunyai
kekuatan hukum tetap sampai dengan Tergugat melaksanakan seluruh isi
Putusan ini;
9) Menghukum Turut Tergugat untuk tunduk kepada Putusan ini ;
10)

Menghukum Tergugat untuk membayar seluruh biaya yang timbul karena

perkara ini ;
11)

Menyatakan Putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan secara serta merta

(Uitvoerbaar bij Voorraad), walaupun ada Banding, Kasasi ataupun Verzet ;

3. Pertimbangan dan Putusan Hakim


a. Pengadilan Negeri Purbalingga
pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri yang menolak gugatan
Penggugat Konpensi seluruhnya;
tergugat berhak atas tanah sengketa dengan diterapkannya lembaga Acquisitive
Verjaring.
Pengadilan Negeri Purbalinggaputusan No. 11/Pdt.G/2005/PN.PBG. tanggal 8
September 2005 yang amarnya sebagai berikut :
Dalam Konvensi :Dalam Eksepsi :- Menolak eksepsi Tergugat ;
Dalam Pokok Perkara : Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;
Dalam

Rekonvensi

:Dalam

Eksepsi

:-

Menolak

eksepsi

Tergugat

Rekonvensi/Penggugat Konvensi ;
Dalam Pokok Perkara :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi untuk
sebagian ;
2. Menyatakan tanah sengketa tersebut pada Sertifikat Hak Milik Nomor 660,
tanggal 20 Juni 2003, seluas 2.787 M atas nama Harsono Kartosupono,

21

Bachelors of Science, yang terletak di Desa Mewek, Kecamatan Kalimanah,


Kabupaten Purbalingga, dengan batas-batas : Sebelah Utara : Tanah milik
Sukyatno ; Sebelah Timur : Parit, selanjutnya Jalan Raya Purbalingga-Toyareka
Sebelah Selatan : Parit, selanjutnya tanah milik Yasroni, Yatminah, Partini dan
Sanbari ; Sebelah Barat : Parit, selanjutnya tanah milik Kartameja dan Yatimah ;
adalah tanah milik Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi yang sah ;
3. Menyatakan bahwa penguasaan Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi atas
tanah sengketa adalah sah dan harus dilindungi ;
4. Menyatakan bahwa Sertifikat Hak Milik Nomor 660, Surat Ukur 223/MW/2003
tertanggal 20 Juni 2003, atas nama Harsono Kartosupono (Penggugat
Rekonvensi/Tergugat Konvensi) atas tanah sengketa adalah sah.
Dalam Konvensi dan Rekonvensi :
- Menghukum Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayarsemua
biaya perkara sebesar Rp. 90.000,- (sembilan puluh ribu rupiah) ;

b. Pertimbangan dan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang.


Ada beberapa pertimbangan Pengadilan Tinggi di Semarang diantaranya adalah:
bahwa alasan-alasan pertimbangan-pertimbangan hukum putusan Pengadilan
Negeri yang menolak gugatan Penggugat Konpensi seluruhnya adalah sudah
tepat dan benar sesuai hukum dan keadilan, oleh karena itu dapat disetujui dan
diambil alih oleh Pengadilan Tinggi sebagai pendapatnya sendiri.
Akan tetapi disisi/bagian lain mempertimbangkan :
bahwa namun demikian Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan penerapan
lembaga

Acquisitive

Verjaring

seperti

telah

dipertimbangkan

oleh

Pengadilan Negeri dengan alasan dan pertimbangan dibawah ini :


bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, ditentukan bahwa Hukum Tanah
Nasional Indonesia mempergunakan Hukum Adat ;
bahwa menurut Hukum Adat mengenai tanah tidak mengenal lembaga
Acquisitive Verjaring atau daluarsa atau lampau waktu yang bersumber pada
BW/KUHPerdata, oleh karena itu penerapan lembaga tersebut dalam perkara ini
adalah keliru dan tidak benar;

22

bahwa dalam perkara ini menurut pendapat Pengadilan Tinggi yang tepat adalah
diterapkan lembaga Rechtsverwerking atau pelepasan hak, yang bersumber
pada hukum Yurisprudensi, yang terutama didasarkan pada sikap seorang
darimana disimpulkan bahwa ia tidak hendak mempergunakan lagi sesuatu hak,
lain daripada daluwarsa atau lampau waktu (Verjaring) : yang sematamata didasarkan pada waktu saja ;
Adapun Putusan Pengadilan Tinggi Semarang sebagai berikut: dalam tingkat
banding atas permohonan Penggugat/Pembanding putusan Pengadilan Negeri
tersebut telah diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Semarang dengan putusan
Nomor 75/PDT/2006/PT.SMG. tanggal 18 Mei 2006 yang amarnya sebagai
berikut :
Menerima

permohonan

banding

dari

Penggugat

Konpensi/Tergugat

Rekonvensi/Pembanding tersebut; Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri


Purbalingga tanggal 08 September 2005 Nomor : 11/Pdt.G/2005/PN.Pbg.
DALAM POKOK PERKARA :
1) Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi untuk
sebagian.
2) Menyatakan tanah sengketa tersebut pada Sertifikat Hak Milik Nomor : 660
tanggal 20 Juni 2003, seluas 2.787 M atas nama Harsono Kartosupono,
Bachelors of Science, yang terletak di Desa Mewek, Kecamatan Kalimanah,
Kabupaten Purbalingga, dengan batas-batas :Sebelah : Tanah milik Sukyatno;
Sebelah Timur : Parit, selanjutnya Jalan Raya Purbalingga-Toyareka; Sebelah
Selatan : Parit, selanjutnya tanah milik Yasroni, Yatminah, Partini dan Sanbari;
Sebelah Barat : Parit, selanjutnya tanah milik Kartameja dan Yatimah ;adalah
tanah milik Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi yang sah ;
3) Menyatakan bahwa penguasaan Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi atas
tanah sengketa adalah sah dan harus dilindungi hukum ;
4) Menyatakan bahwa Sertifikat Hak Milik Nomor 660, Surat Ukur 223/MW/2003,
tertanggal 20 Juni 2003, atas nama Harsono Kartosupono (Penggugat
Rekonpensi/Tergugat Konpensi) atas tanah sengketa adalah sah ;
5) Menolak gugatan Rekonpensi/Tergugat Konpensi untuk selebihnya ;
c. Mahkamah Agung (Kasasi)
Adapun pertimbangan yang dikemukakan disini adalah :

23

1) Bahwa mendasari bukti-bukti yang diajukan oleh Tergugat dimana secara de


jure maupun de facto Tergugat telah mempunyai kekuatan hukum untuk
dikatakan/disebut sebagai pemilik obyek sengketa ;
2) Bahwa Tergugat telah mempunyai alas hak yang kuat dan terpenuh terhadap
obyek sengketa dengan telah dimilikinya Sertifikat Hak Milik No. 660 tanggal
20 Juni 2003 atas nama Tergugat Harsono Martosupono, selain itu juga Tergugat
telah menguasai obyek sengketa sejak tahun 1973 sampai dengan sekarang, telah
memakan waktu selama 30 tahun ;
3) Bahwa perolehan kepemilikan semacam ini telah memenuhi syarat-syarat
Acquisitive Verjaring (pertimbangan Pengadilan Negeri halaman 39), dan harus
dilindungi ;
4) Bahwa gugatan Rekonpensi dipertimbangkan dengan tepat dan benar oleh Judex
Factie ;
5) Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata bahwa
putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau
undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi :
NY. SOESI HARJANTINI tersebut harus ditolak.
Adapun putusan Mahkamah Agung sebagai berikut:
1) Menolak

permohonan

Kasasi

dari

Pemohon

Kasasi

NY.

SOESI

HARJANTINItersebut ;
2) Menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat kasasi ini sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) ;
7. Penutup
Konsep lembagaRechtsverwerking telah diadopsidari Hukum Adat dan
dijadikan norma dalam hukum positif khususnyadalam Pendaftaran Tanah di
Indonesia.Ditetapkannya norma hukum dalam Pasal 32 (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sehingga sertipikat hak atas
tanah dapat memperoleh kedudukan yang kuat dan bagi pihak yang berkentingan
dapat menggunakan sebagai dasar yang aman dalam melakukan perbuatan hukum.
Dalam Putusan Hakim yang menangani sengketa penguasaan pemilikan
tanah hendaknya juga mempertimbangkan dan memutuskan perkaranya dengan
lembaga/norma rechtsverwerking. Dengan demikian jaminan kepastian hukum
dalam penguasaan/pemilikan tanah bisa diakses masyarakat secara adil.
Selanjutnya dengan pengadopsian lembaga tersebut dalam perundangan yang lebih
24

tinggi tingkatannya diharapkan dapat mengatasi kelemahan sistem publikasi


pendaftaran yang dianut oleh PP No. 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah.

25

Daftar Pustaka
Bagir Manan. 2002. Asas Rechtsverwerking, Sambutan pada Seminar Nasional Pendaftaran
Tanah, UniversitasTrisakti Jakarta.
Badan Pertanahan Nasional, Direktorat Hukum Pertanahan, 2005. Himpunan Peraturan
Bidang Pendaftaran Tanah, Pasal 32 (2) PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Boedi Harsono, 1997.Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional. Penerbit
Jembatan.
............,1996. Hukum Agraria Indonesia. Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah.
Djambatan. Jakarta.
Irawan Soerodjo, 2002. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia. Arkola, Surabaya,
Nurhasan Ismail, 2007 Rechtsverwerking dan Pengadopsiannya Dalam Hukum Tanah
Nasional. Mimbar Hukum Volume 19 Nomor 2 Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Juni 2007.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Hukum Adat Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia, (on line), (www.kennywiston.com/hukum adat htm.), diakses 11
Mei 2014.
Mahkamah Kostitusi, 2013. Putusan Sidang No. 10 PHPU.D - 2013.
Mochtar Wahid. 2008. Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah. Republika.
Jakarta
N.E. Algra, et.al, 1983. Kamus Istilah Hukum Fockemen Andrea Belanda Indonesia.
Bandung. Binacipta.
R. Ardiwilaga.1962, Hukum Agraria Indoensia: Dalam Teori dan Praktek. NV. Masa Baru
Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 1984. Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis. Sinar
Baru, Bandung.
Soebekti Tamara, Kumpulan Putusan Mahkamah Agung Mengenai Hukum Adat, (Jakarta:
Gunung Agung, 1961),
Soesangobeng, Herman. 2002. Materi Perkuliahan Hukum Agraria (Lanjutan). Jakarta:
STIH IBLAM, Kelas BPHN.
Subekti, R. 1991. Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprodensi Mahkamah Agung, Alumni,
Bandung.

26

Anda mungkin juga menyukai