1. Pendahuluan
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menyatakan , Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan inilah yang kemudian
menjadi landasan filosofi bagi pemerintah dalam mengelola sumber daya alam dan
mengatur penguasaan hak-hak atas tanah, yang kemudian dituangkan dalam UndangUndang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agrarai
(selanjutnya disebut UUPA). Dalam penjelasan UUPA dinyatakan:2Di dalam Negara
Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya,
terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun
masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan.
Hukum Agraria Nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya
fungsi bumi, air dan ruang sangkasa sebagai yang dimaksudkan di atas dan harus
sesuai pula dengan kepentingan rakyat Indonesia dan negara serta memenuhi
keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria. Lain dari itu
hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan daripada azas kerohanian
Negara dan cita-cita Bangsa yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan,
Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan
pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar. Lebih lanjut
dalam penjelasan UUPA yang menyebutkan asas-asas pembangunan hukum agraria:
Dasar yang keempat diletakkan dalam pasal 6, yaitu bahwa : Semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun
yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan
dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada
haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.
1
2
Makalah Disampaikan dalam acara Diskusi Bulanan PPPM-STPN Yogyakarta, tanggal 22 Oktober 2014.
Boedi Harsono, 1996. Hukum Agraria Indonesia. Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah.
Djambatan. Jakarta.
Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya
bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya
serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja
dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan,
melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi
yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu (pasal 15). Dalam
melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan fihak yang
ekonomi lemah.
Dalam kenyataannya terjadi kemungkinan pemilik tanah membiarkan tanah
seolah-olah tidak mempedulikan atau membutuhkan lagi tanah yang telah
dimiliknya, sehingga datang seseorang yang memerlukan tanah untuk mengusai,
menggarap atau membangunan rumah sebagaimana seorang pemiliknya. Maka
terjadilah penerlantaran tanah oleh pemilik tanah disatu sisi dan dilain pihak ada
orang yang mengusain dan memanfaatkan tanah tersebut.
Rechtsverwerking adalah suatu prinsip/asas dalam Hukum Agraria yang
menyatakan bahwa seorang pemilik tanah yang meninggalkan tanahnya terlantar
dalam waktu tertentu dan membiarkan orang lain menduduki dan mengambil
manfaat akan menyebabkan pemilik semula hak atas tanahnya. 3Dalam hukum adat
dikenal ketentuan mengenai lahir, menguat dan hilangnya hak atas yang dimiliki
seseorang dikenal dengan istilah rechtsverwerkingyang berlaku dalam masyarakat
hukum adat.
walaupun ketentuan
tersebut tidak tertulis namun hidup dalam masyarakat hukum adat. Dalam
perkembangan kemudian ketentuan dimaksud diadopsi oleh UUPA (Pasal 27,34
dan 40) dengan menegaskan bahwa hapusnya hak atas tanah dapat terjadi karena
ditelantarkan. Ketentuan hukum tadi merupakan ketentuan hukum adat (bukan
menciptakan hukum baru), yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian
3
dari hukum tanah nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud konkrit
dalam penerapan ketentuan UUPA terutama mengenai penelantaran tanah. UUPA
berusaha mengadakan dasar-dasar untuk mencapai kepastian hukum, sebagaimana
penjelasan umum:5
Usaha yang menuju ke arah kepastian hak atas tanah ternyata dari
ketentuan dari pasal-pasalyang mengatur pendaftaran tanah.Pasal 23, 32
dan 38 ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan,
denganmaksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu.
Sedangkan pasal 19ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi,
agar di seluruh wilayah Indonesiadiadakan pendaftaran tanah yang
bersifat rechts-kadaster, artinya yang bertujuanmenjamin kepastian
hukum.
Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan Kepastian hukum maka
pendaftaran itudiwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan,
dengan maksud agar merekamemperoleh kepastian tentang haknya itu
sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintahsebagai suatu instruksi;
agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah
yangbersifat rechtskadaster artinya yang bertujuan menjamin
kepastian hukum.
Pasal 32 ayat (2) PP No 24 tahun 1997 merupakan penerapan dari lembaga
hukum adat, yang dikenal dengan nama rechtsverwerking yaitu lampaunya waktu
sebagai sebab kehilangan hak atas tanah, kalau tanah yang bersangkutan selama
jangka waktu yang lama tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai
pihak lain melalui perolehan hak dengan itikad baik.6
Sertifikat yang dikeluarkan merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan
data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Ini berarti
sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang
tercantum didalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam
melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkaran di Pengadilan.
Sebagai kelanjutan dari pemberian perlindungan hukum kepada pemegang
sertifikat dinyatakan dalam Ketentuan Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997 dalam Ayat
5
6
1: Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya.
Ayat 2: Dalam hal sudah diterbitkan sertifikat secara sah , maka pihak
lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut
pelaksanaan hak tersebut apabila dalam jangka waktu 5 tahun sejak diterbitkan
sertifikat itu tidak mengajukan keberatan
Tulisan ini akan membahas keberadaan lembaga rechtsverwerking dalam
hukum tanah nasional di Indonesia. Dengan melihat pandangan para akademisi atau
birokrasi, disamping melihat dari peraturan perundangan maupun dalam putusan
hakim baik sebelum dan sesudah adanya UUPA, PP No. 10 /1961 tentang
Pendaftaran Tanah maupun setelah adanya PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
karena lewatnya waktu tetapi karena sikap atau tindakan seseorang yang
menunjukkan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak.
Dalam Hukum Harta Kekayaan Romawi kuno, dikenal istilah usucapio dan
prescriptio, kemudian digabungkan menjadi acquistive prescription dalam hukum
perdata modern (cicvil law). Dalam sistems Common law kemudian mengadopsi
prescripsi dari civil law, dengan membangun lembaga yang sepadan dengan nama
adverse possession Apabila dibandingkan secara analogi secara terbatas lembaga
tersebut bisa juga ditemui dalam tradisi hukum kitab suci seperti chazaka dalam
Talmud dan moulkya dalam Hukum Islam.
Acqusitive prescription dan adverse possession (keduanya disingkat AP),
mempunyai maksud utama untuk mempromosikan stabilitas dan kepastian dalam
penguasaa/pemilikan tanah (landholdings). Scholars dari Perancis, Terre dan Simler,
menggambarkan lembaga tersebut sebagai one of masterpieces of our system of
justuce.7 Di Amerika lembaga AP mendapat perhatian yang lebih besar dalam
diskursus hukum, sebagai cara mempromosikan penggunaan sumber daya alam yang
langka secara lebih efisien dengan mendorong pemiliknya untuk mengontrol
penggunaan tanahnya, dan secara periodik membuat status kempemilikannya
diketahui.8
Untuk mengklaim sebidang tanah (real property), seseorang haruslah
membuktikan bahwa dia telah bertindak sebagai pemilik secara terbuka dan dalam
jangka waktu tertentu yang dipersyaratkan. Perolehan hak dengan AP sangat
tergantung
dengan
mengembangkan
fakta
penguasaan,
masing-masing
yurisdiksi
telah
faktor-faktor yang relevan. Dalam civil law bekerja dengan dua bagian persyaratan
yaitu penguasaan nyata dan animus domini. Sedangkan dalam commmom law
peradilan secara umum memilih menerapkan dua, tiga atau lima paradigma.9
Dalam hukum Belanda, Hoge Raad, mengakui adanya kemungkinan
timbulnya suatu keadaan dimana satu pihak (dalam perjanjian) kehilangan miliknya
Michael H. Lubetsky. Adding Epicylces:The Inconsistent Use Test in Adverse Possession Law. Hlm 4
Loc.cit.
9
Ibid hlm 5.
8
menurut
Algra
sebagaimana
dikutip
oleh
Irawan
sesuatu
hilang. 15
menjadi
Sedangkan
menurut
R.
10
Herman
istilahRechtsverwerking
Soesangobeng17mengemukakan
menganai
dengan Verjaring yang berkembang dalam wacana para ahli hukum dan bukan
lembaga
hukum. Menurut
Soesangobeng18
hukum
adat
tidak mengenal
17
Soesangobeng. 2002.Materi Perkuliahan Hukum Agraria (Lanjutan). Jakarta: STIH IBLAM, Kelas
BPHN. Hlm 2
18
Soesngobeng. Ibid.hlm 14
19
Mochtar Wahid. 2008.Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah. Republika. Jakarta.
Membandingkan dengan lembaga adverse possession (khususnya in good faith) atau verjaring, adalah
lampaunya waktu yang menyebabkan orang lain menjadi mempunyai hak atas tanah yang semula
dimiliki orang lain, maka lembaga ini digunakan unntuk memperoleh pendaftarannya dalamdaftar
umum.
20
Ibid. Hlm. 94.
semula dimiliki oleh orang lain, dengan tujuan untuk memperoleh pendaftarannya
dalam daftar umum.
fungsi
rechtverwerking
penguatan
pendaftaran
tanah
perolehan hak
atas tanah
hukum adat
yurispudensi
memelihara
dan
menggunakanatau
memanfaatkan
tanah,
maka
21
terpeliharanya
kondisi
tanah
yang
dikuasai
dan
digunakan
10
atau dalam hukum tanah nasional, tanah merupakan milik bersama bangsa
Indonesia. Kepemilikan secara perorangan juga diperbolehkan, diakui, yang akan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan diri dan keluarganya,
atau bahkan untuk modal dalam usaha perekonomian yang diusahakan, sebaliknya
tanah tidak boleh sekedar dimilki sesorang tetapi tidak digunakan, atau dibiarkan
tidak dimanfaatkan, bahkan diterlantarkan.
Penegasan kembali terhadap penerapan sistem publikasi negatif dalam
pendaftaran tanah dalam yang dianut PP No. 10 Tahun 1961 maupun PP No
24/1997
diikuti
dengan
penerapan
lembaga
rechtsverwerking
bertujuan
memperkuat kedudukan sertipikat sebagai alat bukti hak atas kepemilikan tanah.
Dinegara lain digunakan lembaga kedaluwarsa, misalnya Acquisitieveverjaring
Belanda ataupun adverse possession di Inggris dan beberapa negara lainnya.
Latar belakang penggunaan lembaga rechtsverwerkingyang diambil dari
hukum adat di Indonesialebih kepada realitas kebutuhan yang bersifat nyata dan
sifat saling membatasi (menguncup-mengembang) antara kekuasaan lembaga
persekutuan adat dengan hubungan penguasaandan penggunaan tanah oleh anggota
persekutuan.27Menurut
Bagir
Manan28,
tentang
penggunaan
asas
27
11
30
12
pasal 32 ayat (2) PP No. 24/1997, mensyaratkan beberapa hal yaitu: a) adanya
unsur itikad baik; b) penguasaan fisik secara nyata; c) adanya jangka waktu yang
terlewati; d) terhadap bidang tanah yang sudah ada haknya dan diterbitkan
sertipikatnya; e) orang yang merasa mempunyai hak tidak mengadakan aksi
menuntut haknya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh peraturan.
Sampai dengan saat ini Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang
seharusnya dapat menjadi jalan keluar bagi permasalahan di atas masih
mendapatkan banyak pro dan kontra. Mengingat keberadaan pasal ini tidak sesuai
dengan sistem publikasi negatif yang dianut oleh pendaftaran tanah di Indonesia,
dimana sertipikat bukanlah merupakan alat bukti yang mutlak melainkan sertipikat
merupakan alat bukti yang kuat.
Apabila suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikatnya secara sah atas
nama orang atau badan hukum (sebagai subyek hak atas tanah) yang memperoleh
tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasai tanah tersebut, maka
pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah tersebut tidak dapat lagi
menuntut haknya, apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya
sertipikat tersebut, tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang
sertipikat dan Kepada Kantor Pertanahan atau tidak mengajukan gugatan ke
pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat. Inilah yang
disebut sebagai rechtsverwerking.31
Ketentuan ini merupakan penyempurnaan dan penegasan terhadap sistem
publikasi negatif bertendensi positif dari pendaftaran tanah yang diatur UndangUndang Pokok Agraria (UUPA). Dalam pendaftaran tanah dengan sistem publikasi
negatif, negara tidak menjamin kebenaran data yang ada pada kantor pendaftaran,
sehingga orang yang tercantum namanya dalam sertipikat selalu dihadapkan pada
kemungkinan adanya gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai hak atas
bidang tanahnya. Tetapi dengan penentuan batas waktu ini, maka orang yang
tercantum namanya dalam sertipikat akan bebas dari kemungkinan adanya gugatan
setelah lewat waktu 5 (lima) tahun dan statusnya sebagai pemilik tanah akan terus
dilindungi sepanjang tanah itu diperoleh dengan itikad baik dan dikuasai secara
nyata oleh pemegang hak bersangkutan atau kuasanya.
31
Badan Pertanahan Nasional, 2005. Himpunan Peraturan Bidang Pendaftaran Tanah, Pasal 32 (2) PP No.
24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.
13
UUPA
14
keputusan
banyak
memilih
untuk
menggunakan
adanya
lembaga
rechtsverwerking
34
dan
bagaimana
tata
a. Putusan Mahkamah Agung sebelum adanya UUPA, antara lain sebagai berikut:
1) Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1956 Nomor 210/K/Sip/1055
dalam kasus di Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat. Gugatan dinyatakan tidak
dapat diterima oleh karena para Penggugat dengan mendiamkan soalnya
sampai 25 tahun harus dianggap menghilangkan haknya (rechtsverwerking).
Dalam putusan tersebut di atas berkaitan dengan sikap seseorang
(penggugat) yang mendiamkan tanah yang dia anggap miliknya dalam jangka
waktu yang lama (25 tahun), atas sikap diam tersebut sudah cukup untuk
menentukan bahwa dia melepaskan haknya.
2) Putusan Mahkamah Agung tanggal 1 Agustus 1956 Nomor 34 K/Sip/1956.
Pembeli tanah dengan itikad baik harus dilindungi, pembelian dilakukan secara
33
15
terang di muka yang berwajib, sedang dalam perkara ini memang benar sulit
untuk mengetahui siapa pemilik tanah yang sebenarnya, karena pemilik ini
sudah menguasai tanahnya sejak tahun 1932, sedangkan tanah tersebut sebelum
dibeli oleh pembeli tersebut telah diperjual-belikan oleh orang lain dari
pemiliknya.
Unsur itikad baik dipakai sebagai dasar melindungi tindakan
seseorang membeli tanah. Itikad baik tersebut nampak dalam pelaksanaan jual
beli tanah yang dilakukan secara terang dihadapan pejabat.
3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 329 K/Sip/1957. Bahwa berdasarkan
kelaziman dalam adat yang berlaku di wilayah Padang Lawas, sawah yang
ditinggalkan 5 tahun berturut-turut dianggap kembali menjadi tanah kosong,
sehingga penguasaannya oleh orang lain sesudah berlangsungnya masa 5 tahun
adalah sah, jika tanah itu diperoleh dari yang berhak memberikannya.
4) Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 Nomor 210/K/Sip/1955.
Kasus ini terjadi di Kabupaten Pangdeglang, Jawa Barat. Gugatan dinyatakan
tidak diterima, oleh karena para penggugat dengan mendiamkan soalnya
sampai 25 tahun, harus dianggap menghilangkan haknya (rechtsverwerking).
Mahkamah Agung berpendapat, bahwa pembeli sawah kini patut dilindungi,
oleh karena dapat dianggap, bahwa ia adalah beritikad baik dalam membeli
sawah itu dari seseorang ahli waris dari almarhum pemilik sawah.36
5) Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 27 Mei 1958 Nomor
132/1953.Pdt. Kasus terjadi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Pelepasan hak
(rechtsverwerking) penggugat dianggap melepaskan haknya atas dua bidang
tanah, oleh karena selama 20 tahun membiarkan sawah sengketa digarap orang
lain.
6) Putusan
Mahkamah
Agung
tanggal
24
September
1958
Nomor
Soebekti Tamara, Kumpulan Putusan Mahkamah Agung Mengenai Hukum Adat, (Jakarta: Gunung
Agung, 1961), hal. 31.
16
karena
kelalaian
itu
atas
dasar
penganggapan
melepaskan
hak
Ibid.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Hukum Adat Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia, (on line), (www.kennywiston.com/hukum adat htm.), diakses 11 Mei 2014, hal 31.
17
Negeri
Purbalingga
No.
11/Pdt.G/2005/PN.PBG.
tanggal
dengan
Nomor
8September 2005.
Pengadilan
Tinggi
Semarang
putusan
2. Posisi Kasus
NY. SOESI HARJANTINI, bertempat tinggal di PerumahanSaung Gintung Blok
E.12 No. 43 Pisangan Barat Rt.002/Rw.05Cireundeu, Ciputat, Tangerang 15419,
Pemohon Kasasi dahuluPenggugat/Pembanding ;
18
melawan:
MULIA HARSONO alias HARSONO KARTOSOEPONO, BSc,bertempat
tinggal di di Jalan Jenderal Sudirman No. 126Rt.02/Rw.04 Purbalingga Kidul,
Kecamatan Purbalingga,Kabupaten Purbalingga, Termohon Kasasi dahulu
Tergugat/Terbanding ;
dan:
BADAN PERTANAHAN KABUPATEN PURBALINGGA, TurutTermohon
Kasasi dahulu Turut Tergugat/Turut Terbanding ;
Pada tanggal 01 Oktober 1973 Penggugat mengirim uang sebesar Rp.200.000,(dua ratus ribu rupiah) melalui Bank Dagang Negara Cabang Palembang
yangditujukan kepada Tergugat (Bukti P-1) ;
Bahwa sehubungan dengan pengiriman uang tersebut, orang tuaPenggugat telah
mengirim surat kepada Penggugat yang menyatakan, bahwauang sebesar Rp.
200.000,- (dua ratus ribu rupiah) telah diterima dan telahdibayarkan untuk
pembelian sebidang tanah di Desa Mewek Purbalingga seluas4770 M2, namun
karena Penggugat selaku Pembeli berdomisili dan berada diPalembang, maka
untuk sementara waktu dokumen transaksi jual beli (AktaJual Beli) tanahnya
dibuat atas nama Tergugat (adik kandung Penggugat) danpada saatnya nanti bisa
diatur pemindahan haknya kepada Penggugat ;
Bahwa pada tanggal 15 Agustus 1974, pada waktu suami Penggugatsekeluarga
mengambil cuti tahunan, menyempatkan diri untuk berkunjungkepada orang tua
di Purbalingga dan pada kesempatan itu orang tua Penggugatbersama-sama
dengan tergugat menunjukkan lokasi tanah di Desa Mewek yangtelah dibeli
dengan uang yang dikirim sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus riburupiah) tersebut,
yang diatasnya telah didirikan sebuah bangunan Rice Mill,pindahan dari
bangunan Rice Mill di Jalan Jenderal Sudirman No. 126Purbalingga milik orang
tua Penggugat.
Bahwa pada saat ini orang tua Penggugat yang juga adalah orang tuaTergugat
telah meninggal dunia, sedangkan tanah milik Penggugat tersebutbelum
diselesaikan
balik
namanya
dari
atas
nama
Tergugat
menjadi
atas
7) Menghukum Tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari padanya untuk
menyerahkan sebidang tanah Sertifikat Hak Milik No. 660 tertanggal 20 Juni
2003 seluas 2.787 M tersebut kepada Penggugat dalam keadaan baik dan
kosong dari segala beban, barang dan orang secara sukarela bilamana perlu
dengan bantuan alat Negara (Polisi) ;
8) Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada
Penggugat atas kelalaiannya melaksanakan isi Putusan tersebut, sebesar Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah) sehari, terhitung sejak Putusan ini mempunyai
kekuatan hukum tetap sampai dengan Tergugat melaksanakan seluruh isi
Putusan ini;
9) Menghukum Turut Tergugat untuk tunduk kepada Putusan ini ;
10)
perkara ini ;
11)
Menyatakan Putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan secara serta merta
Rekonvensi
:Dalam
Eksepsi
:-
Menolak
eksepsi
Tergugat
Rekonvensi/Penggugat Konvensi ;
Dalam Pokok Perkara :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi untuk
sebagian ;
2. Menyatakan tanah sengketa tersebut pada Sertifikat Hak Milik Nomor 660,
tanggal 20 Juni 2003, seluas 2.787 M atas nama Harsono Kartosupono,
21
Acquisitive
Verjaring
seperti
telah
dipertimbangkan
oleh
22
bahwa dalam perkara ini menurut pendapat Pengadilan Tinggi yang tepat adalah
diterapkan lembaga Rechtsverwerking atau pelepasan hak, yang bersumber
pada hukum Yurisprudensi, yang terutama didasarkan pada sikap seorang
darimana disimpulkan bahwa ia tidak hendak mempergunakan lagi sesuatu hak,
lain daripada daluwarsa atau lampau waktu (Verjaring) : yang sematamata didasarkan pada waktu saja ;
Adapun Putusan Pengadilan Tinggi Semarang sebagai berikut: dalam tingkat
banding atas permohonan Penggugat/Pembanding putusan Pengadilan Negeri
tersebut telah diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Semarang dengan putusan
Nomor 75/PDT/2006/PT.SMG. tanggal 18 Mei 2006 yang amarnya sebagai
berikut :
Menerima
permohonan
banding
dari
Penggugat
Konpensi/Tergugat
23
permohonan
Kasasi
dari
Pemohon
Kasasi
NY.
SOESI
HARJANTINItersebut ;
2) Menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat kasasi ini sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) ;
7. Penutup
Konsep lembagaRechtsverwerking telah diadopsidari Hukum Adat dan
dijadikan norma dalam hukum positif khususnyadalam Pendaftaran Tanah di
Indonesia.Ditetapkannya norma hukum dalam Pasal 32 (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sehingga sertipikat hak atas
tanah dapat memperoleh kedudukan yang kuat dan bagi pihak yang berkentingan
dapat menggunakan sebagai dasar yang aman dalam melakukan perbuatan hukum.
Dalam Putusan Hakim yang menangani sengketa penguasaan pemilikan
tanah hendaknya juga mempertimbangkan dan memutuskan perkaranya dengan
lembaga/norma rechtsverwerking. Dengan demikian jaminan kepastian hukum
dalam penguasaan/pemilikan tanah bisa diakses masyarakat secara adil.
Selanjutnya dengan pengadopsian lembaga tersebut dalam perundangan yang lebih
24
25
Daftar Pustaka
Bagir Manan. 2002. Asas Rechtsverwerking, Sambutan pada Seminar Nasional Pendaftaran
Tanah, UniversitasTrisakti Jakarta.
Badan Pertanahan Nasional, Direktorat Hukum Pertanahan, 2005. Himpunan Peraturan
Bidang Pendaftaran Tanah, Pasal 32 (2) PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Boedi Harsono, 1997.Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional. Penerbit
Jembatan.
............,1996. Hukum Agraria Indonesia. Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah.
Djambatan. Jakarta.
Irawan Soerodjo, 2002. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia. Arkola, Surabaya,
Nurhasan Ismail, 2007 Rechtsverwerking dan Pengadopsiannya Dalam Hukum Tanah
Nasional. Mimbar Hukum Volume 19 Nomor 2 Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Juni 2007.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Hukum Adat Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia, (on line), (www.kennywiston.com/hukum adat htm.), diakses 11
Mei 2014.
Mahkamah Kostitusi, 2013. Putusan Sidang No. 10 PHPU.D - 2013.
Mochtar Wahid. 2008. Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah. Republika.
Jakarta
N.E. Algra, et.al, 1983. Kamus Istilah Hukum Fockemen Andrea Belanda Indonesia.
Bandung. Binacipta.
R. Ardiwilaga.1962, Hukum Agraria Indoensia: Dalam Teori dan Praktek. NV. Masa Baru
Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 1984. Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis. Sinar
Baru, Bandung.
Soebekti Tamara, Kumpulan Putusan Mahkamah Agung Mengenai Hukum Adat, (Jakarta:
Gunung Agung, 1961),
Soesangobeng, Herman. 2002. Materi Perkuliahan Hukum Agraria (Lanjutan). Jakarta:
STIH IBLAM, Kelas BPHN.
Subekti, R. 1991. Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprodensi Mahkamah Agung, Alumni,
Bandung.
26