Istilah “comparative law (Inggris)” – diterjemhakan dalam bahasa Indonesia secara tepat adalah
“hukum perbandingan” dan bukan “perbandingan hukum”. Istilah mana yang tepat digunakan
menurut bahasa Indonesia ?
Kalau dipergunakan istilah “hukum perbandingan” maka, akan menyesatkan karena istilah tersebut
seolah-olah memberikan gambaran tentang suatu bidang hukum tertentu yang berisi sekumpulan
norma seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, dsb. Sedangkan perbandingan
hukum tidak memiliki ciri demikian. Perbandingan Hukum, akan memberikan gambaran adanya
suatu kegiatan memperbandingkan antara sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain
atau antara lembaga/pranata hukum yang satu dengan lembaga/pranata hukum lain. Dengan
demikian, maka istilah yang lebih tepat digunakan adalah “Perbandingan Hukum” bukan “Hukum
Perbandingan”.
2
2. Pengertian Perbandingan Hukum Perdata
Istilah Perbandingan Hukum Perdata, terdiri dari tiga kata, yang dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a. Perbandingan yang dalam bahas Inggris disebut dengan “Comparition” atau dalam
bahasa Belanda disebut “Vergelijking” atau dalam bahasa Jerman disebut “Vergelik”,
berarti cara untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dari sesuatu yang
dibandingkan.
Pengertian Perbandingan Hukum atau Hukum Komparatif menurut beberapa sarjana :
1) Peter de Crus, mengemukakan bahwa : “Hukum komparatif dapat digunakan untuk
menggambarkan studi sistematik mengenai tradisi hukum dan peraturan hukum
tertentu yang berbasis komparatif. Untuk bisa dikatakan sebagai hukum komparatif
yang sesungguh, ia juga membutuhkan perbandingan dai dua atau lebih sistem
hukum, atau dua atau lebih tradisi hukum, atau aspek-aspek yang terseleksi, institusi
atau cabang-cabang dari dua atau lebih sistem hukum”.
2) Michael Bogdan, hukum komparatif adalah: “Membandingkan sistem hukum-sistem
hukum yang berbeda-beda dengan tujuan menegaskan persamaan dan perbedaan
masing-masing; bekerja dengan menggunakan persamaan dan perbedaan yang telah
ditegaskan itu, misalnya menjelaskan asalnya, mengevaluasi solusi-solusi yang
dipergunakan dalam sistem hukum yang berbeda, mengelompokkan sistem hukum
menjadi keluarga-keluarga hukum, atau mencari kesamaan inti dalam sistem hukum
tersebut; dan menguraikan masalah-masalah metodologis yang muncul berhubungan
dengan tugas-tugas ini, termasuk masalah-masalah metodologis yang terkait dengan
sistem hukum di luar negeri”.
3
b. Hukum yang dalam bahasa Inggris disebut dengan “Law” atau dalam
bahasa Belanda disebut dengan “Wet” atau dalam bahasa Jerman disebut
dengan “Gezets”, yaitu kaidah-kaidah atau norma-norma yang mengatur
prilaku manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga
dengan adanya kaidah atau norma itu, maka kehidupan ini menjadi
teratur, tentram, dan damai.
c. Perdata yang dalam bahasa Inggris disebut dengan “Civil” atau dalam
bahasa Belanda disebut dengan “Burgerlijk” atau dalam bahasa Jerman
disebut dengan “Zivil”, merupakan hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan individu atau perorangan yang satu dengan individu atau
perorangan yang lain.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan Perbandingan Hukum Perdata atau Comparition of Civil Law
System (Inggris), adalah merupakan suatu metode atau cara untuk
mengetahui perbedaan dan persamaan dari ketentuan-ketentuan hukum
perdata yang berlaku di dalam suatu negara atau antara sistem hukum
perdata antara negara yang satu dengan negara lainnya.
Beberapa istilah lain : Vergelijkend Burgerlijk Recht (Belanda), dan
Vergleichenden Zivil Recht (Jerman).
4
Dari pengertian di atas terdapat empat hal yang menjadi fokus dalam
Perbandingan Hukum Perdata, yaitu :1. Suatu Metode; 2. Adanya perbedaan dan
persamaanny; 3. Sistem hukum perdata; dan 4. Ruang lingkupnya kajian.
Metode, merupakan cara atau jalan (aturan, sistem) untuk melakukan sesuatu.
Perbedaan atau dalam bahasa Inggris disebut difference atau verschil (Belanda)
atau unterschied (Jerman), adalah hal-hal yang berlainan atau tidak sama antara
sistem atau lembaga hukum yang terdapat pada masing-masing keluarga hukum.
Sedangkan persamaan atau dalam istilah equality/equation (Inggris), atau
vergelijking (Belnda), gleichung (Jerman), merupakan hal-hal yang serupa, tidak
berbeda, atau tidak berlainan.
1. Main, dalam bukunya yang berjudul : “The History of Comparative Jurisprudence” mengatakan
bahwa tujuan hukum adalah membantu menyelusuri asal usul perkembangan dari pada konsepsi
hukum yang sama diseluruh dunia.
8
3. Fungsi Perbandingan Hukum (Perdata) bagi perencanaan hukum (legal planning)
Sebagai antisipatif ketelambatan hukum mengikuti dinamika kehidupan masyarakat.
Oleh perencana hukum seharusnya telah direncanakan dari awal tentang hukum.
9
6. Fungsi Perbandingan Hukum (Perdata) bagi praktisi dan pembinaan hukum
Memberikan manfaat yang besar bagi praktik khususnya dalam applied research dan
pembentukan hukum baru. Dirasakan pula oleh praktisi hukum seperti lembaga
legislatif para hakim, dan arbiter dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
a. Bagi Konsultan hukum dan Notaris dalam pembuatan kontrak-kontrak terutama
suatu kontrak yang bersifat internasional.
b. Bagi lembaga legislatif sangat bermanfaat dalam rangka penyusunan hukum.
c. Bagi para pengacara dan arbiter dalam pembelaan dan penyelesaian perkara.
10
D. MANFAAT PERBANDINGAN HUKUM (PERDATA)
Sudikno Mertokusumo, mengemukakan ada dua manfaat perbandingan hukum (perdata), yaitu
manfaat teoritis dan praktis.
12
SISTEM HUKUM
Prof. Subekti, SH :
Sistem hukum itu merupakan suatu susunan atau taatan yang teratur, suatu
keseluruhan yang terdiri dari atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama
lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan
untuk mencapai suatu tujuan.
15
ASAS-ASAS HUKUM
16
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa : “asas hukum bukan peraturan hukum. Namun,
tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di
dalamnya. Karena asas hukum ini memberi makna etis kepada peraturan-peraturan
hukum dan tata hukum. Beliau, selanjutnya mengibaratkan asas hukum sebagai
jantung peraturan hukum atas dasar 2 (dua) alasan :
1. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya sebuah peraturan
hukum. Ini berarti penerapan peraturan-peraturan hukum itu bisa dikembalikan
kepada asas hukum.
2. Asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai
jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan
pandangan etis masyarakatnya (1986:87).
Satjipto Rahardjo, menyatakan bahwa asas-asas hukum itu tak hanya sekadar
persyaratan adanya suatu sistem hukum, melainkan merupakan pengklasifikasian
sistem hukum yang mengandung suatu moralitas tertentu.
Sudikno Mertokusumo, menyatakan bahwa tidak semua asas yang tertuang dalam
peraturan atau pasal yang kongkrit. Alasannya, adanya rujukan pada asas Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali ( Tiada suatu peristiwa dipidana, kecuali
atas dasar peraturan perundang-undangan pidana yang mendahulukannya ), dan
asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
17
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa : “asas hukum tidak hanya mempengaruhi hukum
positif, namun dalam banyak hal tak menutup kemungkinan asas hukum itu dapat membentuk
sistem checks and balance. Dalam artian asas hukum itu sering menunjukkan pada kaidah
yang berlawanan. Hal itu menunjukkan adanya sifat saling mengendalikan dan membatasi,
yang akan menciptakan keseimbangan”.
Fuller menyatakan bahwa dengan merujuk pada asas-asas hukum (principles of legality)
digunakan dalam menilai ada tidaknya suatu sistem hukum, maka :
1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan yang dimaksud di sini adalah
bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc;
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan;
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu tidak
ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku;
membolehkan pengaturan yang berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang
ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang;
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti;
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama
lain;
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat
dilakukan;
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan, sehingga menyebabkan
orang akan kehilangan orientasi;
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.
18
Jadi Sistem Hukum Perdata :
“Adalah suatu susunan atau tatanan yang diatur, suatu keseluruhan terdiri atas
bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana
atau pola, hasil dari suatu pemikiran, untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Sistem hukum mencakup bagian-bagian yang dapat disebut sebagai subsistem.
Subsistem hukum lebih tepat disebut sebagai inter subsistem, karena hukum
mengatur bidang-bidang tertentu masing-masing subsistem lainnya.
Intersubsistem hukum mencakup bagian-bagian yang saling berkaitan secara
fungsional.
19
PERBANDINGAN KELUARGA HUKUM ROMAWI JERMANIA
(CIVIL LAW) DENGAN KELUARGA HUKUM INGGRIS (ANGLO
SAXON/COMMON LAW) DILIHAT DARI ASPEK STRUKTUR HUKUM,
KONSEPSI HUKUM DAN ASPEK SUMBER HUKUMNYA
21
1) Pendapat dipisah secara tajam/fundamental/prinsipil, diantara para sarjana,
seperti : Van Apeldoorn, Otto Mayer Oppenheim, Bierling dan Thon.
a) VAN APELDOORN, menyatakan bahwa : “Secara fundamental pemisahan
tersebut harus dilakukan berdasarkan sifat hubungan hukum, kepentingan
yang diatur didalamnya, maupun berdasarkan bagaimana cara
mempertahankan kepentingan hukum tersebut”.
b) OTTO MAYER, OPPENHEIM, menyatakan bahwa : ”pemisahan secara
fundamental antara hukum privat dan hukum publik harus dilakukan, dan
tidak boleh disatukan, dalam arti bahwa norma-norma hukum privat
diterapkan secara analogis terhadap hukum publik”.
c) BIERLING, menyatakan bahwa: “Hukum publik pada dasarnya mengatur
hubungan antara Negara dengan warganya, sedangkan hukum privat
mengatur hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain,
atau antara individu dengan badan hukum”.
d) THON, “melihat pembedaan tersebut atas dasar kriterium akibat hukum dan
kedua bidang hukum tersebut, yaitu dalam kaitan dengan bagaimanakah
orang mempertahankan ketentuan-ketentuan hukumnya, apakah
merupakan tanggung jawab perorangan ataukah merupakan tanggung
jawab penguasa, menjadi tugas kekuasaan umum. Jika merupakan
tanggung jawab perorangan merupakan hukum privat, jika tanggung jawab
penguasa merupakan hukum publik.
22
2) Pendapat dipisah tidak secara tajam/tidak fundamental/ tidak prinsipil, diantara para
sarjana hukum yang berpendapat seperti ini, diantaranya : Dr. Meier Branecke, F. J.
H. Huart dan Bellefroid.
a) DR. MEIER BRANECKE, mengatakan pemisahan secara tajam antara hukum dan
hukum publik, dewasa ini dapat dikatakan telah banyak ditinggalkan,
perkembangan yang ada, ialah membedakan hukum dalam hukum privat dan
hukum publik tetapi tidak secara prinsipiil atau secara fundamental, dalam arti
melakukan pembedaan tetapi tidak secara tajam.
b) F. J. H. HUART, menerima pembagian hukum menjadi norma hukum privat dan
norma hukum publik, meskipun menolak pembagian secara fundamental atau
prinsipiil atas pembagian bidang hukum tersebut. Pembagian tersebut, tidak
merupakan pembagian yang sifatnya fundamental, tetapi dengan
memperhatikan kepentingan yang diatur didalam norma hukum tersebut, apakah
merupakan kepentingan orang perorangan ataukah merupakan kepentingan
umum.
c) BELLEFROID, hukum privat bermaksud untuk mengatur tata terbit mengenai hal-
hal yang berkaitan dengan hubungan hukum antar individu, mengatur harta
kekayaan individu, juga mengatur hubungan antara individu dengan penguasa,
jika penguasa tersangkut. Sedang hukum publik, mengatur hubungan hukum
yang diadakan antara negara sebagai pemerintah dengan individu, hubungan
hukum antara masing-masing badan hukum, dan cabang negara dalam
menjalankan tugas. Secara umum pembedaan antara privat dan publik timbul,
karena diadakan sendiri oleh undang-undang, meskipun pemisahan secara
prinsipiil tidak dapat ditunjukan.
23
b. Pendapat yang tidak menyetujui adanya pembedaan norma hukum atas norma
hukum privat dan norma hukum publik, beralasan, dalam perkembangannya
sekarang ada materi-materi hukum yang mengandung kedua norma hukum
tersebut dan ada pula materi-materi hukum yang terletak diantara norma hukum
privat dan norma hukum publik. Diantara para sarjana yang berpendapat
demikian, adalah Kranenburg, dan Hans Kelsen.
1) KRANENBURG, menyatakan dalam kepentingan umum dan kepentingan
perorangan dijadikan dasar pembagian hukum, menjadi norma hukum privat
dan norma hukum publik, maka akan menimbulkan kerancauan tentang
pembagian tersebut. Hal ini menyangkut beberapa bidang, mislanya Hukum
Acara Perdata, Hukum Perdata Internasional, apakah akan masuk kedalam
kelompok bidang hukum publik atau termasuk bidang hukum perdata.
2) HANS KELSON, menolak bidang hukum dibagi menjadi hukum privat dan
hukum publik secara tajam, dan menyatakan bahwa jika pembagian tersebut
dilakukan secara konsekwen, maka dikhawatirkan akan ada dua tertib hukum,
yang sama sekali berlainan, yang satu untuk penguasa dan yang lain untuk
para warganya. Sesuai dengan teorinya, “bahwa semua kaedah selalu
berdasarkan pada suatu norma dasar (grundnorm).
24
2. KONSEPSI KELUARGA HUKUM ROMAWI JERMANIA
Konsepsi hukum pada hakekatnya berhubungan dengan permasalahan mengenai
apa sebenarnya fungsi norma hukum bagi masyarakat. Konsepsi disini dimaksudkan
mempersoalkan apa sebenarnya fungsi norma hukum bagi masyarakat yang
bersangkutan, dalam hal ini masyarakat yang termasuk dalam keluarga hukum
Romawi Jermania.
Fungsi hukum pada hakekatnya, untuk :
a. Menciptakan ketertiban.
b.Menyelesaikan benturan kepentingan para anggota masyarakat, dalam hubungan
antara mereka satu sama lain.
c. Sehingga rumusan norma hukum dalam undang-undang bersifat umum.
25
B. KELUARGA HUKUM INGGRIS (ANGLO SAXON)
26
2. KONSEPSI KELUARGA HUKUM INGGRIS
Norma hukum bagi keluarga hukum Inggris, yaitu untuk menyelesaikan
perselisihan-perselisihan yang terjadi antara anggota masyarakat, agar suasana
tertib didalam masyarakat dapat pulih kembali. Oki, norma hukum dalam
keluarga hukum Inggris ini bersifat konkrit dan terkandung dalam putusan-
putusan pengadilan baik tingkat Supreme Court maupun tingkat House of Lord.
27
PERBANDINGAN SUMBER HUKUM MENURUT SISTEM HUKUM INGGRIS
DENGAN SISTEM HUKUM ROMAWI JERMAN (EROPA KONTINENTAL)
2. Statute Law
Statute Law adalah peraturan yang dibuat oleh Parlemen Inggris, jadi dapat disamakan
dengan peraturan-peraturan yang berbentuk UU dan merupakan sumber hukum kedua
dalam Hukum Inggris. Fungsi Statute Law ini pada umumnya merupakan koreksi atau
penambah terhadap Common Law yang kadang-kadang belum lengkap, jadi tidak dibuat
untuk mengatur suatu bidang secara menyeluruh, melainkan sekedar melengkapi apa
yang sudah ditentukan oleh Common Law, sehingga kedudukannya sebagai sumber
hukum berada dibawah Common law.
28
3. Custom atau Kebiasaan
Custom atau kebiasaan, merupakan sumber hukum yang ketiga dalam
hukum Inggris, Hukum Inggris ini bukan hukum Custom, melainkan Inggris
Judge Made Law.
Custom ini adalah kebiasaan yang sudah berlaku berabad-abad di Inggris
dan sudah merupakan sumber nilai-nilai.
29
A. SUMBER HUKUM SISTEM HUKUM ROMAWI–JERMAN (EROPA KONTINENTAL)
PENEMUAN HUKUM
Negara-negara yang menganut sistem hukum Romawi Jerman mempunyai sistem
pengaturan sumber hukum yang pada pokoknya adalah tertulis. Sumber hukum yang
utaman adalah perundang-undangan. Bahkan dalam abad ke-19 berkuasa suatu aliran yaitu
aliran hukum positif positif yang beranggapan bahwa produk legislatif lebih-lebih yang
berbentuk kodifikasi merupakan satu-satunya sumber hukum.
Penemuan hukum bukan lagi merupakan silogisme semata-mata sebagaimana diartikan
dalam masa jayanya aliran kodifikasi, melainkan proses penemuan hukum diartikan
sungguh-sungguh sebagai proses penciptaan hukum dengan jalan penggunaan bermacam-
macam metode penafsiran oleh para hakim dalam usahanya menemukan hukum yang tepat
dan adil.
Sumber hukum sistem hukum Romawi Jerman (Eropa Kontinental=Civil Law), yaitu :
1. Perundang-undangan
a. Pertama-tama yang disebut perundang-undangan yang berbentuk konstitusi tertulis.
b. Perundang-undangan yang berbentuk kodifikasi.
c. Peraturan-peraturan dari instansi pemerintahan bukan badan legislatif.
d. Peraturan Tertulis.
30
2. Hukum Kebiasaan
Levy Bruhl dalam Sosiologi du droit mengatakan bahwa Hukum
kebiasaan mempunyai peranan yang menentukan dalam proses penemuan
Hukum, merupakan pegangan bagi pembentuk UU, maupun para hakim
dalam usaha menemukan Hukum yang tepat dan adil. Menurut aliran
Positivisme, dalam suatu sistem hukum yang mempunyai kodifikasi
maka hukum kebiasaan tidak memegang peranan dalam proses penemuan
Hukum kecuali jika UU menunjuk kepadanya.Menurut pendapat sekarang
yang dianggap benar adalah faktor UU dan faktor Hukum
kebiasaansama-sama merupakan faktor yang menunjang tercapainya
penemuan hukum yang tepat dan adil.
3. Yurisprudensi
Kumpulan-kumpulan keputusan badan pengadilan yang pengumpulannya
diperuntukkan bagi para praktisi hukum dan pada umumnya memuat putusan
pengadilan yang penting bagi perkembangan hukum. Kumpulan-kumpulan
Yurisprudensi ini juga digunakan oleh ilmu pengetahuan di Negara-negara lain seperti
yurisprudensi Prancis yeng berpengaruh besar terhadap ilmu hukum dan yurisprudensi
Negara lain.
Jika putusan pengadilan dalam sistem Hukum Romawi Jerman menjatuhkan putusan
yang sama seperti putusan pengadilan yang terlebih dahulu, hal itu adalah bukan karena
hakim itu terikat pada putusan pengadilan terdahulu itu, karena putusan pengadilan
terdahulu tidak mengikat para hakim dalam memutuskan perkara.
31
Sistem Jerman dianut oleh Yunani, Italia, Swiss putusan pengadilan
menurut sistem ini berupa suatu disertasi atau suatu cerita yang panjang
dan mengikuti suatu out line tertentu yang direncanakan terlebih dahulu.
Dewasa ini secara umum sudah diakui dalam Ilmu Pengetahuan Hukum
bahwa disamping UU masih terdapat sumber hukum lain, yaitu
yurisprudensi
4. Ilmu Hukum
Ilmu hukum mempunyai pengaruh terhadap teori-teori hukum,
pembentukan hukum maupun praktik hukum dalam arti merangsang
pembentuk UU untuk mengembangkan hukum dengan membentuk
perundang-undangan baru dengan menuangkan gagasan baru, pengertian
serta asas-asas hukum baru dalam bentuk perundang-undangan.
32
PERBANDINGAN HUKUM PERKAWINAN
A. Konsep Perkawinan
1. Konsep Perkawinan Menurut Civil Law (KUHPerdata) :
KUHPerdata tidak mengatur apa yang dimaksud dengan perkawinan sehingga ilmu
hukumlah (doktrin) yang merumuskannya. Menurut Scholten, perkawinan adalah suatu
hubungan hukum antara pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal
yang diakui oleh negara.
Jadi perkawinan adalah suatu pertalian antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang
diakui sah oleh undang-undang yang bertujuan untuk menyelengarakan kesatuan hidup yang
abadi”.
Perkembangan sekarang di Amerika telah melegalkan hubungan pasangan yang sama jenis
kelaminnya untuk melangsungkan perkawinan.
33
3. Konsep Perkawinan Menurut Hukum Agama :
a. Hukum Islam
Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah
syara’, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga
bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
b. Agama Kristen
Perkawinan adalah ikatan perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang dipersatukan Allah menjadi “satu daging” (Kejadian 2:24), menjadi suami istri, untuk
saling menopang dan melengkapi sebagai mitra sejajar selama hidup (Kejadian 2:18;
Matius 5:32) (butir IV.1)
c. Agama Hindu
Perkawinan (wiwaha) adalah ikatan antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri
untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak pria yang
akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka Put, yang dilangsungkan dengan
upacara ritual menurut agama Hindu.
34
d. Agama Budha
Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai suami
dan seorang wanita sebagai isteri yang berlandaskan cinta kasih (metha), kasih
sayang (karunia), dan rasa sepenanggungan (mudita) dengan tujuan untuk
membentuk suatu keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkati oleh
Sangyang Adi Budha/Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan para Bodhisatwa-
Mahasatwa (merupakan Keputusan Sangha Agung tanggal 1 Januari 1977).
Perkawinan dalam Hukum Adat meliputi kepentingan dunia lahir dan duniagaib.
35
5. Konsepsi Perkawinan Menurut Perundang-undangan Indonesia:
a. Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, dalam Pasal 1 disebutkan
bahwa : “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
b. Inpres No. 1 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), dalam Pasal 2,
ditentukan bahwa : “Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah”.
Unsur-Unsur Perkawinan :
c. Unsur agama, dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1, 2, 8, 51 UU No. 1 Tahun
1974.
d. Unsur biologis, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 4 dan 7 UU No. 1 Tahun 1974.
e. Unsur sosiologis, batas umur untuk melangsungkan perkawinan adalah untuk
mengurangi laju pertambahan penduduk karena kelahiran, karena pertambahan
penduduk adalah masalah sosial.
f. Unsur yuridis, dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun
1974.
36
B.Sahnya Perkawinan
1. Menurut Sistem Hukum Civil Law (KUHPerdata) : Perkawinan dianggap sah, jika telah memenuhi
syarat-syarat perkawinan yang ditentukan undang-undang. Jadi sahnya perkawinan apabila
dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (baca ketentuan-ketentuan Pasal 71 dst. KUHPerdata
mengenai syarat formal perkawinan, Pasal 100 dst. mengenai bukti adanya perkawinan).
2. Menurut Sistem Hukum Common Law (Hukum Keluarga AS) : Perkawinan dianggap sah jika
telah memenuhi syarat-syarat perkawinan baik syarat-syarat materiil (validity of marriage)
maupun syarat formal (formaliteis of marriage) yaitu syarat yang berkaitan dengan
pengumuman untuk melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat materiil (validity of marriage),
yaitu : Consent (kesepakatan kedua belah pihak), age (umur), capacity (kemampuan untuk
melaksanakan perkawinan), beetwen close relatives (larangan perkawinan). Sedangkan syarat
formal adalah syarat yang berkaitan dengan pengumuman dalam melangsungkan perkawinan.
3. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 (UUP), Pasal 2 Ayat (1), menentukan : Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
4. Inpres No. 1 Tahun 1991 (KHI), Pasal 4 menentukan : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
37
Jika yang melakukan perkawinan tersebut beragama Islam, maka sahnya
perkawinan harus memenuhi rukun nikah. Rukun nikah adalah unsur-unsur yang
harus dipenuhi untuk melangsungkan suatu pernikahan. Rukun nikah terdiri atas :
a. Calon suami, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar pria, tidak
karena terpaksa, bukan mahram (perempuan calon istri), tidak sedang ihram
haji atau umrah, dan usia sekurang-kurangnya 19 tahun.
b. Calon istri, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar perempuan,
tidak karena terpaksa, halal bagi calon suami, tidak bersuami, tidak sedang
ihram haji atau umrah, dan usia sekurang-kurangnya 16 tahun.
c. Wali mempelai perempuan, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa),
berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji
atau umrah. Wali inilah yang menikahkan mempelai perempuan atau
mengizinkan pernikahannya.
d. Sigat akad, yang terdiri atas ijab dan kabul. Ijab dan kabul ini dilakukan oleh wali
mempelai perempuan dan mempelai laki-laki. Ijab diucapkan wali mempelai
perempuan dan kabul diucapkan wali mempelai laki-laki.
38
RUKUN & SYARAT NIKAH
RUKUN SYARATNYA
1. Calon Suami Beragama Islam, tidak terpaksa, bukan
muhrim, tidak sedang ihrom haji atau
umroh, dan beragama Islam.
40
C. Perbedaan-Peredaan & Persamaan-Persamaan Konsep Perkawinan
Menurut Sistem Hukum
1. Perbedaan-Perbedaan Konsep Perkawinan Menurut Sistem Hukum Civil Law
(KUHPerdata), Sistem Hukum Agama, Undang-Undang Perkawinan dan KHI
Dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun Islamic Law, UUP
dan KHI, perkawinan adalah sebuah perjanjian berdasarkan persetujuan sukarela
yang bersifat pribadi antara seorang pria dan seorang wanita untuk menjadi suami
isteri. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga
yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak masyarakat dan
pembentukan peradaban.
Semua Sistem hukum memandang perkawinan adalah sebagai perjanjian atau aqad
(dalam Islam).
Perjanjian atau aqad dalam perkawinan berbeda dengan perjanjian yang di atur
dalam Buku III KUHPerdata. Perbedaan dimaksud adalah sbb :
Pasal 85 KHI : Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
Pasal 86 (1) KHI, menyatakan bahwa : “Pada dasarnya tidak ada percampuran antara
harta suami dan harta istri karena perkawinan”
Jadi KHI mengenal harta perkawinan : Harta Bawaan dan Harta bersama.
46
4. Harta Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan
Harta bersama adalah hak bersama suami dan istri, digunakan atas perjanjian
kedua belah pihak. (Psl 36 Ayat (1).
Harta bawaan, hak sepenuhnya masing-masing pihak (Psl 36 Ayat (2).
Menurut UU Perkawinan ini, calon Istri-suami dibolehkan membuat perjanjian
perkawinan untuk mngatur harta kekayaan mereka. Maksudnya mengadakan
perjanjian perkawinan ini untuk mnyimpang dari ketentuan yang ditetapkan oleh
UU.
Perjanjian kawin harus dibuat dengan suatu akta notaris sebelum waktu
dilangsungkannya perkawinan, untuk kemudian didaftarkan ke Pengadilan Negeri
setempat.
47
PERBANDINGAN PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI)
52
C. Akibat Hukum Pengangkatan Anak (Adopsi)
1. Menurut Sistem Civil Law (Stb. 1917-129)
a. Anak angkat sama dengan anak kandung.
b. Hubungan keluarga putus dengan orang tua kandung.
c. Mewaris kepada orang tua angkat.