Anda di halaman 1dari 55

PERBANDINGAN HUKUM PERDATA

FAKULTAS HUKUM UNRAM


2020
BUKU-BUKU PERBANDINGAN HUKUM PERDATA

1. Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law, dan


Socialist Law, Peter de Cruz.
2. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Lawrence M. Friedman.
3. Perbandingan Hukum Perdata, Prof. R. Subekti, SH.
4. Pernandingan Hukum Perdata, R. Soeroso, SH.
5. Perbandingan Hukum Perdata, Dr. Munir Fuady, S.H., M.H.
LL.M.
6. Perbandingan Hukum Perdata, Prof. Wahyono Darmabrata, S.H.,
MH.
7. Perbandingan Hukum Perdata Comparative Civil Law, Prof. Dr.
Salim, HS., S.H., M.S. & Erlies Septiana Nurbani, S.H., LLM.
8. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum Civil Law, Common Lawa,
dan Hukum Islam, Ade Maman Suherman, S.H., M.Sc.
9. Sistem Hukum Indonesia, Prinsip-Prinsip & Implementasi Hukum
di Indonesia, Ilham Bisri, S.H. M.Pd.
10. Asas-Asas Hukum Islam (Hukum Islam I) Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam Di Indonesia, Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH.
11. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Muderis Zaini, S.H.
12. Hukum Pengangkatan Anak, Dr. Rusli Pandika, S.H., LL.M.
13. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Mustofa Sy., S.H.,
M.H.
14. Dan Referensi yang berkaitan dengan lembaga-lembaga hukum kainnya,
contoh buku-buku tentang perkawinan, perjanjian atau kontrak dsb.
PERBANDINGAN HUKUM PERDATA

A.ISTILAH DAN PENGERTIAN PERBANDINGAN HUKUM PERDATA

1. Istilah Perbandingan Hukum

Comparative Law atau Comparative Jurisprudence (Inggris)


Verkelijkend Recht (Belanda)
Vergleichenden Recht (Jerman)
Hukum Komparatif = Perabndingan hukum (Indonesia)

Istilah “comparative law (Inggris)” – diterjemhakan dalam bahasa Indonesia secara tepat adalah
“hukum perbandingan” dan bukan “perbandingan hukum”. Istilah mana yang tepat digunakan
menurut bahasa Indonesia ?

Kalau dipergunakan istilah “hukum perbandingan” maka, akan menyesatkan karena istilah tersebut
seolah-olah memberikan gambaran tentang suatu bidang hukum tertentu yang berisi sekumpulan
norma seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, dsb. Sedangkan perbandingan
hukum tidak memiliki ciri demikian. Perbandingan Hukum, akan memberikan gambaran adanya
suatu kegiatan memperbandingkan antara sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain
atau antara lembaga/pranata hukum yang satu dengan lembaga/pranata hukum lain. Dengan
demikian, maka istilah yang lebih tepat digunakan adalah “Perbandingan Hukum” bukan “Hukum
Perbandingan”.

2
2. Pengertian Perbandingan Hukum Perdata
Istilah Perbandingan Hukum Perdata, terdiri dari tiga kata, yang dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a. Perbandingan yang dalam bahas Inggris disebut dengan “Comparition” atau dalam
bahasa Belanda disebut “Vergelijking” atau dalam bahasa Jerman disebut “Vergelik”,
berarti cara untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dari sesuatu yang
dibandingkan.
Pengertian Perbandingan Hukum atau Hukum Komparatif menurut beberapa sarjana :
1) Peter de Crus, mengemukakan bahwa : “Hukum komparatif dapat digunakan untuk
menggambarkan studi sistematik mengenai tradisi hukum dan peraturan hukum
tertentu yang berbasis komparatif. Untuk bisa dikatakan sebagai hukum komparatif
yang sesungguh, ia juga membutuhkan perbandingan dai dua atau lebih sistem
hukum, atau dua atau lebih tradisi hukum, atau aspek-aspek yang terseleksi, institusi
atau cabang-cabang dari dua atau lebih sistem hukum”.
2) Michael Bogdan, hukum komparatif adalah: “Membandingkan sistem hukum-sistem
hukum yang berbeda-beda dengan tujuan menegaskan persamaan dan perbedaan
masing-masing; bekerja dengan menggunakan persamaan dan perbedaan yang telah
ditegaskan itu, misalnya menjelaskan asalnya, mengevaluasi solusi-solusi yang
dipergunakan dalam sistem hukum yang berbeda, mengelompokkan sistem hukum
menjadi keluarga-keluarga hukum, atau mencari kesamaan inti dalam sistem hukum
tersebut; dan menguraikan masalah-masalah metodologis yang muncul berhubungan
dengan tugas-tugas ini, termasuk masalah-masalah metodologis yang terkait dengan
sistem hukum di luar negeri”.
3
b. Hukum yang dalam bahasa Inggris disebut dengan “Law” atau dalam
bahasa Belanda disebut dengan “Wet” atau dalam bahasa Jerman disebut
dengan “Gezets”, yaitu kaidah-kaidah atau norma-norma yang mengatur
prilaku manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga
dengan adanya kaidah atau norma itu, maka kehidupan ini menjadi
teratur, tentram, dan damai.
c. Perdata yang dalam bahasa Inggris disebut dengan “Civil” atau dalam
bahasa Belanda disebut dengan “Burgerlijk” atau dalam bahasa Jerman
disebut dengan “Zivil”, merupakan hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan individu atau perorangan yang satu dengan individu atau
perorangan yang lain.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan Perbandingan Hukum Perdata atau Comparition of Civil Law
System (Inggris), adalah merupakan suatu metode atau cara untuk
mengetahui perbedaan dan persamaan dari ketentuan-ketentuan hukum
perdata yang berlaku di dalam suatu negara atau antara sistem hukum
perdata antara negara yang satu dengan negara lainnya.
Beberapa istilah lain : Vergelijkend Burgerlijk Recht (Belanda), dan
Vergleichenden Zivil Recht (Jerman).
4
Dari pengertian di atas terdapat empat hal yang menjadi fokus dalam
Perbandingan Hukum Perdata, yaitu :1. Suatu Metode; 2. Adanya perbedaan dan
persamaanny; 3. Sistem hukum perdata; dan 4. Ruang lingkupnya kajian.

Metode, merupakan cara atau jalan (aturan, sistem) untuk melakukan sesuatu.
Perbedaan atau dalam bahasa Inggris disebut difference atau verschil (Belanda)
atau unterschied (Jerman), adalah hal-hal yang berlainan atau tidak sama antara
sistem atau lembaga hukum yang terdapat pada masing-masing keluarga hukum.
Sedangkan persamaan atau dalam istilah equality/equation (Inggris), atau
vergelijking (Belnda), gleichung (Jerman), merupakan hal-hal yang serupa, tidak
berbeda, atau tidak berlainan.

Sistem Hukum Perdata, merupakan sistem hukum yang mengatur hubungan


hukum antara individu atau subyek hukum yang satu dengan individu atau subyek
hukum yang lain.

Ruang lingkup kajian perbandingan hukum perdata, meliputi : 1. kajian terhadap


perbandingan hukum perdata yang berlaku dalam suatu negara, dan 2. kajian
terhadap perbandingan hukum perdata yang berlaku antara negara yang satu
dengan negra yang lainya.
5
B. TUJUAN MEMPELAJARI PERBANDINGAN HUKUM (PERDATA)

1. Main, dalam bukunya yang berjudul : “The History of Comparative Jurisprudence” mengatakan
bahwa tujuan hukum adalah membantu menyelusuri asal usul perkembangan dari pada konsepsi
hukum yang sama diseluruh dunia.

2. Randall tujuan perbandingan hukum :


a. Usaha mengumpulkan berbagai informasi mengenai hukum asing.
b. Usaha mendalami pengalaman-pengalaman yang dibuat dalam studi hukum asing dalam rangka
pembaruan hukum.
3. Prof. R. Subekti, SH; mengatakan:
“Dalam mempelajari perbandingan hukum, kita tidak semata-mata ingin mengetahui perbedaan-
perbedaan dan persamaan-persamaan itu, tetapi yang penting adalah mengetahui sebab-sebab
adanya perbedaan dan persamaan tersebut. Untuk itu kita perlu mengetahui latar belakang dari
peraturan-peraturan hukum yang kita jumpai. Juga kita akan melihat adanya persamaan-persamaan
mengenai berbagai hal dalam sistem hukum mana saja, karena rasa hukum dan keadilan mengenai
hal-hal itu dimana-mana adalah sama”.
Dengan demikian menurut Subekti, adapun maksud dan tujuan mempelajari perbandingan hukum
(perdata) adalah untuk mengetahui :
a. Perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan sistem hukum;
b. Latar belakang dari sistem hukum itu; dan
c. Sebab-sebab adanya perbedaan dan persamaannya.
6
4. Soenarjati Hartono, tujuan perbandingan hukum adalah untuk mencapai suatu kebutuhan yang
dapat dibagi dalam kebutuhan teoritis dan praktis.

Kebutuhan Teoritis atau Ilmiah maka Perbandingan Hukum :


a. Menunjukkan adanya titik-titik persamaan dengan titik-titik perbedaan dari pada berbagai sistem hukum
yang diperbandingkan.
b. Menunjukkan bahwa terhadap masalah yang sama, dapat dicapai penyelesaian (problem solving) yang
berbeda-beda
c. Akan tetapi kadang-kadang masyarakat yang berbeda dan berjauhan letaknya dapat menyelesaikan
kebutuhan yang sama dengan cara yang sama pula, walau antara anggota masyarakat tidak tampak
adanya hubungan kebuduyaan apaun.
Kebutuhan Praktis, maka Perbandingan hukum :
d.Bidang Nasional
Membantu pembentukan hukum nasional dalam arti seluas-luasnya. Kita memerlukan hukum nasional
yang ke dalam dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan bangsa yang merdeka dan dapat keluar dapat
memenuhi kebutuhan hidup bangsa yang merdeka dan ke luar dapat memenuhi kebutuhan hidup dunia
internasional tanpa mengorbankan kepribadian bangsa Indonesia. Yang dapat dipenuhi oleh Perbandingan
Hukum, karena dengan Perbandingan Hukum kita dapat mengetahui hukum Negara-Negara lain, sehingga
dapat terbentuk hukum nasional yang dapat memenuhi kebutuhan pergaulan.
b.Bidang internasional
1) Membantu pembuatan perjanjian-perjanjian internasioal dan perjanjian-perjanjian di bidang HPI. Ex: IMF,
GATT, ADB, ILO.
2) Dapat menghindari persengketaan & kesalah pahaman Internasional. Ex: Perjanjian kerjasama
antara Malaysia dan Indonesia dalam pemberantasan penyelundupan.
7
5. Edouard Lambert, dalam bukunya “Le Function de Droit Civil Compare” berpendapat, bahwa
perbandingan hukum pada dasarnya mempunyai tujuan, yaitu :
a. Ilmiah, yakni untuk mendapatkan dengan jalan perbandingan hukum, sebab-sebab yang menjadi
dasar asal-usul perkembangan lembaga-lembaga hukum dari berbagai sistem hukum.
b. Praktis, yakni usaha untuk menciptakan suatu hukum internasional yang terdiri dari peraturan-
peraturan yang dapat diterapkan terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang telah mencapai
tingkat kebudyaan yang sama.

C. FUNGSI PERBANDINGAN HUKUM (PERDATA)


1. Fungsi Perbandingan Hukum (Perdata) bagi pengembangan ilmu hukum Indonesia
a.Filsafat Hukum. Untuk menjawab pertanyaan mengapa kedua sistem hukum mempunyai kesamaan,
padahal keduanya tidak mempunyai hubungan historis. Contoh : Kontrak di Inggris dengan
perjanjian menurut Hukum Adat Indonesia, mempunyai sifat yang sama yaitu konkrit dan tunai.
b. Sosiologi Hukum. Antara Indonesia dan Belanda mempunyai sumber hukum yang sama tetapi
penerapannya terdapat perbedaan-perbedaan. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan
oleh keadaan masyarakat pada masing-masing Negara.
c. Sejarah Hukum. Bagaimana proses pembentukan hukum, faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan hukum.
2. Fungsi Perbandingan Hukum (Perdata) bagi praktik dan pembinaan hukum
a. Lembaga Legislatif, guna penyusunan undang-undang;
b. Para Advokat dan Arbiter, dalam rangka pembelaan dan penyelesaian perkara;
c. Para Notaris dan Konsultan Hukum, dalam rangka pembuatan dan penyusunan kontrak (khusus
kontrak Internasional).

8
3. Fungsi Perbandingan Hukum (Perdata) bagi perencanaan hukum (legal planning)
Sebagai antisipatif ketelambatan hukum mengikuti dinamika kehidupan masyarakat.
Oleh perencana hukum seharusnya telah direncanakan dari awal tentang hukum.

4. Fungsi Perbandingan Hukum (Perdata) bagi pengembangan Ilmu Hukum Indonesia


Soenarjati Hartono, mengatakan : Bahwa fungsi perbandingan hukum memberi
manfaat bagi dunia pengembangan ilmu hukum, karena metode ini menunjukkan :
a. Sistem hukum yang berbeda menunjukkan adanya kaidah-kaidah hukum, asas-asas
hukum, serta pranata-pranata hukum yang berbeda. Tidak jarang terjadi sistem-
sistem hukum yang sama sekali tidak ada hubungan atau pertemuan historis
b. Fungsi Perbandingan hukum bagi pendalaman dan perluasan pengetahuan
dibidang filsafat hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum.

5. Fungsi Perbandingan Hukum (Perdata) bagi pendidikan FH


Perbandingan Hukum diperlukan oleh Fakutas Hukum, karena :
a. Dengan mempelajari Perbandingan Hukum akan mengetahui bahwa setiap masalah
hukum terbuka lebih dari satu cara untuk mengatasinya.
b. Perkuliahan akan menarik dan dinamis.

9
6. Fungsi Perbandingan Hukum (Perdata) bagi praktisi dan pembinaan hukum
Memberikan manfaat yang besar bagi praktik khususnya dalam applied research dan
pembentukan hukum baru. Dirasakan pula oleh praktisi hukum seperti lembaga
legislatif para hakim, dan arbiter dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
a. Bagi Konsultan hukum dan Notaris dalam pembuatan kontrak-kontrak terutama
suatu kontrak yang bersifat internasional.
b. Bagi lembaga legislatif sangat bermanfaat dalam rangka penyusunan hukum.
c. Bagi para pengacara dan arbiter dalam pembelaan dan penyelesaian perkara.

7. Fungsi Perbandingan Hukum (Perdata) sebagai perencanaan hukum (legal


planning)
Dalam perencanaan hukum, Perbandingan Hukum mempunyai fungsi penting.
Hanya Perbandingan Hukumlah yang dapat menyiapkannya, karena dengan
Perbandingan Hukum kita mengetahuinya melalui pengalaman Negara lain.

10
D. MANFAAT PERBANDINGAN HUKUM (PERDATA)
Sudikno Mertokusumo, mengemukakan ada dua manfaat perbandingan hukum (perdata), yaitu
manfaat teoritis dan praktis.

1. Manfaat Teoritis, meliputi :


a. Mengumpulkan pengetahuan baru;
b. Peranan edukatif, yang berupa :
1) berfungsi membebaskan dari mengagung-agungkan hukum (chaunivisme);
2) berfungsi inspiratif memperoleh gambaran yang lebih baik tentang sistem hukum sendiri,
karena dengan memperbandingkan kita melihat masalah-masalah tertentu untuk
menyempurnakan pemecahan tertentu didalam hukum sendiri.
c. Merupakan alat bantu bagi disiplin-disiplin lain terutama bagi sosilogi hukum dan antropologi
hukum;
d. Merupakan instrumen untuk menentukan perkembangan hukum;
e. Perkembangan asas-asas hukum umum;
f. Membentu dalam pembagian sistem hukum dalam kelompok-kelompok; dan
g. Sumbangan doktrin.

2. Manfaat Praktis, meliputi :


a. Untuk kepentingan pembentukan undang-undang, yaitu:
1) Pada penerimaan (receptie) peruu-an asing;
2) Untuk kepentingan peMembantu dalam membentuk undang-undang baru;
3) Persiapan dalam menyusun undang-undang yang seragam (uniform);
4) Penelitian pendahuluan radilan pada umumnya;
b. Penting dalam perjanjian Internasional;c. Penting untuk terjemahan yuridis.
11
Manfaat mempelajari Perbandingan Hukum (Perdata), yaitu :

1. Univikasi Hukum Nasional


a. Code Civil Unisovet diambil dari BGB Jerman
b. Regional : Hukum Dagang dan Kontrak Di Negara-Negara Skandinavia
c. Internasinal Bidang HAKI, Wesel, Cek dsb.
2. Harmonisasi Hukum
Pasal 54 Pasar Bersama Eropa, mewajibkan kepada anggotanya PBE untuk
menyesuaikan perundang-undangan masing-masing.
3. Pembaharuan Hukum
Dengan Perbandingan Hukum, kita dapat mendalami hukum kita sendiri karena
dapat meneliti secara obyektif kekuragan-kekurangan dan kelebihan-kelebihan
hukum kita dalam menyelesaikan problem-problem yang terjadi.
4. Ilmu Pembantu Hukum Perdata Internasional
Hukum Perdata Internasional dapat efektif bekerja dengan baik apabila didukung
oleh perbandingan hukum.
5. Pendidikan Penasihat Juridis
Sangat penting bagi juridis-juridis Lembaga Perdamaian Internasional.

12
SISTEM HUKUM

A. Istilah dan Pengertian Sistem Hukum


Istilah sistem berasal dari perkataan systema (bahasa Latin-Yunani), artinya keseluruhan yang terdiri
bermacam-macam bagian.
Secara umum sistem didifinisikan sebagai sekumpulan elemen-elemen yang saling berinteraksi untuk
mencapai suatu tujuan tertentu di dalam lingkungan yang kompleks.

Prof. Dr. Sunaryati Hartono, SH :


Sistem hukum adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh
mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas. Agar supaya berbagai unsur
itu merupakan kesatuan yang terpadu, maka dibutuhkan organisasi.

Prof. Dr. Lili Rasyidi, SH, LL.M :


Suatu kesatuan sistem yang tersusun atas integritas komponen sistem hukum, yang masing-masing
memiliki fungsi tersendiri dan terikat dalam satu kesatuan hubngan yang saling terkait, bergantung,
mempengaruhi, bergerak dalam kesatuan proses, yakni proses sistem hukum untuk mewujudkan
tujuan hukum”.
13
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH :
Sistem hukum itu merupakan tatanan, suatu kesatuan yang utuh yang terdiri
atas bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain.

Prof. Subekti, SH :
Sistem hukum itu merupakan suatu susunan atau taatan yang teratur, suatu
keseluruhan yang terdiri dari atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama
lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan
untuk mencapai suatu tujuan.

Dr. Marwan Mas, SH, MH :


Sistem hukum adalah susunan sebagai satu kesatuan yang tersusun dari
sejumlah bagian yang dinamakan subsistem, yang secara bersama-sama
mewujudkan kesatuan yang utuh.
15
B. Unsur-Unsur Sistem Hukum
Berdasarkan pengertian di atas, maka unsur-unsur sistem hukum, yaitu :
1. Elemen-elemen atau bagian-bagian;
2. Adanya hubungan antara elemen-elemen;
3. Adanya sesuatu yang mengikat elemen-elemen (bagian-bagian) tersebut
menjadi suatu kesatuan;
4. Terdapat tujuan bersama sebagai hasil akhir;

C. SISTEM HUKUM DI DUNIA


1. Sistem Hukum Eropa continental;
2. Sistem Hukum Anglo Saxon;
3. Sistem Hukum Sosialis;
4. Sistem Hukum Tradisi (Adat);
5. Sistem Hukum Agama (Islam).

15
ASAS-ASAS HUKUM

Setiap perundang-undangan yang dibuat selalu didasari sejumlah asas atau


prinsip dasar. Kata asas ialah dasar atau alas (an), sedang kata prinsip
merupakan sinonimnya. Asas hukum merupakan fondasi suatu perundang-
undangan. Bila asas tersebut dikesampingkan, maka bangunan undang-undang
dan segenap peraturan pelaksananya akan runtuh (Wojowasito, 1972 :17 dan
227).

Sudikno Mertokusumo, memberikan pandangan asas hukum sebagai berikut :

“… bahwa asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan


merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar
belakang peraturan kongkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap
sistem hukum. Hal ini terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan
mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut”
(1996:5-6).

16
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa : “asas hukum bukan peraturan hukum. Namun,
tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di
dalamnya. Karena asas hukum ini memberi makna etis kepada peraturan-peraturan
hukum dan tata hukum. Beliau, selanjutnya mengibaratkan asas hukum sebagai
jantung peraturan hukum atas dasar 2 (dua) alasan :
1. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya sebuah peraturan
hukum. Ini berarti penerapan peraturan-peraturan hukum itu bisa dikembalikan
kepada asas hukum.
2. Asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai
jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan
pandangan etis masyarakatnya (1986:87).
Satjipto Rahardjo, menyatakan bahwa asas-asas hukum itu tak hanya sekadar
persyaratan adanya suatu sistem hukum, melainkan merupakan pengklasifikasian
sistem hukum yang mengandung suatu moralitas tertentu.
Sudikno Mertokusumo, menyatakan bahwa tidak semua asas yang tertuang dalam
peraturan atau pasal yang kongkrit. Alasannya, adanya rujukan pada asas Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali ( Tiada suatu peristiwa dipidana, kecuali
atas dasar peraturan perundang-undangan pidana yang mendahulukannya ), dan
asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).

17
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa : “asas hukum tidak hanya mempengaruhi hukum
positif, namun dalam banyak hal tak menutup kemungkinan asas hukum itu dapat membentuk
sistem checks and balance. Dalam artian asas hukum itu sering menunjukkan pada kaidah
yang berlawanan. Hal itu menunjukkan adanya sifat saling mengendalikan dan membatasi,
yang akan menciptakan keseimbangan”.
Fuller menyatakan bahwa dengan merujuk pada asas-asas hukum (principles of legality)
digunakan dalam menilai ada tidaknya suatu sistem hukum, maka :
1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan yang dimaksud di sini adalah
bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc;
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan;
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu tidak
ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku;
membolehkan pengaturan yang berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang
ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang;
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti;
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama
lain;
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat
dilakukan;
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan, sehingga menyebabkan
orang akan kehilangan orientasi;
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.
18
Jadi Sistem Hukum Perdata :
“Adalah suatu susunan atau tatanan yang diatur, suatu keseluruhan terdiri atas
bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana
atau pola, hasil dari suatu pemikiran, untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Sistem hukum mencakup bagian-bagian yang dapat disebut sebagai subsistem.
Subsistem hukum lebih tepat disebut sebagai inter subsistem, karena hukum
mengatur bidang-bidang tertentu masing-masing subsistem lainnya.
Intersubsistem hukum mencakup bagian-bagian yang saling berkaitan secara
fungsional.

Contoh Sistematika Hukum Perda :


Menurut Ilmu Pengetahuan : Menurut KUHPerdata :
I. Hukum Orang Buku I Tentang Orang
II. Hukum Keluarga Buku II Tentang Benda
III. Hukum Harta Kekayaan Buku II Tentang Perikatan
IV.Hukum Warisan Buku IV Tentang Daluarsa & Pembuktian

19
PERBANDINGAN KELUARGA HUKUM ROMAWI JERMANIA
(CIVIL LAW) DENGAN KELUARGA HUKUM INGGRIS (ANGLO
SAXON/COMMON LAW) DILIHAT DARI ASPEK STRUKTUR HUKUM,
KONSEPSI HUKUM DAN ASPEK SUMBER HUKUMNYA

A.KELUARGA HUKUM ROMAWI JERMANIA

1. STRUKTUR KELUARGA HUKUM ROMAWI JERMANIA


Pada struktur keluarga hukum Romawi Jermania, mengenal 2 (dua) kelompok
norma hukum, yaitu Norma Hukum Privat dan Norma Hukum Publik, dikenal sejak
lama. Oleh ULPIANUS, membedakan hukum mengatur kepentingan umum
(mengatur kesejateraan Negara Romawi) dan kepentingan privat atau kepentingan
orang perseorangan.
Pembedaan struktur hukum kedalam norma hukum privat dan norma hukum publik
ini mengundang adanya perbedaan pendapat diantara para ahli hukum.
a. Pendapat yang menyetujui, beralasan dengan dibedakannya norma hukum
privat dengan norma hukum publik sebenarnya dimaksudkan menguraikan
pendapat tentang pembedaan itu serta bagaimana pengaturannya, apakah
harus dipisahkan secara tajam atau tidak.
20
PERBANDINGAN KELUARGA HUKUM ROMAWI JERMANIA
(CIVIL LAW) DENGAN KELUARGA HUKUM INGGRIS (ANGLO
SAXON/COMMON LAW) DILIHAT DARI ASPEK STRUKTUR HUKUM,
KONSEPSI HUKUM DAN ASPEK SUMBER HUKUMNYA

A.KELUARGA HUKUM ROMAWI JERMANIA

1. STRUKTUR KELUARGA HUKUM ROMAWI JERMANIA


Pada struktur keluarga hukum Romawi Jermania, mengenal 2 (dua) kelompok norma
hukum, yaitu Norma Hukum Privat dan Norma Hukum Publik, dikenal sejak lama. Oleh
ULPIANUS, membedakan hukum mengatur kepentingan umum (mengatur
kesejateraan Negara Romawi) dan kepentingan privat atau kepentingan orang
perseorangan.
Pembedaan struktur hukum kedalam norma hukum privat dan norma hukum publik
ini mengundang adanya perbedaan pendapat diantara para ahli hukum.
a. Pendapat yang menyetujui, beralasan dengan dibedakannya norma hukum privat
dengan norma hukum publik sebenarnya dimaksudkan menguraikan pendapat
tentang pembedaan itu serta bagaimana pengaturannya, apakah harus
dipisahkan secara tajam atau tidak.

21
1) Pendapat dipisah secara tajam/fundamental/prinsipil, diantara para sarjana,
seperti : Van Apeldoorn, Otto Mayer Oppenheim, Bierling dan Thon.
a) VAN APELDOORN, menyatakan bahwa : “Secara fundamental pemisahan
tersebut harus dilakukan berdasarkan sifat hubungan hukum, kepentingan
yang diatur didalamnya, maupun berdasarkan bagaimana cara
mempertahankan kepentingan hukum tersebut”.
b) OTTO MAYER, OPPENHEIM, menyatakan bahwa : ”pemisahan secara
fundamental antara hukum privat dan hukum publik harus dilakukan, dan
tidak boleh disatukan, dalam arti bahwa norma-norma hukum privat
diterapkan secara analogis terhadap hukum publik”.
c) BIERLING, menyatakan bahwa: “Hukum publik pada dasarnya mengatur
hubungan antara Negara dengan warganya, sedangkan hukum privat
mengatur hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain,
atau antara individu dengan badan hukum”.
d) THON, “melihat pembedaan tersebut atas dasar kriterium akibat hukum dan
kedua bidang hukum tersebut, yaitu dalam kaitan dengan bagaimanakah
orang mempertahankan ketentuan-ketentuan hukumnya, apakah
merupakan tanggung jawab perorangan ataukah merupakan tanggung
jawab penguasa, menjadi tugas kekuasaan umum. Jika merupakan
tanggung jawab perorangan merupakan hukum privat, jika tanggung jawab
penguasa merupakan hukum publik.
22
2) Pendapat dipisah tidak secara tajam/tidak fundamental/ tidak prinsipil, diantara para
sarjana hukum yang berpendapat seperti ini, diantaranya : Dr. Meier Branecke, F. J.
H. Huart dan Bellefroid.
a) DR. MEIER BRANECKE, mengatakan pemisahan secara tajam antara hukum dan
hukum publik, dewasa ini dapat dikatakan telah banyak ditinggalkan,
perkembangan yang ada, ialah membedakan hukum dalam hukum privat dan
hukum publik tetapi tidak secara prinsipiil atau secara fundamental, dalam arti
melakukan pembedaan tetapi tidak secara tajam.
b) F. J. H. HUART, menerima pembagian hukum menjadi norma hukum privat dan
norma hukum publik, meskipun menolak pembagian secara fundamental atau
prinsipiil atas pembagian bidang hukum tersebut. Pembagian tersebut, tidak
merupakan pembagian yang sifatnya fundamental, tetapi dengan
memperhatikan kepentingan yang diatur didalam norma hukum tersebut, apakah
merupakan kepentingan orang perorangan ataukah merupakan kepentingan
umum.
c) BELLEFROID, hukum privat bermaksud untuk mengatur tata terbit mengenai hal-
hal yang berkaitan dengan hubungan hukum antar individu, mengatur harta
kekayaan individu, juga mengatur hubungan antara individu dengan penguasa,
jika penguasa tersangkut. Sedang hukum publik, mengatur hubungan hukum
yang diadakan antara negara sebagai pemerintah dengan individu, hubungan
hukum antara masing-masing badan hukum, dan cabang negara dalam
menjalankan tugas. Secara umum pembedaan antara privat dan publik timbul,
karena diadakan sendiri oleh undang-undang, meskipun pemisahan secara
prinsipiil tidak dapat ditunjukan.
23
b. Pendapat yang tidak menyetujui adanya pembedaan norma hukum atas norma
hukum privat dan norma hukum publik, beralasan, dalam perkembangannya
sekarang ada materi-materi hukum yang mengandung kedua norma hukum
tersebut dan ada pula materi-materi hukum yang terletak diantara norma hukum
privat dan norma hukum publik. Diantara para sarjana yang berpendapat
demikian, adalah Kranenburg, dan Hans Kelsen.
1) KRANENBURG, menyatakan dalam kepentingan umum dan kepentingan
perorangan dijadikan dasar pembagian hukum, menjadi norma hukum privat
dan norma hukum publik, maka akan menimbulkan kerancauan tentang
pembagian tersebut. Hal ini menyangkut beberapa bidang, mislanya Hukum
Acara Perdata, Hukum Perdata Internasional, apakah akan masuk kedalam
kelompok bidang hukum publik atau termasuk bidang hukum perdata.
2) HANS KELSON, menolak bidang hukum dibagi menjadi hukum privat dan
hukum publik secara tajam, dan menyatakan bahwa jika pembagian tersebut
dilakukan secara konsekwen, maka dikhawatirkan akan ada dua tertib hukum,
yang sama sekali berlainan, yang satu untuk penguasa dan yang lain untuk
para warganya. Sesuai dengan teorinya, “bahwa semua kaedah selalu
berdasarkan pada suatu norma dasar (grundnorm).
24
2. KONSEPSI KELUARGA HUKUM ROMAWI JERMANIA
Konsepsi hukum pada hakekatnya berhubungan dengan permasalahan mengenai
apa sebenarnya fungsi norma hukum bagi masyarakat. Konsepsi disini dimaksudkan
mempersoalkan apa sebenarnya fungsi norma hukum bagi masyarakat yang
bersangkutan, dalam hal ini masyarakat yang termasuk dalam keluarga hukum
Romawi Jermania.
Fungsi hukum pada hakekatnya, untuk :
a. Menciptakan ketertiban.
b.Menyelesaikan benturan kepentingan para anggota masyarakat, dalam hubungan
antara mereka satu sama lain.
c. Sehingga rumusan norma hukum dalam undang-undang bersifat umum.

3. SUMBER HUKUM KELUARGA HUKUM ROMAWI JERMANIA


Sumber hukum pada keluarga hukum Romawi Jermania :
d.Peraturan perundang-undangan.
e. Hukum Kebiasaan.
f. Yurisprudensi.
g. Doktrin (dalam penemuan hukum).

25
B. KELUARGA HUKUM INGGRIS (ANGLO SAXON)

1. STRUKTUR KELUARGA HUKUM INGGRIS (ANGLO SAXON)


a. Struktur hukum keluarga hukum Inggris berbeda dengan struktur hukum
Romawi Jermania yang mengenal pembidangan norma hukum atas norma
hukum privat dan norma hukum publik. Pada keluarga hukum Inggris tidak
mengenal pembidangan hukum atas norma hukum privat dan norma hukum
publik. Keluarga hukum Inggris, tumbuh dan berkembang berdasarkan praktek
badan peradilan, yang berkembang atas tradisi, dalam mempertahankan
kekausaan raja. Keluarga hukum Inggris dalam struktur hukumnya mengenal
pembidangan hukum yaitu Common Law dan Equity.

1) Common Law, merupakan norma hukum yang berkembang sebagai tradisi,


dan diterapkan oleh badan peradilan yang dinamakan Common Law Court.
2) Equity, adalah kumpulan norma-norma hukum yang berkembang pada abad
15 dan 16 dan ditetapkan oleh badan peradilan yang disebut dengan Court of
Equity atau Court of Chancellor, yang mempunyai fungsi untuk melengkapi
dan jika dipandang perlu mengadakan koreksi terhadap common law yang
mengandung kelemahan-kelemahan dalam praktek penerapannya.

26
2. KONSEPSI KELUARGA HUKUM INGGRIS
Norma hukum bagi keluarga hukum Inggris, yaitu untuk menyelesaikan
perselisihan-perselisihan yang terjadi antara anggota masyarakat, agar suasana
tertib didalam masyarakat dapat pulih kembali. Oki, norma hukum dalam
keluarga hukum Inggris ini bersifat konkrit dan terkandung dalam putusan-
putusan pengadilan baik tingkat Supreme Court maupun tingkat House of Lord.

3. SUMBER KELUARGA HUKUM INGGRIS


a. Yurisprudensi
b. Statute
c. Custom
d. Doktrin (Legal Writing)
e. Reason.

27
PERBANDINGAN SUMBER HUKUM MENURUT SISTEM HUKUM INGGRIS
DENGAN SISTEM HUKUM ROMAWI JERMAN (EROPA KONTINENTAL)

A. SUMBER HUKUM SISTEM HUKUM INGGRIS


1. Yurisprudensi
Bagi hukum Common Law maupun Equity hukum terbentuk berdasarkan yurisprudensi.
Yurisprudensi di Inggris merupakan sumber hukum yang paling penting sebagai bahan
pembentukan hukum.
Yurisprudensi di Inggris (Case law) terikat pada asas Share Decisis ialah suatu asas bahwa
keputusan hakim yang terdahulu harus didikuti oleh hakim yang membuat keputusan
kemudian.

2. Statute Law
Statute Law adalah peraturan yang dibuat oleh Parlemen Inggris, jadi dapat disamakan
dengan peraturan-peraturan yang berbentuk UU dan merupakan sumber hukum kedua
dalam Hukum Inggris. Fungsi Statute Law ini pada umumnya merupakan koreksi atau
penambah terhadap Common Law yang kadang-kadang belum lengkap, jadi tidak dibuat
untuk mengatur suatu bidang secara menyeluruh, melainkan sekedar melengkapi apa
yang sudah ditentukan oleh Common Law, sehingga kedudukannya sebagai sumber
hukum berada dibawah Common law.

28
3. Custom atau Kebiasaan
Custom atau kebiasaan, merupakan sumber hukum yang ketiga dalam
hukum Inggris, Hukum Inggris ini bukan hukum Custom, melainkan Inggris
Judge Made Law.
Custom ini adalah kebiasaan yang sudah berlaku berabad-abad di Inggris
dan sudah merupakan sumber nilai-nilai.

4. Reason (Akal Sehat)


Reason (akal sehat) Merupakan sumber hukum yang keempat dalam
hukum Inggris. Berfungsi sebagai sumber hukum jika sumber hukum yang
lain tidak memberi penyelesaian terhadap perkara yang sedang ditangani
oleh hakim, artinya tidak didapatkan norma hukum yang mampu memberi
penyelesaian mengenai perkara yang sedang diperiksa. Reason (akal sehat)
berfungsinya untuk melengkapi sumber-sumber hukum yang lain dalam hal
sumber hukum yang lain tidak dapat menyelesaikan suatu masalah hukum.

29
A. SUMBER HUKUM SISTEM HUKUM ROMAWI–JERMAN (EROPA KONTINENTAL)
PENEMUAN HUKUM
Negara-negara yang menganut sistem hukum Romawi Jerman mempunyai sistem
pengaturan sumber hukum yang pada pokoknya adalah tertulis. Sumber hukum yang
utaman adalah perundang-undangan. Bahkan dalam abad ke-19 berkuasa suatu aliran yaitu
aliran hukum positif positif yang beranggapan bahwa produk legislatif lebih-lebih yang
berbentuk kodifikasi merupakan satu-satunya sumber hukum.
Penemuan hukum bukan lagi merupakan silogisme semata-mata sebagaimana diartikan
dalam masa jayanya aliran kodifikasi, melainkan proses penemuan hukum diartikan
sungguh-sungguh sebagai proses penciptaan hukum dengan jalan penggunaan bermacam-
macam metode penafsiran oleh para hakim dalam usahanya menemukan hukum yang tepat
dan adil.

Sumber hukum sistem hukum Romawi Jerman (Eropa Kontinental=Civil Law), yaitu :
1. Perundang-undangan
a. Pertama-tama yang disebut perundang-undangan yang berbentuk konstitusi tertulis.
b. Perundang-undangan yang berbentuk kodifikasi.
c. Peraturan-peraturan dari instansi pemerintahan bukan badan legislatif.
d. Peraturan Tertulis.
30
2. Hukum Kebiasaan
Levy Bruhl dalam Sosiologi du droit mengatakan bahwa Hukum
kebiasaan mempunyai peranan yang menentukan dalam proses penemuan
Hukum, merupakan pegangan bagi pembentuk UU, maupun para hakim
dalam usaha menemukan Hukum yang tepat dan adil. Menurut aliran
Positivisme, dalam suatu sistem hukum yang mempunyai kodifikasi
maka hukum kebiasaan tidak memegang peranan dalam proses penemuan
Hukum kecuali jika UU menunjuk kepadanya.Menurut pendapat sekarang
yang dianggap benar adalah faktor UU dan faktor Hukum
kebiasaansama-sama merupakan faktor yang menunjang tercapainya
penemuan hukum yang tepat dan adil.
3. Yurisprudensi
Kumpulan-kumpulan keputusan badan pengadilan yang pengumpulannya
diperuntukkan bagi para praktisi hukum dan pada umumnya memuat putusan
pengadilan yang penting bagi perkembangan hukum. Kumpulan-kumpulan
Yurisprudensi ini juga digunakan oleh ilmu pengetahuan di Negara-negara lain seperti
yurisprudensi Prancis yeng berpengaruh besar terhadap ilmu hukum dan yurisprudensi
Negara lain.
Jika putusan pengadilan dalam sistem Hukum Romawi Jerman menjatuhkan putusan
yang sama seperti putusan pengadilan yang terlebih dahulu, hal itu adalah bukan karena
hakim itu terikat pada putusan pengadilan terdahulu itu, karena putusan pengadilan
terdahulu tidak mengikat para hakim dalam memutuskan perkara.
31
Sistem Jerman dianut oleh Yunani, Italia, Swiss putusan pengadilan
menurut sistem ini berupa suatu disertasi atau suatu cerita yang panjang
dan mengikuti suatu out line tertentu yang direncanakan terlebih dahulu.
Dewasa ini secara umum sudah diakui dalam Ilmu Pengetahuan Hukum
bahwa disamping UU masih terdapat sumber hukum lain, yaitu
yurisprudensi

4. Ilmu Hukum
Ilmu hukum mempunyai pengaruh terhadap teori-teori hukum,
pembentukan hukum maupun praktik hukum dalam arti merangsang
pembentuk UU untuk mengembangkan hukum dengan membentuk
perundang-undangan baru dengan menuangkan gagasan baru, pengertian
serta asas-asas hukum baru dalam bentuk perundang-undangan.

32
PERBANDINGAN HUKUM PERKAWINAN

A. Konsep Perkawinan
1. Konsep Perkawinan Menurut Civil Law (KUHPerdata) :
KUHPerdata tidak mengatur apa yang dimaksud dengan perkawinan sehingga ilmu
hukumlah (doktrin) yang merumuskannya. Menurut Scholten, perkawinan adalah suatu
hubungan hukum antara pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal
yang diakui oleh negara.
Jadi perkawinan adalah suatu pertalian antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang
diakui sah oleh undang-undang yang bertujuan untuk menyelengarakan kesatuan hidup yang
abadi”.

2. Konsep Perkawinan Menurut Common Law (Hukum AS) :


Berdasarkan Section 3 huruf a Defense of Marriage Act 1996 Amerika, Perkawinan
dikonstruksikan sebagai hubungan yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang wanita
sebagai suami-isteri, dan pasangan suami-isteri harus dari pasangan yang berbeda jenis
kelaminnya, bukan jenis kelamin yang sama.

Perkembangan sekarang di Amerika telah melegalkan hubungan pasangan yang sama jenis
kelaminnya untuk melangsungkan perkawinan.

33
3. Konsep Perkawinan Menurut Hukum Agama :

a. Hukum Islam
Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah
syara’, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga
bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.

b. Agama Kristen
Perkawinan adalah ikatan perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang dipersatukan Allah menjadi “satu daging” (Kejadian 2:24), menjadi suami istri, untuk
saling menopang dan melengkapi sebagai mitra sejajar selama hidup (Kejadian 2:18;
Matius 5:32) (butir IV.1)

c. Agama Hindu
Perkawinan (wiwaha) adalah ikatan antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri
untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak pria yang
akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka Put, yang dilangsungkan dengan
upacara ritual menurut agama Hindu.

34
d. Agama Budha
Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai suami
dan seorang wanita sebagai isteri yang berlandaskan cinta kasih (metha), kasih
sayang (karunia), dan rasa sepenanggungan (mudita) dengan tujuan untuk
membentuk suatu keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkati oleh
Sangyang Adi Budha/Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan para Bodhisatwa-
Mahasatwa (merupakan Keputusan Sangha Agung tanggal 1 Januari 1977).

4. Konsep Perkawinan Menurut Hukum Adat


Doktrin :
a. HAZAIRIN, mengatakan : “Perkawinan merupakan rentetan perbuatan-
perbuatan magis, yang bertujuan untuk perbuatan menjamin ketenangan,
kebahagiaan, dan kesuburan”.
b. DJOJODIGOENO, mengemukakan : “Perkawinan merupakan suatu paguyuban
atau somah (Jawa: keluarga), dan bukan merupakan suatu hubungan perikatan
atas dasar perjanjian. Hubungan suami-istri sebegitu eratnya, sebagai suatu
ketunggalan, misal adanya harta gono-gini, adanya istilah garwa (Jawa), adanya
perubahan nama setelah kawin menjadi nama tua”.

Perkawinan dalam Hukum Adat meliputi kepentingan dunia lahir dan duniagaib.
35
5. Konsepsi Perkawinan Menurut Perundang-undangan Indonesia:
a. Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, dalam Pasal 1 disebutkan
bahwa : “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
b. Inpres No. 1 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), dalam Pasal 2,
ditentukan bahwa : “Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah”.

Unsur-Unsur Perkawinan :
c. Unsur agama, dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1, 2, 8, 51 UU No. 1 Tahun
1974.
d. Unsur biologis, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 4 dan 7 UU No. 1 Tahun 1974.
e. Unsur sosiologis, batas umur untuk melangsungkan perkawinan adalah untuk
mengurangi laju pertambahan penduduk karena kelahiran, karena pertambahan
penduduk adalah masalah sosial.
f. Unsur yuridis, dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun
1974.

36
B.Sahnya Perkawinan

1. Menurut Sistem Hukum Civil Law (KUHPerdata) : Perkawinan dianggap sah, jika telah memenuhi
syarat-syarat perkawinan yang ditentukan undang-undang. Jadi sahnya perkawinan apabila
dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (baca ketentuan-ketentuan Pasal 71 dst. KUHPerdata
mengenai syarat formal perkawinan, Pasal 100 dst. mengenai bukti adanya perkawinan).

2. Menurut Sistem Hukum Common Law (Hukum Keluarga AS) : Perkawinan dianggap sah jika
telah memenuhi syarat-syarat perkawinan baik syarat-syarat materiil (validity of marriage)
maupun syarat formal (formaliteis of marriage) yaitu syarat yang berkaitan dengan
pengumuman untuk melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat materiil (validity of marriage),
yaitu : Consent (kesepakatan kedua belah pihak), age (umur), capacity (kemampuan untuk
melaksanakan perkawinan), beetwen close relatives (larangan perkawinan). Sedangkan syarat
formal adalah syarat yang berkaitan dengan pengumuman dalam melangsungkan perkawinan.

3. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 (UUP), Pasal 2 Ayat (1), menentukan : Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

4. Inpres No. 1 Tahun 1991 (KHI), Pasal 4 menentukan : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.

37
Jika yang melakukan perkawinan tersebut beragama Islam, maka sahnya
perkawinan harus memenuhi rukun nikah. Rukun nikah adalah unsur-unsur yang
harus dipenuhi untuk melangsungkan suatu pernikahan. Rukun nikah terdiri atas :

a. Calon suami, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar pria, tidak
karena terpaksa, bukan mahram (perempuan calon istri), tidak sedang ihram
haji atau umrah, dan usia sekurang-kurangnya 19 tahun.
b. Calon istri, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar perempuan,
tidak karena terpaksa, halal bagi calon suami, tidak bersuami, tidak sedang
ihram haji atau umrah, dan usia sekurang-kurangnya 16 tahun.
c. Wali mempelai perempuan, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa),
berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji
atau umrah. Wali inilah yang menikahkan mempelai perempuan atau
mengizinkan pernikahannya.
d. Sigat akad, yang terdiri atas ijab dan kabul. Ijab dan kabul ini dilakukan oleh wali
mempelai perempuan dan mempelai laki-laki. Ijab diucapkan wali mempelai
perempuan dan kabul diucapkan wali mempelai laki-laki.

38
RUKUN & SYARAT NIKAH

RUKUN SYARATNYA
1. Calon Suami Beragama Islam, tidak terpaksa, bukan
muhrim, tidak sedang ihrom haji atau
umroh, dan beragama Islam.

2. Calon Istri Tidak terpaksa, bukan muhrim, tidak


bersuami, tidak sedang dalam masa
idah, dan tidak sedang ihrom haji atau
umroh.
3. Adanya Wali Mukallaf (Islam, dewasa, sehat akal)
(Ali Imran : 28), laki-laki merdeka,
adil dan tidak sedang ihrom haji atau
Umroh.
4. Adanya 2 Orang Saksi Syaratnya sama dengan no : 3
5. Adanya Ijab dan Qobul Dengan kata-kata " nikah " atau
yang semakna dengan itu. Berurutan
antara Ijab dan Qobul.
39
5. Sahnya atau Upacara Perkawinan Menurut Hukum Adat di Indonesia

Pada umumnya acara perkawinan adat telah meresepsi hukum


perkawinan berdasarkan ketentuan agama.
a. Agama Islam, telah memenuhi rukun nikah, yaitu : Calon mempelai
wanita dan pempelai pria, wali nikah, saksi-saksi, dan Ijal Kabul.
b. Agama Katolik : Mempelai wanita dan pria mengucapkan janji
perkawinan dihadapan pendeta/pasteur di gereja.
c. Budha : Mempelai wanita dan pria mengucapkan janji perkawinan
dihadapan altar vihara suci sang Budha/Bodisatwa dan bhikkunni/
khikkuhu/sumanera.
d. Hindu : Mempelai pria-wanita melaksanakan upacara beakala dimuka
sanggar (natar) dengan pemberkatan (mejaya-jaya) oleh Brahmana.

40
C. Perbedaan-Peredaan & Persamaan-Persamaan Konsep Perkawinan
Menurut Sistem Hukum
1. Perbedaan-Perbedaan Konsep Perkawinan Menurut Sistem Hukum Civil Law
(KUHPerdata), Sistem Hukum Agama, Undang-Undang Perkawinan dan KHI

a. Menurut Sistem Hukum Civil Law (KUHPerdata)


Konsepsi perkawinan perdata dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 26
KUHPerdata yang berbunyi : Undang-undang memandang soal perkawinan
hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
Ketentuan ini berarti, bahwa :
1) KUHPerdata hanya mengenal perkawinan yang dilangsungkan menurut
UU dan dihadapan pegawai catatan sipil.
2) Pejabat gereja baru boleh melangsungkan perkawinan apabila
perkawinan menurut UU sudah dilangsungkan di hadapan Pegawai
Catatan Sipil (Pasal 81 KUHPerdata).
3) UU tidak mencampuri upacara-upacara gereja (tidak diperhatikan aspek
religius).
4) UU tidak memperhatikan faktor biologis misalnya kemandulan.
5) UU tidak memperhatikan motif-motif yang mendorong pihak-pihak yang
melakukan perkawinan.
41
b. Menurut Hukum Hukum Agama, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang KHI, dan
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Bahwa suatu perkawinan itu tidak hanya sebatas aspek keperdataan saja, tetapi
termasuk aspek agama dan keluarga. Oleh karena itu maka sahnya perkawinan
apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing pihak.
Jadi perkawinan itu dipandang dari aspek relegius dan kemudian dilanjutkan dengan
tindakan adminidtratif (pencatatan perkawinan, baik di KUA bagi yang muslim dan di
Kantor Catatan Sipil bagi non muslim).

c. Menurut Hukum Adat


Perkawinan bukan perikatan/kesatuan para pihak saja, tetapi kesatuan dari dua
keluarga mempelai. Urusan perkawinan merupakan urusan keluarga.
Dalam sistem civil Law (KUHPerdata) tidak jelas unsur bathiniahnya (cinta kasih ), hanya
lahiriah saja, tetapi untuk tujuan lain. Contoh: perkawinan untuk menghapuskan hutang.
Dalam UUPerkawinan, disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan KTYME, sedangkan dalam KUHPerdata
tidak disebutkan.
Dalam KUHPerdata tidak dimasukkan unsur keagamaan secara tegas. Sedangkan dalam
UU Perkawinan, disebutkan bahwa sahnya perkawinan dilakukan menurut agama.
Contoh Kasus : Dalam KUHPerdata, seorang pemuka agama yang melangsungkan suatu
perkawinan, sedangkan pencatatan belum dilakukan, maka dapat dikenai pidana dengan
Pasal 530 KUHPid Ayat1). Sehingga yang dipentingkan dalam KUHPerdata adalah Kantor
Catatan Sipil.
42
2. Persamaan-Persamaan Konsep Perkawinan Menurut Sistem Hukum
Civil Law (KUHPerdata), Sistem Hukum Agama, Undang-Undang
Perkawinan dan KHI

Dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun Islamic Law, UUP
dan KHI, perkawinan adalah sebuah perjanjian berdasarkan persetujuan sukarela
yang bersifat pribadi antara seorang pria dan seorang wanita untuk menjadi suami
isteri. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga
yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak masyarakat dan
pembentukan peradaban.
Semua Sistem hukum memandang perkawinan adalah sebagai perjanjian atau aqad
(dalam Islam).
Perjanjian atau aqad dalam perkawinan berbeda dengan perjanjian yang di atur
dalam Buku III KUHPerdata. Perbedaan dimaksud adalah sbb :

a. Dilihat dari para pihak .


b. Isi perjanjian ditentukan oleh para pihak sedangkan isi perkawinan ditentukan
oleh UU.
c. Peralihan hak, hak-hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian dapat dialihkan
sedangkan hak-hak dan kewajiban yang timbul dari perkawinan tdak dapat
dialihkan.
d. Hapusnya perjanjian ditentukan oelh kesepakatan para pihak sedangkan
hapusnya perkawinan/ putusnya perkawinan harus berdasarkan alasan-alasan
yang terbatas dalam UU.
43
D. Perbandingan Asas Monogami Menurut Sistem Civil Law
(KUHPerdata), Sistem Hukum Islam (KHI), Sistem Hukum Adat, dan
Undang-Undang Perkawinan
1. Menurut Sistem Hukum Sivil Law (KUHPerdata ) :
Dalam KUHPerdata menganut monogami mutlak, artinya seorang suami hanya
dapat mempunyai satu orang isteri dalam waktu yang bersamaan, tanpa alasan
dan syarat apapun. Demikian juga sebaliknya, isteri hanya dapat mempunyai
seorang suami.
2. Sistem Hukum Islam (KHI), Sistem Hukum Adat, dan UU Perkawinan
Menganut mmonogami relatif artinya dapat disimpangi apabila memenuhi
alasan dan syarat-syarat trtentu.
Adapun alasan-alasanya, yaitu:
a. Istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedangkan syarat-syarat untuk poligami, yaitu :
d. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
e. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
f. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
44
D. Perbandingan Harta Perkawinan Menurut Sistem Hukum

1. Harta Perkawinan Menurut Sistem Hukum Civil Law (KUHPerdata)


Menurut Pasal 119 KUHPerdata, menyatakan bahwa :”Kekayaan suami
isteri yang dibawa ke dalam perkawinan akan dicampur jadi satu menjadi
harta persatuan, harta kekayaan mereka bersama (percampuran harta
secara bulat).
Maksudnya, jika tidak dibuat perjanjian kawin, maka kekayaan kedua
belah pihak dicampur menjadi satu kekayaan bersama, tanpa mengingat
asal-usulnya harta dan jika perkawinan putus, maka masing-masing suami-
isteri berhak atas separuh bagian dari harta bersama tersebut.

Calon Isteri-suami dibolehkan membuat perjanjian perkawinan untuk


mngatur harta kekayaan mereka untuk mnyimpang dari ketentuan yang
ditetapkan UU. Misalnya perjanjian kawin yang dapat diadakan:
a. Perjnjian yang berisi : Harta bersama dan harta masing.
b. Perjanjian persatuan untung rugi (gameenschap van wins en verlies).
c. Perjanjian persatuan hasil pendapat (gemenschap van vruchten en
inkomsten).
45
2. Harta Perkawinan Menurut Sistem Hukum Adat
Dalam sistem Hukum Adat mengenal jenis-jenis harta perkawinan seperti :
a. Harta bersama/harta pencarian (Jawa disebut harta gono-gini, Minangkabau
disebut Harta Suarang, dll), adalah meliputi segala kekayaan yang diperoleh suami
atau isteri atau kedua-duanya secara bersama-sama, selama berlangsungnya
perkawinan.
b. Harta bawaan/harta asal (Jawa disebut Gawan, Lampung disebut Sesan, dll),
adalah meliputi harta/barang yang diperoleh suami/isteri sebelum mereka
menikah, harta/barang yang diperoleh dari warisan atau hibah.
c. Harta pusaka/harta peninggalan (hanya utk daerah tertentu, seperti: Batak,
Minangkabau, Bali dsb), meliputi benda pusaka yang dimiliki bersama (hak
kolektif).
d. Penguasaan harta perkawinan bergantung sistem kekerabatannya.

3. Harta Perkawinan Menurut Sistem Hukum Islam (KHI)


Menurut Pasal 1 huruf f KHI : Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah
harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam
ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;

Pasal 85 KHI : Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
Pasal 86 (1) KHI, menyatakan bahwa : “Pada dasarnya tidak ada percampuran antara
harta suami dan harta istri karena perkawinan”
Jadi KHI mengenal harta perkawinan : Harta Bawaan dan Harta bersama.
46
4. Harta Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan

Diatur dalam Pasal 35 – 37 UUP.


Pasal 35 UUP menentukan bahwa harta yg dibawa oleh masing-masing suami-
istri (harta bawaan) tetap menjadi milik masing-masing, yg dicampur menjadi satu
hanyalah harta yg diperoleh dari usaha bersama selama pernikahan.
Harta perkawinan menurut uup terdiri dari :
a. Harta bersama.
b. Harta bawaan.

Harta bersama adalah hak bersama suami dan istri, digunakan atas perjanjian
kedua belah pihak. (Psl 36 Ayat (1).
Harta bawaan, hak sepenuhnya masing-masing pihak (Psl 36 Ayat (2).
Menurut UU Perkawinan ini, calon Istri-suami dibolehkan membuat perjanjian
perkawinan untuk mngatur harta kekayaan mereka. Maksudnya mengadakan
perjanjian perkawinan ini untuk mnyimpang dari ketentuan yang ditetapkan oleh
UU.
Perjanjian kawin harus dibuat dengan suatu akta notaris sebelum waktu
dilangsungkannya perkawinan, untuk kemudian didaftarkan ke Pengadilan Negeri
setempat.

47
PERBANDINGAN PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI)

A. Istilah dan Pengertian Pengangkatan Anak (Adopsi)


1. Istilah Pengangkatan Anak (Adopsi)
Secara etimologis, asal usul kata pengangkatan anak berasal dari kata
“Adoptie” (bahasa Belanda) atau “Adoption” (bahasa Inggris) yang berarti
pengangkatan anak. Dalam bahasa Arab disebut “Tabanni” yang diartikan
dengan “mengambil anak angkat”, atau “menjadikannya sebagai anak”.

Hukum Adat di Indonesia :


Hukum Adat Sasak “ Anak Akon”.
Hukum Adat Bali
Pengangkatan anak dikenal dengan istilah seperti : “Meras Pianak” ,
”Meras Sentana”, ”Ngidih Sentana” atau “Ngidih Pianak” . Kata ”sentana”
berarti anak atau keturunan dan kata ”Meras” berasal dari kata peras yaitu
semacam sesajen atau banten untuk pengakuan/pemasukan si anak ke
dalam keluarga orang tua angkatnya.
48
2. Pengertian Pengangkatan Anak (Adopsi)
a. Surojo Wigjodiporo, mengemukakan : Pegangkatan anak adalah suatu
perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri
sedemikian rupa, sehingga antara orang yang mengangkat anak dan anak
yang dipungut/diangkat itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama
seperti yang ada antara orangtua dan anak kandungnya sendiri.
b. Soerjono Soekanto, mengatakan : Pengangkatan anak adalah suatu
perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat
seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya
hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah.
c. Hukum Islam : Pengangkatan anak adalah mengambil anak orang lain untuk
diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang dengan tanpa
diberikan status anak oleh orang tua angkat sebagi anak sendiri.
d. Hukum Adat Bali, Pengangkatan anak adalah anak orang lain diangkat oleh
orang tua angkatnya menurut adat setempat, sehingga dia mempunyai
kedudukan sama seperti anak kandung yang dilahirkan oleh orang tua
angkatnya tersebut. Hal ini selanjutnya akan membawa akibat hukum
dalam hubungan kekeluargaan, waris dan kemasyarakatan. Konsekuensinya
disini segala hak dan kewajiban yang ada ada orang tua angkatnya akan
dilanjutkan oleh anak angkat itu sendiri, sebagaimana layaknya seperti anak
kandung.
49
B. Tujuan atau Motifasi Pengangkatan Anak (Adopsi)
1. Menurut Civil Law (Stb. 1917-129) :
Pengangkatan anak dilakukan dengan alasan apabila seorang laki-laki yang kawin
atau telah pernah kawin, tidak mempunyai keturunan laki-laki yang sah menurut
garis laki-laki, baik karena pertalian darah maupun karena pengangkatan. Menurut
Staatblad ini, pengangkatan anak dilakukan karena dalam suatu perkawinan tidak
mendapatkan keturunan/anak laki-laki.
2. Menurut Hukum Islam
Pengangkatan anak dilakukan atas dasar tolong-meneolong, kasih-mengasihi
sesama manusia.
3. Menurut Hukum Adat di Indonesia
Tujuan pengangkatan anak di Indonesia jika ditinjau dari segi hukum adat, terbagi
atas beberapa macam alasan dilakukan pengangkatan anak, yaitu :
a. Karena tidak mempunyai anak.
b. Karena belas kasihan terhadap anak tersebut disebabkan orangtua si anak tidak
mampu memberi nafkah kepadanya.
c. Karena belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak mempunyai
orangtua (yatim piatu).
d. Sebagai pemancing bagi anak laki-laki, maka diangkatlah anak perempuan atau
sebaliknya.
50
e. Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk bisa
mempunyai anak kandung.
f. Dengan maksud agar si anak yang diangkat mendapat pendidikan yang
baik, motivasi ini juga erat hubungannya dengan misi kemanusiaan.
g. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris (regenerasi)
bagi yang tidak mempunyai anak.
h. Diharapkan anak angkat dapat menolong dihari tua dan menyambung
keturunan bagi yang tidak mempunyai anak.

4. Dilihat Dari Berbagai Pihak :


a. Dilihat dari sisi adoptant, karena adanya alasan:
1) Keinginan untuk mempunyai anak atau keturunan.
2) Keinginan untuk mendapatkan teman bagi dirinya sendiri atau
anaknya.
3) Keinginan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak
orang lain yang membutuhkan.
4) Adanya ketentuan hukum yang memberikan peluang untuk
melakukan suatu pengangkatan anak.
5) Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak
untuk kepentingan pihak tertentu.
51
b. Dilihat dari sisi orangtua anak, karena adanya alasan :
1) Perasaan tidak mampu untuk membesarkan anaknya sendiri.
2) Kesempatan untuk meringankan beban sebagai orangtua karena ada
pihak yang ingin mengangkat anaknya.
3) Imbalan-imbalan yang dijanjikan dalam hal penyerahan anak.
4) Saran-saran dan nasihat dari pihak keluarga atau orang lain.
5) Keinginan agar anaknya hidup lebih baik dari orang tuanya.
6) Ingin anaknya terjamin materil selanjutnya.
7) Masih mempunyai anak-anak beberapa lagi.
8) Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anak
sendiri.
9) Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu sebagai akibat dari
hubungan yang tidak sah.
10) Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu mempunyai anak
yang tidak sempurna fisiknya.

52
C. Akibat Hukum Pengangkatan Anak (Adopsi)
1. Menurut Sistem Civil Law (Stb. 1917-129)
a. Anak angkat sama dengan anak kandung.
b. Hubungan keluarga putus dengan orang tua kandung.
c. Mewaris kepada orang tua angkat.

2. Menurut Sistem Hukum Islam


a. Anak angkat tidak sama dengan anak kandung.
b. Hubungan keluarga tidak putus dengan orang tua kandung.
c. Mewaris kepada orang tua kandung.

3. Menurut Istem Hukum Adat Di Indonesia


Tergantung dari kekeluargaan yang di anaut oleh masyarakat adat yang
bersangkutan dan motif dan tujuan pengangkatan anak.

Baca juga PP 54 Tahun 20007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.


53

Anda mungkin juga menyukai