Anda di halaman 1dari 10

HUKUM ACARA PERDATA

Pengertian Hukum Acara Perdata


Hukum acara perdata yang termasuk dalam hukum formil, adalah peraturan hukum yang
mengatur cara – cara untuk mempertahankan hukum perdata materiil, apabila timbul pelanggaran
hak dan kewajiban pada hukum perdata materiil.
Sumber Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata menurut pasal 5 ayat 1 UUDar. 1/1951, dilakukan berdasarkan peraturan
perundang – undangan yang telah ada dan berlaku, yaitu:
1. Het Herziene Indonesisch Reglement(HIR).
2. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering(RV).
3. UU no. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
4. UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
5. PP no. 9 tahun 1975 tentang pelaksanan UU no. 1 tahun 1974.
6. UU no. 20 tahun 1947 tentang banding di pengadilan tinggi untuk Jawa dan Madura.
7. UU no. 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
8. UU no. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
9. Yurisprudensi, SEMA, Perjanjian Internasional, Doktrin, dll.
Asas –Asas Hukum Acara Perdata
Asas – asas yang terdapat dalam hukum acara perdata anatara lain adalah hakim bersifat
menunggu, hakim bersifat pasif, persidangan bersifat terbuka, mendengar kedua belah pihak,
putusan disertai alasan – alasan, beracara dikenakan biaya, dan tidak ada keharusan untuk
mewakilkan.
Pihak – Pihak dalam Hukum Acara Perdata
Terdapat tiga pihak dalam hukum acara perdata. Pihak – pihak tersebut antara lain, penggugat,
tergugat, dan turut tergugat. Penggugat (eiser atau plaintiff) adalah pihak yang mengajukan
gugatan karena merasa hak –haknya dilanggar. Sedangkan tergugat (gedaagde atau defendant)
merupakan pihak yang digugat oleh penggugat yang dirasa telah melanggar haknya. Lalu, turut
tergugat, yaitu pihak – pihak yang demi formalitas gugatan harus dilibatkan sebagai pihak –
pihak yang tunduk dan taat pada putusan hakim.
Tuntutan Hak/Gugatan
Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang
dilakukan melalui pengadilan. Tuntutan hak atau gugatan ini harus dibedakan dengan
permohonan. Dalam gugatan, terdapat konflik kepentingan antara pihak satu dengan pihak
lainnya. Sedangkan dalam permohonan kepentingannya adalah kepentingan sepihak dan tidak
ada kepentingan pihak lain.
Kompetensi Mengadili
Kompetesi pengadilan dibagi menjadi dua yaitu kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
a. Kompetensi Absolut
Dalam hal ini perkara dalam hukum acara perdata adalah perkara perdata sehingga kompetensi
ada pada Peradilan Umum. Dalam peradilan umum terdapat tiga institusi yang memiliki
hubungan hierarki, yaitu Pengadilan Negeri (Kotamadya/Kabupaten) atau pengadilan tingkat
pertama, lalu Pengadilan Tinggi (Provinsi) atau pengadilan tingkat. Kemudian yang terakhir
adalah Mahkamah Agung, wewenangnya adalah memeriksa pengajuan kasasi dengan memeriksa
hanya penerapan hukumnya pada tahap banding.
b. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif diatur dalam pasal 118 HIR jo. pasal 125 ayat (2) HIR. Kompetensi relatif
yaitu kompetensi mengenai kewenangan mengadili pada pengadilan yang sejenis. Terdapat enam
macam kondisi yang memperngatuhi kompetensi relatif Pengadilan Negeri diajukannya gugatan,
yaitu Actor Sequitor Forum Rei, Actor Sequitor Forum Rei ditambah Hak Opsi, Actor Sequitor
Forum Rei tanpa Hak Opsi, Forum Rei Sitae, Domisili Penggugat, dan Pemilihan Domisili.
Tahap Beracara
Tahapan beracara secara umum dibedakan menjadi tahap admiistrasi dan tahap yudisial. Pada
tahap administrasi penggugat mendaftrakan gugatannya di pengadilan, lalu membayar biaya –
biaya perkara, sehingga menerima tanda bukti pembayaran.Kemudian pihak pengadilan
menerima perkara tersebut.Panitera member nomor register pada perkara.Selanjutnya panitera
menyampaikan pada Ketua Pengadilan Negeri, lalu Ketua Pengadilan Negeri menentukan
majelis hakim yang akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Kemudian majelis hakim
menentukan sidang hari pertama.Kemudian Panitera membuat surat panggilan dan disampaikan
kepada para pihak oleh juru sita, dan selanjutnya masuk ke tahap yudisial.
Pada tahap yudisial, secara garis besar dibagi lagi menjadi empat tahap, yaitu:
a) Tahap hari sidang pertama
1. Penggugat dan tergugat sama-sama hadir, hakim terlebih dahulu harus berusaha
mendamaikan seperti yang diatur dalam pasal 130 HIR
2. Penggugat hadir tetapi tergugat tidak hadir, maka majelis hakim memeriksa apakah
pemanggilan telah dilakukan dengan sah atau tidak, kemudian tergugat dipanggil sekali
lagi (pasal 126 dan pasal 127 HIR), jika tidak juga hadir, maka gugatan diputus verstek
(pasal 125 ayat (1) HIR), putusan verstek dapat diajukan upaya hukum verzet (pasal 129
HIR).
3. Penggugat tidak hadir, tegugat hadir, maka majelis hakim seperti sebelumnya memeriksa
terlebih dahulu apakah pemanggilannya sah atau tidak, kemudian penggugat dipanggil
sekali lagi.Jika penggugat tidak hadir maka gugatannya dinyatakan gugur dan
menanggung seluruh biaya perkara (pasal 124 HIR).
4. Penggugat dan tergugat sama sama tidak hadir, mmaka sidang ditunda dan para pihak
dipanggil sekali lagi.
b) Tahap Jawab menjawab, terdiri dari tahap jawaban tergugat, replik, duplik, kesimpulan
pengugat dan tergugat;
c) Tahap pembuktian;
d) Tahap pembacaan putusan dan pelaksanaan putusan.
Mediasi
Menurut ketentuan pasal 130 HIR, hakim diwajibkan untuk mendamaikan kedua belah pihak
pada hari sidang yang telah ditetapkan. Mengenai mediasi diatur dalam ketentuan Perma No. 1
Tahun 2008 yang menggantikan ketentuan Perma No. 2 Tahun 2003 tentang mediasi. Mediasi
diwajibkan untuk semua jenis perkara perdata yang diajukan di pengadilan tingkat pertama,
kecuali mengenai hal-hal seperti pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan
atas putusan BPSK, dan keberatan atas putusan KPPU. Apabila proses mediasi ini tidak
dilaksanakan maka dapat mengakibatkan putusannya akan batal demi hukum. Selanjutnya
sebagai bukti telah diupayakannya suatu pendamaian maka hasil mediasi harus ikut dimuat
dalam dictum atau amar putusan secara lengkap. Mediator adalah pihak netral yang bertugas
membantu para pihak melalui proses perundingan dalam rangka mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa tanpa melalui proses penjatuhan putusan atau pemaksaan kehendak, atau
singkatnya pihak yang melakukan mediasi. Proses mediasi berlangsung selama 40 hari kerja,
dengan tambahan 14 hari kerja apabila diminta oleh para pihak berdasarkan kesepakatan
bersama. Apabila para pihak berhasil berdamai atau proses mediasi telah berhasil maka hasil
mediasi tersebut akan disampaikan mediator kepada hakim dalam bentuk tertulis yaitu surat
perjanjian di atas tangan dan bermaterai. Selanjutnya setelah hakim menerima pernyataan
perdamaian antar para pihak, hakim akan tetap menjatuhkan putusannya, hanya saja dalam
putusan ini memerintahkan kedua belah pihak untuk berdamai sesuai dengan isi surat perjanjian
perdamaian yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Atas putusan ini tidak
diperbolehkan diajukan banding meskipun kekuatan putusan ini layaknya kekuatan putusan biasa
pada umumnya. Putusan ini disebut juga dengan acte van vergelijk.
Sita Jaminan
Ketentuan mengenai sita jaminan diatur dalam pasal 227 HIR. Terkait tata cara penyitaan seta
akibat hukumnya diatur dalam pasal 197, 198 dan 199 HIR yang pada pokoknya sebagai berikut:
a) Penyitaan dijalankan oleh Panitera Pengadilan Negeri.Apabila berhalangan digantikan oleh
orang lain yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri.
b) Panitera atau penggantinya dalam melakukan penyitaan harus disertai dua orang saksi, yang
nama, pekerjaan, dan tempat tinggalnya disebutkan dalam berita acara dan ikut
menandatangani berita acara.
c) Pelaksanannya dimulai dari benda bergerak terlebih dahulu, kecuali dalam hal sengketa
kepemilikan benda tetap.
d) Terhadap benda bergerak,Penyitaan tidak boleh dilakukan atas barang – barang atau hewan
yang sungguh berguna bagi yang disita dalam melakukan pekerjaannya.
e) Benda tidak bergerak yang disita atau sebagian disita itu harus dibiarkan berada ditangan
orang yang disita atau dibawa untuk disimpan di tempat yang patut.Dalam hal barang tersebut
dibiarkan ditangan orang yang disita, maka harus diberitahukan kepada aparat di lingkungan
yang disita agar melakukan pengawasan jangan sampai barang tersebut dialihkannya.
f) Terhadap benda tidak bergerak, maka berita acaranya harus diumumkan, dicatat dalam buku
letter C di Desa, dicatat di dalam buku tanah di kantor pertanahan, dan salinan berita acara
dimuat dalam buku yang khusus disediakan untuk itu di Kantor Kepaniteraan Pengadilan
Negeri dengan menyebutkan hari, tanggal, dan waktu penyitaannya.Penyitaan benda tidak
bergerak itu harus diumumkan agar diketahui masyarakat.
Pembuktian
Hukum pembuktian ini termuat dalam HIR ( Herziene Indonesische Reglement ) yang berlaku di
wilayah Jawa dan Madura, Pasal 162 sampai dengan Pasal 177; RBg ( Rechtsreglement voor de
Buitengewesten ) berlaku diluar wilayah Jawa dan Madura, Pasal 282 sampai dengan Pasal 314;
Stb. 1867 No. 29 tentang kekuatan pembuktian akta di bawah tangan; dan BW (Burgerlijk
Wetboek ) atau KUHPerdata Buku IV Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1945.
Pasal 163 HIR menyatakan bahwa dalam hal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang
harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara tersebut yang akan menentukan
siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak
penggugat atau pihak tergugat. Hakim berwenang membebankan kepada para pihak untuk
mengajukan suatu pembuktian dengan cara yang seadil-adilnya. Hal– hal yang harus dibuktikan
adalah peistiwa –peristiwa yang didalilkan oleh pihak yang mendalilkan. A lat-alat bukti dalam
hukum acara perdata menurut ketentuan pasal 164 HIR terdiri atas :
a) Bukti surat (diatur dalam pasal 165-167 HIR);
b) Bukti saksi (diatur dalam pasal 168-172 HIR);
c) Persangkaan (diatur dalam pasal 173-174 HIR);
d) Pengakuan (diatur dalam pasal 175-176 HIR);
e) Sumpah (diatur dalam pasal 177 jo 155, 156 HIR).
Putusan dan Jenis-Jenisnya
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo putusan merupakan sutu pernyataan oleh hakim,
sebagai pejabat yang memiliki wewenang untuk itu, yang diucapkan di depan sidang untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Putusan
dibedakan menjadi dua, yaitu putusan sela dan putusan akhir. Putusan sela adalah putusan yang
dijatuhkan sebelum putusan akhir dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah
kelanjutan pemeriksaan perkara. Contoh putusan sela misalnya putusan provisional yaitu putusan
yang menjawab permintaan pihak yang berperkara supaya diadakan tindakan pendahuluan untuk
kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan, misalnya dalam hal sita jaminan.
Sedangkan putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu perkara dalam suatu pengadilan.
Berdasarkan sifatnya putusan dibedakan menjadi tiga, yaitu putusan declaratoir, putusan
constitutif, dan putusan condemnatoir. Putusan declaratoir yaitu putusan yang hanya semata-
mata bersifat menerangkan suatu keadaan saja, contohnya putusan yang menyatakan seseorang
bernama Amin adalah anak angkat yang sah dari Budi dan Nini. Sedangkan putusan constitutive
adalah putusan yang meniadakan dan/atau menimbulkan suatu keadaan hukum.Misalnya putusan
perceraian, putusan yang menyatakan seseorang pailit. Putusan condemnatoir, yaitu putusan
yang berisi suatu penghukuman. Misalnya suatu putusan dimana seseorang dihukum untuk
menyerahkan sebidang tanah miliknya.
Beberapa asas – asas putusan baik yang diatur dalam HIR dan UU Kekuasaan Kehakiman
akan dijelaskan sebagai berikut: memuat dasar alasan yang jelas dan rinci, wajib mengadili
seluruh bagian gugatan, diucapkan di muka umum. Mula – mula putusan ditentukan dengan
sidang permusyawaratan hakim yang sifatnya rahasia, dimana setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangannya dan apabila tidak tercapai mufakat bulat, maka pendapat hakim yang berbeda
wajib dimuat dalam putusan sebagai dissenting opinion. Kemudian setelah mencapai mufakat,
Putusan Hakim tersebut harus dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk umum.
Sistematika Putusan
Berdasarkan pasal 184 HIR suatu putusan hakim harus berisi: suatu keterangan singkat tetapi
jelas dari isi gugatan dan jawaban, alasan-alasan yang dipakai sebagai dasar dari putusan hakim,
keputusan hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara, keterangan apakah pihak-
pihak yang berperkara hadir pada waktu keputusan itu dijatuhkan, kalau keputusan itu
didasarkan atas suatu undang-undang, ini harus disebutkan, tandatangan hakim dan panitera.
Kemudian pasal 23 UU No. 14/1970 menentukan isi keputusan pengadilan selain harus memuat
alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
perturan–peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili.Berdasarkan pengaturan – pengaturan tersebut, maka dapat ditentukan
sistematika suatu putusan biasanya berisikan hal – hal sebagai berikut :
1. Kepala putusan
Pada bagian ini dicantumkan titel eksekutorial sebagai dasar bagi pelaksanaan dan eksekusi
putusan. Contoh dari titel eksekutorial ini adalah pernyataan “Demi Keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2. Identitas para pihak yang berperkara
Identitas yang dimuat harus lengkap dan jelas.
3. Pertimbangan-pertimbangan hukum dari hakim
Bagian ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu pertimbangan mengenai duduk perkara atau feitelijke
gronden dan pertimbangan mengenai hukumnya sendiri atau rechts gronden. Dalam
pertimbangan mengenai duduk perkara berisi apa saja yang muncul dalam persidangan secara
lengkap, sedangkan dalam pertimbangan mengenai hukum berisi alasan-alasan hukum yang
mendasari putusan hakim.
4. Amar putusan atau dictum
Merupakan jawaban atas petitum dari suatu gugatan, bersifat deklaratif dan dispositif. Sifat
deklaratif di sini berarti amar itu merupakan penerapan dari hubungan hukum yang
disengketakan.
5. Tanda Tangan
Setiap putusan harus ditandatangani oleh Majelis Hakim Ketua, Hakim Anggota, dan Panitera
sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat (3) HIR dan pasal 24 UU no. 48 tahun 2009.
Upaya Hukum
Upaya hukum menurut Prof. Sudikno Mertokusumo adalah upaya atau alat untuk mencegah atau
memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. Upaya hukum dibedakan menjadi upaya hukum
biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa terdiri dari perlawanan terhadap putusan
verstek (verzet), banding, dan kasasi. Sedangkan upaya hukum luar biasa dapat terdiri dari
Peninjauan Kembali dan perlawanan pihak ketiga(derdenverzet).
Perlawanan (verzet)
Perlawanan atau verzet adalah upaya hukum terhadap putusan verstek.Putusan verstek adalah
putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat.Dasar hukumnya adalah pasal 129
HIR.Pengajuan verzet harus dalam tenggang waktu 14 hari sejak putusan verstek dijatuhkan atau
disampaikan kepada tergugat (pasal 129 ayat (2) HIR), namun apabila terdapat eksekusi maka
tidak boleh lebih dari 8 hari.Upaya hukum verzet ini diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
yang berwenang di wilayah hukum dimana penggugat mengajukan gugatan.
Banding
Upaya hukum banding diajukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan Pengadilan
Negeri. Upaya hukum banding ini nantinya akan diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tinggi
sebagai pengadilan tingkat banding.Dasar hukum upaya hukum banding, yaitu UU no. 20 tahun
1947 tentang Peradilan Ulangan dan UU no 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman, yang
telah digantikan oleh UU no 48 tahun 2009.Peraturan – peraturan ini sekaligus mencabut
ketentuan sebelumnya yang diatur oleh pasal 188-194 HIR.
Kasasi
Berdasarkan pasal Pasal 22 UU No 4 tahun 2004 dan Pasal 43 UU No 14 tahun 1985 jo UU No 5
tahun 2004, upaya hukum kasasi diajukan kepada Mahkamah Agung. Adapun secara
keseluruhan kewenangan MA tercantum dalam pasal 29 dan pasal 30 UU no. 14 tahun 1985.
Pasal 29 UU no. 14 tahun 1985 mengatur wewenang MA antara lain, memeriksa dan mrmutus
kasasi.Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung hanaya memeriksa penerapan hukumnya saja, oleh
karena itu sering disebut sebagai pemeriksaan judex juris.
Peninjauan Kembali
Mengenai peninjauan kembali, diatur dalam pasal 66 sampai dengan pasal 77 UU no. 14 tahun
1985 tentang Mahkamah Agung dan pada UU no. 5 tahun 2004 tentang perubahan atas UU no
14 tahun 1985. Peninjauan Kembali menurut pasal 23 ayat (1) UU No 4 tahun 2004 hanya dapat
diajukan apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan UU, terhadap
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dimintakan PK kepada MA dalam
perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yg berkepentingan. Berdasarkan pasal 66 ayat (1)
UU 14 tahun 1985 Terhadap putusan Peninjauan Kembali tidak dapat dilakukan Peninjauan
Kembali. Jadi, Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. Kemudian
pasal 67 UU no 14 tahun 1985 menentukan alasan – alasan Pengajuan PK, yaitu antara lain : Bila
putusan didasarkan pada tipu muslihat atau pada bukti yang palsu yang harus diketahui setelah
kasasi diputus; Bila setelah perkara diputus, ternyata ditemukan surat-surat bukti baru yang baru
ditemukan dan bersifat menentukan, yang tidak dapat ditentukan saat pemeriksaan perkara; Bila
telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau melebihi hal yang dituntut sehingga
melanggar pasal 178 HIR; Bila mengenai bagian dari tuntutan yang brlum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab – sebabnya; Bila antara pihak-pihak yg sama oleh pengadilan yg sama
atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yg bertentangan satu dengan yg lain; Bila dalam
satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Derdenverzet
Derdenverzet merupakan perlawanan pihak ketiga terhadap putusan apabila hak – hak pihak
ketiga tersebut dirugikan. Dasar hukumnya adalah pasal 378 Rv.Adanya derdenverzet ini adalah
berdasarkan pasal 1917 KUHPerdata yang menekankan putusan tidak mengikat pihak ketiga,
sehingga pihak ketiga dapat mengutarakan keberatannya dengan adanya upaya hukum
derdenverzet ini.

Anda mungkin juga menyukai