Anda di halaman 1dari 9

HUKUM ACARA PIDANA

Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana


Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara pidana merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang
memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara degan mengadakan hukum pidana. Hukum
acara pidana sebagai salah satu instrumen dalam sistem peradilan pidana pada pokoknya memiliki
fungsi utama, yaitu: Mencari dan menemukan kebenaran; Pengambilan keputusan oleh hakim, dan
Pelaksanaan daripada putusan yang telah diambil itu. Tujuan hukum acara pidana untuk mencari dan
menemukan kebenaran materiil itu hanya merupakan tujuan awal, artinya ada tujuan akhir yaitu yang
menjadi tujuan seluruh tertib hukum nasional, dalam hal ini mencapai suatu masyarakat tertib,
tenteram, damai, adil, dan sejahtera.

Sejarah Perkembangan Hukum Acara Pidana Indonesia


Sebelum era KUHAP, hukum acara pidana berturut-turut berlaku:
a. Inlands Reglement
b. Herziene Inland Reglement
c. Rechtsreglement voor de Buitengewesten
d. Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 (Drt) tahun 1951
e. Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Hukum Acara Pidana dan Sistem Peradilan Pidana


Perbedaannya adalah mengenai obyek kajiannya, dimana hukum acara pidana membahas tentang
proses dalam mencari dan menemukan kebenaran materiil terhadap suatu perkara pidana, sedangkan
sistem peradilan pidana membahas tentang hubungan antar komponen hukum acara pidana dalam
sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuan mencari dan menemukan kebenaran materiil.

Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Acara Pidana


Prinsip-prinsip dasar di dalam Penjelasan Umum KUHAP yang dikategorikan sebagai prinsip dasar
hukum acara pidana sebagai berikut:
a. Persamaan di Muka Hukum (Equality Before The Law)
Pasal yang menunjukkan secara konkret keberadaan prinsip ini adalah di dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
b. Segala Aktivitas Membutuhkan Perintah Tertulis
Aplikasi konkret dari prinsip tersebut dapat dilihat dalam Pasal 18, Pasal 21 ayat (2), Pasal 33 ayat (1)
dan (2), dan Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Kewajiban lain yang menyertai penegak hukum dalam
melakukan upaya paksa tersebut adalah menyusun berita acara terhadap surat perintah yang telah
diberikan dan dilaksanakan sebagaimana tercantum dalam Pasal 75 KUHAP.
c. Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Di dalam KUHAP, pasal yang menunjukkan
prinsip ini adalah Pasal 158 KUHAP.
d. Ganti Kerugian dan Rehabilitasi
Ganti kerugian dan rehabilitasi diatur di dalam Pasal 95-97 KUHAP jo Pasal 7-15 PP Nomor 27 tahun
1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Ganti kerugian dapat diajukan dengan syarat dan ketentuan antara
lain: 1) Diajukan oleh tersangka, terdakwa, atau terpidana karena penangkapan, penahanan,
penuntutan, pemeriksaan persidangan atau karena tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan; 2) Gamti
kerugian ditentukan serendah-rendahnya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp
1.000.000,- (satu juta rupiah) serta apabila karena tindakan tersebut mengakibatkan cacat sehingga
tidak mampu melakukan pekerjaan atau meninggal dunia ganti kerugian ditentukan setinggi-tingginya
Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah); 3) Tuntutan ganti kerugikan diajukan ke pengadilan negeri yang
berwenang memeriksa perkara.
e. Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Makna cepat berhubungan dengan waktu, makna sederhana berhubungan dengan prosesnya dan
makna biaya ringan berhubungan dengan biaya dalam berperkara di pengadilan.
f. Kewajiban Memberikan Bantuan Hukum
Pasal 54 KUHAP menyebutkan: “guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak
mendapat bantuan hukum dari seseorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada
setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”
Kemudian, kewajiban negara untuk memberikan bantuan hukum kepada tersangka/terdakwa dapat
dilihat dalam rumusan Pasal 56 KUHAP.
g. Aqusatoir dan Inqusatoir
Prinsip Inqusatoir dapat dilihat dalam Pasal 164 HIR tentang alat bukti “pengakuan”. Setelah
KUHAP berlaku, bukti pengakuan sudah ditiadakan dan berganti dengan alat bukti “keterangan
terdakwa” atau prinsip aquisatoir dalam Pasal 184 KUHAP. Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP
adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendiri.
h. Pemeriksaan dengan Hadirnya Terdakwa
Di dalam persidangan, pemeriksaan dimulai ketika terdakwa hadir di dalam ruang persidangan.
Terdakwa dipanggil secara sah oleh Penuntut Umum dengan mengirimkan surat panggilan di alamat
tempat tinggal terdakwa. Apabila surat panggilan ini tidak diterima langsung oleh terdakwa, maka
melalui kepala desa di daerah tempat tinggal terdakwa. Apabila terdakwa ditahan, maka surat
panggilan dialamatkan ke pejabat rumah tahanan negara, dan apabila keberadaan terdakwa tidak
diketahui surat panggilan ditempelkan ada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang mengadili
perkara tersebut. Jika terdakwa tidak hadir maka persidangan harus ditunda sampai terdakwa hadir,
dan apabila terdakwa tidak mau hadir di persidangan harus dihadirkan secara paksa ke pengadilan.
i. Persidangan Terbuka untuk Umum
Setelah terdakwa hadir di persidangan, sidang dibuka oleh hakim ketua majelis dan menyatakan
terbuka untuk umum.
j. Hakim Pengawas dan Pengamat
Lembaga baru ini disebut dengan Hakim Pengawas dan Pengamat (KIMWASMAT), dimana hakim
yang memiliki tugas dan fungsi terbatas pada pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan
pengadilan perampasan kemerdekaan. Di dalam KUHAP, dasar hukum tentang tugas dan fungsi
KIMWASMAT dilihat dalam Pasal 277 KUHAP.

Para Pihak dalam Hukum Acara Pidana


a. Penyelidik dan Penyidik
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 KUHAP bahwa penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Diperjelas
dalam Pasal 4 KUHAP bahwa penyelidik adalah setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia.
Sedangkan, berdasarkan Pasal 1 angka 1 KUHAP bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan.
b. Jaksa dan Penuntut Umum
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 huruf a bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan, berdasarkan Pasal 1 angka 6 huruf b, Penuntut
Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.
c. Hakim
Berdasarkan Pasal 1 butir 8 KUHAP, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk mengadili.
d. Panitera
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/004/SK/II/1999 tanggal 1 Februari 1999
sebagaimana diubah dengan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/009/SK/II/2004 tentang
Perubahan atas Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/004/SK/II/1999 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, kepaniteraan memiliki tugas
dan wewenang memberikan pelayanan teknis di bidang administrasi perkara dan administrasi
peradilan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Advokat
Advokat memiliki kewenangan dan tugas di semua tingkatan dalam sistem peradilan pidana, dengan
satu tujuan, memberikan bantuan hukum kepada tersangka/terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal
69 KUHAP. Selain itu, kewenangan advokat untuk melakukan pembelaan dan menjaga hak-hak
tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan dalam sistem peradilan pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 70 ayat (1) KUHAP.
f. Petugas Rumah Tahanan Negara (RUTAN) dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan
(RUPBASAN) dan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)
Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 sebagaimana diubah dan
ditambah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 bahwa RUTAN adalah tempat
tersangka/terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan. RUPBASAN adalah tempat benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti
dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
termasuk barang yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan hakim. Selanjutnya, berdasarkan
Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, LAPAS
adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
g. Tersangka
Berdasarkan Pasal 1 butir 14 KUHAP, tersangka adalah seorang yang karena perbuatan atau
keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
h. Terdakwa
Sesuai dengan Pasal 1 butir 15 KUHAP pengertian terdakwa adalah seorang tersangka yag dituntut,
diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan.
i. Terpidana
Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (Pasal 1 butir 32 KUHAP)
j. Narapidana
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS sebagaimana
yang dimaksud di dalam Pasal 1 butir 7 Undang-Undang Lembaga Pemasyarakatan.
k. Saksi
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 butir 26, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Terdapat kualifikasi pihak yang tidak dapat menjadi saksi,
yaitu keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa ,
saudara terdakwa, dan suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai. (Pasal 168 KUHAP)
l. Ahli
Berdasarkan Pasal 1 butir 28 KUHAP bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan
Proses Perkara Pidana di Indonesia
a. Sumber Tindakan
Sumber tindakan adalah apa yang melatarbelakangi dimulainya proses tindakan dalam hukum acara
pidana. Berdasarkan Pasal 102 ayat (1) dan (2) KUHAP, maka penyelidikan dapat dimulai apabila
terdapat beberapa hal, yaitu: diketahui oleh petugas, laporan dan pengaduan, dan tertangkap tangan.
b. Penyelidikan
Berdasarkan Pasal 1 butir 5 KUHAP, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan
Pasal 12 Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, antara lain:
Pengolahan tempat kejadian perkara (TKP); Pengamatan (observasi); Wawancara; Pembuntutan;
Penyamaran; Pelacakan; Penelitian dan analisis dokumen
c. Penyidikan
Dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Rangkaian tindakan penyidikan, diantaranya, yaitu: Surat
pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP), Upaya paksa berupa pemanggilan untuk dimintai
keterangan terkait tindak pidana yang terjadi, baik sebagai tersangka maupun sebagai saksi/ahli dan
berupa penangkapan apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan
atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
d. Penahanan
Pengertian penahanan berdasarkan Pasal 1 butir 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau
terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum, atau hakim dengan penetapannya
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Terdapat 3 (tiga) macam jenis
penahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) KUHAP, yaitu: Rumah Tahanan Negara
(RUTAN) yang berada di masing-masing kabupaten/kota; Penahanan Rumah di rumah tempat tinggal
atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya ;
Penahanan kota di kota tempat tinggal atau kediaman tersangka/terdakwa, dengan kewajiban melapor
diri pada waktu yang ditentukan. Masa penahanan kota dikurangkan seperlima dari pidana yang
dijatuhkan.
e. Penggeledahan
Jenis penggeledahan, yaitu penggeledahan rumah yang diatur dalam Pasal 1 butir 17 KUHAP dan
penggeledahan badan yang diatur dalam Pasal 1 butir 18 KUHAP. Syarat penggeledahan adalah izin
dari ketua pengadilan negeri setempat, surat perintah penggeledahan, sisaksikan dua orang saksi atau
pendamping, serita acara penggeledahan yang salinannya harus diserahkan kepada pemilik
rumah/penghuni rumah tersebut.
f. Penyitaan
Menurut Pasal 1 butir 16 KUHAP penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil
alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud,
atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
g. Pemeriksaan
Pemeriksaan bertujuan untuk mendapatkan keterangan saksi, ahli, dan tersangka yang dituangkan
dalam berita acara pemeriksaan, guna membuat terang perkara sehingga peran seseorang maupun
barang bukti dalam peristiwa pidana yang terjadi menjadi jelas.
h. Gelar perkara
Pasal 70 ayat (2) Perkap Nomor 14 Tahun 2012, gelar perkara biasa dilaksanakan pada tahap awal
proses penyidikan; pertengahan proses penyidikan, dan akhir proses penyidikan. Sedangkan, gelar
perkara khusus dengan penyelesaian berkas perkara dan pelimpahan berkas ke Penuntut Umum.
i. Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur danlam undang-undang dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Ruang lingkup penuntutan diatur
dalam Pasal 138-140 KUHAP, yaitu:
1. Penghentian penuntutan
Penghentian penuntutan dapat dilakukan setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali
hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ketentuan mana masih menjadi pertanyaan hasil
penyidikan.
2. Penyusunan surat dakwaan
M. Yahya Harahap membuat pengertian umum tentang surat dakwaan sebagai sebuah surat akta yang
memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, perumusan mana ditarik dan
disimpulkan dari pemeriksaan penyidikan dihubungkan dengan unsur delik pasal tindak pidana yang
dilanggar dan didakwakan para terdakwa dan surat dakwaan tersebut menjadi dasar pemeriksaan bagi
hakim dalam sidang pengadilan
3. Pelimpahan berkas perkara ke pengadilan negeri
j. Pemeriksaan Persidangan dan Pembuktian
Kompetensi adalah kewenangan untuk mengadili suatu perkara. Terdapat 2(dua) macam kewenangan
mengadili, yakni kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan kompetensi absolut masing-masing lingkungan peradilan, yaitu:
1) Peradilan umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
2) Peradilan agama berwenang memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang
yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku
3) Peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
4) Peradilan tata usaha negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan, dalam menentukan kompetensi relatif dapat dilihat dalam pengaturan Pasal 84 KUHAP,
bahwa pengadilan negeri berwenang mengadili perkara apabila:
1) Tindak pidana dilakukan di dalam daerah hukum pengadilan negeri tersebut
2) Pengadilan negeri di mana terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat dimana ia
diketemukan atau ditahan, dan tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil ke
persidangan.
Adapun acara pemeriksaan di pengadilan dibagi sebagai berikut:
1) Praperadilan
Tujuan praperadilan jelas tergambar di dalam definisi berdasarkan Pasal 1 butir 10 KUHAP, dimana
praperadilan hanya memeriksa dan memutus perkara terkait dengan sah atau tidaknya suatu
penangkapan dan penahanan, sah atau tidaknya penyidikan atau penghentian penuntutan, ganti
kerugian dan rehalibitasi atas perkara yang tidak diajukan ke pengadilan.
2) Acara pemeriksaan biasa.
Pada umumnya perkara yang diperiksa dan diadili dan diputus dengan acara pemeriksaan biasa adalah
perkara pidana yang diancam dengan sanksi pidana penjara 5 tahun atau lebih atau perkara pidana
yang membutuhkan pembuktian yang cermat dan teliti.
3) Acara pemeriksaan cepat
Perkara yang disidangkan dengan acara pemeriksaan cepat adalah perkara tindak pidana ringan dan
perkara pelanggaran lalu lintas. Menentukan perkara termasuk tindak pidana ringan adalah berat dan
ringan ancaman sanksi pidana yang dijatuhkan. Termasuk di dalam tindak pidana ringan adalah tindak
pidana yang ancaman pidananya paling lama 3 bulan penjara atau kurungan, atau denda sebanyak-
banyaknya Rp 7.500,- serta penghinaan ringan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 315
KUHPidana. Pengaturan ini tercantum dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP.
4) Acara pemeriksaan singkat
Di dalam KUHAP, pengaturan mengenai acara pemeriksasn singkat sangat kabur pengaturannya.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa patokan menentukan perkara diperiksa adalah pidana yang
akan dijatuhkan berkisar paling tinggi 3 tahun.
k. Putusan Pengadilan
Apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai oleh hakim ketua sidang dan pemeriksaan dinyatakan
ditutup, maka tahapan berikutnya adalah musyawarah hakim untuk mencapai mufakat dalam
menyusun putusan pengadilan. Berdasarkan Pasal 1 butir 11 KUHAP, terdapat 3 (tiga) jenis putusan
pengadilan, yakni putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van
revht vervolging), putusan pemidanaan.
l. . Upaya Hukum Biasa
Upaya hukum biasa di dalam Bab XVII, dibagi atas:
1) Banding
Tujuan dari diajukannya upaya hukum banding adalah memperbaiki kekeliruan pada tingkat pertama,
mencegah kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan, dan pengawasan terciptanya keseragaman
penerapan hukum. Putusan pengadilan tinggi dalam perkara banding dapat berupa:
a. Menguatkan putusan pengadilan negeri baik berupa menguatkan putusan pengadilan negeri secara
murni, menguatkan putusan dengan tambahan pertimbangan, menguatkan putusan dengan alasan
pertimbangan hakim
b. Mengubah atau memperbaiki amar putusan pengadilan negeri dengan cara perubahan atau
perbaikan kualifikasi tindak pidana, perubahan atau perbaikan mengenai barang bukti, perubahan
atau perbaikan pemidanaan
c. Membatalkan putusan pengadilan negeri
2) Kasasi
Tujuan dari kasasi, yaitu koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan di bawahnya, menciptakan
dan membentuk hukum baru, pengawasan terhadap terciptanya keseragaman penerapan hukum.
Putusan Mahkamah Agung dalam perkara kasasi dapat berupa:
a. Menyatakan kasasi tidak dapat diterima
b. Meolak permohonan kasasi
c. Mengabulkan permohonan kasasi
m. Upaya Hukum Luar Biasa
1) Peninjauan Kembali
Dasar dilakukannya upaya hukum peninjauan kembali adalah apabila terdapat keadaan baru yang
menimbulkan dugaan kuat, hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah
terbukti bertentangan dengan satu yang lain, apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan
terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
2) Kasasi demi Kepentingan Hukum
Patokan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugkan pihak yang berkepentingan, yaitu
tidak menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap putusan bebas atau lepas dasri segala tuntutan
hukum, tidak memperberat pidana dari apa yang telah dijatuhkan dalam putusan yang dikasasi demi
kepentingan hukum, tidak boleh mencabut hak perdata jika hal itu tidak terdapat dalam putusan yang
dikasasi.

Anda mungkin juga menyukai