Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara pidana merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara degan mengadakan hukum pidana. Hukum acara pidana sebagai salah satu instrumen dalam sistem peradilan pidana pada pokoknya memiliki fungsi utama, yaitu: Mencari dan menemukan kebenaran; Pengambilan keputusan oleh hakim, dan Pelaksanaan daripada putusan yang telah diambil itu. Tujuan hukum acara pidana untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil itu hanya merupakan tujuan awal, artinya ada tujuan akhir yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum nasional, dalam hal ini mencapai suatu masyarakat tertib, tenteram, damai, adil, dan sejahtera.
Sejarah Perkembangan Hukum Acara Pidana Indonesia
Sebelum era KUHAP, hukum acara pidana berturut-turut berlaku: a. Inlands Reglement b. Herziene Inland Reglement c. Rechtsreglement voor de Buitengewesten d. Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 (Drt) tahun 1951 e. Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Hukum Acara Pidana dan Sistem Peradilan Pidana
Perbedaannya adalah mengenai obyek kajiannya, dimana hukum acara pidana membahas tentang proses dalam mencari dan menemukan kebenaran materiil terhadap suatu perkara pidana, sedangkan sistem peradilan pidana membahas tentang hubungan antar komponen hukum acara pidana dalam sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuan mencari dan menemukan kebenaran materiil.
Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Acara Pidana
Prinsip-prinsip dasar di dalam Penjelasan Umum KUHAP yang dikategorikan sebagai prinsip dasar hukum acara pidana sebagai berikut: a. Persamaan di Muka Hukum (Equality Before The Law) Pasal yang menunjukkan secara konkret keberadaan prinsip ini adalah di dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Segala Aktivitas Membutuhkan Perintah Tertulis Aplikasi konkret dari prinsip tersebut dapat dilihat dalam Pasal 18, Pasal 21 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan (2), dan Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Kewajiban lain yang menyertai penegak hukum dalam melakukan upaya paksa tersebut adalah menyusun berita acara terhadap surat perintah yang telah diberikan dan dilaksanakan sebagaimana tercantum dalam Pasal 75 KUHAP. c. Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence) Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Di dalam KUHAP, pasal yang menunjukkan prinsip ini adalah Pasal 158 KUHAP. d. Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Ganti kerugian dan rehabilitasi diatur di dalam Pasal 95-97 KUHAP jo Pasal 7-15 PP Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Ganti kerugian dapat diajukan dengan syarat dan ketentuan antara lain: 1) Diajukan oleh tersangka, terdakwa, atau terpidana karena penangkapan, penahanan, penuntutan, pemeriksaan persidangan atau karena tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan; 2) Gamti kerugian ditentukan serendah-rendahnya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) serta apabila karena tindakan tersebut mengakibatkan cacat sehingga tidak mampu melakukan pekerjaan atau meninggal dunia ganti kerugian ditentukan setinggi-tingginya Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah); 3) Tuntutan ganti kerugikan diajukan ke pengadilan negeri yang berwenang memeriksa perkara. e. Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Makna cepat berhubungan dengan waktu, makna sederhana berhubungan dengan prosesnya dan makna biaya ringan berhubungan dengan biaya dalam berperkara di pengadilan. f. Kewajiban Memberikan Bantuan Hukum Pasal 54 KUHAP menyebutkan: “guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seseorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini” Kemudian, kewajiban negara untuk memberikan bantuan hukum kepada tersangka/terdakwa dapat dilihat dalam rumusan Pasal 56 KUHAP. g. Aqusatoir dan Inqusatoir Prinsip Inqusatoir dapat dilihat dalam Pasal 164 HIR tentang alat bukti “pengakuan”. Setelah KUHAP berlaku, bukti pengakuan sudah ditiadakan dan berganti dengan alat bukti “keterangan terdakwa” atau prinsip aquisatoir dalam Pasal 184 KUHAP. Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. h. Pemeriksaan dengan Hadirnya Terdakwa Di dalam persidangan, pemeriksaan dimulai ketika terdakwa hadir di dalam ruang persidangan. Terdakwa dipanggil secara sah oleh Penuntut Umum dengan mengirimkan surat panggilan di alamat tempat tinggal terdakwa. Apabila surat panggilan ini tidak diterima langsung oleh terdakwa, maka melalui kepala desa di daerah tempat tinggal terdakwa. Apabila terdakwa ditahan, maka surat panggilan dialamatkan ke pejabat rumah tahanan negara, dan apabila keberadaan terdakwa tidak diketahui surat panggilan ditempelkan ada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang mengadili perkara tersebut. Jika terdakwa tidak hadir maka persidangan harus ditunda sampai terdakwa hadir, dan apabila terdakwa tidak mau hadir di persidangan harus dihadirkan secara paksa ke pengadilan. i. Persidangan Terbuka untuk Umum Setelah terdakwa hadir di persidangan, sidang dibuka oleh hakim ketua majelis dan menyatakan terbuka untuk umum. j. Hakim Pengawas dan Pengamat Lembaga baru ini disebut dengan Hakim Pengawas dan Pengamat (KIMWASMAT), dimana hakim yang memiliki tugas dan fungsi terbatas pada pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan perampasan kemerdekaan. Di dalam KUHAP, dasar hukum tentang tugas dan fungsi KIMWASMAT dilihat dalam Pasal 277 KUHAP.
Para Pihak dalam Hukum Acara Pidana
a. Penyelidik dan Penyidik Berdasarkan Pasal 1 angka 4 KUHAP bahwa penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Diperjelas dalam Pasal 4 KUHAP bahwa penyelidik adalah setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Sedangkan, berdasarkan Pasal 1 angka 1 KUHAP bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. b. Jaksa dan Penuntut Umum Berdasarkan Pasal 1 angka 6 huruf a bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan, berdasarkan Pasal 1 angka 6 huruf b, Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. c. Hakim Berdasarkan Pasal 1 butir 8 KUHAP, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. d. Panitera Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/004/SK/II/1999 tanggal 1 Februari 1999 sebagaimana diubah dengan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/009/SK/II/2004 tentang Perubahan atas Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/004/SK/II/1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, kepaniteraan memiliki tugas dan wewenang memberikan pelayanan teknis di bidang administrasi perkara dan administrasi peradilan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. e. Advokat Advokat memiliki kewenangan dan tugas di semua tingkatan dalam sistem peradilan pidana, dengan satu tujuan, memberikan bantuan hukum kepada tersangka/terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 69 KUHAP. Selain itu, kewenangan advokat untuk melakukan pembelaan dan menjaga hak-hak tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan dalam sistem peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 70 ayat (1) KUHAP. f. Petugas Rumah Tahanan Negara (RUTAN) dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (RUPBASAN) dan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 sebagaimana diubah dan ditambah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 bahwa RUTAN adalah tempat tersangka/terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. RUPBASAN adalah tempat benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk barang yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan hakim. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. g. Tersangka Berdasarkan Pasal 1 butir 14 KUHAP, tersangka adalah seorang yang karena perbuatan atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. h. Terdakwa Sesuai dengan Pasal 1 butir 15 KUHAP pengertian terdakwa adalah seorang tersangka yag dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan. i. Terpidana Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 butir 32 KUHAP) j. Narapidana Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 1 butir 7 Undang-Undang Lembaga Pemasyarakatan. k. Saksi Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 butir 26, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Terdapat kualifikasi pihak yang tidak dapat menjadi saksi, yaitu keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa , saudara terdakwa, dan suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai. (Pasal 168 KUHAP) l. Ahli Berdasarkan Pasal 1 butir 28 KUHAP bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan Proses Perkara Pidana di Indonesia a. Sumber Tindakan Sumber tindakan adalah apa yang melatarbelakangi dimulainya proses tindakan dalam hukum acara pidana. Berdasarkan Pasal 102 ayat (1) dan (2) KUHAP, maka penyelidikan dapat dimulai apabila terdapat beberapa hal, yaitu: diketahui oleh petugas, laporan dan pengaduan, dan tertangkap tangan. b. Penyelidikan Berdasarkan Pasal 1 butir 5 KUHAP, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan Pasal 12 Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, antara lain: Pengolahan tempat kejadian perkara (TKP); Pengamatan (observasi); Wawancara; Pembuntutan; Penyamaran; Pelacakan; Penelitian dan analisis dokumen c. Penyidikan Dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Rangkaian tindakan penyidikan, diantaranya, yaitu: Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP), Upaya paksa berupa pemanggilan untuk dimintai keterangan terkait tindak pidana yang terjadi, baik sebagai tersangka maupun sebagai saksi/ahli dan berupa penangkapan apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. d. Penahanan Pengertian penahanan berdasarkan Pasal 1 butir 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum, atau hakim dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Terdapat 3 (tiga) macam jenis penahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) KUHAP, yaitu: Rumah Tahanan Negara (RUTAN) yang berada di masing-masing kabupaten/kota; Penahanan Rumah di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya ; Penahanan kota di kota tempat tinggal atau kediaman tersangka/terdakwa, dengan kewajiban melapor diri pada waktu yang ditentukan. Masa penahanan kota dikurangkan seperlima dari pidana yang dijatuhkan. e. Penggeledahan Jenis penggeledahan, yaitu penggeledahan rumah yang diatur dalam Pasal 1 butir 17 KUHAP dan penggeledahan badan yang diatur dalam Pasal 1 butir 18 KUHAP. Syarat penggeledahan adalah izin dari ketua pengadilan negeri setempat, surat perintah penggeledahan, sisaksikan dua orang saksi atau pendamping, serita acara penggeledahan yang salinannya harus diserahkan kepada pemilik rumah/penghuni rumah tersebut. f. Penyitaan Menurut Pasal 1 butir 16 KUHAP penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud, atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan. g. Pemeriksaan Pemeriksaan bertujuan untuk mendapatkan keterangan saksi, ahli, dan tersangka yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan, guna membuat terang perkara sehingga peran seseorang maupun barang bukti dalam peristiwa pidana yang terjadi menjadi jelas. h. Gelar perkara Pasal 70 ayat (2) Perkap Nomor 14 Tahun 2012, gelar perkara biasa dilaksanakan pada tahap awal proses penyidikan; pertengahan proses penyidikan, dan akhir proses penyidikan. Sedangkan, gelar perkara khusus dengan penyelesaian berkas perkara dan pelimpahan berkas ke Penuntut Umum. i. Penuntutan Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur danlam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Ruang lingkup penuntutan diatur dalam Pasal 138-140 KUHAP, yaitu: 1. Penghentian penuntutan Penghentian penuntutan dapat dilakukan setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ketentuan mana masih menjadi pertanyaan hasil penyidikan. 2. Penyusunan surat dakwaan M. Yahya Harahap membuat pengertian umum tentang surat dakwaan sebagai sebuah surat akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, perumusan mana ditarik dan disimpulkan dari pemeriksaan penyidikan dihubungkan dengan unsur delik pasal tindak pidana yang dilanggar dan didakwakan para terdakwa dan surat dakwaan tersebut menjadi dasar pemeriksaan bagi hakim dalam sidang pengadilan 3. Pelimpahan berkas perkara ke pengadilan negeri j. Pemeriksaan Persidangan dan Pembuktian Kompetensi adalah kewenangan untuk mengadili suatu perkara. Terdapat 2(dua) macam kewenangan mengadili, yakni kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan kompetensi absolut masing-masing lingkungan peradilan, yaitu: 1) Peradilan umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan perundang-undangan 2) Peradilan agama berwenang memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku 3) Peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 4) Peradilan tata usaha negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan, dalam menentukan kompetensi relatif dapat dilihat dalam pengaturan Pasal 84 KUHAP, bahwa pengadilan negeri berwenang mengadili perkara apabila: 1) Tindak pidana dilakukan di dalam daerah hukum pengadilan negeri tersebut 2) Pengadilan negeri di mana terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat dimana ia diketemukan atau ditahan, dan tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil ke persidangan. Adapun acara pemeriksaan di pengadilan dibagi sebagai berikut: 1) Praperadilan Tujuan praperadilan jelas tergambar di dalam definisi berdasarkan Pasal 1 butir 10 KUHAP, dimana praperadilan hanya memeriksa dan memutus perkara terkait dengan sah atau tidaknya suatu penangkapan dan penahanan, sah atau tidaknya penyidikan atau penghentian penuntutan, ganti kerugian dan rehalibitasi atas perkara yang tidak diajukan ke pengadilan. 2) Acara pemeriksaan biasa. Pada umumnya perkara yang diperiksa dan diadili dan diputus dengan acara pemeriksaan biasa adalah perkara pidana yang diancam dengan sanksi pidana penjara 5 tahun atau lebih atau perkara pidana yang membutuhkan pembuktian yang cermat dan teliti. 3) Acara pemeriksaan cepat Perkara yang disidangkan dengan acara pemeriksaan cepat adalah perkara tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu lintas. Menentukan perkara termasuk tindak pidana ringan adalah berat dan ringan ancaman sanksi pidana yang dijatuhkan. Termasuk di dalam tindak pidana ringan adalah tindak pidana yang ancaman pidananya paling lama 3 bulan penjara atau kurungan, atau denda sebanyak- banyaknya Rp 7.500,- serta penghinaan ringan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 315 KUHPidana. Pengaturan ini tercantum dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP. 4) Acara pemeriksaan singkat Di dalam KUHAP, pengaturan mengenai acara pemeriksasn singkat sangat kabur pengaturannya. Beberapa literatur menyebutkan bahwa patokan menentukan perkara diperiksa adalah pidana yang akan dijatuhkan berkisar paling tinggi 3 tahun. k. Putusan Pengadilan Apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai oleh hakim ketua sidang dan pemeriksaan dinyatakan ditutup, maka tahapan berikutnya adalah musyawarah hakim untuk mencapai mufakat dalam menyusun putusan pengadilan. Berdasarkan Pasal 1 butir 11 KUHAP, terdapat 3 (tiga) jenis putusan pengadilan, yakni putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van revht vervolging), putusan pemidanaan. l. . Upaya Hukum Biasa Upaya hukum biasa di dalam Bab XVII, dibagi atas: 1) Banding Tujuan dari diajukannya upaya hukum banding adalah memperbaiki kekeliruan pada tingkat pertama, mencegah kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan, dan pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum. Putusan pengadilan tinggi dalam perkara banding dapat berupa: a. Menguatkan putusan pengadilan negeri baik berupa menguatkan putusan pengadilan negeri secara murni, menguatkan putusan dengan tambahan pertimbangan, menguatkan putusan dengan alasan pertimbangan hakim b. Mengubah atau memperbaiki amar putusan pengadilan negeri dengan cara perubahan atau perbaikan kualifikasi tindak pidana, perubahan atau perbaikan mengenai barang bukti, perubahan atau perbaikan pemidanaan c. Membatalkan putusan pengadilan negeri 2) Kasasi Tujuan dari kasasi, yaitu koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan di bawahnya, menciptakan dan membentuk hukum baru, pengawasan terhadap terciptanya keseragaman penerapan hukum. Putusan Mahkamah Agung dalam perkara kasasi dapat berupa: a. Menyatakan kasasi tidak dapat diterima b. Meolak permohonan kasasi c. Mengabulkan permohonan kasasi m. Upaya Hukum Luar Biasa 1) Peninjauan Kembali Dasar dilakukannya upaya hukum peninjauan kembali adalah apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti bertentangan dengan satu yang lain, apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. 2) Kasasi demi Kepentingan Hukum Patokan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugkan pihak yang berkepentingan, yaitu tidak menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap putusan bebas atau lepas dasri segala tuntutan hukum, tidak memperberat pidana dari apa yang telah dijatuhkan dalam putusan yang dikasasi demi kepentingan hukum, tidak boleh mencabut hak perdata jika hal itu tidak terdapat dalam putusan yang dikasasi.