NEGARA LAIN”
NIM : 010001700497
Secara etimologi upaya paksa adalah upaya yang dilakukan aparat penegak hukum berupa
penangkapan, penahananm, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan dalam rangka
melaksanakan proses peradilan. Sementara itu, Pakar Hukum Acara Pidana Universitas Islam
Indonesia Mudzakkir mengakui sesungguhnya upaya paksa hanya dapat dilakukan pada tahap
penyidikan. Karena penyelidikan itu menurut beliau belum sampai pada penegakan hukum
pidana. Pengaturan upaya paksa secara eksplisit tercatat pada pasal 112 ayat 1 dan ayat 2
dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana. Macam-macam upaya paksa:
1. Penangkapan
2. Penahanan
a. Rumah Tahanan Negara
b. Lembaga Pemasyarakatan
c. Penahanan Rumah
d. Penahanan kota
3. Penggeledahan
a. Penggeledahan badan
b. Penggeledahan rumah
4. Penyitaan
a. Barang Bukti
b. Bukan barang bukti ( dapat di-praperadil-kan)
5. Pemeriksaan
6. Wajib Lapor Polisi
1. PENANGKAPAN
Penangkapan menurut ketentuan pasal 1 butir 20 KUHAP dinyatakan bahwa
penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu
kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang di
atur dalam Undang-undang ini. Menurut pasal 17 KUHAP ditentukan bahwa perintah
penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Apabila perumusan pasal 1 butir 20 dan pasal 17 tersebut dibaca secara cermat akan
nampak adanya hal-hal yang membingungkan dan menimlkan kekaburan. Karena
dalam pasal 1 butir 20 dinyatakan bahwa penangkapan adalah tindakan penyidik
terhadap tersangka atau terdakwa guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan
atau peradilan berdasarkan “buti yang cukup’ . sedangkan menurut pasal 17 tindakan
(perintah) penangkapan dilakukan terhadap seseorang (tidak tersurat sebagai
tersangka atau terdakwa) yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan
“bukti permulaan yang cukup”.
Jadi kalau menurut pasal 1 butir 20 tindakan penangkapan di dasarkan pada bukti
yang cukup sedangjan menurut pasal 17 tindakan penangkapan di dasarkan pada butki
permulaan yang cukup. Meskipun menggunakan istilah yang sama yaitu penagkapan
namun dalam penerapannya mengandung pengertian yang berbeda. Penangkapan
berdasarkan pasal 17 KUHAP hanya berlaku untuk penangkapan guna kepentingan
penyidikan sedangkan menurut pasal 1 butir 20 KUHAP selain untuk kepentingan
penyidikan juga untuk penuntutan dan peradilan. untuk mengetahui apa yang
dimaksud dengan pengertian bukti dan bukti permulaan, maka terlebih dahulu maka
perlu dipahami apa yang dimaksud dengan buikti dana barang bukti serta buikti
permulaan. Hal ini sangat penting karena dalan praktek hukum sering kali timbul
kerancuan dan kekaburan pengertian dikalangan aparat penegak hukum dan praktisi
hukum terlebih dikalangan masyarakat yang awam hukum mengenai apa sebenarnya
yang dimaksud dengan pengertian bukti, barang bukti dan bukti permulaan (HMA
KUFFAL, SH, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, hal 57)
PERSYARATAN PENANGKAPAN
Menurut KUHAP pasal 111 ayat (1) dalam hal tertangkap tangan (op
heterdaadbetrab/catch red-handed) maka setiap orang/ setiap warga masyarakat
berhak atau mempunyai hak untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka
pelaku tindak pidana (kejahatan atau pelanggaran) untuk selanjutnya diserahkan
kepada penyelidik atau penyidik yang terdekat disertai atau tanpa disertai barang
bukti. Selain kepada setiap orang yang oleh KUHAP diberikan “hak” untuk
melakukan penangkapan tersangka dalam hal tertangkap tangan, maka KUHAP
juga memberikan “kewajiban” kepada setiap orang yang mempunyai wewenang
dalam tugas memelihara, menjaga, dan menegakkan ketertiban umum. Oleh karna
KUHAP secara tersurat menyebutkan “setiap orang” maka hal tersebut dapat
diartikan bahwa orang tersebut tidak harus berkedudukan sebagai pegawai negeri
sipil/TNI/militer, bisa juga orang tersebut hanya seorang karyawan/petugas satuan
pengamanan (SATPAM) dari perusahan swasta atau Bank dan sejenisnya dengan
syarat bahwa orang tersebut berdasarkan peraturan perundang-undanagan yang
berlaku mempunyai tugas/wewengang/tanggung jawab yang berkaitan dengan
ketertiban umum (openbareorde/public order), ketentram umum (openbare
rust/public rest) dan keamanan umum (algemene veiligheid/public security).
Ketentuan mengenai yang diatur dalam KUHAP bab V bagian kesatu pasal 16
sampai 19 adalah penangkapan untuk kepentingan penyidikan, sedangkan
penangkapan untuk kepentingan penuntutan dan peradilan tidak diatur secara jelas
(tersurat) dalam KUHAP. Menurut ketentuan yang diatur dalam KUHAP (pasal
16 ayat (2) jo pasal 1 butir 20 KUHAP (kewenangan untuk melakukan
penangkapan berbeda dengan kewenangan untuk melakukan penahanan.
Kewenangan penahanan selain diberikan kepada penyidik, juga diberikan kepada
penuntut umum dan hakim (PN/PT/MA).
2. PENAHANAN
Dasar Hukum dalam melakukan penahanan oleh penyidik adalah: Pasal 7 ayat (1)
huruf (d) KUHAP; Pasal 11 KUHAP; Pasal 20 ayat (1) KUHAP; Pasal 21 s/d Pasal
31 KUHAP; Pasal 75 KUHAP; Pasal 123 KUHAP.
3. PENGGELEDAHAN
Dasar hukum penyidik untuk melakukan penggeledahan adalah Pasal 5 ayat (1) huruf
(b) angka (1) KUHAP; pasal 7 ayat (1) huruf (d) KUHAP; pasal 11 KUHAP; Pasal 37
KUHAP; Pasal 75 KUHAP; pasal 125 KUHAP; Pasal 126 KUHAP. Sasaran
Penggeledahan adalah rumah dan tempat-tempat tertutup lainnya, pakaian, serta
badan.
4. PENYITAAN
Dasar Hukum Penyitaan adalah Pasal 5 ayat (1) huruf (b) angka (1) KUHAP; pasal 7
ayat (1) huruf (d) KUHAP, Pasal 11 KUHAP, Pasal 38 s/d Pasal 49 KUHAP, Pasal
128 s/d Pasal 132 KUHAP.
Benda yang disita dapat berupa, Benda atau tagihan tersangka yang seluruh atau
sebagian diduga diperoleh secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau
sebagai hasil dari tindak pidana, benda yang dipergunakan secara langsung untuk
melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya, benda yang dipergunakan
untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana, benda lain yang mempunyai
hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan, benda yang berada dalam
sitaan karena perkara perdata atau kepailitan.
5. PEMERIKSAAN
Yang menjadi dasar hukum dalam penyitaan adalah; Pasal 7 ayat (1) huruf (d)
KUHAP; Pasal 11 KUHAP; Pasal 51 KUHAP; Pasal 53 KUHAP; Pasal 75 KUHAP;
Pasal 112 s/d Pasal 120 KUHAP; Pasal 132 s/d Pasal 133 KUHAP
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang dia dengar sendiri, lihat
sendiri, dan ia alami sendiri (see Pasal 184 KUHAP tentang alat bukti yang
sah). Dipanggil untuk datang sebagai saksi (dipanggil penyidik (Pasal 216 KUHAP)
dan/atau hadir di pengadilan (Pasal 224 KUHAP)) adalah kewajiban, bila ditolak
dikenakan pidana. Kemajuan teknologi menghadirkan silent witnessyang dpat lebih
dipercaya kebenarannya. Kelemahan saksi hidup
Kecakapan pancaindera
Sehingga penyidik dituntut bukan hanya cerdas, pandai dan ahli melainkan juga
kesabaran, kebijaksanaan & pengetahuan tentang manusia. Keterangan saksi diperiksa
tersendiri, namun dapat juga dipertemukan (confrontatie). Saksi tidak boleh dipaksa
menandatangani berita acara, penyidik cukup mencatatkan didalam berita acara
dengan menyebutkan alasan nya (Pasal 118 KUHAP).