Anda di halaman 1dari 12

Nama : Yosefina Rumondang Satiti Hasibuan

NPM : 110110160027

Mata Kuliah : Hukum Acara Pidana ( HAPID )

Kelas :A

UPAYA PAKSA

(Penangkapan,Penahanan,Penggeledahan,dan Penyitaan)

Dalam kegiatan penyidik untuk mengumpulkan bukti-bukti, diberikan kewenangan-kewenangan


untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu kepadanya. Sehingga memungkinkan untuk
menyelesaikan penyidikan itu dan siap untuk diserahkan kepada Penuntut Umum. Kewenangan-
kewenangan untuk melakukan tindakan- tindakan itu akan disesuaikan secara kasuitis, termasuk
untuk melakukan tindakan di tempat kejadian atau upaya-upaya yang bersifat memaksa/ dwag
middelen.

A. PENANGKAPAN

Pada Pasal 1 butir 20 KUHAP , Penangkapan diberi definisi sebagai berikut : “ Penangkapan
adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan kebebasan sementara waktu tersangka atau
terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau
peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini”.

Penangkapan sejajar dengan arrest (Inggris), Jangka waktu penangkapan tidak lama. Dalam hal
tertangkap tangan, penangkapan ( yang dapat dilakukan setiap orang) hanya berlangsung antara
ditangkapnya tersangka sampai ke pos polisi terdekat. Sesudah sampai di kantor polisi atau
penyidik, maka polisi atau penyidik dapat menahan jika delik yang dilakukan ditentukan
tersangkanya dapat ditahan1.

Alasan atau syarat penangkapan terdapat di dalam Pasal 17 KUHAP secara tersirat. Alasan atau
syarat penangkapannya yaitu2 :

a. Seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana;


b. Dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.

Sementara itu, istilah penggerebekan tidak dikenal dalam KUHAP. Adapun kewenangan
penyidik kepolisian yang dikenal dalam KUHAP, antara lain yaitu melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan, yang keseluruhan ini merupakan upaya paksa.

Syarat Penangkapan :
1
Andi,Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia(Jakarta:Sinar Grafika,2013), hlm.128
2
Yahya,Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan(Jakarta : Bumi
Aksara,1899), hlm.158
1. Penangkapan wajib didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.
2. Melakukan penangkapan tidak sewenang-wenang

Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-
wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Menjawab
pertanyaan Anda, kewajiban polisi dalam melakukan penangkapan adalah tidak berlaku
sewenang-wenang terhadap “terduga”/tersangka tindak pidana. M. Yahya juga mengatakan
bahwa penangkapan harus dilakukan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP3.
Selain itu, penting diingat bahwa alasan untuk kepentingan penyelidikan dan kepentingan
penyidikan jangan diselewengkan untuk maksud selain di luar kepentingan penyelidikan dan
penyidikan4.

3. Berpijak pada landasan hukum

Masih berkaitan dengan fungsi penangkapan, menurut M. Yahya sebagaimana saya sarikan,
wewenang yang diberikan kepada penyidik sedemikian rupa luasnya. Bersumber atas wewenang
tersebut, penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang asal masih berpijak
pada landasan hukum. Salah satu bentuk pengurangan kebebasan dan hak asasi itu adalah dengan
dilakukannya penangkapan. Akan tetapi harus diingat bahwa semua tindakan penyidik mengenai
penangkapan itu adalah tindakan yang benar-benar diletakkan pada proporsi demi untuk
kepentingan pemeriksaan dan benar-benar sangat diperlukan sekali.

4. Tidak menggunakan kekerasan

Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang
disangka terlibat dalam kejahatan. Hal ini juga berkaitan dengan salah satu hak yang dimiliki
oleh tahanan, yaitu bebas dari tekanan seperti; diintimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara
fisik. Penyidik tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah
kejahatan membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai
dengan peraturan penggunaan kekerasan.

5. Melengkapi penangkapan dengan surat perintah penangkapan

Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia
dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah
penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan
serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Dalam hal
tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa
penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik
atau penyidik pembantu yang terdekat.

6. Dalam melaksanakan penangkapan wajib dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:


3
Ibid. hlm.157
4
Ibid.hlm.159
a. Keseimbangan antara tindakan yang dlakukan dengan bobot ancaman
b. Senantiasa menghargai/menghormati hak-hak tersangka yang ditangkap
c. Dan tindakan penangkapan bukan merupakan penghukuman bagi tersangka

Penangkapan tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Penangkapan memiliki cara – cara yang
telah diatur di dalam pasal 18 KUHAP, sebagai berikut5 :

a. Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik


Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan terhadap tersangka surat
perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan
penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia
diperiksa.
b. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan
ketentuan bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tertangkap serta menyerahkan
barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.
c. Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) harus
diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

B. PENAHANAN

“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau
penuntut umum atau hakim dengan pendapatnya, dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini” pengertian ini terdapat di dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP.

Pasal 21 KUHP mengatur baik tentang sahnya maupun tentang perlunnya penahanan. Teori
membedakan tentang sahnya (rechvaar-dighed) dan perlunya (noodzakelijkheid) penahanan.

Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang. Jadi
disini terdapat pertentangan 2 asas, yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasai
manusia yang harus dihormati di satu pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak yang
harus dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat tersangka.
Terkenallah ucapan Laurnade dalam redenya tahun 1901 : C’est l’eternel conflit entre la liberte
et l’autorite6.

Disinilah letak keistimewaan Hukum Acara Pidana itu. Ia mempunyai ketentuan-ketentuan yang
menyingkirkan asas-asas yang diakui secara universal yaitu hak-hak asasi manusia khususnya
hak kebebasan seseorang. Ketentuan demikian terutama mengenai penahanan disamping yang
lain sperti pembatasan hak milik karena penyitaan, pembukaan rahasia surat, dan lain-lain. Oleh
Karena itu, penahanan haru dilakukan jika perlu sekali.

5
Muhammad Riza,2016, “Penangkapan sebagai upaya paksa penyidikan”, lib.ui.ac.id, 122878-PK III 629.8221,
hlm.18
6
Opcit. Hlm.129
Dalam KUHAP diatur tentang ganti rugi dalam Pasal 95. Ganti rugi dalam masalah salah
menahan juga telah menjadi ketentuan universal. Seperti dalam Konvensi Eropa pada pasal 5
ayat (5) dikatakan : “ Everyone who has been the victim of arrest or detention in contravention to
the provision of the article an enforceable right to compensation”.

Ketentuan tentang sah nya penahanan dicantumkan dalam pasal 21 ayat (4) KUHAP, sedangkan
perlunya penahanan dalam ayat (1) pasal itu. Di dalam Ned.Sv. yang baru, kedua ketentuan
tersebut diatur di dalam pasal yang sama juga yaitu Pasal 64 ayat (1) mengatur tentang perlunya
penahanan serta ayat (2) tentang sah nya penahanan. Hal ini berbeda dengan HIR, dimana sah
nya penahanan diatur didalam Pasal 62 ayat (2), sedangkan perlunya penahanan diatur didalam
Pasal 75 dan 83c HIR7.

Menurut HIR, hanya 2 macam pejabat atau instansi yang dapat melakukan penahanan, yaitu,
jaksa (magistraat) dan pembantu jaksa ( hulp magistraat) sedangkan hakim hanya
memperpanjang penahanan yang dilakukan oleh jaksa. Sedangkan menurut KUHAP, ada tiga
macam pejabat atau instansi yang berwenang melakukan penahan, yaitu penyidik atau penyidik
pembantu, penuntut umum, dan hakim yang menurut tingkatan pemeriksaan terdiri atas hakim
pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung (Pasal 20 sampai Pasal 31
KUHAP).

Mengenai lamanya penahanan, berikut ini adalah rincian penahan dalam hukum acara pidana di
Indonesia :

Penahanan oleh penyidik atau pembantu penyidik 20 hari


Perpanjangan oleh Penuntut Umum 40 hari
Penahanan oleh Penuntut Umum 20 hari
Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri 30 hari
Penahanan oleh Hakim Pengadilan Negeri 30 hari
Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri 60 hari
Penahanan oleh Hakim Pengadilan Tinggi 30 hari
Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Tinggi 60 hari
Penahanan oleh Mahkamah Agung 50 hari
Perpanjangan oleh Ketua Mahkamah Agung 60 hari

Jadi, seorang tersangka atau terdakwa dari pertama kali ditahan dalam rangka penyidikan sampai
tingkat kasasi dapat ditahan paling lama 400 hari. Namun perlu diperhatikan adanya
pengecualian seperti ada di dalam Pasal 29 ayat (1) KUHAP yang mengatakan bahwa
dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal
26, Pasal 27, Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan, terhadap tersangka atau
terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan- alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan,
karena :

7
Ibid.hlm.130
a. Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, dibuktikan
dengan surat keterangan dokter, atau
b. Perkara yang sedang diperiksa diancam pidana penjara sembilan tahun atau lebih.

Dalam hal penggunaan wewenang perpanjangan penahanan, KUHAP memberikan batasan-


batasan, yaitu :

a. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat penyidikan atau
penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi, pemeriksaan pengadilan negeri dan
pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung ( Pasal 29 ayat (7) KUHAP )
b. Tersangka atau terdakwa berhak meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan di dalam
Pasal 95, dan Pasal 96, apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut dalam
Pasal 24,25,26,27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut pada
Pasal 29 ternyata tidak sah, kurang tepat, karena bukan tenggang waktunya yang tidak
sah, tetapi dasar hukumnya atau cara melakukannya.

Mengenai macam- macam bentuk penahanan, HIR hanya mengenal satu bentuk penahanan yaitu
penahanan di rumah tahanan atau penjara. Sedangkan di dalam KUHAP, menurut Pasal 22
mengenai selain penahanan di rumah thanan negara, dikenal pula penahanan rumah dan
penahanan kota.

Cara pelaksanaan penahanan tersebut tidak dibedakan. Bahkan dalam ayat (4) pasal tersebut
dikatakan bahawa masa penahanan tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Hal semacam ini tidak dikenal oleh HIR dahulu yang tidak mewajibkan pengurangan masa
penangkapan dan penahanan pada penjatuhan pidana. Dalam praktik dan kenyataannya, jarang
sekali dilakukan penahanan kota atau rumah.

C. PENGGELEDAHAN

Perlindungan terhadap ketentraman rumah atau kediaman orang merupakan salah satu asas dasar
hak asasi manusia. Pasal yang melindunginya adalah Pasal 167 dan Pasal 429 KUHP. Di dalam
UUDS 1950 Pasal 16 pun menjamin perlindungan terhadap ketentraman rumah. Menurut
Wirjono Prodjodikoro, walaupun UUDS 1950 itu sudah tidak digunakan, namun ketentuan itu
masih berlaku di Indonesia karena bersifat Universal8.

Kekecualian atas jaminan perlindungan tersebut hanya diperbolehkan dengan ketentuan hukum,
yaitu hukum acara pidana terutama yang tercantum dalam KUHAP dan perundangan khusus.

Penggeledahan itu sendiri memiliki arti yaitu tindakan penyidik yang dibenarkan undang-
undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan dirumah tempat kediaman seseorang atau
untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang.Bahkan tidak hanya
melakukan pemeriksaan ,tapi bisa juga sekali gus untuk melakukan penangkapan dan penyitaan9.
8
Wirjono Prodjodikoro,Hukum Atjara Pidana di Indonesia(Jakarta : Sumur Bandung,1967), hlm.44
9
Yahya, Harahap, opcit.hlm.249
Hal ini sesuai dengan (KUHAP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 32 Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan
pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Mengenai Penggeledahan hal ini diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 pasal 32 sampai 37.

Wewenang penggeladahan semata-mata hanya diberikan kepada pihak penyidik,baik penyidik


Polri maupun penyidik pegawai negri sipil (PNS). Penuntut umum tidak memiliki wewenang
untuk menggeledah,demikian juga hakim pada semua tingkat peradilan, tidak mempunyai
wewenang untuk itu.Penngeledahan benar-benar ditempatkan pada pemeriksaan penyelidikan
dan penyidikan ,tidak terdapat pada tingkatan pemeriksaan selanjutnya baik dalam taraf
tuntutan dan pemeriksaan peradilan.Pemberian fungsi itu sesuai dan sejalan dengan tujuan dan
pengertian penggeledahan, yang bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan fakta dan bukti
serta dimasukan untuk mendapatkan orang yang diduga keras sebagai tersangka pelaku tindak
pidana.

Akan tetapi dalam melaksanakan wewenang penggeledahan ,penyidik tidak seratus persen
berdiri sendiri,penyidik diawasi dan dikaitkandengan Ketua Pengadilan Negri dalam melakukan
setiap penggeledahan .Pada setiap tindakan penggeledahan ,penyidik wajib memerlukan bantuan
dan pengawasan ketua Pengadilan Negri,bantuan itu berupa keharusan:

1. Kalau keadaan penggeledahan secara biasa atau dalam keadaan normal penggeledahan baru
dapat dilakukan penyidik ,setelah lebih dulu mendapat izin dari ketua Pengadilan Negri .

2. Dalam keadaan luar biasa dan mendesak ,penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa
lebih dulu mendapatkan izin dari ketuan Pengadilan Negri ,namun segera sesudah penggeledahan
,penyidik wajib meminta persetujuan ketua Pengadilan Negri setempat.

Mengenai waktu penggeledahan, penggeledahan yang baik dan tepat adalah apabila
penggeledahan dilakukan disiang hari,hal ini disebabkan pada siang hari anak-anak tersangka
sedang berada di sekolah dan tetanggapun sibuk diluar rumah,kecuali dalam hal-hal
tertentu.Sama-sama kita ketahui bahwa penggeladahan menimbulkan akibat yang luas terhadap
kehidupan pribadi dan mengundang perhatian masyarakat,maka waktu penggeledahan harus
dipilih dengan tepat.Sementara itu penggeledahaan pada malam hari adalah saat yang tidak tepat
dan tidak baik,karena penggeledahan pada tengah malam akan menimbulkan ketakutan dan
kekagetan yang sangat ,trauma bagi anak-anak,itu sebabnya berdasarkan Stbl 1865, pasal
3,melarang penggeledahan rumah dilakukan pada malam hari .Oleh karena itu penggeledahan
sebisa mungkin untuk bisa dilakukan pada siang hari,itupun hendaknya dicari waktu dan momen
yang dapat menghindari akibat sampingan,yang bisa merusak pertumbuhan kejiwaan dan mental
anak-anak dan keluarga tersangka.

Membicarakan penggeledahan rumah tempat kediaman, dapat dibedakan sifatnya.pertama


bersifat biasa atau dalam keadaan normal,kedua bersifat atau dalam keadaan yang sangat perlu
dan mendesak.perbedaan sifat ini dengan sendirinya membawa perbedaan dalam tata cara
pelaksanaannya. Berikut ini adalah beberapa jenis penggeledahan10 :

a. Penggeledahan Biasa/ dengan surat perintah penggeledahan dan penyitaan

Penngeledahan biasa diatur dalam pasal 33 KUHAP.Tata cara penggeledahan yang diatur dalam
pasal 33 pada saranya merupakan aturan pedoman umum penggeledahan.

Tata cara penggeladahan dalam hal biasa.

 Harus ada surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat


 Petugas Kepolisian membawa dan memperlihatkan surat tugas
 Setiap penggeledahan rumah tempat kediaman harus ada pendamping :

1. Didampingi dua orang saksi,jika tersangka atau penghuni rumah yang dimasuki dan digeledah
menyetujui.

2. Jika tersangka atau penghuni rumah tidak setuju, dan tidak menghadiri, maka petugas harus
menghadirkan Kepala Desa atau Kepala Lingkungan (RW/RW) sebagai saksi dan ditambah dua
orang saksi lain yang diambil dari lingkungan warga yang bersangkutan.

 Kewajiban membuat berita acara penggeledahan (Diatur dalam Pasal 126 dan 127
KUHAP)

1. Dalam waktu dua hari atau paling lambat dalam tempo dua hari setelah memasuki rumah
dan atau menggeledah rumah ,harus dibuat berita acara yang memuat penjelasan tentang jalanya
dan hasil penggeledahan rumah.

2. Setelah berita acara siap dibuat ,penyidik atau petugas yang melakukan penggeledahan
membacakan lebih dulu berita acara kepada yang bersangkutan.

3. Setelah siap dibacakan ,kemudian berita acara penggeledahan :

· Diberi tanggal

· Ditanda tangani oleh penyidik maupun oleh tersangka atau keluarganya/penghuni rumah
serta oleh kedua orang saksi dan satu kepala desa/kepala lingkungan

· Dalam hal tersangka atau keluarga tidak mau membubuhkan tanda tangan, hal itu dicatat
dalam berita acara dan sekali gus menyebut alasan penolakanya.

10
Andi Hamzah, opcit.hlm.142-146
4. Penyampaian turunan berita acara penggeledahan rumah .Turunan berita acara
penggeledahan rumah yang telah ditandatangani oleh pihak yang terkait,disampaikan kepada
pemilik atau penghuni rumah.

 Penjagaan rumah atau tempat.Hal ini diatur dalam Pasal 127 KUHAP yang memberikan
wewenang kepada penyidik untuk :

1. Mengadakan penjagaan terhadap rumah yang digeledah.

2. Penyidik jika dianggap perlu dapat menutup tempat yang digeledah.

3. Disampaing hal-hal yang dijelaskan diatas, penyidik berhak memerintahkan setiap setiap
orang yang dianggap perlu untuk tetap tinggal ditempat penggeledahan selama penggeledahan
masih berlangsung.

b. Penggeledahan dalam keadaan mendesak

Hal ini diatur dalam pasal 34 KUHAP yang menegaskan: dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak,bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk lebih dulu
mendapat surat izin Ketua Pengadilan Negeri, penyidik dapat langsung bertindak mengadakan
penggeledahan.

Tata cara penggeledahan dalam keadaan mendesak :

1. Penggeladahan dapat langgsung dilaksanakan tanpa terlebih dahulu ada izin ketua
Pengadilan Negeri.Tempat-tempat yang digeledah meliputi :

· Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada.dan yang ada di
atasnya.

· Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal,berdiam atau ada.

· Ditempat penginapan dan tempat umum lainnya.

2. Dalam tempo dua hari setelah penggeledahan ,penyiidik membuat berita acara,yang berisi
jalanya dan hasil enggeledahan.

· Berita acara dibacakan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan

· Diberi tanggal

· Ditanda tangani oleh penyidik maupun oleh tersangka atau keluarganya/penghuni rumah
serta oleh kedua orang saksi dan satu kepala desa/kepala lingkungan

· Dalam hal tersangka atau keluarga tidak mau membubuhkan tanda tangan, hal itu dicatat
dalam berita acara dan sekali gus menyebut alasan penolakanya.
3. Kewajiban penyidik segera melapor:

· Melaporkan penggeledahan yang telah dilakukan kepada ketua pengadilan negeri,dan

· Sekaligus dalam laporan itu penyidik meminta persetujuan ketua pengadilan negeri atas
penggeledahan yang telah dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak.

 Larangan memasuki tempat tertentu

Pembuat UU telah memberikan penghormatan yang tinggi yang mulia terhadap beberapa tempat
tertentu,selama dalam tempat tertentu sedang berlangsung upacara peradatan ,UU melarang
penyidik memasuki dan melakukan penggeledahan didalamnya,kecuali dalam hal hal tertangkap
tangan,selain dari pada tertangkap tangan penyidik dilarang bertindak memasuki dan melakukan
penggeledahan pada saat :

1. Ruang dimana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),Dewan


Perwakilan Rakyat (DPR), atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

2. Tempat sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan,dan

3. Ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan.

 Penggeledahan di Luar Daerah Hukum

Dalam hal ini penyidik memperkirakan alternatif terbaik yang harus ditempuh,ditinjau dari
efektivitas dan sfisiensi penyidik yang bersangkutan kurang memahami seluk beluk daerah lain
tempak dimana penggeledahan akan dilakukan,demikian juga halanya mengenai efisiensi,untuk
apa harus membuang tenaga biaya dan waktu jika penggeledahan dapat dilimpahkan atau
didelegasikan kepada penyidik yang ada di daerah tersebut.Dalam Pasal 36 KUHAP disebutkan;

Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan
tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus
diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana
penggeledahan itu dilakukan.

 Penggeledahan Badan.

Mengenai penggeledahan badan dijelaskan pada apasal 1 butur 18 yang berbunyi :


Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan
pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya
serta untuk disita.

Selanjutnya, penjelasan pasal 37 mengutarakan lagi, penggeladahan badan meliputi pemeriksaan


rongga badan, yang wanita dilakukan oleh pejabat wanita.

1. Jangkauan Penggeledahan Badan


Untuk mengetahui sejauh mana penggeledahan badan,harus menggabungkan pasal 1 butir 18
dengan penjelasan pasal 37

· Pasal 1 butir 18 dijelaskan, enggeledahan badan meliputi pemeriksaan badan atau pakaian
tersangka.

· Pada penjelasan pasal 37 disebutkan,penggeledahan badan meliputi pemeriksaan rongga


badan.

Dengan pengembangan pasal 1 butir 18 dengan penjelasan pasal 37 dapat ditarik kesimpulan
yang dimaksud dengan penggeledahan badan adalah meliputi seluruh bagian badan luar dan
dalam,meliputi bagian luar badan dan pakaian serta serta juga bagian dalam ,termasuk seluruh
anggota badan.

D. PENYITAAN

KUHAP pada pasal 1 butir 16 memberi penyitaan sebagai berikut “ Penyitaan adalah
serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah
penguasannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan,penuntutan dan peradilan”

Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri
setempat, namun dalam keadaan mendesak, Penyitaan tersebut dapat dilakukan penyidik lebih
dahulu dan kemudian setelah itu wajib segera dilaporkan ke Ketua Pengadilan Negeri, untuk
memperoleh persetujuan.

Definisi ini agak panjang, tetapi terbatas pengertiannya, karena hanya untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan Dalam Pasal 134 Ned.Sv, juga
diberikan definisi penyitaan yang lebih pendek tetapi lebih luas pengertiannya, terjemahannya
kira-kira sebagai berikut11 : “Dengan penyitaan seseuatu benda diartikan pengambilalihan atau
penguasaan benda itu guna kepentingan acara pidana”. Jadi tidak dibatasi untuk pembuktian
milik orang.

Mengenai benda apa saja yang dapat disita, benda yang dapat disita menurut undang-undang
(KUHAP) hanya benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana. Jika suatu benda
tidak ada kaitan atau keterlibatan dengan tindak pidana, terhadap benda-benda tersebut tidak
dapat diletakkan sita. Oleh karena itu, penyitaan benda yang tidak ada sangkut pautnya dengan
peristiwa pidana yang sedang diperiksa dianggap merupakan penyitaan yang bertentangan
dengan hukum dan dengan sendirinya penyitaan tidak sah. Konsekuensinya, orang yang
bersangkutan dapat meminta tuntutan ganti rugi baik kepada Praperadilan apabila masih dalam
tingkat penyidikan dan kepada Pengadilan Negeri apabila perkaranya sudah diperiksa
dipersidangan12.
11
Andi Hamzah, opcit.hlm.147
12
Yahya Harahap, opcit. Hlm.275
Yang dapat dikenakan penyitaan sebagaimana Pasal 39 KUHAP adalah:

a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh
dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau
untuk mempersiapkannya
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Memperhatikan ketentuan yang mengatur penyitaan, undang-undang membedakan beberapa


bentuk tata cara penyitaan yaitu:

1. Penyitaan Biasa, adapun tata cara pelaksanaan penyitaan bentuk biasa atau yang umum
dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Harus ada “surat izin” Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri

b. Memperlihatkan atau menunjukkan tanda pengenal

c. Memperhatikan Benda yang akan disita

d. Penyitaan dan Memperlihatkan benda sitaan harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua
lingkungan dengan dua orang saksi

e. Membuat berita acara penyitaan

f. Menyampaikan turunan berita acara penyitaan

g. Membungkus benda sitaan

2. Penyitaan dalam keadaan perlu dan mendesak

Pasal 38 ayat (2) memberi kemungkinan melakukan penyitaan tanpa melalui tata cara yang
ditentukan Pasal 38 ayat (1). Keadaan yang sangat perlu dan mendesak ialah bilamana di suatu
tempat diduga keras terdapat benda atau barang bukti yang perlu segera dilakukan penyitaan,
atas alasan patut dikhawatirkan bahwa benda itu akan segera dilarikan atau dimusnahkan atau
dipindahkan oleh tersangka. Mengenai tata cara penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak adalah sebagai berikut:

1. Tanpa “surat izin” Ketuan Pengadilan Negeri

2. Hanya terbatas atas benda bergerak saja

3. Wajib segera “Melaporkan” guna mendapatkan persetujuan Ketua Pengadilan


Negeri
3. Penyitaan dalam Keadaan Tertangkap Tangan

Dalam keadaan tertangkap tangan, penyidik dapat langsung menyita sesuatu benda dan alat:
yang ternyata digunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda dan alat yang patut diduga
telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai
barang bukti.

4. Penyitaan Tidak Langsung

Artinya tangan dan upaya paksa penyidik dalam melakukan penyitaan, tidak secara
langsung dan nyata dalam pengambilan benda sitaan, tetapi disuruh antar atau
disuruh serahkan sendiri oleh orang yang bersangkutan

5. Penyitaan Surat atau Tulisan lain


6. Penyitaan Minuta Akta Notaris

Mengenai upaya hukum penyitaan, belakangan ini sering dihadapkan dengan masalah penyitaan
dalam perkara pidana. Pada umumnya permasalahan datang dari penyidik yang menuding
kekeliruan atau ketidaktanggapan Ketua Pengadilan Negeri merespons permintaan izin penyitaan
yang diminta Polri.

Memang terkadang ada indikasi, permintaan penyitaan merupakan rekayasa atau


persengkongkolan penyidik dengan pihak ketiga untuk mendistorsi atau menghambat
penyelesaian perkara perdata yang sedang ditangani pengadilan terhadap barang yang hendak
disita dalam perkara pidana tadi, sehingga dianggap cukup alasan menolak pemberian izin
penyitaan.

Oleh sebab itu apabila kita menghadapi penyitaan seperti itu pertama-tama mintalah surat
keterangan penyitaan dari penyidik atau kepolisian hal-hal alasan apa hingga benda dikenakan
penyitaan, yang surat itu telah mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri.

Apabila penyitaan menyalahi aturan sebagaimana dalam Pasal 39 KUHAP maka orang yang
bersangkutan dapat mengajukan PRAPERADILAN atas sah atau tidaknya benda yang disita
sebagai alat pembuktian ( Pasal 82 ayat (1) b dan ayat (3) di KUHAP)13.

13
Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Surat Resmi Advokat di Pengadilan ( Jakarta : Papas Sinar
Sinanti,2013), hlm.99

Anda mungkin juga menyukai