Anda di halaman 1dari 82

Hukum Acara Pidana

Oleh:
Dr. Piatur Pangaribuan, A.Md., SH, MH, CLA
Pengertian Hukum Acara Pidana
Hukum Acara Pidana adalah peraturan hukum pidana yang
mengatur bagaimana cara mempertahankan berlakunya
hukum pidana materil. Hukum Pidana Formil memproses
bagaimana menghukum atau tidak menghukum seseorang
yang dituduh melakukan tindak pidana (makanya disebut
sebagai Hukum Acara Pidana)

Mochtar Kusuma Atmadja


Asas-asas Hukum Acara Pidana
1.Persamaan di Hadapan Hukum (Equality before the law)
(setiap orang dilahirkan merdeka dan memiliki martabat dan hak-hak yang sama.
mereka dikaruniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam
semangat persaudaraan). Isi pasal 1 Universal Declaration of Human Rights.

Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyebutkan :"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum"

Persamaan di hadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu asas
terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule
of Law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Perundang-undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat
Burgelijke Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie
(KUHDagang) pada 30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23.
2. Asas Legalitas
Asas Legalitas (Principle of Legality) adalah asas yang menentukan bahwa tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu
dalam per Undang-Undangan. Biasanya ini juga dikenal dengan bahasa latin yaitu "
Nullum dellictum nulla poena sine previa lege " .

Asas Legalitas ini mengandung tiga pengertian, yaitu :


• Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam aturan Undang-undang.
• Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
• Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (Retroaktif )

Perumusan Asas Legalitas dari Von Feurbach dalam bahasa Latin itu dikemukakan
berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori "vom psycologischen zwang",
yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang
didalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan
jelas, tetapi tentang macamnya pidana yang diancamkan.

Dalam suatu Per Undang-undangan Asas Legalitas itu diatur dalam Pasal 1 ayat 1, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yang menyatakan bahwa "Suatu perbuatan tidak dapat
dipidana. kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
telah ada " .

3. Presemption Of Innocence
Praduga Tak Bersalah atau "Presumption of Innocence" adalah asas
di mana seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan
menyatakan bersalah. Asas ini sangat penting pada demokrasi
modern dengan banyak negara memasukannya kedalam
konstitusinya.

Dalam penerapan hukum dikenal "Rule of Law" bukan "Law of the


Ruler". Salah satu unsur dari "Rule of Law" adalah asas "Praduga tak
bersalah" (Presumption of innocence) seperti terdapat didalam :
Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 66: "Tersangka atau
terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian". Dan dalam
Penjelasan dari Pasal 66 dikatakan pula bahwa ketentuan ini adalah
penjelmaan dari asas praduga tak bersalah. Hal ini tambah
diperkuat oleh Pasal 158 KUHAP yang berbunyi, "Hakim dilarang
menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang
tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa".
4. Asas Pemberian Ganti Kerugiaan
Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap,
salah tahan dan salah tuntut yaitu kepada seorang yang
ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi
ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan
para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena
kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar,
dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.
5. Peradilan cepat, sederhana dan biaya murah, tidak
diskriminatif pada semua tingkatan peradilan
Asas ini menghendaki agar peradilan dilakukan dengan cepat.
artinya, dalam melaksanakan peradilan diharapkan dapat
diselesaikan dengan sesegera mungkin dan dalam waktu yang
singkat. Sederhana mengandung arti bahwa dalam
menyelenggarakan peradilan dilakukan dengan simpel, singkat
dan tidak berbelit-belit. Biaya murah berarti penyelenggaraan
peradilan dilakukan dengan menekan sedemikian rupa agar
terjangkau oleh pencari keadilan.

Dalam Pasal 3 e Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang


Kekuasaan Kehakiman menegaskan masalah asas ini ‘peradilan
yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan
serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus ditetapkan secara
konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
6. Asas Kesempatan Pembelaan diri

Adalah asas yang memberikan hak tersangka untuk melakukan


pembelaan diri terhadap apa yang dituduhkannya. Baik dengan
mengajukan saksi-saksi, menunjukan bukti-bukti atau secara
lisan mau tertulis.
7. Asas Pemeriksaan Terbuka Untuk Umum
Sidang pemeriksaan perkara pidana harus terbuka untuk umum,
kecuali diatur oleh Undang-undang dalam perkara tertentu
seperti perkara kesusilaan, sidang tertutup untuk umum tetapi
pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang
terbuka untuk umum. Asas ini diatur dalam Pasal 64 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) :
Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka
untuk umum.
8. Asas Opportunitas.
Asas oportunitas adalah memberi wewenang pada penuntut
umum untuk menuntut atau tidak menuntut seorang pelaku
dengan alasan kepentingan umum. Asas inilah yang dianut
Indonesia contohnya, seseorang yang memiliki keahlian khusus
dan hanya dia satu-satunya di negara itu maka dengan alasan ini
JPU boleh memilih untuk tidak menuntut. Asas ini diatur dalam
Pasal 32 C UU Nomer 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan.
Tahap Pemeriksan di Tingkat
Penyidikan
1. Tahap Penyelidikan
Pasal 1 Angka 5 KUHAP
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
2. Tahap Penyidikan
Pasal 1 angka 2 KUHAP
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.
Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”.
Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri
terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak
terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan
buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah
satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului
tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan
pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
Sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh
pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti
permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut
penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian
“tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa
keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak
pidana.
Tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat
penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang
merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan
pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih
dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut
penyidikan.

Penggeledahan dan Penyitaan
PENGGELEDAHAN
Penggeledahan rumah adalah: (Pasal 1 angka 17 KUHAP)
Tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup
lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau
penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU.

Penggeledahan badan adalah: (Pasal 1 angka 18 KUHAP)


Tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian
tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau
dibawanya serta, untuk disita.

Pasal 125 KUHAP:


Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu
menunjukkan tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya,
selanjutnya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan
Pasal 34.
Pasal 33 KUHAP :
1) Dengan surat izin Ketua PN setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan
penggeledahan rumah yang diperlukan
2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas Kepolisian RI dapat
memasuki rumah
3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh 2 orang saksi dalam hal tersangka atau
penghuni menyetujuinya.
4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua
orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir
5) Dalam waktu 2 hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita
acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.

Pasal 34 KUHAP :
6) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan
tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan
penggeledahan:
a. Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam, atau ada dari yang ada di
atasnya
b. Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada
c. Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya
d. Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya

2) Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan, penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau
menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan
tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang
bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan
untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua PN setempat guna memperoleh persetujuannya.
Pasal 35 KUHAP:
Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan
memasuki:
a. Ruang dimana sedang berlangsung sidang MPR, DPR atau DPRD
b. Tempat dimana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara
keagamaan
c. Ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan

Pasal 126 KUHAP:


1) Penyidik membuat berita acara tentang jalannya dari hasil
penggeledahan rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(5).
2) Penyidik membacakan lebih dahulu berita acara tentang
penggeledahan rumah kepada yang bersangkutan, kemudian diberi
tanggal dan ditandatangani oleh keluarganya dan atau kepala desa
atau ketua lingkungan dengan 2 orang saksi.
3) Dalam hal tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan
tanda tangannya, hal itu dicatat dalam berita acara dengan
menyebut alasannya.
PENYITAAN
Penyitaan adalah: (Pasal 1 angka 16 KUHAP)
Serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya
benda bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan peradilan.

Pasal 38 KUHAP:
1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua PN setempat.
2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan
tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan
penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua PN
setempat guna memperoleh persetujuannya.

Pasal 39 KUHAP:
3) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a. Benda atau tagihan tersangka/terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dan tindak
pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana
e. Benda lain yanng mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan

2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita
untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi
ketentuan Ayat (1).
Pasal 42 KUHAP:
1) Penyidikan berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang disita,
menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada
yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.

Pasal 43 KUHAP:
Penyitaan surat atau tulisan lain dan mereka yang berkewajiban menurut UU untuk
merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas
persetujuan mereka atau atas izin khusus Ketua PN setempat kecuali UU menentukan lain.

Pasal 46 KUHAP:
2) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan
siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi
b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak
merupakan tindak pidana
c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut
ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana
atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana
2) Apabila suatu perkara telah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan
kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika
menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau
untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih
diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Pasal 128 KUHAP:
Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu dia menunjukkan tanda pengenalnya kepada
orang dari mana benda itu disita.

Pasal 129 KUHAP:


1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan disita
atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan
disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan 2 orang saksi.
2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang dari mana
benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun
orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan 2 orang saksi.
3) Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan
tandatangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang darimana benda
itu disita atau keluarganya dan kepala desa.
Pasal 130 KUHAP:
5) Benda sitaan sebelum dibungkus:
• Dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing-masing
• Ciri maupun sifat khas
• Tempat
• Hari dan tanggal penyitaan
• Identitas orang dari mana benda itu disita, dll
• ·Diberi hak dan cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik
2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan sebagaimana
dimaksud dalam Ayat (1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda
tersebut.
Penyitaan
Penyitaan adalah salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”),
yaitu dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, Pasal 38 s/d 46 KUHAP, Pasal 82
ayat (1) dan ayat (3) KUHAP dalam konteks Praperadilan, Pasal 128 s/d
130 KUHAP, Pasal 194 KUHAP, dan Pasal 215 KUHAP.

Definisi dari Penyitaan telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka 16


KUHAP, yaitu:

“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil


alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak
atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”
Oleh karena Penyitaan termasuk dalam salah satu upaya paksa (dwang
middelen) yang dapat melanggar Hak Asasi Manusia, maka sesuai ketentuan
Pasal 38 KUHAP, Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin
dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, namun dalam keadaan mendesak,
Penyitaan tersebut dapat dilakukan penyidik lebih dahulu dan kemudian
setelah itu wajib segera dilaporkan ke Ketua Pengadilan Negeri, untuk
memperoleh persetujuan.

Menurut Pasal 39 KUHAP, benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan


adalah:
1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagai
diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana;
2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkannya;
3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak
pidana;
4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan.
Penahanan
Pasal 1 Angka 21 KUHAP
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di
tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim
dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.

Batasan Waktu Penahanan


Oleh Penyidik:
Perintah Penahanan yang diberikan oleh penyidik hanya berlaku
paling lama 20 hari (Pasal 24 ayat 1 KUHAP)
dapat diperpanjang oleh persetujuan penuntut umum yang
berwenang paling lama 40 hari (Pasal 24 ayat 2 KUHAP)
Pasal 18 ayat 3 KUHAP
Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 harus diberikan kepada keluarganya segera setelah
penangkapan dilakukan.

Putusan Nomor 3/PUU-XI/2013 (30 Januari 2014)


Bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “segera dan
tidak lebih dari 7 hari.
Oleh Penuntut Umum :
Perintah penahanan yang diberikan oleh Penuntut Umum hanya
berlaku paling lama 20 hari (Pasal 25 ayat 1 KUHAP)
Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang
berwenang untuk paling lama 30 hari (Pasal 25 ayat 2 KUHAP)

Oleh Pengadilan Negeri


Hakim Pengadilan Negeri yang mengadili perkara sebagaimana
dalam Pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang
mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama 30
hari (Pasal 26 ayat 1 KUHAP)

Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum


selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan paling lama 60 hari (Pasal 26 ayat 2 KUHAP)
Oleh Pengadilan Tinggi:
Hakim pengadilan Tinggi yang mengadili perkara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 87, guna kepentingan pemeriksaan
banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan
untuk paling lama 30 hari (Pasal 27 ayat 1 KUHAP)
Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan untuk paling lama 60 hari (Pasal 27 ayat 2 KUHAP)
Oleh Mahkamah Agung :
Hakim Mahkamah agung yang mengadili perkara sebagaimana
dalam Pasal 88, guna kepentingan pemeriksaan kasasi
berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk
paling lama 50 hari (Pasal 28 ayat 1 KUHAP)
apabila diperlukan guna kepentingan pemerikasaan yang belum
selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk
paling lama 60 hari (Pasal 28 ayat 2 KUHAP)
Alasan Penahanan
Alasan aparat penegak hukum melakukan
penahanan sesuai dengan norma Pasal 21 ayat (1)
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
karena adanya kekhawatiran tersangka atau
terdakwa akan:
• melarikan diri,
• merusak atau menghilangkan barang bukti
• mengulangi tindak pidana.
Penangguhan Penahanan
Terkait dengan penangguhan penahanan, dapat kita lihat
ketentuan yang mengaturnya dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, (“KUHAP”) yang
berbunyi atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik
atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan
masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan
dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang,
berdasarkan syarat yang ditentukan. Dengan demikian, untuk
seseorang mendapat penangguhan penahanan, harus ada:
• Permintaan dari tersangka atau terdakwa;
• Permintaan penangguhan penahanan ini disetujui oleh
penyidik atau penuntut umum atau hakim yang menahan
dengan atau tanpa jaminan sebagaimana ditetapkan;
• Ada persetujuan dari tersangka/terdakwa yang ditahan untuk
mematuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan.
Mengenai syarat penangguhan penahanan ini selanjutnya dapat
kita lihat pada penjelasan Pasal 31 ayat (1) KUHAP yaitu,
tersangka/terdakwa:
• wajib lapor;
• tidak keluar rumah;
• tidak keluar kota.

Itulah syarat yang dapat ditetapkan dalam pemberian


penangguhan penahanan. Contohnya adalah dengan
membebankan kepada tahanan untuk “melapor” setiap hari,
satu kali dalam setiap tiga hari atau satu kali seminggu, dan
sebagainya. Atau pembebanan syarat bisa berupa tidak keluar
rumah maupun tidak keluar kota.
Lebih jauh, dalam PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP diatur
bahwa dalam permintaan penangguhan penahanan, ada jaminan yang
disyaratkan yang bisa berupa:
Jaminan Uang (Pasal 35)
• Jaminan uang ini ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan
tingkat pemeriksaan dan disimpan di kepaniteraan pengadilan negeri.
• Penyetoran uang jaminan ini dilakukan sendiri oleh pemohon atau
penasihat hukumnya atau keluarganya dan untuk itu panitera memberikan
tanda terima.
• Penyetoran ini dilakukan berdasar “formulir penyetoran” yang dikeluarkan
instansi yang bersangkutan.
• Bukti setoran ini dibuat dalam rangkap tiga sesuai ketentuan angka 8 huruf f
Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03/1983.
Tembusan tanda penyetoran tersebut oleh panitera disampaikan kepada
pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan untuk menjadi
dasar bagi pejabat yang menahan mengeluarkan surat perintah atau surat
penetapan penangguhan penahanan.
• Apabila kemudian tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah
melewati waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, uang jaminan tersebut
menjadi milik negara dan disetor ke Kas Negara
2. Jaminan Orang (Pasal 36)
• Orang penjamin bisa penasihat hukumnya, keluarganya, atau
orang lain yang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan
tahanan.
• Penjamin memberi “pernyataan” dan kepastian kepada
instansi yang menahan bahwa dia “bersedia” dan bertanggung
jawab memikul segala risiko dan akibat yang timbul apabila
tahanan melarikan diri
• Identitas orang yang menjamin harus disebutkan secara jelas.
• Instansi yang menahan menetapkan besarnya jumlah uang
yang harus ditanggung oleh penjamin, yang disebut “uang
tanggungan” (apabila tersangka/terdakwa melarikan diri).
• Pengeluaran surat perintah penangguhan didasarkan atas
surat jaminan dari si penjamin.
Timbulnya kewajiban orang yang menjamin menyetor uang
tanggungan yang ditetapkan dalam perjanjian penangguhan
penahanan:
• Apabila tersangka/terdakwa melarikan diri;
• Dan setelah lewat 3 bulan tidak ditemukan;
• Penyetoran uang tanggungan ke kas Negara dilakukan oleh
orang yang menjamin melalui panitera Pengadilan Negeri;
• Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang
ditentukan tersebut, jurusita menyita barang miliknya untuk
dijual lelang dan hasilnya disetor ke Kas Negara melalui
panitera pengadilan negeri.

Jadi, untuk seseorang tersangka/terdakwa dapat ditangguhkan


penahanannya, perlu dipenuhi syarat-syarat dan ada jaminan
yang harus diberikan sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Namun hal-hal yang disebutkan di atas adalah dalam ranah
normatif dan dapat berbeda dengan praktiknya di lapangan.
Pada praktik di lapangan, penangguhan penahanan tersangka
atau terdakwa dengan jaminan uang sangat berbeda dari yang
diatur di dalam KUHAP serta peraturan-peraturan
pelaksanaannya.
Misalnya saja, pihak panitera pengadilan negeri tidak pernah
memberikan tanda terima atas penyerahan uang jaminan yang
diberikan pihak tersangka atau kuasa hukumnya. Selain itu,
seperti dikatakan advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Jakarta yang dikutip, uang jaminan atas penangguhan
penahanan yang diberikan sebelumnya, seringkali tidak pernah
dikembalikan kepada pihak yang memberikannya meski
terdakwa kemudian dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Beberapa Putusan Mahkamah
Konstitusi terkait Praperadilan
Pasal 83 ayat 2 KUHAP
Dikecualikan dan ketentuan ayat 1 adalah putusan praperadilan
yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke
pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.

Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011 (1 Mei 2012)


Bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Pasal 77 huruf a KUHAP
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini
tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang
perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan.

Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 (28 April 2015)


Bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai
kekutan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk
penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Pasal 80 KUHAP
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh
penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya.

Putusan Nomor 98/PUU-X/2012 (21 Mei 2013)


Bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk
saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau
organisasi kemasyarakatan”.
Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP
Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:
dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan
negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada
praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.

Putusan Nomor 102/PUU-XIII/2015 (9 November 2016)


Bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “suatu perkara sudah
mulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur
ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang
pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon
praperadilan”.
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
(SPDP)
Dalam hal penyidik telah memulai melakukan penyidikan suatu
peristiwa yang diduga merupakan perbuatan pidana, penyidik
wajib segera memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum,
paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah
penyidikan (berdasarkan Putusan MK Nomor
130/PUU-VIII/2014). SPDP sekurang-kurangnya memuat:
• Dasar penyidikan berupa LP dan Sprint;
• Waktu dimulainya penyidikan;
• Jenis perkara, pasal yang dipersangkakan, dan uraian singkat
tindak pidana yang disidik;
• Identitas tersangka (apabila sudah diketahui); dan
• Identitas pejabat yang menandatangani SPDP.
..\..\Moot Court\Perkara MCC\Malpraktek\Polisi\010 SPDP (Kejaksaan).doc
Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
Berita Acara Pemeriksaan tersangka/saksi : Catatan atau tulisan
yang bersifat otentik, dibuat dalam bentuk tertentu oleh
penyidik/penyidik pembantu atas kekuatan sumpah jabatan,
diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik/penyidik
pembantu dan tersangka serta saksi/saksi ahli, memuat uraian
tindak pidana yang mencakup/memenuhi unsur-unsur tindak
pidana yang dipersangkakan dengan menyebut waktu, tempat
dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, identitas
pemeriksa dan yang diperiksa, keterangan yang diperiksa,
catatan mengenai akta dan /atau benda serta segala sesuatu
yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara
Pelimpahan Berkas Perkara ke Kejaksaan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Pasal 8
3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:
a) pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
b) dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas
tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.

Pasal 110
Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas
perkara itu kepada penuntut umum.

Pasal 138
Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya
dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah
lengkap atau belum.

Penjelasan Pasal 138


Yang dimaksud dengan "meneliti" adalah tindakan penuntut umum dalam mempersiapkan penuntutan
apakah orang dan atau benda yang tersebut dalam hasil penyidikan telah sesuai ataukah telah
memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan dalam rangka pemberian petunjuk kepada penyidik.

Bantuan Hukum
Hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum salah satunya dimuat didalam
Ketentuan dalam pasal 54 KUHAP, memberikan hak kepada tersangka atau terdakwa
mendapatkan bantuan hukum sejak tahap pemeriksaan penyidikan dimulai, pada dasarnya
baru pada tahap pemeriksaan penyidikan, memberikan hak kepada tersangka untuk
mendapat bantuan hukum.

Ketentuan pasal 55 KUHAP menyatakan :


Untuk mendapatkan penasehat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa
berhak memilih sendiri penasehat hukumnya.

Ketentuan pasal 56 menyatakan :

1) Jika tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa, yang diancam dengan pidana
mati atau ancaman lima belas tahun atau lebih mereka yang tidak mampu, yang
diancam dengan lima tahun atau lebih, yang tidak mempunyai penasehat hukum
sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan, dalam proses
peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.
2) Setiap penasehat hukum yang ditunjuk wajib untuk bertindak sebagai mana dimaksud
dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan Cuma-Cuma.
Macam-macam pemeriksaan
Untuk dapat membedakan acara pemeriksaan perkara di sidang
pengadilan dapat di lihat dari jenis tindak pidana yang akan di
ajukan ke muka sidang pengadilan.
1. Perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan
pembuktiannya sulit atau mudah.
2. Berat ringannya ancaman pidana atas perkara yang akan
diajukan ke muka sidang pengadilan.
3. Jenis perkara yang akan diajukan ke muka sidang
pengadilan.
Atas perbedaan kategori dari tiap-tiap perkara yang akan
diajukan ke muka sidang pengadilan, menurut KUHAP ada tiga
jenis acara pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan:
1. Acara pemeriksaan biasa di atur dalam KUHAP bagian ketiga
Bab XVI
2. Acara pemeriksaan singkat diatur dalam KUHAP bagian
kelima bab XVI
3. Acara pemeriksaan cepat diatur dalam KUHAP bagian
keenam bab XVI, yang terdiri dari:
a). Acara pemeriksaan perkara tindak pidana ringan
b). Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.
Perbedaan acara pemeriksaan biasa, singkat dan cepat:
Sifat/ jenis perkara.
• Acara Pemeriksaan Biasa ~ Pembuktian dan penerapan
hukumannya biasa. Sifatnya tidak sederhana.
• Acara Pemeriksaan Singkat ~ Pembuktian dan penerapan
hukumannya mudah. Sifatnya sederhana.
• Acara Pemeriksaan Cepat ~ untuk tindak pidana ringan seperti
ancaman pidana max 3 bulan/ denda Rp 7500. Penghinaan
ringan; dan untuk pelanggaran lalu lintas seperti pelanggaran
lalu lintas jalan raya
Cara mengajukan.
• Acara Pemeriksaan Biasa ~ Surat pelimpahan. Surat dakwaan
dibuat JPU.
• Acara Pemeriksaan Singkat ~ Pemberitahuan lisan oleh JPU
tentang dakwaannya.
• Acara Pemeringsaan Cepat ~ untuk tindak pidana ringan
penyidik atas kuasa JPU langsung kirim ke pengadilan dan
untuk Pelanggaran lalu lintas penyidik langsung kirimkan
catatan pelanggaran ke pengadilan.
Putusan Hakim.
• Acara Pemeriksaan Biasa ~ dibuat tersendiri menurut
ketentuan, dan diucapkan dengan hadirnya terdakwa.
• Acara Pemeriksaan Singkat ~ tidak dibuat secara khusus, hanya
dicatat dalam berita acara sidang, dan diucapkan dengan
hadirnya terdakwa.
• Acara Pemeriksaan Cepat ~ untuk tindak pidana ringan tidak
dibuat khusus, dicatat dalam daftar perkara, dan diucapkan
didepan terdakwa dan untuk pelanggaran lalu lintas tidak
dibuat khusus, dicatat dalam daftar perkara, dan dapat diluar
hadirnya terdakwa.
PENUNTUTAN
1. Pra Penuntutan
Istilah prapenuntutan diperkenalkan oleh KUHAP dalam ketentuan 14 butir b
(tentang kewenangan Penuntut Umum) Sebagai berikut: “mengadakan
prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik”

Jika ketentuan pasal 14 butir b KUHAP kita hubungkan dengan ketentuan Pasal
110 KUHAP, maka dapat dirumuskan bahwa Prapenuntutan adalah : Petunjuk
Penuntut Umum kepada Penyidik untuk menyempurnakan hasil penyidikan
(berkas perkara) apabila ada kekurangan dan kewajiban Penyidik untuk segera
melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut
umum.
Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan
Pasal 21 ayat 1 KUHAP
Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 (28 April 2015)
Bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa
“bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti
yang cukup”, adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam
Pasal 184 KUHAP.
Pasal 1 angka 14:
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Pasal 17:
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Pasal 21 ayat 1:
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana.
Alat Bukti
Didalam KUHAP telah diatur tentang alat-alat bukti yang sah
yang dapat diajukan didepan sidang peradilan. Pembuktian alat-
alat bukti diluar KUHAP dianggap tidak mempunyai nilai dan
tidak mempunyai kekuatan yang mengikat.
Adapun alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang telah
diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan
Pasal 21 ayat 1
Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 (28 April 2015)
Bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa
“bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti
yang cukup”, adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam
Pasal 184 KUHAP.
Keterangan Saksi
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
65/PUU-VIII/2010, definisi Saksi berubah menjadi:
“Orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka
penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang
tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Ketentuan yang berubah terdapat dalam:


1. Pasal 1 angka 26
2. Pasal 1angka 27
3. Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan (4)
4. Pasal 184 ayat (1) huruf a
Dalam Pasal 185 KUHAP, berbunyi:
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi
nyatakan di depan saksi pengadilan
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) tidak
berlaku apabila tidak disertai dengan suatu alat bukti yang sah
lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang
suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat
bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu
dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil
pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim
harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan :
• a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
• b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
• c. Alasan yang mengkin dipergunakan oleh saksi untuk
memberi keterangan yang tertentu;
• d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang
pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya
keterangan itu dipercaya;
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai
dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila
keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan
sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Pada umumnya semua orang dapat menjadi seorang saksi,
namun demikian ada pengecualian khusus yang menjadikan
mereka tidak dapat bersaksi. Hal ini sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yang berbunyi:
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak
dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri
sebagai saksi:
• a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas
atau kebawah samapi derajat ketiga dari terdakwa atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa;
• b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang
mempunya hubungan karena perkawinan dan anak-anak
saudara terdakwa samapi derajat ketiga;
• c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau
yang bersama-sama sebagai terdakwa.
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
Selanjutnya dalam pasal 171 KUHAP juga menambahkan
pengecualian untuk memberikan kesaksiaan dibawah sumpah,
yakni berbunyi :
a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan
belum pernah kawin;
b. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-
kadang ingatannya baik kembali.
Dalam sudut penjelasan pasal tersebut diatas, Andi Hamzah
(2002:258-259), mengatakan bahwa:
“Anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian orang
yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang
saja, dalam ilmu jiwa disebut psycophaat, mereka tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana
maka mereka itu tidak perlu diambil sumpah atau janji dalam
memberikan keterangan, karena itu, keterangan mereka hanya
dipakai sebagai petunjuk saja”.
Orang yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya
dapat dibebaskan dari kewajibannya untuk memberi kesaksian,
pada pasal 170 KUHAP berbunyi sebagai berikut:
• (1) Mereka yang pekerjaan, harkat dan martabat atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta
dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai
saksi.
• (2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk
permintaan tersebut.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa keterangan
saksi yang dinyatakan dimuka sidang mengenai apa yang ia lihat,
ia rasakan, ia alami adalah keterangan sebagai alat bukti (pasal
185 ayat (1)), bagaimana terhadap keterangan saksi yang
diperoleh dari pihak ketiga? Misalnya, pihak ketiga menceritakan
suatu hal kepada saksi bahwa telah terjadi pembunuhan.
Kesaksian demikian adalah disebut testimonium de auditu.
Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de
auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti
Dalam pasal 185 ayat (2) juga menyebutkan sebagai berikut:
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap terhadap dakwaan yang
didakwakan kepadanya”.

Namun apabila disuatu pesidangan seorang terdakwa mangaku


kesalahan yang didakwakan kepadanya, dalam hal ini seorang
saksi saja sudah dapat membuktikan kesalahan terdakwa.
Karena selain keterangan seorang saksi tadi, juga telah dicukupi
dengan alat bukti keterangan terdakwa. Akhirnya telah
terpenuhi ketentuan minimum pembuktian yakni keterangan
saksi dan keterangan terdakwa.
Keterangan Ahli
Keterangan ahli juga merupakan salah satu alat bukti yang sah
menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP. Mengenai pengertian dari
keterangan saksi dilihat dalam pasal 184 KUHAP yang
menerangkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli
nyatakan disidang pengadilan. Pasal tersebut tidak mnjelaskan
siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli.
Andi Hamzah, (2002 : 268) menerangkan bahwa:
• Yang dimaksud dengan keahlian ialah ilmu pengetahuan yang
telah dipelajari (dimiliki) seseorang. Pengertian ilmu
pengetahuan diperluas pengertianya oleh HIR yang meliputi
Kriminalistik, sehingga van Bemmelen mengatakan bahwa
ilmu tulisan, ilmu senjata, ilmu pengetahuan tentang sidik jari
dan sebagainya termasuk dalam pengertian ilmu
pengetahuan.
Pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti menurut M. Yahya
Harahap (2002 : 297-302) hanya bisa didapat dengan melakukan
pencarian dan menghubungkan dari beberapa ketentuan yang
terpencar dalam pasal KUHAP, mulai dari Pasal 1 angka 28, Pasal
120, Pasal 133, dan Pasal 179 dengan jalan merangkai pasal-
pasal tersebut maka akan memperjelas pengertian ahli sebagai
alat bukti :
1. Pasal 1 angka 28
• Pasal ini memberi pengertian apa yang dimaksud dengan
keterangan ahli, yaitu keterangan yang diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperluakan
untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan. Dari pengertian yang dijelaskan
pada Pasal 1 angka 28, M. Yahya Harahap (2002 : 298)
membuat pengertian:
a. Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli
yang memiliki “keahlian khusus” tentang masalah yang
diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang
diperiksa.
b. Maksud keterangan Khusus dari ahli, agar perkara pidana
yang sedang diperiksa “menjadi terang” demi untuk
penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan.
Surat
Pengertian surat menurut Asser-Anema (Andi Hamzah,
2002:71)surat-surat adalah sesuatu yang mengandung tanda-
tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk
mengeluarkan isi pikiran.
Menurut I. Rubini dan Chaidir Ali (Taufiqul Hulam, 2002:63) bukti
surat adalah suatu benda (bisa berupa kertas, kaya, daun lontar
dan sejenisnya) yang memuat tanda-tanda baca yang dapat
dimengerti dan menyatakan isi pikiran (diwujudkan dalam suatu
surat).
Dalam KUHAP seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan
ahli, alat bukti surat hanya diatur dalam satu pasal yaitu Pasal
187, yang berbunyi surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184
ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan
dengan sumpah adalah:
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabatat umum yang berwenang atau dibuat
dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri,
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan
itu;
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk
dalam tata laksanan yang menjadi tanggungjawabnya dan
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan;
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Petunjuk
Dalam KUHAP, alat bukti petunjuk dapat dilihat dalam Pasal 188,
yang berbunyi sebagai berikut:
1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang
karena persesuaiaan, baik antara satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah
terjadi sesuatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperoleh dari:
• a. Keterangan saksi;
• b. Surat;
• c. Keterangan terdakwa.
3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk
dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim denga arif
lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nuraninya.
Dari bunyi pasal diatas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk
adalah merupakan alat bukti yang tidak langsung, karena hakim
dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian, haruslah
menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti yang lainnya
dan memilih yang ada persesuaiaannya satu sama lain.
Keterangan Terdakwa
Mengenai keterangan terdakwa diatur dalam KUHAP pada Pasal
189 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di
sidang tentang perbuatan yang ia ketahui sendiri atau alami
sendiri.
(2) Keteranga terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat
digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang,
asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap
dirinya sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Menurut Andi Hamzah, (2002:273) bahwa KUHAP jelas dan
sengaja mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai alat
bukti dalam Pasal 184 butir c. KUHAP juga tidak menjelaskan apa
perbedaan antara keterangan terdakwa sebagai alat bukti dan
pengakuan terdakwa sebagai alat bukti.
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau
terbentur pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya
didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun
pengakuan sebagaian dari perbuatan atau keadaan.
JENIS-JENIS PUTUSAN
• inkracht van gewijsde : suatu putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan mutlak
• Putusan bebas (Vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP- Tidak terbukti
adanya kesalahan- Tidak adanya 2 alat bukti- Tidak adanya
keyakinan hakim- Tidak terpenuhinya unsur tindak pidana
• Putusan Lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle)
pasal 191 (2) KUHAP- Terbukti tetapi bukan tindak pidana,
Adanya alasan pemaaf, pembenar atau keadaan darurat
• Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah
memperoleh keyakinan, bahwa terdakwa melakukan
perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa
perbuatan dan terdakwa dapat dipidana
Upaya Hukum
Upaya Hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk
tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan
atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini. (PASAL 1 angka 12
KUHAP)
Atas pengertian di atas dihubungkan dengan Pasal 67, Pasal 83,
Pasal 149, Pasal 156 ayat (3), Pasal 196 ayat (3), Pasal 205 ayat
(3), Pasal 214 ayat (4), Bab XVII, dan Bab XVIII KUHAP, maka
upaya hukum dapat digambarkan sebagai berikut:
UPAYA HUKUM:
• Perlawanan
• Biasa : BANDING, KASASI
• Luar Biasa : Pemeriksaan Tingkat kasasi demi kepentingan
hukum, Peninjauan kembali
Perlawanan
Upaya hukum perlawanan ini digunakan terhadap:
• Penetapan Ketua Pengadilan yang berpendapat bahwa Pengadilan Negeri yang
dipimpin tidak berwenang mengadili perkara yang dilimpahkan oleh Penuntut
Umum. Yang dapat menggunakan upaya hukum perlawanan terhadap Penetapan
ketua Pengadilan Negeri itu adalah Penuntut Umum yang ditujukan kepada
Pengadilan Tinggi melalui Ketua Pengadilan negeri yang mengeluarkan Penetapan
tadi.
• Putusan Hakim Pengadilan Negeri yang menerima Eksepsi terdakwa atau penasihat
hukumnya. Yang dapat menggunakan upaya hukum perlawanan terhadap putusan
hakim itu adalah penuntut umum yang ditujukan kepada Pengadilan Tinggi melalui
Pengadilan negeri yang bersangkutan
• Putusan Hakim Pengadilan Negeri dalam perkara pelanggaran Undang-Undang lalu
lintas jalan ( Acara Pemeriksaan Cepat ) yang terdakwanya tidak dapat hadir dimana
putusannya berupa perampasan kemerdekaan.Yang dapat menggunakan upaya
hukum perlawanan terhadap putusan Hakim itu adalah terdakwa yang ditujukan
kepada Pengadilan negeri yang bersangkutan, bukan kepada pengadilan tinggi
• Catatan: Tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum perlawanan ini adalah 7
(tujuh) hari setelah penetapan/putusan dijatuhkan/dikeluarkan/diterima.
Banding
Upaya hukum banding itu digunakan terhadap:
• Putusan hakim Pengadilan Negeri dalam Praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian
penyidikan oleh Penyidik atau tidak sahnya penghentian penuntutan oleh penuntut umum.Yang dapat
menggunakan upaya hukum banding terhadap putusan ini adalah “Penyidik bila putusannya berupa tidak
sahnya penghentian penyidikan” dan “Penuntut Umum juka putusannya berupa tidak sahnya penghentian
penuntutan”. Upaya hukum banding terhadap putusan tersebut diajukan kepada Pengadilan tinggi melalui
Pengadilan negeri yang bersangkutan.
• Putusan Hakim Pengadilan negeri dalam perkara yang diperiksa menurut Acara pemeriksaan Biasa dan
Acara pemeriksaan singkat yang berupa pemidanaan atau hukuman perampasan kemerdekaan. Yang
dapat menggunakan upaya hukum banding terhadap putusan tersebut adalah Terdakwa atau penasihat
Hukumnya dan Penuntut Umum yang ditujukan kepada pengadilan tinggi melalui Pengadilan negeri yang
bersangkutan.
• Putusan Hakim Pengadilan Negeri dalam perkara yang diperiksa menurut Acara Pemeriksaan
Cepat/Tindak pidana Ringan yang berupa pemidanaan atau hukuman perampasan kemerdekaan.yang
dapat menggunakan upaya hukum banding terhadap putusan itu adalah Terdakwa yang ditujukan kepada
Pengadilan tinggi melalui Pengadilan negeri yangbersangkutan.
• Putusan Hakim Pengadilan Negeri dalam perkara yang diperiksa menurut Acara pemeriksaan
cepat/pelanggaran terhadap Undang-Undang Lalu Lintas Jalan yang Terdakwanya hadir dalam
persidangan tetapi oleh hakim dijauhi hukuman perampasan kemerdekaan. Yang dapat menggunakan
upaya hukum banding terhadap putusan itu adalah Terdakwa yang ditujukan kepada Pengadilan Tinggi
melalui pengadilan Negeri yang bersangkutan.
• Catatan:
• -tenggang waktu untuk menyatakan banding adalah 7 (tujuh) hari setelah putusan dijatuhkan kecuali
terhadap perkara tindak pidana pemilu tenggang waktunya 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan
( pasal 255 ayat 2 UU No.10 tahun 2008 )
• -Memorie atau Risalah Banding tidak wajib.Memorie atau Risalah banding harus dibuat secara tertulis
yang berisi alasan-alasan mengapa putusan itu diminyakan banding serta argumentasi yang menduung
alasan tersebut sehingga dapat diterima oleh hakim Banding.
Kasasi
Pasal 244 KUHAP:
Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat
akhir oleh pengadilan lain daripada Mahkamah Agung, terdakwa
atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap
putusan bebas.

Frasa “kecuali terhadap putusan bebas” bertentangan dengan


UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
berdasarkan putusan nomor 114/PUU-X/2012, tanggal 28 Maret
2013
Kasasi
Upaya hukum Kasasi ini digunakan terhadap :
• Putusan Hakim Pengadilan Negeri yang berupa Terdakwa dibebaskan dari dakwaan
atau Terdakwa dilepaskan dari segala macam tuntutan hukum. Sebenarnya menurut
pasal 244 KUHAP, terhadap putusan bebas dari dakwaan tidak dapat dimintakan
kasasi, namun berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman R.I. No. M.14-PW.07.03
Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 menyatakan bahwa terhadap putusan bebas
tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum,
keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi, hal ini
akan didasarkan pada yurisprudensi. Yang dapat menggunakan upaya hukum kasasi
itu adalah penuntut Umum dan ditujukan kepada Mahkamah Agung melalui
Pengadilan Negeri yang bersangkutan
• Putusan Hakim Pengadilan Tinggi yang berupa terdakwa dibebaskan dari dakwaan
atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Yang dapat menggunakan upaya hukum
kasasi terhadap putusan tiu adalah Penuntut Umum yang ditujukan kepada
Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
• Putusan Hakim Pengadilan Tinggi yang berupa hukuman perampasan kemerdekaan
asalkan tindak pidana dalam perkara yang diputuskan itu ancaman hukumannya di
atas satu tahun dan bukan tindak pidana pemilu ( pasal 255 ayat (3) UU No. 10 tahun
2008)
Pemeriksaan Tingkat Kasasi demi
Kepentingan Hukum

Upaya hukum pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum ini digunakan
terhadap:
• ” Semua putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan apapun isi
keputusannya, baik dari Pengadilan negeri maupun dari Pengadilan Tinggi”
• Yang dapat menggunakan upaya hukum tersebut hanyalah Jaksa Agung dan ditujukan
ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

catatan :
• - putusan Mahkamah Agung atas permohonan pemeriksaan tingkat kasasi demi
kepentingan hukum tersebut tidak berakibat apa-apa terhadap terdakwa atau
terpidana dan tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
• - Hanya jaksa Agung yang dapat menggunakan upaya hukum tersebut. Dalam
penggunaannya Jaksa Agung dpat menguasakan secara khusus kepada Kejaksaan
Tingi atau Kejaksaan Negeri dengan Surat Kuasa Khusus.
• - Tidak ada tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum pemeriksaan tingkat
kasasi demi kepentingan hukum itu.
Peninjauan Kembali
Pasal 268 ayat 3 KUHAP
Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat
dilakukan satu kali saja (dihapus berdasarkan putusan nomor
34/PUU-XI/2013).

Upaya hukum peninjauan kembali ini digunakan terhadap :


• “Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
yang berupa pemidanaan, baik putusan Pengadilan negeri,
Pengadilan Tinggi maupun putusan Mahkamah Agung”
• Yang dapat menggunakan upaya hukum peninjauan
kembali itu cuma Terpidana atau Ahli warisnya, yang
ditujukan kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan
Negeri yang bersangkutan.
Pasal 263 ayat 1 KUHAP
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016 (12 Mei 2016)


Bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang
dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a
quo.
Peninjauan Kembali ( P K )
Catatan:
• - Tidak ada tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara
pidana
• -Sebelum dikirim ke Mahkamah Agung, permohonan peninjauan kembali tersebut terlebih dahulu
diperiksa oleh Hakim Pengadilan Negeri apakah memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 263 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP, yaitu:
-Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah
diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan
lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan dari penuntut umum tidak dapat diterima atau
terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan
-Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal
atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah
bertentangan satu dengan yang lain
-Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan
yang nyata
-Atas dasar alasan yang sama sebagaimana huruf a, huruf b, dan huruf c diatas, terhadap suatu
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan
peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan
terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan
Eksekusi
Tujuan terahir dari hukum acara pidana yakni melaksanakan
(eksekusi) putusan hakim.s ecara administratif dilaksanakan
jaksa akan tetapi secara operasionalnya menjadi tugas dari
lembaga permasyarakatan jika putusan itu berupa putusan
pidana penjara, namun jika putusan itu pidana mati maka
menjadi tugas regu tembak yang khusus bertugas untuk itu.
Rehabilitasi
Ketentuan tentang rehabilitasi didalam KUHAP hanya pada satu Pasal saja, yaitu Pasal
97. sebelum Pasal itu, dalam Pasal 1butir 23 terdapat definisi tentang rehabilitasi sebagai
berikut.

”Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam


kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang di berikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini.”

Senada dengan definisi tersebut, Pasal 97 ayat (1) KUHAP berbunyi:


“seseorang yang berhak memperoleh rehabillitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas
atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusanya telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.” selanjutnya ditentukan bahwa rehabilitasi tersebut diberikan
dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan tersebut di atas (Pasal 91 ayat (2)
KUHAP). Yang tidak dijelaskan dalam KUHAP ialah apakah rehabilitasi akibat putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tersebut bersifat fakultatif (dituntut oleh
terdakwa) ataukah imperatif. Artinya, setiap kali hakim memutus bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus diberikan
rehabilitasi. Hal; ini mestinya diatur dalam atura pelaksanaan KUHAP.
Daluarsa dalam Hukum Pidana
Daluarsa (lewat waktu/verjaring)
memang dikenal dalam hukum, baik
dalam teori maupun dalam prakteknya.
Adapun pengertian dari daluwarsa
adalah dengan adanya lewat waktu -
waktu mana ditetapkan oleh undang-
undang- maka Jaksa kehilangan hak
untuk menuntut suatu perkara pidana.
Mengenai jangka waktu daluwarsa telah ditetapkan dalam Pasal
78 KUHP:
• Untuk pelanggaran/kejahatan yang dilakukan dengan alat
cetak, jangka waktu daluwarsa adalah satu tahun, lewat satu
tahun Jaksa kehilangan hak menuntut.
• Untuk kejahatan yang ancaman pidananya dibawah 3 tahun,
jangka waktu daluwarsa adalah enam tahun.
• Untuk kejahatan yang ancaman kejahatannya diancam diatas
tiga tahun, jangka waktu daluwarsanya adalah dua belas
tahun.
• Untuk kejahatan yang diancam dengan hukuman mati atau
penjara seumur hidup, jangka waktu daluwarsanya delapan
belas tahun.
Pada prinsipnya daluarsanya suatu perkara dimulai
satu hari setelah tindak pidana dilakukan, kecuali
untuk tindak pidana pemalsuan uang dan tindak
pidana perampasan kemerdekaan. Untuk tindak
pidana pemalsuan uang, jangka waktu daluwarsa
tidak dihitung satu hari setelah tindak pidana
pemalsuan uang dilakukan, melainkan satu hari
setelah uang palsu itu beredar. Sedangkan untuk
tindak pidana perampasan kemerdekaan (vide
Pasal 333 KUHP) jangka waktu daluwarsa dihitung
satu hari setelah orang itu (yang ditahan/dirampas
kemerdekaannya) dibebaskan.

Anda mungkin juga menyukai