Oleh:
Dr. Piatur Pangaribuan, A.Md., SH, MH, CLA
Pengertian Hukum Acara Pidana
Hukum Acara Pidana adalah peraturan hukum pidana yang
mengatur bagaimana cara mempertahankan berlakunya
hukum pidana materil. Hukum Pidana Formil memproses
bagaimana menghukum atau tidak menghukum seseorang
yang dituduh melakukan tindak pidana (makanya disebut
sebagai Hukum Acara Pidana)
Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyebutkan :"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum"
Persamaan di hadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu asas
terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule
of Law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Perundang-undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat
Burgelijke Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie
(KUHDagang) pada 30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23.
2. Asas Legalitas
Asas Legalitas (Principle of Legality) adalah asas yang menentukan bahwa tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu
dalam per Undang-Undangan. Biasanya ini juga dikenal dengan bahasa latin yaitu "
Nullum dellictum nulla poena sine previa lege " .
Perumusan Asas Legalitas dari Von Feurbach dalam bahasa Latin itu dikemukakan
berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori "vom psycologischen zwang",
yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang
didalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan
jelas, tetapi tentang macamnya pidana yang diancamkan.
Dalam suatu Per Undang-undangan Asas Legalitas itu diatur dalam Pasal 1 ayat 1, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yang menyatakan bahwa "Suatu perbuatan tidak dapat
dipidana. kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
telah ada " .
•
3. Presemption Of Innocence
Praduga Tak Bersalah atau "Presumption of Innocence" adalah asas
di mana seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan
menyatakan bersalah. Asas ini sangat penting pada demokrasi
modern dengan banyak negara memasukannya kedalam
konstitusinya.
Pasal 34 KUHAP :
6) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan
tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan
penggeledahan:
a. Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam, atau ada dari yang ada di
atasnya
b. Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada
c. Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya
d. Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya
2) Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan, penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau
menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan
tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang
bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan
untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua PN setempat guna memperoleh persetujuannya.
Pasal 35 KUHAP:
Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan
memasuki:
a. Ruang dimana sedang berlangsung sidang MPR, DPR atau DPRD
b. Tempat dimana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara
keagamaan
c. Ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan
Pasal 38 KUHAP:
1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua PN setempat.
2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan
tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan
penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua PN
setempat guna memperoleh persetujuannya.
Pasal 39 KUHAP:
3) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a. Benda atau tagihan tersangka/terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dan tindak
pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana
e. Benda lain yanng mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan
2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita
untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi
ketentuan Ayat (1).
Pasal 42 KUHAP:
1) Penyidikan berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang disita,
menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada
yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
Pasal 43 KUHAP:
Penyitaan surat atau tulisan lain dan mereka yang berkewajiban menurut UU untuk
merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas
persetujuan mereka atau atas izin khusus Ketua PN setempat kecuali UU menentukan lain.
Pasal 46 KUHAP:
2) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan
siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi
b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak
merupakan tindak pidana
c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut
ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana
atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana
2) Apabila suatu perkara telah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan
kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika
menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau
untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih
diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Pasal 128 KUHAP:
Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu dia menunjukkan tanda pengenalnya kepada
orang dari mana benda itu disita.
Pasal 110
Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas
perkara itu kepada penuntut umum.
Pasal 138
Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya
dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah
lengkap atau belum.
1) Jika tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa, yang diancam dengan pidana
mati atau ancaman lima belas tahun atau lebih mereka yang tidak mampu, yang
diancam dengan lima tahun atau lebih, yang tidak mempunyai penasehat hukum
sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan, dalam proses
peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.
2) Setiap penasehat hukum yang ditunjuk wajib untuk bertindak sebagai mana dimaksud
dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan Cuma-Cuma.
Macam-macam pemeriksaan
Untuk dapat membedakan acara pemeriksaan perkara di sidang
pengadilan dapat di lihat dari jenis tindak pidana yang akan di
ajukan ke muka sidang pengadilan.
1. Perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan
pembuktiannya sulit atau mudah.
2. Berat ringannya ancaman pidana atas perkara yang akan
diajukan ke muka sidang pengadilan.
3. Jenis perkara yang akan diajukan ke muka sidang
pengadilan.
Atas perbedaan kategori dari tiap-tiap perkara yang akan
diajukan ke muka sidang pengadilan, menurut KUHAP ada tiga
jenis acara pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan:
1. Acara pemeriksaan biasa di atur dalam KUHAP bagian ketiga
Bab XVI
2. Acara pemeriksaan singkat diatur dalam KUHAP bagian
kelima bab XVI
3. Acara pemeriksaan cepat diatur dalam KUHAP bagian
keenam bab XVI, yang terdiri dari:
a). Acara pemeriksaan perkara tindak pidana ringan
b). Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.
Perbedaan acara pemeriksaan biasa, singkat dan cepat:
Sifat/ jenis perkara.
• Acara Pemeriksaan Biasa ~ Pembuktian dan penerapan
hukumannya biasa. Sifatnya tidak sederhana.
• Acara Pemeriksaan Singkat ~ Pembuktian dan penerapan
hukumannya mudah. Sifatnya sederhana.
• Acara Pemeriksaan Cepat ~ untuk tindak pidana ringan seperti
ancaman pidana max 3 bulan/ denda Rp 7500. Penghinaan
ringan; dan untuk pelanggaran lalu lintas seperti pelanggaran
lalu lintas jalan raya
Cara mengajukan.
• Acara Pemeriksaan Biasa ~ Surat pelimpahan. Surat dakwaan
dibuat JPU.
• Acara Pemeriksaan Singkat ~ Pemberitahuan lisan oleh JPU
tentang dakwaannya.
• Acara Pemeringsaan Cepat ~ untuk tindak pidana ringan
penyidik atas kuasa JPU langsung kirim ke pengadilan dan
untuk Pelanggaran lalu lintas penyidik langsung kirimkan
catatan pelanggaran ke pengadilan.
Putusan Hakim.
• Acara Pemeriksaan Biasa ~ dibuat tersendiri menurut
ketentuan, dan diucapkan dengan hadirnya terdakwa.
• Acara Pemeriksaan Singkat ~ tidak dibuat secara khusus, hanya
dicatat dalam berita acara sidang, dan diucapkan dengan
hadirnya terdakwa.
• Acara Pemeriksaan Cepat ~ untuk tindak pidana ringan tidak
dibuat khusus, dicatat dalam daftar perkara, dan diucapkan
didepan terdakwa dan untuk pelanggaran lalu lintas tidak
dibuat khusus, dicatat dalam daftar perkara, dan dapat diluar
hadirnya terdakwa.
PENUNTUTAN
1. Pra Penuntutan
Istilah prapenuntutan diperkenalkan oleh KUHAP dalam ketentuan 14 butir b
(tentang kewenangan Penuntut Umum) Sebagai berikut: “mengadakan
prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik”
Jika ketentuan pasal 14 butir b KUHAP kita hubungkan dengan ketentuan Pasal
110 KUHAP, maka dapat dirumuskan bahwa Prapenuntutan adalah : Petunjuk
Penuntut Umum kepada Penyidik untuk menyempurnakan hasil penyidikan
(berkas perkara) apabila ada kekurangan dan kewajiban Penyidik untuk segera
melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut
umum.
Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan
Pasal 21 ayat 1 KUHAP
Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 (28 April 2015)
Bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa
“bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti
yang cukup”, adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam
Pasal 184 KUHAP.
Pasal 1 angka 14:
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Pasal 17:
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pasal 21 ayat 1:
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana.
Alat Bukti
Didalam KUHAP telah diatur tentang alat-alat bukti yang sah
yang dapat diajukan didepan sidang peradilan. Pembuktian alat-
alat bukti diluar KUHAP dianggap tidak mempunyai nilai dan
tidak mempunyai kekuatan yang mengikat.
Adapun alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang telah
diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan
Pasal 21 ayat 1
Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 (28 April 2015)
Bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa
“bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti
yang cukup”, adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam
Pasal 184 KUHAP.
Keterangan Saksi
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
65/PUU-VIII/2010, definisi Saksi berubah menjadi:
“Orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka
penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang
tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Upaya hukum pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum ini digunakan
terhadap:
• ” Semua putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan apapun isi
keputusannya, baik dari Pengadilan negeri maupun dari Pengadilan Tinggi”
• Yang dapat menggunakan upaya hukum tersebut hanyalah Jaksa Agung dan ditujukan
ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
catatan :
• - putusan Mahkamah Agung atas permohonan pemeriksaan tingkat kasasi demi
kepentingan hukum tersebut tidak berakibat apa-apa terhadap terdakwa atau
terpidana dan tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
• - Hanya jaksa Agung yang dapat menggunakan upaya hukum tersebut. Dalam
penggunaannya Jaksa Agung dpat menguasakan secara khusus kepada Kejaksaan
Tingi atau Kejaksaan Negeri dengan Surat Kuasa Khusus.
• - Tidak ada tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum pemeriksaan tingkat
kasasi demi kepentingan hukum itu.
Peninjauan Kembali
Pasal 268 ayat 3 KUHAP
Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat
dilakukan satu kali saja (dihapus berdasarkan putusan nomor
34/PUU-XI/2013).