Anda di halaman 1dari 93

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai Negara Hukum, hal ini dijelaskan oleh pasal 1 ayat 3 dari

Undang-udang Dasar 1945 menunjukan status Indonesia adalah negara hukum.

Konsekuensi dari negara hukum, bahwa segala tindakan yang dilakukan pemerintah

harus didasarkan pada aturan yang tertulis. Salah satu tujuannya adalah untuk

menghindari kesewenang-wenangan dari pemerintah maupun unsur-unsur penegak

hukum. Diawali dari pendapat Immanul Kant mendefinisikan Negara Hukum sebagai

Negara Hukum Formal atau Negara dengan kedudukan Stagnan ataupun sekedar

formalitas yang biasa disebut negara Penjaga Malam (Nachtwakestaat), FJ Stahl

yang termasuk pakar hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri negara hukum

(rechtstaat) sebagai berikut:1

1. Pengakuan hak asasi manusia;

2. Pemisahan kekuasaan Negara;

3. Pemerintah menurut Hukum;

4. Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara

Rumusan Negara Hukum yang dikerjakan oleh FJ Stahl lalu dikaji dengan

komisi ahli hukum internasional saat pertemuan yng diadakan diBangkok pada

Tahun 1965, dan diberi ciri-ciri yaitu:2

1. Perlindungan konstitusional, berarti juga menangung hak seseorang, konstitusi

juga patut memastikan cara prosedural demi mendapatkan perlindungan atas hak

1
yang menjaminnya;

2. Peradilan independen yang kurang berpihak;

3. Pemilu informal;

4. Bebas berekspresi;

5. Bebas berlembaga/kesatuan dengan beroposisi

6. Pendidikan kewarganegaraan.

Maka dari teori rule of law di atas, salah satu kewajiban negara Indonesia

adalah melindungi hak atas seseorang.

Melindungi hak atas seseorang terdapat di segala aspek kehidupan, salah

satunya dalam penegakan hukum. Muljatno menjelaskan, Hukum Pidana

menuangkan aturan juga kaidah-kaidah hukum bagi:3

1. Menentukan prilaku apa saja yang tidak untuk diperbuat, mana yang dilarang

dengan mebahayakan atau hukuman seperti kejahatan karena itu untuk siapa saja

yang tidak mengikuti aturan yang ada.

2. Menentukan prilaku apa saja yang tidak untuk diperbuat, mana yang dilarang

dengan mebahayakan atau hukuman seperti kejahatan karena itu untuk siapa saja

yang tidak mengikuti aturan yang ada.

3. Menentukan pada saat apa saja seseorang tidak mengikuti aturan akan dijatuhkan

dan dipidana dengan hukuman yang ada.

4. Bagaimana memutuskan untuk memberikan hukuman apabila seseorang diprediksi

telah melakukan pelanggaran.

Pengertian ini dikelompokkan ke dalam Hukum Pidana materiil, pelaturan

2
tentang perilaku tertentu yang dilarang dan orang yang mengingkari larangan itu,

serta Hukuman pidana dan Hukum Pidana Formil untuk mengatur bagaimana negara

dan berhak menyelenggarakan jalannya proses hukuman yang akan melakukan

penggugatan juga melakukan kejahatan kepada seseorang yang bersalah.

Dalam proses peradilan Pidana sangat erat kaitannya dengan penegakan hak

atas seseorang, bukan sekedar tentang korban namun serta terhadap tersangka dan

terdakwa. KUHAP disusun berdasarkan perspektif hidup berbangsa atau bernegara,

dimana menghormati terhadap hukum adalah premis untuk jaminan setiap warga

negara. Seiring bersama perbaikan pemahaman bangsa ini kepada hak atas seseorang,

maka pasal-pasalnya harus mencerminkan jaminan, memenuhi atau menghormati

untuk hak atas seseorang. Prihal tercermin sejak seluruh hak atas seseorang yang

tertuang pada kitab hukum acara pidana yang juga diatur oleh dua aturan pada UU

No. 39 T 1999 tentang Hak Asasi manusia4. Perlindungan tersangka dan terdakwa

didasarkan

3
pada asas praduga tak bersalah. Asas Praduga Tak Bersalah diatur pada Pasal 8 (1)

Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 atas putusan pokok kekuasaan kehakiman,

menjelaskan sesungguhnya siapapun individu sedang dicurigai, diamankan, ditahan,

dijerat, dan diajukan ke Pengadilan harus dinyatakan tidak bersalah selagi keputusan

pengadilan belum dibuat. Membuktikan pelanggaran yang sudah diperoleh

kemampuan Hukum pasti. Oleh karena itu keputusan pada Pasal 8 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009, Terkait juga pada kepolisian yang ditugaskan untuk

melakukan penyidikan agar tidak salah menjerat seseorang.

Pada pelaksanaan Asas Praduga Tak Bersalah seringkali dilanggar oleh

penyidik. Begitu banyak pelanggaran, seperti menyiksa tersangka, ini bertujuan

untuk membuat pengakuan. Seperti kasus pendapat pribadi seorang pengamen,

dimana di persidangan terdakwa mengaku tersiksa dan dipaksa mengaku sebagai

pelakunya saat pemeriksaan oleh kepolisian. juga ada penjelasan menurut saksi yang

menerangkan bagaimana pelaku yang membunuh korban bukanlah termohon mamun

seseorang yang bernama Iyan, Berengos bersama Jubay. Mencermati seluruh inti dari

kasus ini, dapat diketahui bahwa ada beberapa hal yang memikat, serupa dengan

perediksi terdapat kekerasan kepada para terdakwa dan prediksi penangkapan yang

salah pada terdakwa. Oleh karna itu perlu penelitian lebih lanjut mengenai penegakan

hukum dalam asas praduga tidak bersalah dan penulis akan

4
menuangkannya dalam skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI ASAS

PERADUGA TIDAK BERSALAH TERHADAP TERSANGKA TINDAK

PIDANA DALAM PROSES PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN.”

B. Identifikai Masalah

Hasil dari latarbelakang tersebut diatas, dapat diidentifikasikan persoalannya

yaitu:

1. Bagaimana implementasi asas praduga yang dinyatakan tidak bersalah saat proses

penyidikan tersangka pada Kepolisian ditinjau menurut hukum acara pidana?

2. Bagaimana persoalan asas praduga yang dinyatakan tidak bersalah dalam proses

penyidikan dan penuntutan dan bagaimana upaya penanggulangannya?

C. Tujuan Penelitian

Menurut penjelasan diatas, Adapun manfaat penelitian dalam karya ilmiah ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui impelemntasi asas praduga tdk bersalah dalam pemeriksaan

tersangka di Kepolisian.

2. Untuk mengetahui impelemntasi asas praduga tdk bersalah dalam

pemeriksaan tersangka di Kepolisian.

3. Untuk mengetahui penyelesaian permasalahan pelaksanaan asas praduga tdk

bersalah pada tersangka di Kepolisian.

4. Untuk mengetahui penyelesaian permasalahan pelaksanaan asas

5
praduga tidak bersalah pada tersangka di kepolisian.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis memberikan sumbangan dalam pengenmbangan ilmu hukum

khususnya mengenai tinjauan hukum pelaksanaan asas praduga tidak bersalah pada

tersangka di Kepolisian.

2. Secara Praktis untuk memberikan masukan kepada pemerintah mengenai

pelaksanaan, permasalahan dan penyelesaian dalam implementasi asas praduga tidak

bersallah pada tersangka di Kepolisian.

E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teoritis

“Mencari kebenaran materil, sehingga kebenaran formil bukanlah

merupakan tujuan dari hukum acara pidana”6.

Penelitian ini membedah rumusan masalah dengan beberapa teori hukum

acara pidana pada proses perkara pidana atau Asas Praduga Tak Bersalah, asas

akusatoir. Penelitian ini membedah rumusan masalah dengan beberapa teori

hukum acara pidana pada proses perkara pidana atau Asas Praduga Tak Bersalah,

asas akusatoir. Tidak bersalah yaitu bagian yang merupakan tidak terpisahkan oleh

proses hukum Indonesia merupakan bagian dari negara yang menganut hukum

perdata, dasar ini juga tertuang pada pasal 8 ayat (1) undang-undang nomor 48

tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dan dalam penjelasan umum KUHAP

bahwa jika seseorang disangkakan, sedang dicurigai, diamankan, ditahan, dijerat,

dan diajukan ke pengadilan harus dinyatakan tidak bersalah segalagi putusan

pengadilan belum di sahkan. Dampak rasional dari Asas Praduga Tak Bersalah

6
adalah terdakwa diberi hak oleh undang-undang untuk melarang mebagikan

penjelasan sehingga dapat menyulitkan/merugikan dirinya di depan persidangan

(The Right of Non-Self In Crimination. Perkembangan HAM telah menempatkan

tersangka/terdakwa sebagai subjek yang memiliki hak penuh untuk membela diri.

Untuk memenuhi hal tersebut, peraturan perundang- undangan Indonesia telah

menyediakan sejumlah perangkat perumusan legislatif untuk menjamin

pemenuhan hak-hak tersebut. Hak termohon, diterangkan dalam Pasal 52

KUHAP:

“Dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka atau

terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau

hakim.”

Berdasarkan keterangan Pasal 52 KUHAP, agar penyelidikan mampu

mendapatkan kesimpulan yang tidak melenceng pada kebenaran, tersangka mesti

menjauhkan dari rasa takut. Oleh sebab itu, wajib untuk mencegah adanya

desakan/tekanan kepada tersangka. Maka dari itu, Pasal 177 KUHAP

menerangkan bahwa tersangka atau saksi kepada penyidik disampaikan jangan

ada desakan dari siapa saja atau wujud apapun begitu juga tujuan pada Pasal 189

ayat (3) KUHAP. Menduduki susunan terakhir sebagai alat bukti sebagaimana

pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan “pernyataan terdakwa”, bukan

merupakan “pengakuan” dari terdakwa”.7

Keberadaan Asas Praduga Tak Bersalah juga prinsip akuatoir ini pada

dasarnya didasarkan oleh penghargaan terhadap hak asasi manu sia. Sebagaimana

Pasal yang menyatakan tentang hak asasi manusia (disingkat dengan HAM) serta

7
mengatur terhadap penghargaan terdapat hak atas seseorang secara khusus bahwa

setiap individu diakui sebagai individu amnusia. Selanjutnya, mereka berhak atas

perlakuan dan keamanan yang pantas dan searah bersama keluhuran manusia

didepan Hukum. Oleh karena itu seseorang berhak atas pertolongan juga

keamanan yang wajar dari pengadilan harus faktual dan adil, karenanya, untuk

mewujudkannya maksud dari menghargaan hak atas seseorang diatur pada Pasal

28D ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 dan pasal yang mengatur HAM dapat

tercipta, aparatur pendiri Hukum dalam melaksanakan persiapan yang sah harus

mengedepankan prinsip prisnip dalam (KUHAP) tentang strategi yang

mengontrol keamanan hak asasi manusia dan menghormati

pengaduan.Hukum acara pidana memutuskan persiapan keadilan pidana. Dengan

demikian, komitmen penyediaan menjamin keamanan hak asasi tersangka,

perkara dan terpidana di tengah pemerataan pidana Hukum acara pidana

memutuskan persiapan keadilan pidana. Dengan demikian, komitmen penyediaan

8
Menjamin keamanan hak asasi tersangka, perkara dan terpidana di tengah

pemerataan pidana mempersiapkan sampai menjalani hukumannya juga di atur dalam

KUHAP. Komitmen tersebut terwujud bagi negara maupun pemerintah pada rencana

menjamin hak atas seseorang.8

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual dalam karya ilmiah ini dapat dicantumkan, sebagai

berikut:

a. Implementasi adalah penerapan atau pelaksaan dari ketentuan perundang-

undangan.

b. Asas Praduga Tak Bersalah menurut Undang-undang Kekuasaan dan

Kehakiman adalah asas ini berarti seseorang yang diduga bersalah di hadapan

sidang pengadilan harus menganggap tidak bersalah hingga suatu keputusan

pengadilan dinyatakan kesalahan yang mendapatkan kekuatan regulasi.

c. Tersangka menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman adalah seorang karena perbuatan atau keadaan,

didasarkan oleh bukti awal patut diduga selaku tindak pidana.

d. Terdakwa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah

seseorang terdakwa yang dituntut, diselidiki dan dibuktikan disidang

pengadilan.

9
e. Penyidik menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah

Indonesia atau PNS tertentu yang diberi kehendak oleh UU untuk melakukan

penyedikan. Pejabat polisi

f. Penuntut umum menurut KUHAP adalah Penuntut Umum untuk melimpahkan

perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang hal ini menurut cara

yang diatur dalam Udang-undang.

g. Kepolisian menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 yaitu Mengatur

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai aparat pemeliharaan

keamanan dan ketertiban pada negeri.

h. Kejaksaan Republik Indonesia adalah 9 Melaksanakan kekuasaan negara secara

merdeka terutama pelaksaan tugas dan kewenangan dibidang penuntutan dan

kewenangan dibidang penyidikan, khususnya dibidang penuntutan.

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian dalam proposal skripsi ini merupakan karya ilmiah

normatif yang didukung oleh penelitian hukum empiris.

2. Pendekatan penelitian

Pendekatan yang dipakai dipakai dalam proposal skripsi ini adalah

deskripsi analisis yaitu penulisan yang berdasarkan fakta-fakta

10
yang diteliti secara jelas, sistematis yang kemudian didukung dan dikolerasikan

untuk dianalisis dengan fakta-fakta berdasarkan dari materi hukum, pendapat para,

pengaturan juga berlaku, berhubungan pada penulisan hukum ini. Pendekatan yang

dipakai adalah Pendekatan yuridis empiris yaitu dahulu selanjutnya diteruskan dalam

menggunakan penelitian data primer dilapangan.10

3. Sumber Data

Jenis data yang digunakan dari sumbernya, dapat dibagi dengan data yang

diperoleh dari lapangan atau peraturan UU (data Primer) diproleh di studi pustaka,

buku hukum, termasuk peraturan perundang-undangan (data Skunder) data Primer

adalah data yang diproleh dan sudah ada yang mengandung unsur mengikat seperti

UU dan lain-lain, berikut ini bahan- bahan dari data Primer :

A. UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

B. UU Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman termasuk peraturan

perundang-undangan (data Skunder) data Primer adalah data yang diproleh dan

sudah ada yang mengandung unsur mengikat seperti UU dan lain-lain, berikut ini

bahan-bahan dari data Primer :

a. UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

b. UU Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

c. KUHAP dan KUHPidana

d. UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP

Data sekuder adalah data yng di peroleh dari studi Pustaka, buku-buku hukum,

website dan temasuk peraturan perundang-undangan. Adapun data tersier merupakan

11
data dari keduanya yaitu dari data primer dan sekunder dan ada juga yang berupa

kamus besar, jurnal. termasuk peraturan perundang- undangan (data Skunder) data

Primer adalah data yang diproleh dan sudah ada yang mengandung unsur mengikat

seperti UU dan lain-lain.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengambilan data yang digunakan proposal skripsi ini menggunakan

penelitian yaitu:

a. Karya Ilmiah kepustakaan (library research) yaitu perkumpulan data melalui

mencari, mempelajari dan memahami buku yang berhubungan dengan materi

penulisan proposal skripsi yang dilakukan oleh penulis, surat kabar, jurnal,

artikel hukum baik dari internet maupun majalah- majalah dan lain sebagainya,

dan produk hukum yang berupa perundang- undangan.

b. Penelitian lapangan (field research) adalah dengan dilakukannya penelitian

dilapangan berupa wawancara secara langsung dan terstruktur terhadap sesorang

atau badan penegak hukum yang berkompeten.

5. Analisis Data

Analisis Data pada proposal skripsi ini bahwa data penilitian hukum

normative melalui cara data di peroleh di analisa kualitatif yaitu Analisis melalui data

yang tidak dapat dijumlahkan dan bersifat mengikat.

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TENTANG TINDAK PIDANA

A. Pengertian Tindak Pidana

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa arti dan penjelasan berkaitan

dengan tindak pidana dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dikenal

dengan istilah Strafbaarfeit dan dikenal dengan istilah delik, sedangan pembuat

undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa

pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana :1

a. STRAFBAAR FEIT yaitu peristiwa pidana.

b. STRAFBARE HUNDLING yaitu perbuatan Pidana.

c. CRIMINAL ACT yaitu Perbuatan Kriminal.

kata, yakni:2

a. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum.

b. Baar diartikan sebagai dapat dan boleh.

c. Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Menurut Andi Hamzah, delik adalah tindakan atau kegiatan yang dilarang

dan diancam dengan hukuman oleh peraturan (pidana).3

Menurut Moeljatno, artinya Strafbaarfeit itu adalah suatu perbuatan/kelakuan

manusia yang diancam pidana pleh peraturan perundang- undangan.4 Jonkers

mencirikan Strafbaarfeit sebagai

13
peristiwa pidana yang ia cirikan sebagai "suatu perbuatan yang melawan hukum”

(wederrechtlijk) terkait dengan perilaku yang disengaja atau tidak disengaja yang

dilakukan oleh seorang individu yang dapat dipertanggungjawabkan5.Lamitang

mengacu pada pernyataan Pompe yang melihat Strafbaarfeit juga, secara spesifik

merupakan suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap hukum dan ketertiban)

yang dengan kesengajaan atau tidak disengaja yang dilakukan oleh seorang pelaku,

dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut sangat penting demi

terpeliharanya tertib hukum.6

Moeljianto berpendapat bahwa duganakannya istilah "perbuatan pidana"

karena kata "perbuatan" biasanya digunakan dalam percakapan sehari-hari seperti

kata perbuatan cabul , kata perbuatan jahat , dan kata perbuatan yang melanggar

hukum7. Moeljianto menegaskan bahwa pengaturan suatu perbuatan mengacu pada

“melakukan dan kepada akibatnya”, dan kata perbuatan berarti dibuat oleh seseorang

yang dapat dipidana adalah kepanjangan dari istilah yang merupakan terjemahan dari

straffbaarfeit.8

Moeljanto menyatakan yaitu:9 Dalam hal Utrecht (peraturan-peraturan

hukum) , lazim memakai istilah hukum , maka hukum berarti "berecht". Dalam hal

di adili yang sama sekali tidak mesti berhubungan dengan straf, dihukum karena

perkara-perkara perdatapun juga termasuk diadili , maka saya memilih untuk

terjemahan Straffbaar adalah istilah pidana sebagai singkatan dari “yang dapat

dipidana”

14
Yang berarti perbuatan berarti dilakukan oleh seseorang menunjuk pada yang

melakukan maupun pada akibatnya , sedangkan perkataan peristiwa tidak menunjuk

bahwa yang melakukannya adalah “handling”. Atau “gedraging”bisa saja

seseorang atau mungkin juga hewan atau alam dan perkataan tindak berarti Langkah

baru dan tindak tanduk atau tingkah laku. H.J VAN SCHRAVENDIK

mendefinisikan delik yaitu perbuatan yang dapat dihukum, UTRECHT lebih pada

arah penggunaan istilah peristiwa pidana,karna istilah pidana juga tergolong

perbuatan (andelen) atau doen positif juga disebut (visun atau nabetan atau metdoen,

negatif maupun akibat itu).10

S.R. Sianturi berpendapat bahwa tindak pidana adalah sesuatu tindakan baik,

tempat, waktu atau situasi tertentu yang dilarang (atau diharuskan) sehingga diancam

dengan pidana oleh karena berbunyi dinilai bersifat melawan hukum, serta dengan

kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang bertanggung jawab ).11

Sianturi berpandangan jika istilah dari tindak merupakan singkatan dari kata

“tindakan” artiya pada orang yang melakukan tindakan dinamakan sebagai penindak.

Tindakan apa saja yang dilakukan semua orang, akan tetapi dalam banyak hal suatu

tindakan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu, misalnya menurut

golongan dalam pekerjaan dan menurut golongan kelamin. Sianturi menambahkan

jika dilihat dari berdasarkan jenis kelamin misalnya Wanita atau Pria, sedangkan

menurut jenis dalam pekerjaan misalnya seperti buruh, pegawai , dan lain-lain

sebagainya , jadi status/klasifikasi seorang penindak masih disertakan dengan

pencantuman unsur “barang siapa”.12

15
B. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Dalam rumusan tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) pada umunya dapat dijabarkan ke dalam unsur-

unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan objektif. Unsur subjektif adalah unsur-

unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku,

dan termasuk ke dalamnya yaitu dengan segala sesuatu yang terkandung di dalam

hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan

keadaan-keadaan , yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan- tindakan dari

sipelaku itu harus dilakukan.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana meliputi :13

1. Disengaja atau tidak disengaja (Dolus atau Culpa); maksud atau Voomenen

pada suatu percobaan atau pogging

2. Seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya dalam

kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsudan dan lain-

lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteraad sebagaimana termuat

dalam tindak pidana pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; dan

16
5. Perasaan takut yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak pidana

menurut Pasal 308 KUHP

Unsur-unsur Objektif dari suatu tindak pidana meliputi:14

1. Sifat melawan hukum/wederrechtelicjkheid.

2. Kualitas dari sipelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di

dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus

atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas didalam kejahatan menurut

Pasal 398 KUHP; dan

3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab

dengan sesuatu kenyataan sebagai akbiat.

4. Fuad Usfa, menjelaskan tentang Unsur-unsur subjektif dari tindak pidana

terdiri :15

5. Dengan kesengajaan atau tidak kesengajaan (dolus atau culpa);

6. Dengan maksud pada suatu percobaan (seperti yang dimaksud dalam

Pasal 53 ayat (1) KUHP;

7. Dengan macam-macam maksud atau oogmerk seperti misalnya yang

terdapat dalam tindak pidana pencurian ;

8. Merencanakan terlebih dahulu, seperti misalnya yang terdapat dalam

Pasal 340 KUHP

Sedangkan unsur-unsur dari tindak pidana terdiri dari:16

1. Sifat melanggar hukum.

17
2. Kualitas si pelaku, keadaan seseorang sebagai pegawai negeri dalam

kejahatan menurut pasal 415 KUHP.

3. Kasualitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab

kenyataan sebagai akibat

Menyikapi hal tersebut unsur objektif dan unsur subjektif, Loebby

Luqman juga memberikan pendapatnya tentang unsur-unsur tindak pidana. Menurut

beliau unsur-unsur tindak pidana meliputi:17

1. Perbuatan manusia baik aktif maupun pasif;

2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh UU

3. Perbuatan tersebut telah dianggap melawan hukum

4. Perbuatan tersebut telah dapat dipersalahkan dan;

5. Pelakunya dapat dipertanggung jawabkan

C. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Pengelompokkan Hukum pidana, berdasarkan jenis baik sifat atau kualitas

subjeknya pada pola peristiwa pidana (Straffbaar Handling).

a. Pembagian Berdasarkan Rumusan KUHP, yakni Kejahatan yang di atur dalam

KUHP Buku II dan Pelanggaran yang di atur dalam KUHP Buku III. Hal

tersebut dibedakan karena sifat kejahatan lebih parah ketimbang pelanggaran.

Begitu pada konsekuensi hukum, Kejahatan akan bermuara pada kurungan

yang maksimal 1,4 tahun.

b. Pembagian Berdasarkan Pola Perumusannya, dalam konteks ini dikenal istilah

tindak pidana meteriil dan formil. Tindak pidana materil memiliki ciri khas

yakni larangan yang menciptakan akibat yang tidak diinginkan seperti pasal

18
338 KUHP Pembunuhan dan 351 KUHP tentang penganiayaan. Sementara itu

tindak pidana formil lebih terlihat mengatur berkaitan tentang mengatur

perbuatan yang dilarang seperti Pasal 362 KUHP Pencurian dan Pasal 378

Penipuan.

c. Pembagian berdasarkan Bentuk Kesalahan, dalam konteks ini di pisahkan

antara tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja (dolus) dan tindak pidana

yang terjadi tidak dengan sengaja (culpa)

d. Pembagian Berdasarkan Macam Perbuatannya, dalam konteks ini di bagi atas

perbuatan yang terjadi secara aktif (Komisi) dan tindak pidana yang terjadi

secara pasif (Omission).

e. Pembagian berdasarkan tempo waktu terjadinya peristiwa pidana tersebut

konteks ini berkaitan dengan tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa

sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu

singkat saja, disebut juga dengan aflpene delicten. Sebaliknya ada tindak

pidana yang dirumuskan sedemikian rupa. Dalam khasus tindak pidana yang

berlangsung lama yakni setelah perbuatan dilakukan tindak

19
pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut dengan voordurende

delichten. Tindak pidana ini dapat disebut tindak pidana yang menciptakan

suatu keadaan yang terlarang.

f. Pembagian berdasarkan sumbernya, dalam konteks ini dibedakan antara tindak

pidana umum yang diatur dalam KUHP dan tindak pidana khusus yang diatur

dalam Undang-Undang Khusus, contohnya adalah tindak pidana perdagangan

manusia. Pencucian uang dan korupsi.

g. Pembagian berdasarkan kualita subbjeknya, dalam konteks ini dibedakan

antara Tindak Pidana propria yakni tindak pidana didahulukannya subjek

berkualitas tertentu yang dapat melakukannya dan tindak pidana Comunia

yakni tindak pidana dengan mudah dapat dilakukan oleh semua orang.

h. Pembagian berdasarkan hak memberitahukan kepada aparat, dalam konteks

ini dibedakan dengan Delik Aduan dan Delik Laporan.

i. Pembagian Berdasarkan Berat dan Ringannya Tindak Pidana, dalam konteks

ini maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana

yang diperberat dan tindak pidana yang diperingan. Dilihat dari beratnya, ada

tindak pidana tertentu yang di bentuk menjadi : (1) Dalam bentuk pokok

disebut juga bentuk sederhana atau dapat juga disebut dengan bentuk standar ;

(2) Dalam bentuk yang diperberat ; dan (3) dalam bentuk ringan.

j. Pembagian Berdasarkan Kepentingan Hukum Yang Dilindungi, Dalam konteks

ini dibedakan dalam hal perlindungan hukum atas keamanan negara dan

perlindungan hukum atas hak individual.

k. Pembagian Berdasarkan Berapa kali Perbuatan Tersebut Menjadi Sebuah

20
Tindak Pidana, konteks ini Tindak Pidana tunggal adalah tindak pidana yang

dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang telah selesainya tindak

pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup diisyaratkan satu kali perbuatan

saja, presentase terbesar tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak

pidana tunggal. Sementara itu yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai

adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk

dipandang sebagai selesai dan dapat dipidananya pelaku, diisyaratkan

dilakukan secara berulang.18

D. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pembunuhan

Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven legen bet leven) adalah berupa

penyerangan terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan

yang merupakan objek kejahatab ini adalah nyawa (leven) manusia.19

Dalam delik pembunuhan terdapat unsur-unsurnya yang mana merupakan

unsur subjektif dan unsur-unsur yang merupakan unsur objektif, maka penjabarannya

sebagai berikut, Yang merupakan unsur subjektif adalah opzettelijk atau dengan

sengaja, yang merupakan unsur-unsur objektif adalah:

1. Unsur menghilangkan nyawa dan

2. Unsur nyawa orang lain.20

Unsur-unsur tersebut merupakan unsur-unsur yang oleh pembentuk undang-

undang telah dinyatakan secara tegas sebagai unsur-unsur dari delik pembunuhan

seperti yang telah dirumuskan di dalam Pasal 338 KUHP, maka penuntut umum

harus mencantumkan semua unsur itu di dalam surat tuduhannya. Unsur-unsur

tersebut adalah :

21
1. Sengaja (opzettelijk)

2. Menghilangkan (beroven)

3. Nyawa (leven)

4. Orang lain (een ander)

Dengan mengingat keempat unsur keempat unsur diatas di dalam surat

tuduhan, maka itu juga berarti bahwa keempat unsur dari delik itu oleh penuntut telah

dituduhkan terhadap tertuduh. Dan oleh karena keempat unsur itu telah dituduhkan

dan telah dipenuhi oleh tertuduh, maka dengan sendirinya penuntut umum harus

membuktikan kebenaran dari tuduhannya itu didalam peradilan.

22
BAB III

ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH PADA PROSES PENYIDIKAN

A. Pengertian Asas Praduga Tidak Bersalah

Suatu konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah asas

praduga tidak bersalah menurut asas ini, Semua perbuatan dianggap boleh kecuali

dinyatakan sebaliknya oleh suatu nashab hukum. Selanjutnya setiap orang dianggap

tidak bersalah untuk suatu perbuatan kejahatan, Kecuali dibuktikan kesalahannya

pada suatu tanpa adanya keraguan. Jika suatu keragu- raguan yang beralasan muncul,

seseorang tertuduh harus dibebaskan konsep ini telah diletakan dalam hukum islam

jauh sebelum dikenal dalam hukum-hukum pidana positif empat belas abad yang

lalu.

Di dalam hukum positif Indonesia, asas praduga tidak bersalah telah

dirumuskan dalam Undang-undang Pokok-Pokok Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970

jo. Undang-undang Repbulik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang perubahan

atas Undang-undang Pokok-Pokok Kekuasaan kehakiman yang menegaskan bahwa

“setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan

didepan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan

pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.


21
Berdasarkan penjelasan pada pasal tersebut seseorang belum bisa dikatakan

bersalah jika belum ada putusan pengadilan yang inkrcaht (berkekuatan hukum tetap)

dalam artian yaitu tidak adanya ataupun tidak melakukan upaya hukum biasa yang

dilakukan terdakwa terhadap putusan pengadilan tersebut.

27
Demikian halnya pada Undang-undang RI No.39 Tahun 1999 yaitu sebagai

berikut: “Setiap orang yang di tangkap , ditahan, dan dituntut karena disangka

melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan

kesalahannya secarah sah dalam suatu sidang pengadilan dan di berikan segala

jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.” Selain itu , asas praduga tidak bersalah diatur pula

dalam Bab III Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor

M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana yang isinya antara lain adalah :22

“Sebagian seseorang yang belum dinyatakan bersalah maka ia mendapatkan

hak-hak seperti: hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam fase penyidikan,

hak segera mendapatkan pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapatkan putusan

seadil-adilnya, hak untuk diberitahu apa yang di sangkakan/didakwakan kepadanya

dengan Bahasa yang dimengerti olehnya, hak untuk menyiapkan pembelaannya, hak

untuk mendapatkan bantuan hukum dan hak untuk mendapatkan kunjungan

keluarga.”

Sedangkan dalam KUHAP, asas praduga tidak bersalah tidak dicantumkan

secara tegas, namun hanya terdapat dalam penjelasan umum 3C KUHAP yang

isinya: “ Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau

dihadapkan di hadapan sidang pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan

memperoleh kekuatan hukum tetap ”.

Pengertian asas praduga tidak bersalah diterangkan dalam dokumen-

dokumen internasional antaralain, rumusan asas praduga tidak bersalah di dalam

27
Pasal 14 paragraf 2, international Covenan on civil and Political/Kovenan

Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik Tahun 1966, singkatnya yaitu

“Everyone charge with everyone charged with criminal offence shall have the right

to be presumen innocent until proved guilty according to law.” 23

Menurut Andi Hamzah , asas presumption if innocent atau dikenal juga

dengan asas praduga tidak bersalah tidak bisa diartikan secara letterlijk (apa yang

tertulis). Menurutnya, kalau asas tersebut diartikan secara letterlijk, maka tugas

kepolisian tidak akan bisa berjalan. Presumption of innocent adalah hak- hak

tersangka sebagai manusia. Hak-hak yang dimaksud misalnya kawin dan cerai, ikut

pemilihan dan sebagainya.24

Sedangkan menurut Yahya Harahap, tersangka harus ditempatkan pada

kedudukan manusia yang memiliki harkat dan martabat. Dia harus dinilai sebagai

subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak

pidana yang dilakukan nyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan

tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan , Tersangka harus dianggap

tidak bersalah sesuai dengan asas praduga tidak bersalah sampai diperoleh putusan

pengadilan yang telah berkekuatan tetap.

B. Dasar Hukum Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah

Di dalam hukum positif indonesia, asas praduga tidak bersalah telah

dirumuskan dalam Undang-undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14

tahun 1970 jo. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2004 tentang

perubahan atas Undang-undang pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang

mengatakan bahwa “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan , dituntut dan

27
atau dihadapkan didepan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya

putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan

hukum yang tetap.25

Sedangkan di dalam KUHAP, asas praduga tidak bersalah telah dirumuskan

secara tegas namum hanya terdapat dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP yang

isinya : setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan

di hadapan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan

hukum tetap.

Demikian halnya dalam Undang-undang RI No.39 Tahun 1999 yaitu: “setiap

orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan suatu tindak

pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah

dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan

pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”26

Selain itu, asas praduga tidak bersalah juga diatur dalam Bagian III

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PW.07.03 Tahun

1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Acara Pidana.

Seperti penjabaran dari pedoman asumsi kejujuran, seorang

tersangka/termohon tidak dapat diganggu gugat dengan komitmen pengukuhan,

karena penyidik membuat dakwaan terhadap pihak yang berperkara, maka penyidik

direpotkan dengan upaya pembuktian tanggung jawab penggugat melalui pembuktian

yang diperbolehkan oleh peraturan.

C. Prinsip-Prinsip Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah

Prinsip pemeriksaan akusatur ditegakkan dalam segala tingkat proses

27
pemeriksaan. Untuk menopang asas praduga tidak bersalah dan prinsip akusatoir

dalam penegakan hukum KUHAP telah memberikan perisai-perisai kepada

tersangka/terdakwa berupa seperangkat hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati

dan dilindungi pihak aparat penegak hukum. Dengan perisai yang di akui hak-hak

yang diakui hukum, secara teoritis sejak semula tahap pemeriksaan

tersangka/terdakwa sudah mempunyai “posisi yang setaraf” dengan pejabat

pemeriksa dalam kedudukan hukum, berhak menuntut perlakukan yang digunakan

dalam KUHAP seperti yang dilihat pada bab VI.

Prinsip penerapan asas praduga tidak bersalah yaitu:

1. Tersangka/terdakwa segara memperoleh “pemeriksaan oleh penyidik” dan

selanjutnya diajukan ke penuntut umum.27

2. Tersangka/terdakwa segara diajukan ke pengadilan dan “segera diadili” oleh

pengadilan.28

3. Tersangka/terdakwa berhak untuk “diberitahu dengan jelas” dengan Bahasa

yang mudah dipahami tentnag “apa yang disangkakan” kepadanya saat

penyidikan dimulai29.

4. Tersangka/terdakwa mempunyai hak “diberitahukan dengan jelas” dengan

Bahasa yang mudah dipahami, mengenai apa yang “didakwakan” kepadanya,

bertujuan memberikan kesempatan kepadanya untuk menyiapkan pembelaan.30

5. Tersangka/terdakwa berhak memberikan penjelasan “secara bebas” dihadapan

penyidik pada tahap penyidikan ataupun pada hakim saat proses pemeriksaan

di sidang pengadilan.31

6. Tersangka/terdakwa berhak untuk setiap waktu “mendapatkan bantuan” juru

27
bahasa pada setiap tingkatan pemeriksaan , jika tersangka tidak mengerti

bahasa Indonesia. Tersangka berhak mendapat “bantuan hukum"dari


32

seseorang atau penasehat hukum pada tahap pemeriksaan".33

7. Terdakwa diberikan pilihan untuk memilih penasehat hukum yang

diinginkannya 34
bahkan untuk bantuan penasehat hukum, bukan semata-mata

hak yang ada pada tersangka, tetapi sebagaimana ditentukan dalam pasal 56,

guna memenuhi hak mendapatkan bantuan penasihat hukum , pejebat yang

bersangkutan pada semua tingkatan “wajib” menunjukan penasihat hukum bagi

tersangka/terdakwa , apabila dia tidak mampu menyediakan penasihat

hukumnya.

8. Tersangka/terdakwa boleh mengunjungi atau “dikunjungi dokter” pribadinya

selama ia ditahan 35.

9. Tersangka/terdakwa boleh untuk “diberitahukan kepada keluarganya” atau

orang yang serumah dengan dia atas penahanan yang dilakukan terhadap

dirinya. Pemberitahuan itu dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan.36

10. Tersangka/terdakwa berhak menghubungi dan “menerima kunjungan” dari

pihak yang memiliki ikatan keluarga atau orang lain guna mendapatkan

jaminan penangguhan atau bantuan hukum .37

11. Tersangka/terdakwa boleh dapat langsung atau dengan perantara dari

penasihat hukumnya untuk menghubungi atau menerima kunjungan dari sanak

keluarga, terlepas dari apakah ini ada atau tidak ada hubungannya dengan

kepentingan tersangka..38

12. Tersangka/terdakwa boleh “mengirim surat” “menerima surat” setiap kali

27
diperlukannya dari: penasihat hukum nya dan sanak keluarga. Untuk keperluan

surat menyurat ini pejabat yang bersangkutan harus menyediakan peralatan

yang diperlukan .39

13. Surat-menyurat ini “tidak boleh diperiksa” oleh apparat penegak hukum,

kecuali jika ada terdapat cukup alasan untuk menduga adanya penyalah gunaan

surat-menyurat tersebut.40

14. Terdakwa boleh untuk diadili dalam sidang pengadilan yang “terbuka untuk

umum.”41

15. Tersangka/terdakwa berhak untuk mengusahakan dan “mengajukan” saksi

dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan

keterangan yang menguntungkan bagi dirinya (saksi a de charge).42

16. Tersangka/terdakwa “tidak dibebani kewajiban pembuktian”.


43
Penuntut umumlah yang dibebani kewajiban membuktikan kesalahan

terdakwa. Atau penyidiklah yang berkewajiban bertugas mengumpulkan bukti-

bukti yang diperlukan membuktikan kesalahan tersangka.

17. Terdakwa boleh meminta “ganti rugi” atau “rehabilitasi" atas setiap tindakan

dan perlakuan penangkapan, penahanan dan dakwaan yang melanggar hukum

".44

27
27
31
26
1. Tersangka/terdakwa “tidak dibebani kewajiban

pembuktian”.

43
Penuntut umumlah yang dibebani kewajiban

membuktikan

33
kesalahan terdakwa. Atau penyidiklah yang berkewajiban

bertugas mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan

membuktikan kesalahan tersangka.

2. Terdakwa boleh meminta “ganti rugi” atau “rehabilitasi" atas

setiap tindakan dan perlakuan penangkapan, penahanan dan

dakwaan yang melanggar hukum ".44

B. PENTINGNYA PENERAPAN ASAS PRADUGA

TIDAK BERSALAH DALAM PROSES PENYIDIKAN

Dalam rangka mewujudkan proses hukum yang adil ,

maka penegakan hukum seyogyanya tidak dipandang secara

sempit, namun secara luas. Dengan demikian, penegak

hukum tidak hanya selalu dipahami sebagai penegakan

norma-norma hukum yang berkaitan dengan pelanggaran

seseorang tersangka/terdakwa , melainkan juga penegakan

hukum terhadap norma-norma yang berkaitan dengan

perlindungan hak-hak tersangka dan terdakwa oleh aparat

penegak hukum selama proses pemeriksaan berlangsung.

Sebagai konsekuensi dianutnya asas praduga tidak

bersalah adalah seorang tersangka atau terdakwa yang

dituduh melakukan suatu tindak pidana , tetapi tidak boleh

diperlakukan sebagai orang yang bersalah meskipun

kepadanya dapat dikenakan penangkapan/penahanan menurut

undang-undang yang berlaku. Jadi, semua pihak termasuk

34
aparar penegak hukum harus tetap menjunjung tinggi hak

asasi tersangka/terdakwa.45

Tanggapan Mardjono Resdiputro asas praduga tidak

bersalah ini yaitu asas utama proses hukum yang adil (due

process of law), diantaranya adalah :

a. Perlindungan terhadap tindaan sewenang-wenangan dari

pejabat

35
Negara

b. Bahwa pengadilanlah yang berhak menentukan bersalah atau

tidaknya terdakwa

c. Bahwa terdakwa mesti diberi jaminan untuk bisa membela

diri sepenuhnya.46

Pengakuan terhadap asas praduga tidak bersalah dalam

hukum acara pidana berlaku di negara kita mengandung dua

maksud. Disatu pihak ketentuan tersebut adalah untuk

memberikan perlindungan dan jaminan terhadap seseorang

manusia yang telah dituduh melakukan suatu tindak pidana

dalam proses pemeriksaan perkara jangan sampai di perkosa

hak asasinya, sedangkan dilain pihak, ketentuan tersebut

memberikan pedoman pada petugas agar supaya membatasi

tindakannya dalam melakukan pemeriksaan oleh karena yang

periksa itu bukanlah benda atau hewan sehingga dalam proses

penyidikan penerapan asas praduga tidak bersalah sangatlah

penting.

C. PENGERTIAN ”PENYIDIK” DAN “PENYIDIKAN”

1. Penyidik

Menurut De Pinto , menyidik (opsporing) berarti pejabat-

36
pejabat yang untuk itu diunjuk oleh undang-undang negeri

setelah mereka dengan jalan apapun mendengarkan kabar

yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi pelanggaran

hukum, untuk melakukan pemeriksaan permulaan.47

Aparat penyidik berdasarkan “KUHAP” saat ini ditentukan:

1. Berdasarkan KUHAP, yang termasuk dalam kategori

penyidik ialah:

a) “pejabat POLRI”

37
b) “PNS” tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh UU. 48

Selanjutnya syarat-syarat untuk diangkat menjadi penyidik

diatur

oleh Peraturan Pemerintah (PP). 49


Atas berlakunya Pasal 6

ayat (2) maka telah diterbitkan PP Nomor 27 Tahun 1983,

yang berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 dapat disimpulkan

bahwa “penyidik” adalah sebagai berikut:

1) Pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang sekurang-

kurangnya berpangkat pembantu letnan Dua (pelda pol), di

tunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

2) Komandan Wilayah (karena jabatannya adalah penyidik

kepolisian/pelda tidak ada: untuk melaksanakan "penyidikan"

atas usul komandan/pimpinan nya , Kapolri mengangkat

penyidik pembantu dengan syarat sebagai berikut: Pejabat

Kepolisian Republik Indonesia dengan sekurang-kurangnya

berpangkat sersan dua. Pegawai pemerintah tertentu dengan

berpangkat pengatur muda (kelas II/a) Pegawai pemerintah

tertentu, yang memegang pengatur muda level I (kelas II/b)

atas gagasan pembagian yang signifikan, ditunjuk oleh

Pendeta Ekuitas setelah mendengar renungan para Pejabat

Tinggi Hukum dan Petinggi Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

2. Berdasarkan peraturan perundang-undangan

38
Pada Pasal 1 butir 1 KUHAP dikemukakan bahwa

“pemyidik adalah pejabat polisi Negara Repubik Indonesia

atau pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat

pegawai negeri sipil (PNS) tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh undang-undang untuk

39
melakukan penyidikan”.50

Berdasarkan rumusan pasal 1 butir 1 KUHAP tersebut,

dapat dipahami bahwa penyidik terdiri dari:

• Pejabat polisi Negara Republik Indonesia.

• Pejabat pegawai negeri sipil tertentu.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 pada

Pasal 17, berbunyi sebagai berikut:

“Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana

sebagaimana tersebut pada undang-undag tersebut pada

undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal

284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan

pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan

peraturan perundang-undangan”.51

Berdasarkan rumusan Pasal 17 PP Tahun 1983, maka

penyidik terdiri dari :

1) Penyidik

2) Jaksa

3) Pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan

40
peraturan perundang-undangan.

2. Penyidikan

Penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sejajar

dengan pengertian opsporing (belanda) dan investigation

(inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). Penyidikan

dalam KUHAP didefinisikan sebagai serangkaian tindakan

penyidik dalam hal dan

41
menurut cara yang di atur dalam undang-undang ini unutk

mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu

membuat terang-terangan tindak pidana yang terjadi guna

menemukan tersangkanya.52

D. PEMERIKSAAN DALAM PROSES PENYIDIKAN

Penyelidik/penyidik setelah menerima laporan atau

pengaduan tentang terjadinya suatu tindak pidana, maka

segera melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara

(TKP). Hasil pemeriksaan di TKP tersebut lalu dibuatkan

berita acara.53 Pada berita acara dimuat segala sesuatu yang

dilihat, dialami ataupun diddengar. Berita acara ini ditutup

dengan “mengingat atas sumpah jabatan” serta

ditandatanganinya dan jika pihak lain, misalnya ketua RT

atau pihak lain, maka turut mendandatangani nya.

Berita acara pemeriksaan ditempat kejadian perkara ini

merupakan alat bukti sah, yakni “surat” Dengan memaca

berita acara tersebut, maka dapat diketahui secara sepintas

hakikat dari suatu kejadian dan diperoleh satu alat bukti.

Sseing dialami adanya kegagalan penuntutan disebabkan

ketiadaan berita acara pemeriksaan ditempat kejadian,

khususnya dalam perkara korupsi mengenai seorang

pemborong mulai melaksanakan pekerjaan Borongan

42
tercantum pada SPK yang ada pada saat pemeriksaan perkara

di persidangan pengadilan negeri. Pekerjaan tersebut telah

rampung/selesai sehingga unsur “kerugian keuangan Negara”

tidak terbukti di persidangan. Alangkah idealnya jika Berita

Acara Pemeriksaan (BAP) ditempat kejadian perkara

dibuat oleh suatu tim yang terdiri dari beberapa instansi

termasuk instansi yang memiliki proyek tersebut.. Setelah

Berita Acara Pemeriksaan di tempat kejadian perkara dan

pula telah dibuat Berita Acara Pemeriksaan saksi

pelapor atau saksi pengadu,

43
penyidik/penyelidik pembantu telah dapat membuat “rencana

penyidikan” yang mencakup “jadwal” dan “kegiatan"

Dengan "rencana pemeriksaan" cenderung justru dinilai

tentang "penahanan" tersangka yang sah selama 20 hari.54 dan

dapat diperpanjang oleh penuntut umum selama 40

hari55.Pemeriksa umum tidak akan memberikan tambahan

dengan asumsi penyelidik lalai mengirimkan Surat

Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan harus

mengetahui bahwa SPDP adalah sesuatu yang diperlukan

secara hukum.56

Seandainya SPDP belum ada maka , "penyelidik" tidak

dapat mulai memeriksa. Ketua Pengadilan Negeri dapat

menolak izin penyitaan dan izin penggeledahan jika

diketahuinya belum adanya SPDP, demikian pula penuntut

umum dapat menolak perpanjangan penahanan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2) KUHP.

Terhadap penerbitan SPDP ini, agar tidak dilalaikan

karena bukan hal yang mustahil jika penasihat hukum

mengajukan PEMBATALAN Berita Acara Pemeriksaan

yang dibuat terlebih dahulu dari SPDP.

E. PERLINDUNGAN HUKUM

44
TERHADAP TERSANGKA

TINDAK PIDANA DALAM PROSES

PENYIDIKAN

Perlindungan hukum bagi tersangka dalam proses

penyidikan dalam kitab undang-undang hukum acara pidana,

antara lain hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan untuk

selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum pasal 50

KUHAP, hakk untuk memberikan keterangan secara bebas

tanpa tekanan dari pihak manapun pasal 52 dan pasal 117

KUHAP hak untuk mendapatkan bantuan hukum pada setiap

pemeriksaan pasal 114, pasal 54,

45
pasal 56 KUHAP perlindungan, antara lain57: Hal ini

diarahkan dalam Pasal 50 KUHP, yang menyatakan: 1)

Seorang tersangka baru memiliki pilihan untuk diperiksa oleh

pemeriksa dan selanjutnya dapat diajukan kepada Pemeriksa

Umum, 2) Tersangka memiliki hak istimewa untuk

perkaranya. segera diajukan ke Pengadilan oleh Penyidik

Umum, 3) Penggugat mempunyai pilihan untuk segera diadili

oleh Pengadilan. Dari pasal di atas, cenderung beralasan

bahwa pasal tersebut memerlukan siklus penyelesaian kasus

yang harus diurus dengan cepat agar semuanya bisa selesai

dalam waktu yang singkat. Alasan hak ini agar ada kepastian

yang sah dan cenderung diketahui bagaimana nasib tersangka

sehingga tidak lepas, terutama bagi tersangka yang ditahan.

Pasal 52 KUHP, pilihan untuk memberikan data secara

terbuka. Apa yang biasanya diharapkan oleh para ahli pada

saat pemeriksaan adalah pernyataan dari tersangka karena

dari data ini memberikan titik terang untuk bekerja pada itu

adalah normal. Sebagai konfirmasi bahwa opsi untuk

memberikan data tanpa hambatan dipastikan oleh hukum,

Pasal 52 KUHAP yang berbunyi, sebagai berikut : “Dalam

pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan

tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan

secara bebas kepada penyidik atau hakim” . Hal ini juga

46
diatur dalam Pasal 117 (1) yang berbunyi sebagai berikut :

“Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik

diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk

apapun”. Dalam memberikan keterangan, hendaknya

tersangka tidak ada dibawah tekanan dan paksaan dari

penyidik, maka tersangka tidak boleh dipaksa atau ditekan

dan dijauhkan dari rasa takut, supaya pemeriksaan mencapai

hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya.

Apabila tersangka berada dibawah tekanan dan rasa takut

maka keterangan yang diberikan belum tentu merupakan

keterangan yang sebenarnya.58Hak untuk mendapatkan

bantuan hukum,Pasal 54 KUHAP, yang menyebutkan "Guna

kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak

mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih

penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat

pemeriksaan , menurut tata cara yang ditentutkan dalam

undang-undang ini”. Hal ini berhubungan dengan Pasal 114

KUHAP sebagai kewajiban penyidik terhadap

47
tersangka, yang berbunyi : “Dalam hak seorang tdisangka

melakukan tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan

oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya

tentang haknya mendapatkan bantuan hukum atau wajib

didampingi penasihat hukum pada kasus tertentu.

Diberikannya hak-hak tersangka sebagaimana terdapat dalam

pasal 56”. Adapun hak, telah diatur dalam Pasal 56 KUHP

yang berbunyi: Jika seorang tersangka atau tersangka atau

dipersalahkan karena melakukan suatu kesalahan yang patut

diancam dengan pidana mati atau bahaya 15 tahun atau

sesuatu yang lain bagi rakyat. yang tidak dapat

melakukannya, mereka dihukum lima tahun atau lebih yang

tidak memiliki penasihat hukum mereka sendiri. , pihak

berwenang khawatir dalam semua pemeriksaan dalam siklus

hukum harus menyebutkan nama mereka. Setiap konsultan

hukum yang disebutkan untuk melakukan seperti yang

disinggung dalam ayat (1) memberikan bantuan untuk apa-

apa. Motivasi yang melatarbelakangi pemberian hak tersebut

kepada tersangka adalah untuk menjauhkan diri dari kejadian

dan penegasan alat yang sah yang dapat merugikan tersangka.

Dengan adanya pengawalan atau pengaturan mulai dari

pemeriksaan hingga tahap pendahuluan, pengamanan dapat

melihat dan melihat penilaian yang dilakukan terhadap

48
tersangka. Soal pedoman yang sah menjadi hak tersangka

juga diarahkan pada peraturan dan pedoman, misalnya, 1)

Pasal 18 ayat (4) Peraturan No. 39 tahun 1999 tentang

kebebasan bersama yang menyatakan: “setiap orang yang

diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat

penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap" 2) Pasal 37 Undang-Undang No.48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang

menyebutkan : “setiap orang yang tersangkut perkara berhak

memperoleh bantukan hukum”. Persyaratan yang sah kepada

tersangka pada responden harus diamati dari berapa variabel,

yaitu:

• aspek pokok yaitu bahwa tempat tersangka juga termohon

pada lingkaran hukum adalah seseorang lemah, melihat yang

terkait berhadapan dengan orang membumi, khususnya

negara melalui perangkatnya. Posisi yang tidak konsisten ini

menunjukkan bahwa tersangka atau responden harus

mendapatkan bantuan sah yang memadai sesuai hukum dan

perintah untuk memperoleh keadilan yang sah dan asli.

49
• Komponen berikutnya adalah bahwa tidak semua orang tahu,

apalagi kompleksitas standar sah yang berbelit-belit, untuk

situasi ini polisi jelas memiliki posisi dengan pengalaman dan

informasi tambahan daripada pejabat ini, dll.

• Komponen ketiga adalah variabel mental atau elemen mental,

meskipun faktanya hanya pada tingkat keraguan atau dugaan

bagi individu yang terkena dampak, itu mungkin merupakan

pukulan mental.59 Dari penilaian ini, cenderung beralasan

bahwa pertolongan yang halal sangat penting bagi tersangka

juga responden ialah sesuatu juga tidak dapat dihapuskan,

terutama dalam situasi di mana hukuman pidana di atas lima

5 atau lebih atau diringankan oleh hukuman mati. Pembinaan

hukum harus benar-benar melihat pemeriksaan agen untuk

menjaga kebebasan tersangka. Memberikan bantuan yang sah

kepada tersangka digarisbawahi dalam menjaga kebebasan

tersangka. Arahan yang sah harus memiliki pilihan untuk

melindungi setiap hak yang diperlukan tersangka dalam

penilaian. Sehubungan dengan hubungan antara penasihat

hukum dan klien mereka, diatur dalam Bagian III tentang

Perangkat Pendukung:

a. Pendukung tidak diizinkan untuk memberikan data yang

dapat menyesatkan klien mereka sehubungan dengan kasus

yang mereka buat.

50
b. Pendukung tidak dilegitimasi dalam kerangka berpikir itu

dengan pengeluaran yang berlebihan.

4. Pilihan Menuntut Remunerasi dan Pemulihan sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 68 KUHP, tidak semua tersangka

dapat dibuktikan bertanggung jawab. Sebagai manusia

normal, agen tidak selalu benar 100%. Dalam beberapa kasus

spesialis mungkin melakukan kesalahan dalam

menyelesaikan kewajiban mereka dan kesalahan mungkin

karena tidak memiliki cukup bukti untuk menjebak tersangka

atau salah menangkap individu. Tersangka memiliki hak

istimewa untuk membayar dan selanjutnya memiliki opsi

untuk

51
mendapatkan pemulihan dengan alasan bahwa daerah

setempat memiliki pandangan yang buruk terhadap tersangka.

Tersangka memiliki hak istimewa untuk menunjukkan

kepolosannya yang besar sehingga publik menyadari bahwa

tersangka jujur dan tidak bertanggung jawab pada tindakan

pelanggar hukum yang terjadi. Seperti yang ditunjukkan oleh

Djoko Prakoso: “hak memperoleh ganti rugi dan rehabulitasi

merupakan konsekuensi bagi dirampasnya hak pribadi

tersangka tanpa dasar hukum yang sah".60 Mengingat

kebebasan yang dirujuk, spesialis berkewajiban untuk

memastikan pelaksanaan hak-hak istimewa tersangka selama

siklus pemeriksaan. Mengingat gambaran di atas mengenai

kepastian yang sah dari hak-hak tersangka selama siklus

pemeriksaan, pencipta dapat beralasan bahwa keamanan yang

sah adalah kegiatan yang dapat memberikan pemerataan,

permintaan, kekuatan hukum, keuntungan juga keserasian.

Hal ini harus sama pada penilaian juga disampaikan oleh

Barda Nawawi bahwa asuransi halal yang perlu

dipertimbangkan meliputi61:

1. Perlindungan perbuatan-perbuatan anti social yang merugikan

dan membahayakan seseorang.

2. Perlindungan terhadap sifat-sifat berbahaya seseorang

3. Perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi/reaksi

52
dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat pada

umumnya

4. Perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarasan

berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai

akibatnya adanya kejahatan

53
BAB IV

ANALISIS PENERAPAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH DALAM

PROSES PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN

A. PENERAPAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH

DALAM HUKUM UNTUK MASYARAKAT YANG

MAIN HAKIM SENDIRI TERHADAP SEORANG

YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA

Pembahasan ini di ambil dari wawancara penulis tentang

maraknya terjadinya tindak main hakim sendiri oleh

masyarakat terhadap seorang tersangka yang diduga

melakukan tindak pidana , seharusnya seorang tersangka

tersebut seharusnya di hargai harkat dan martabatnya sebagai

makhluk ciptaan tuhan atau manusia dan tersangka tersebut

memiliki HAM untuk dapat bisa membela dirinya atas

sangkaan yang di tujukan kepada dirinya. Disinilah asas

praduga tidak bersalah seharusnya di jadikan pemahaman

dalam diri agar tidak semena mena dalam memperlakukan

tersangka tindak pidana tersebut dan peran aparat penegak

hukum yang harus memberikan informasi tentang apa itu asas

praduga tidak bersalah kepada masyarakat agar mereka

paham betul tindakan main hakim sendiri itu sangat tidak

benar karena sudah ada hukum yang mengatur untuk

54
penyelesaian kasus tindak pidana yang di sangka kan kepada

Tersangka. 62
Jadi tidak boleh menghakimi tersangka secara

sembarangan atas kemauan atau napsu dalam diri sendiri atau

hanya ikut ikut orang lain saja padahal tidak tahu apa yang

sebenarnya kronologi kejadian/informasi yang sebenarnya.63

Seharusnya Aparat penegak hukum dan masyarakat mengacu

kepada aturan KUHP , Adapun pasal dalam KUHP : Pasal

55
170, membatasi penggunaan kebiadaban terhadap orang atau

barang secara transparan dan saling menguntungkan

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ayat (1) dengan

ancaman penahanan paling lama 5 (lima) tahun 6 (enam)

bulan, dalam hal bahwa kejahatan menyebabkan hasil yang

tidak menguntungkan. Sesuai dengan pengaturan pada ayat

(2), sebagai pemusnahan barang dagangan atau luka-luka,

bahaya penahanan dibatas tujuh tahun, jika mengakibatkan

kerugian berat, dikompromikan pada penahanan paling lama

sembilan tahun.

(9) tahun dan dengan asumsi kebiadaban menyebabkan

berlalunya, itu dirusak dengan penahanan. tidak lebih dari

dua belas (12) tahun.64 Pasal 351, Pengaturan Pasal 351

KUHP mengatur tentang penganiayaan yang dapat

dikompromi dengan penahanan paling lama 2 (dua) tahun

delapan (8) bulan atau denda paling banyak 300 (300) rupiah.

Dalam hal penganiayaan itu mengakibatkan luka berat,

ancaman penahanannya dibatasi selama lima (5) tahun dan

dengan anggapan penganiayaan itu mengakibatkan kematian,

maka diringankan dengan penahanan paling lama tujuh (7)

tahun.65 Jadi menurut Penulis seharus nya lebih di pertegas

lagi dari segi pemberlakuan peraturan perundang undangan

nya seperti Pasal 170 dan pasal 351 KUHP agar masyarakat

56
yang melakukan tindak main hakim sendiri merasa jera atas

perbuatannya dan aparat penegak hukumnya hukum harusnya

lebih datang tepat waktu ke TKP agar tidak terjadi main


66

hakim sendiri dan Aparat penegak hukum atau Kepolisian

memberikan himbauan tentang asas praduga tidak bersalah

dan memberitahu Pasal Pasal berapa yang mengatur tindakan

main hakim sendiri.

57
B. PENERAPAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH

DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK

PIDANA SALAH TANGKAP

Berdasarkan wawancara penulis terjadinya tindak pidana

dikarenakan ketidak profesionalnya aparat penegak hukum

dalam menjalankan aturan67. Dan faktor yang mempengaruhi

aparat penegak hukum atau polisi terjebak dalam suatu

kesalahan alam melakukan penangkapan yaitu kurangnya

sumber daya manusia polisi dalam menentukan tingkat

pelayanan dan penanganan kasus-kasus kejahatan dan bisa

jadi karena proses penyidikan yang sulit yang menjadi kan

polisi semena-mena dalam menangkap pelaku tindak pidana

tanpa melihat bahwa ada asas praduga tidak bersalah yang

berlaku pada Tersangka tersebut

Penangkapan adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang

ahli (polisi) sebagai pembatasan sementara atas kesempatan

tersangka atau yang berperkara dalam hal terdapat bukti yang

cukup untuk alasan pemeriksaan atau dakwaan serta

pendahuluan sesuai dengan teknik yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan68.Polisi lebih sering dituduh

daripada Penyidik dan Hakim, dengan alasan bahwa polisi

58
memiliki kontak yang lebih langsung dengan daerah

setempat. Polisi berperan sebagai penjaga kerangka

penegakan hukum, sehingga tidak heran jika gambaran

kerangka penegakan hukum sering dikaitkan dengan kinerja

kepolisian.69.Dalam praktiknya, pelaksanaan penangkapan

yang dilakukan oleh Polri kini berulang kali harus sama

pada

59
pedoman yang tercantum pada Pasal 18 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Upaya hukum yang

dapat dilakukan Ketika terjadi salah tangkap menurut pasal 1

ayat 22 KUHAP ganti kerugian dan yang menjadi dasar

hukum untuk tuntutan ganti kerugian adalah pasal 77 poin b

KUHAP dan juga rehabilitasi pada pasal 1 ayat 10 KUHAP

pada poin c.

Jadi menurut penulis aparat penegak hukum atau polisi

harus lebih memperhatikan UU No.39 Tahun 1999 HAM

pada tersangka dan menerapkan Pasal 8 (1) UU No.48 Tahun

2009 tentang asas praduga tidak bersalah selama proses

penangkapan kepada tersangka yang disangkakan melakukan

tindak pidana agar tidak terjadinya salah tangkap70. Dan polisi

harus lebih mengembangkan kinerja nya dalam

menyelesaikan suatu masalah dalam tindakan pidana agar

bisa adil nantinya. Karena tindakan salah tangkap ini sangat

merugikan bagi korban salah tangkap itu sendiri.

C. PENERAPAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH

DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

TINDAK PIDANA SUAP KEPADA APARAT

Berdasarkan wawancara penulis dan berdasarkan fakta

dari internet melihat kasus suap terhadap aparat ini terjadinya

keadilan yang tidak di tegakkan oleh aparat penegak hukum

60
dalam penyelesaian perkara hukum71. Dimana aparat penegak

hukum disini diberi hadiah atau uang suap 72


untuk

memberatkan hukuman si Tersangka yang disangka

melakukan tindak pidana dan mempercepat perkara sampai

ke tahap penuntutan atau pengadilan dari sini kita lihat masih

banyaknya aparat penegak hukum yang jauh sekali dari kata

61
mengayomi masyarakat dan dari kata menegakkan keadilan di

negara Indonesia ini. Maka penulis ingin membahas tentang

kasus suap ini agar orang orang yang menjadi tersangka

tindak pidana dihargai oleh aparat penegak hukum dari segi

hukum sebelum dinyatakan bersalah oleh pengadilan yang

sah73. Maka penting sekali Asas praduga tidak bersalah di

terapkan dalam kasus seperi ini. Buku Peraturan No. 11

Tahun 1980 mencatat bahwa ada aktivitas yang dinamis dan

terpisah dari penyedia pembayaran dan penerima

pembayaran. Misalnya, memberikan uang kepada pihak

berwenang dengan tujuan agar apa yang mereka butuhkan

terpenuhi. Pelanggaran pembayaran sebagaimana disinggung

dalam Peraturan No. 11 Tahun 1980, khususnya pembayaran

dalam struktur dan sifat yang berbeda di luar yang diatur

dalam peraturan dan pedoman yang ada pada dasarnya juga

bertentangan dengan kebaikan dan etika Pancasila yang

membahayakan keberadaan daerah dan negara. . Pengaturan

tentang kesalahan pelunasan dalam Peraturan Nomor 11

Tahun 1980 tentang Kesalahan Pelunasan terdapat dalam

Pasal 1, 2 dan 3. Pasal 1 Peraturan Nomor 11 Tahun

1980 berisi:

“Yang dimaksud dengan tindak pidana suap didalam

62
Undang-Undang ini adalah tindak pidana suap di luar

etentyan peraturan perundang-undangan yang sudah ada”.

Pasal 3 UU No. 11 Tahun 1980 isinya : 74

“Barang siapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia

mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian

sesuatu atau janji itu dimaksudkan suapaya ia berbuat sesuatu

atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan

dengankewenangan dan kewajibannta yang menyangkut

kepentingan umum, dipidana karena menerima suap

dengan pidana penjara

63
selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-

banyaknya RP.15.000.000.- (lima belas juta rupiah)”.

Menurut penulis aparat penegak hukum harus belaku adil

dan jangan terperangkap oleh napsu sesaat yang merugikan

sebelah pihak yang membuat pihak tersebut tergores harkat

dan martabatnya yang terdapat pada UU No.39 Tahun 1999

HAM 75
. Dan semoga aparat penegak hukum lebih

memperhatikan kepada asas praduga tidak bersalah dan

melihat pada pasal 3 UU No.11 Tahun 1980 agar menjadi

patokan berperilaku dengan adil.

D. PENERAPAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH

DALAM PERLINDUNGAN KEPADA TERSANGKA

DALAM TAHAPAN PENANGKAPAN

Pembahasan ini berdasarkan wawancara Penulis dan

berdasarkan fakta di Internet masih ada saja aparat penegak

hukum yang melakukan penangkapan dengan cara yang kasar

atau kejam bahkan sampai membunuh yang tidak

memperhatikan HAM dari seseorang dan keluarga seseoang

yang mau di tangkap tersebut76. Disini penulis lihat aparat

penegak hukum masih saja tidak bisa menerapkan asas

praduga tidak bersalah didalam penangkapan tersebut , Yang

seharusnya aparat penegak hukum harus mengikuti prosedur

prosedur dalam aturan penangkapan ini malah dilakukannya

64
dengan semena-mena.

Penangkapan ini merupakan jenis pembatasan kebebasan

umum terhadap tersangka. Makna penangkapan terdapat

dalam Pasal 1 angka 20 KUHAP77:

“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa

pengekangan sementara waktu kebebasan Tersangka atau

Terdakwa apabila terdapat cukup

65
bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau

peradilan dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam

undang-undang ini.”

Mengenai alasan penangkapan dapat dilihat pada Pasal 17

KUHAP dan mengenai syarat sahnya penangkapan terdapat

dalam Pasal 18 KUHAP :

“ Ayat (1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan

oleh petugas kepolisian negara republic Indonesia dengan

memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada

tersangka surat perintah

penangkapan yang mencantumkan identitas

tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian

singkat perkara kejahatan tang dipersangkakan serta tempat ia

diperiksa” “ Ayat (2) Dalam hal tertangkap tangan

penangkapa dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan

bahwa penangkapan harus segera menyerakan tertangkap

beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik

pembantu yang terdekat”

“ Ayat (3) Tembusan surat perintah penangkapan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan

kepada keluarganya segera penangkapan dilakukan.”

Saran penulis aparat penegak hukum harus melihat pada

66
Pasal 18 KUHAP tentang syarat sahnya penangkapan 78tanpa

harus menyakiti keluarga orang tersebut atau orang itu sendiri

atau memberi tekanan kepada seseorang atau orang yang mau

ditangkap.

67
E. PENERAPAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH

DALAM TAHAPAN GELAR PERKARA DALAM

PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI UPAYA

PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA

Berdasarkan wawancara penulis masih ada saja hak

seseorang yang tidak dihargai pada saat gelar perkara yang

sedang memeriksa si tersangka dari mulai memakai borgol

dan baju tahanan dan penahanan sementara seakan akan si

tersangka tersebut sudah benar benar bersalah padahal belum

ada keputusan pengadilan yang meng sahkan kalau si

tersangka itu bersalah tetapi tidak semuanya kepolisian

terutamanya seperti itu79. Seharusnya aparat penegak hukum

lebih memperhatikan hak hak atas tersangka pada saat gelar

perkara tersebut.

Padahal sudah ada aturan aturan hukumnya bagaimana tata

cara gelar perkara agar bisa berjalan dengan baik sebagai

berikut :

Berdasarkan ketentuan pasal 69 Perkapolri 14/2012,

mekanisme gelar perkara dilaksanakan dengan cara gelar

perkara biasa dan gelar perkara khusus. Gelar perkara biasa

dilaksanakan dengan tahap awal, pertengahan, dan akhir

proses penyidikan. Gelar perkara biasa pada tahap awal

penyidikan bertujuan untuk :80

47
a. Menemukan status perkara pidana atau bukan

b. Merumuskan rencana penyidikan

c. Menemukan unsur-unsur pasal yang dipersangkakan

d. Menemukan saksi, tersangka, dan barang bukti

e. Menemukan target waktu

f. Penerapan Teknik dan taktik penyidikan

47
Gelar perkara biasa pada tahap pertengahan penyidikan

bertujuan untuk :

a. Evaluasi dan pemecahan masalah yang dihadapi dalam

penyidikan

b. Mengetahui kemajuan penyidikan yang dicapai

c. Menemukan rencana penindakan lanjut

d. Memastikan terpenuhinya unsur pasal

yang dipersangkakan

e. Memastikan kesesuaian antara saksi, tersangka dan barang

bukti dengan pasal yang dipersangkakan

f. Memastikan pelaksanaan penyidikan telah sesuai dengan

target yang ditetapkan

g. Mengembangkan rencana dan sasasaran

penyidik Gelar perkara biasa pada tahap akhir penyidikan

bertujuan untuk :

a. Evaluasi proses penyidikan yang telah dilaksanakan

b. Pemecahan masalah atau hambatan penyidikan

c. Memastikan kesesuaian antara saksi, tersangka dan bukti

48
d. Pemnyempurnaan berkas perkara

Berdasarkan Pasal 72 Perkapolri 14/2012, Tahapan

penyelenggaraan gelar perkara meliputi 81:

1. Persiapan

2. Pelaksanaan

3. Kelanjutan hasil gelar perkara

Menurut Penulis sudah ada tata cara aturan aturan hukum

yang tertera untuk penyelesaian dalam gelar perkara seperti

Pasal 69 Perkapolri dan Pasal 72

48
Perkapolri bila pasal pasal tersebut di praktekan dengan benar

maka akan lancar kegiatan dalam gelar perkara tersebut.

F. PENERAPAN ASAS PRADUGA TAK BERSALAH

DALAM PEMBERIAN KETERANGAN OLEH AHLI

HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK

PIDANA DIKEPOLISIAN

Berdasarkan wawancara penulis dan berdasarkan fakta

dari internet masih ada saja ahli hukum yang membuat

keterangan yang tidak fakta tentang kasus tindak pidana

terhadap tersangka yang merugikan tersangka tersebut dan

ahli hukum tersebut berpendapat diluar konteks dan

berpendapat yang semena- mena yang mengakibatkan si

tersangka terjerat pasal yang seharusnya tersangka tersebut

tidak terjerat pasal . Seharusnya ahli hukum yang sudah

sumpah harus menjaga pendapat nya dan mengemukakan

pendapat dengan jujur agar tidak merugikan si tersangka pada

kasusnya karena pendapat ahli hukum ini di mintai oleh

aparat penegak hukum atau kepolisian dalam membantu

kepolisian dalam proses penyelidikan kasus dan

mengumpulkam bukti bukti tindak pidana. Dan ahli hukum

49
tersebut seharusnya melandasi pendapatnya dengan asas

praduga tidak bersalah dan menghargai hak hak tersangka

agar tidak dirugikan oleh pendapatnya tersebut.

Mengenai posisi pernyataan ahli hukum dalam siklus

pemeriksaan, ini memainkan peran penting untuk membantu

aparat penegak hukum menemukan dan mengumpulkan bukti

dalam upaya mereka untuk melacak realitas material dari

kasus penjahat. Dalam kasus tertentu, Aparat pengak hukum

bahkan sangat bergantung pada pernyataan utama untuk

juga

50
mengungkap peristiwa kriminal yang sedang ditangani.82

Penilaian ahli hukum yang sah dapat menjadi panduan

pertemuan antara pemeriksa dan polisi untuk mengungkap

lebih lanjut peristiwa kriminal yang sedang ditangani dan

penilaian ahli hukum yang sah membahas pendapat

masyarakat. Dalam melihat kasus pidana di tingkat

pemeriksaan, terkadang penyidik mengalami kesulitan dalam

menentukan pasal mana yang berlaku untuk kasus pelanggar

hukum yang dianalisis. Dengan demikian, penyidik dapat

mengumpulkan dan meminta data dari spesialis hukum

sehingga peristiwa kriminal yang dianalisis dapat terungkap

atau tidak dan menyebabkan kebingungan. Pernyataan ahli

hukum disebutkan untuk memikirkan kenyataan sah yang

sedang diteliti dengan data yang diberikan oleh ahli hukum

sehingga dapat membantu pemeriksa dengan lebih baik

menemukan artikel yang dipaksakan yang sedang diperiksa.

Pernyataan master yang sah juga memberikan kontribusi

kepada pemeriksa dalam menempatkan atau memaksa

tersangka untuk menjelaskan apa. Hal ini terlihat jelas dalam

Pasal 120 KUHAP yang berbunyi 83:

1. Dalam hal penyidik menganggap perlu , ia dapat minta

pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian

khusus.

51
2. Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di

muka penyidik bahwa ia akan memberikan keterangan

menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila

disebabkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk

memberi keterangan yang diminta.

Adapun alasan perlunya keterangan ahli hukum ditingkat

penyidikan yaitu:

1. Dari segi formil

52
Pernyataan ahli yang sah diharapkan pada tingkat

pemeriksaan karena motivasi untuk memenuhi pengaturan

dalam Pasal 184 KUHP84, karena sepenuhnya diharapkan

bagi spesialis untuk menghadapi pertanyaan tentang realitas

hukum yang dilacak dalam penilaian kasus pidana. Atau

sekali lagi di penghujung hari untuk membantu bukti yang

ada

2. Dari segi materiil

Persyaratan pernyataan ahli yang sah pada tataran analitis

menurut perspektif material adalah untuk mengetahui pasal

tersangka atau mempelajari kenyataan yang terdapat dalam

rangkaian proses pemeriksaan terhadap pasal tersangka.

Dalam menganalisis perkara pidana di tingkat

pemeriksaan, tidak semua perkara atau perkara memerlukan

pernyataan ahli. Secara umum, yang memerlukan pernyataan

ahli adalah karena Lex Sepcialis, di mana para ahli

menggunakan peraturan yang berada di luar KUHP ,

misalnya pelanggaran perbankan, pelanggaran penghindaran

pajak, kejahatan dunia maya. Penilaian pernyataan induk

pada tingkat ujian dapat diselesaikan dalam dua kesempatan

yang masih mengudara di undang-undang, yaitu:85

1. Data langsung di depan pemeriksa, untuk situasi ini ahli

53
dikumpulkan di depan penyidik untuk memberikan data

secara langsung sebelum penilaian pemeriksa, sesuai dengan

bakatnya yang luar biasa. Hal ini menyiratkan bahwa

pernyataan ahli adalah unik dalam kaitannya dengan

pernyataan pengamatan, mengingat kenyataan bahwa

pernyataan pengamat adalah sebagai apa yang dia lihat,

dengar, atau

54
alami sendiri dengan merujuk pada penjelasan di balik

wawasannya. Sementara itu, gagasan deklarasi ahli secara

eksklusif didasarkan pada wawasannya yang secara eksplisit

diklaim sesuai bidang informasinya.

2. Bentuk keterangan tertulis , Keterangan tertulis ini di atur

dalam Pasal

133 KUHAP yang menentukan bahwa arguman para ahli

yang dimintakan penyidik tuang dalm bentuk tertulis.

Keterangan bentuk tertulis dari ahli ini yang wajar ujar dalm

praktek hukum Visum Et Repertum. Keterangan parra ahli

hukum tersebut diberikan secara langsung dihadapan

penyidik didasarkan oleh surat panggilan. adapun penjelasan

oleh ahli hukum yang diawali dengan pengucapan sumpah.

Seorang ahli hukum mengangkat sumpah dilakukan langsung

didepan penyidik yang isisnya bahwa ia sebagai ahli hukum

akan memberi keterangan , menyatakan pengetahuannta

dengan sejelas jelasnya. pada saat ahli hukum dimintai

keterangan pada tahap pemeriksaan, biasanya ahli sendiri

membuat laporan sebagai penilaian yang sah dan kemudian

dinyatakan sebagai Laporan Penilaian (BAP). Dalam surat

permintaan, beberapa telah memasukkan urutan kasus dan

daftar pertanyaan, beberapa hanya daftar pertanyaan dan

52
beberapa bahkan menyajikan dokumen yang harus dipusatkan

sendiri oleh ahli, mengumpulkan daftar pertanyaan dan

memberikan tanggapan secara sah. kesimpulan. 86

Menurut penulis para ahli hukum harus mengemukakan

pendapatnya berdasarkan aturan dalam pasal 184 KUHP dan

harus secara fakta agar

52
pendapatnya tidak memberatkan si Tersangka yang

seharusnya tidak dikenai pasal atau tidak bersalah. Dan lebih

memperhatikan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan

asas praduga tidak bersalah yang di atur pada Pasal 8 (1) UU

No.48 Tahun 2009 kepada tersangka.87

G. PENERAPAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH

DALAM TAHAPAN PEMERIKSAAN OLEH

PENYIDIK TERHADAP TERSANGKA TINDAK

PIDANA

Pembahasan ini saya ambil dari hasil wawancara saya para

penyidik banyak yang memilih untuk menggunakan

kekerasan berupa penyiksaan dalam tahap interogasi demi

mendapatkan keterangan atau pengakuan tersangka88. Inilah

yang membuat kesan bahwa cara kekerasan dalam tahap

penyidikan dianggap hal yang biasa bahkan dianggap suatu

kewajaran, ada yang disiksa dan segala macam kekerasan

yang di berikan kepada tersangka.

Padahal ini Melanggar Hak Asasi Manusia dan padahal

sudah di atur dalam profesionalisme kepolisian dalam

menjalankan tugas pada pasal 4 PEKAPOLRI No.15 Tahun

2006 tentag kode etik profesi penyidik kepolisian negara

republic Indonesia. 89Dalam kode etik tersebut telah dia atur

tentang bagaimana melakukan proses penyidikan yang tidak

53
melanggar hukum dan sesuai dengan nilai nilai hak asasi

manusia, Karena kalau menggunakan kekerasan berupa

penyiksaan atau ancaman dapat menimbulkan trauma yang

mendalam kepada para tersangka. Maka disini pentingnya

menggunakan asas praduga tidak bersalah dalam penyidikan

ini agar tidak terjadi hal yang merugikan bagi si tersangka

tersebut. Dan padahal hukum nya sudah di atur

54
dalam pasal 117 KUHAP : (1) Keterangan tersangka dan atau

saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun

itu atau dalam bentuk apapun Meskipun KUHAP

memberikan banyak keistimewaan kepada tersangka, namun

dalam KUHAP tidak ada hukum yang tegas bagi penyidik

yang melakukan tekanan atau kekerasan pada Tersangka.

Menurut penulis penyidik harus lebih melihat acuan pada

Pasal 117 KUHAP dan Pasal 4 PEKAPOLRI No.15 Tahun

2006 dan asas praduga tidak bersalah agar penyidik bisa

memahami apa itu konteks menghargai HAM atau hak atas

seseorang dalam hukum.90

H. PENERAPAN ASAS PRADUGA TAK BERSALAH

AGAR TETAP TERJAGA KETIKA BERHUBUNGAN

DENGAN MEDIA INFORMASI

Pembahasan ini saya ambil dari hasil wawancara penulis

menanyakan tentang hal ini sehinnga penulis ingin

menganalisa lebih dalam tentang hal ini yaitu masih

banyaknya media informasi yang memberitakan hal hal yang

tidak fakta/factual pada suatu kasus yang sedang di bahasnya

yang menjadikan si tersangka kasus tindak pidana tersebut

yang seharusnya belum dinyatakan bersalah menjadi

tercoreng identitasnya karena pemberitaan media informasi

yang menggiring opini seakan-akan dia sudah bersalah atau

55
melakukan tindak pidana tersebut , Padahal seharusnya media

informasi harus memakai Asas Praduga Tidak Bersalah

sebagai pedoman nya dalam menyebarkan pemberitaan.91

Namun masih terdapat perbedaan penilaian terhadap

pedoman ini dalam pemberitaan oleh media komunikasi luas.

Selama ini asas praduga tidak bersalah dianggap adil dan

berlaku dalam masalah-masalah yang

56
berhubungan dengan proses penegakan hukum. Dengan

tujuan agar terjadi respon yang baik darimasyarakat, agar hal-

hal yang tidak diinginkan tidak menimpa kepada Tersangka

tersebut. Standar ini di Indonesia dahulu tertuang dalam Pasal

8 Peraturan Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pengaturan Pokok

Kekuasaan Hukum yang berbunyi: “Setiap orang yang

disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di

depan pengadilan , wajib dianggap tidak bersalah sebelum

adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya

dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”. Meskipun

tidak secara tegas menyatakan hal yang sama, aturan itu

dinyatakan dalam Pasal 66 Peraturan Nomor 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP)

yang menyatakan, “Tersangka atau termohon tidak dibebani

kewajiban pembuktian ". Sedangkan klarifikasi pasal tersebut

menyebutkan bahwa pengaturan dalam Pasal 66 KUHP

merupakan contoh asas praduga tidak bersalah. Oleh karena

itu, asas tersebut dikendalikan dalam pengaturan peraturan

pidana, banyak penilaian bahwa peraturan tersebut khusus

untuk masalah yang berhubungan dengan peraturan pidana.92

Di lain pihak salah satu fungsi media massa adalah

menyajikan fakta yang terjadi di dalam masyarakat93.

Seharusnya media massa seluas-luasnya berusaha

57
memberikan data selengkap mungkin dengan tujuan agar

semua warga mengetahui apa yang terjadi di sekitar

mereka.Semakin lengkap dan fakta media massa memberikan

informasi semakin masyarakat menjadi lebih pintar dalam

mencerna kasus tindak pidana yang sedang terjadi agar

nantinya tidak merugikan si Tersangka. Untuk mencegah

penilaian melalui komunikasi

58
yang luas, sebelumnya Pasal 3 ayat (7) Peraturan Redaksi

PWI menyatakan: Pemberian perincian tentang tata cara

perkara pidana dalam sidang pengadilan harus diresapi

dengan asas praduga tidak bersalah, khususnya bahwa

seorang tersangka dapat dianggap bersalah secara sah karena

melakukan perbuatan pelanggar hukum jika ia terbukti

bersalah dalam suatu perkara yang dinyatakan oleh

pengadilan yang sah . Yang dilanjutkan dengan bagian (8)

yang membaca:Pemberian nama lengkap, kepribadian dan

citra tersangka dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan

dijauhi dalam kasus-kasus termasuk konvensionalitas atau

termasuk anak di bawah umur. Pengumuman harus terus-

menerus disesuaikan antara tuduhan dan perlindungan dan

menjauh dari acara 'pendahuluan oleh pers'. Perlu

digarisbawahi bahwa dalam penggambaran ini istilah

komunikasi luas digunakan dan tidak secara eksplisit disebut

pers, karena pers di atas kertas merupakan komunikasi luas

dari perspektif terbatas, sedangkan komunikasi luas secara

komprehensif mencakup pers elektronik. menjadi radio dan

TV tertentu.94

Ternyata didalam praktek , terdapat beberapa penafsiran

tentang asas praduga tak bersalah di dalam Kode Etik

Jurnalistik tersebut , sehingga terdapat beberapa pendapat

56
dalam pemberitaan mereka.95

Penilaian utama adalah bahwa mereka tidak menentukan

nama dan kepribadian atau citra tersangka. Mereka hanya

menyusun inisial tersangka. Penilaian selanjutnya

mengatakan bahwa standar berlaku untuk kasus-kasus yang

sedang dicoba di bawah pengawasan pengadilan, sehingga

belum sampai di pengadilan, harus diterapkan pedoman asas

praduga tidak bersalah , sehingga pengenalan berita sebelum

kejadian dibawa ke bawah pengawasan pengadilan

56
tidak ada komitmen untuk diam. Sesuai dengan penilaian

selanjutnya ini, ada banyak variasi dalam pengenalan berita.

Sebagian dari komunikasi luas menyajikan foto-foto yang

dikecam dalam komunikasi luas elektronik.

Mungkin dari Penulis media massa atau informasi

seharusnya mereka sudah tahu bahwa ada aturan ini atau asas

praduga tidak bersalah ini sebelum mereka memberitakan

sesuatu kepada pers atau masyarakat agar tidak terjadinya

masalah masalah yang baru kedepannya dan harus lebih

memperhatikan Pasal 3 ayat 7-8 Kode Etik Jurnalistik sebagai

landasan moral.96

57
57
57
BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab

sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai

berikut:

1. Asas praduga tidak bersalah merupakan prinsip yang harus

diterapkan oleh setiap penyidik dalam melakukan proses

penyidikan tersangka terhadap pelaku tindak pidana karena

prinsip ini menjamin hak tersangka untuk dianggap tidak

bersalah sebelum keluarnya putusan pengadilan yang

menyatakan bersalah dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

58
2. Asas praduga tidak bersalah secara umum

meskipun belum sepenuhnya optimal di

terapkan dalam proses penyidikan di Kepolisian

, yang masih ada saja oknum kepolisian yang

tidak menghargai harkat dan martabat si

Tersangka yang dimana Tersangka/Terdakwa

tersebut disiksa untuk mengakui kesalahan yang

sebenarnya belum tentu dia perbuat.

B.

59
Berdasarkan penelitian, berikut adalah saran yang diberikan

penulis:

1. Sebaiknya pemerintah memberikan pengawasan pada semua

kepolisian agar tidak ada penyidik yang memaksa tersangka

untuk mengakui sebuah tindak pidana dengan kekerasan.

2. Sebaiknya Aparat Penegak Hukum menerapkan asas praduga

tidak bersalah dengan menghapus tujuan agar

tersangka/terdakwa dipidana, sebab dengan begitu sama saja

bahwa penerapan asas tersebut tidak maksimal.

60

Anda mungkin juga menyukai