Anda di halaman 1dari 107

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum pada prinsipnya adalah sebuah aturan yang wajib ditaati dan

dilaksanakan guna terwujudnya ketentraman dan keteraturan dalam kehidupan

bermasyarakat. Hukum mengatur mengenai apa yang boleh dilakukan dan

yang tidak boleh dilakukan. Apabila hukum itu dilanggar maka akan

dikenakan sanksi, dalam proses inilah hukum harus ditegakkan. Penegakan

hukum (law enforcement) adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya

atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman

perilaku dalam lalu lintas atau hubungan - hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara.

Negara memiliki lembaga-lembaga yang berperan dalam penegakan

hukum, salah satunya adalah Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-undang

Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (1)

berbunyi :

“Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut


Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain
berdasarkan undang-undang” 1

Kejaksaan dalam mengendalikan tugas dan wewenangnya dipimpin oleh

satu Jaksa Agung. Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab
1
Indonesia, Undang-undang Kejaksaan Republik Indonesia. UU No. 16, L.N. No. 67 tahun
2004, T.L.N. No. 4401, Pasal. 2 ayat (1).

1
2

tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan

wewenang kejaksaan. Jaksa Agung menempati posisi sentral di Kejaksaan

Republik Indonesia mempunyai tugas dan wewenang yang diatur dalam Pasal

35 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia yaitu;

1. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan

dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;

2. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-

undang;

3. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;

4. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung

dalam perkara pidana, perdata,dan tata usaha negara;

5. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung

dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;

6. Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam

perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.2

Salah satu kewenangan Jaksa Agung tersebut adalah mengesampingkan

perkara demi kepentingan umum. Secara teoritis, dalam penuntutan perkara

pidana dikenal adanya dua asas yang berlaku yaitu asas legalitas dan asas

oportunitas. Kedua asas tersebut berada dalam posisi yang saling berlawanan,

di satu pihak asas legalitas menghendaki dilakukannya penuntutan terhadap

2
Ibid.,Pasal. 35.
3

semua perkara ke pengadilan, tanpa terkecuali. Disisi lain asas oportunitas

memberikan peluang bagi penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan

perkara pidana di pengadilan. Oleh karena itu asas oportunitas tersebut

diartikan sebagai asas yang memberikan wewenang kepada penuntut umum

untuk menuntut atau tidak menuntut, dengan atau tanpa syarat seseorang yang

telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.3

Berdasarkan pernyataan itu maka Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) secara eksplisit tampak berpihak pada asas legalitas,

terlebih lagi hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP

yang menentukan bahwa penuntut umum harus menuntut semua perkara yang

memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum di pengadilan, kecuali

terdapat bukti cukup bahwa peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan

tindak pidana atau perkaranya ditutup demi hukum. 4 Sehingga KUHAP hanya

memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menutup perkara ’demi

hukum’ bukan ’demi kepentingan umum’ sebagaimana tercantum dalam

Pasal 14 huruf h KUHAP.

Disamping itu, Pasal 14 KUHAP memberikan kejelasan mengenai

kewenangan penuntut umum, diantaranya yang utama, pertama membuat

surat dakwaan (letter of accusation), kedua, melakukan penuntutan (to carry

out accusation), ketiga menutup perkara demi kepentingan hukum, keempat

3
O.C Kaligis, Pengawasan Terhadap Jaksa selaku penyidik Tindak Pidana Korupsi,
(Bandung : P.T Alumni, 2006), hal. 146.
4
Indonesia, Undang-undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8, L.N. No. 76 tahun 1981, T.L.N.
No. 3258, Pasal. 140 ayat (2) huruf a.
4

mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai

Penuntut Umum menurut ketentuan Undang-Undang Dasar.5 Akan tetapi

apabila ditinjau lebih mendalam, ketentuan dalam KUHAP justru

memperlihatkan adanya perbedaan antara wewenang Penuntut Umum untuk

melakukan penghentian penuntutan, dengan wewenang Jaksa Agung untuk

mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Hal ini tercermin dalam penjelasan Pasal 77 KUHAP yang menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan “penghentian penuntutan tidak termasuk

penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang

Jaksa Agung”.6 Dengan adanya penjelasan tersebut menunjukkan bahwa

KUHAP mengakui adanya wewenang Jaksa Agung dalam mengesampingkan

perkara demi kepentingan umum, yang berbeda sifat pelaksanaannya dengan

penghentian penuntutan.

Berdasarkan uraian diatas maka jelaslah bahwa Indonesia menganut asas

oportunitas, dan implementasi asas oportunitas di Indonesia tercermin dalam

wewenang Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan

umum. Wewenang Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi

kepentingan umum sebenarnya sudah dimiliki Jaksa Agung sejak sebelum

adanya undang-undang yang mengatur wewenang tersebut. Hingga kemudian

dinyatakan secara eksplisit pada tahun 1961 dalam Undang-undang Nomor 15

Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik


5
H.M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum. (Malang : UMM Press, 2005),
hal. 216.
6
Undang-undang Hukum Acara Pidana,Op, cit., Pasal. 77.
5

Indonesia, yang dilanjutkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991

tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan terakhir diatur dalam pasal 35

huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia, yang menyebutkan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan

wewenang salah satunya adalah mengesampingkan perkara demi kepentingan

umum.

Salah satu kasus mengesampingkan perkara oleh Jaksa Agung adalah

kasus pemberian seponering kepada Abraham Samad, mantan pimpinan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada bulan Maret 2016 dengan

mengeluarkan surat keputusan (Tap.012/A/JA/03/2016). Kasus ini berawal

dari adanya dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen kependudukan yang

dilaporkan oleh Chairil Chaidar Said, ketua LSM Lembaga Peduli KPK-Polri

ke Bareskrim Polri pada awal Januari 2015. Kasus tersebut dilimpahkan ke

Polda Sulawesi Selatan dan Barat, Abraham Samad dituduh membantu

Feriyani Liem memalsukan dokumen kependudukan untuk mengurus

perpanjangan passport.

Kasus yang melibatkan Abraham Samad tersebut dianggap sebagai

bentuk kriminalisasi terhadap KPK dan upaya pelemahan terhadap

pemberantasan korupsi di Indonesia. Selaku pimpinan KPK Abraham Samad

merupakan icon pejuang anti korupsi yang telah banyak memberikan

sumbangsih dalam pemberantasan korupsi di Indonesia dalam masa

jabatannya. Sehingga menurut Jaksa Agung kasus Abraham Samad harus


6

dilakukan seponering karena akan menimbulkan kegaduhan dalam

masyarakat luas jika perkara tersebut tetap dilanjutkan.7

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo berinisiatif untuk mengesampingkan

perkara kasus Abraham Samad. Namun sebelum memutuskan

pengesampingan kasus Abraham Samad, jaksa agung sebelumnya telah

menyurati dan meminta pendapat kepada Komisi III DPR, Mahkamah

Agung, dan Polri. Surat tersebut memuat tiga alasan mengenai pertimbangan

jaksa agung untuk menseponering kasus Abraham Samad yakni :

1. Terkait alasan filosofis, karena dinilai terjadi kegaduhan politik akibat

terganggunya harmonisasi antar institusi penegak hukum sehingga hukum

tidak dapat terwujud secara maksimal.

2. Terkait alasan sosiologis karena terganggunya pemberantasan korupsi

sebab tersangka adalah tokoh dan aktivis yang diakui luas oleh

masyarakat.

3. Terkait alasan yuridis yakni dalam rangka mewujudkan kepastian hukum

demi kepentingan Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun

2004 8

Terhadap surat yang dikirim kepada lembaga-lembaga negara tersebut,

ketiganya menolak terhadap seponering kasus Abraham Samad. Namun

ketiga lembaga tersebut menyerahkan sepenuhnya keputusannya kepada jaksa

agung, yang pada akhirnya “Jaksa Agung Muhammad Prasetyo pada tanggal
7
http://www.voaindonesia.com/a/jagung-deponering-kasus-abraham-samad-/3219269, diakses
pada 3 Maret 2018, pukul 16.20 WIB.
8
ibid
7

4 Maret 2016 mengumumkan dan mengeluarkan surat seponering kasus

dengan No : TAP – 012/A/JA/03/2016.

Namun, kewenangan seponering yang dimiliki Jaksa Agung untuk

mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dalam Pasal 35 huruf c

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia berpotensi digunakan secara politis sebagai bentuk penyelundupan

hukum.

Wewenang yang dimiliki Jaksa Agung itu sangat rentan untuk

disalahgunakan sebagai alat demi memberikan kekebalan hukum terhadap

pihak-pihak tertentu yang akhirnya menyebabkan pelanggaran dan kerugian

hak konstitusional warga negara Indonesia untuk mendapatkan jaminan

kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan terbebas

dari perlakuan diskriminatif, sebagaimana tertuang dalam Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945.9

Realitas dengan pemberian surat keputusan seponering kepada Abraham

Samad telah menimbulkan berbagai implikasi, karena siapapun yang ada di

Indonesia kedudukannya sama di muka hukum tanpa ada kecualinya; dengan

adanya pemberian surat keputusan seponering maka yang ada hanya

ketidakadilan bagi masyarakat Indonesia. Walaupun pemberian seponering

merupakan hak yang diberikan kepada Jaksa Agung, tetapi belum ada

indikator yang jelas siapa saja yang berhak untuk diberikan seponering

9
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.Berita&id=13101&menu=2#.VzIRFDF39_k, diakses pada 3 Maret 2018 pukul 16.25
WIB.
8

karena hal tersebut guna tercapainya tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian

dan kemanfaatan.

Kedudukan Abraham Samad yang merupakan pimpinan KPK sama

sekali bukan alasan sehingga dapat diberikan seponering begitu saja.

Semangat pemberantasan korupsi tidak akan berpengaruh walaupun Abraham

Samad tidak diberikan seponering, bahkan paradigma masyarakat saat ini

dengan adanya pemberian seponering tersebut bahwa Abraham Samad adalah

orang yang ‘kebal hukum’ dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

merupakan wadah untuk menjadi orang yang ‘kebal’ akan jeratan hukum.

Pemberian seponering kepada Abraham Samad pun menimbulkan

pertanyaan: apakah pemberian seponering tersebut benar-benar untuk

‘kepentingan umum’ ataukah kepentingan Abraham Samad semata.

Bahwa Di dalam Pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia maupun penjelasannya mengatakan

penyampingan perkara (seponering) demi kepentingan umum adalah sebagai

berikut:

“kepentingan umum, adalah kepentingan bangsa dan negara


dan/atau kepentingan masyarakat luas”.10

Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini

merupakan pelaksanaan asas oportunitas dimana suatu perkara (perbuatan

pidana) bilamana dilimpahkan ke persidangan diperkirakan akan

menimbulkan suatu goncangan di kalangan masyarakat atau dengan

10
Undang-undang Kejaksaan Republik Indonesia, op, cit., pasal 35 huruf c.
9

penyidangan perkara tersebut akan menimbulkan akibat negatif di kalangan

masyarakat luas.

Tugas utama Kejaksaan dalam sistem peradilan di Indonesia adalah

penuntutan, dan sebaliknya, penuntutan merupakan kewenangan satu-satunya

yang hanya dimiliki oleh kejaksaan, dan tidak dimiliki oleh lembaga lain.

Kewenangan untuk melakukan penuntutan adalah dominus litis kejaksaan11.

Doktrin dominus litis telah diakui secara universal dan tercermin di

dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menyebutkan

bahwa “Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan

kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan

undang-undang, yang dilaksanakan secara independent.” Sejalan dengan

prinsip bahwa Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan (een en

ondeelbaar), maka tidak ada suatu lembaga pemerintah manapun yang dapat

melakukan tugas penuntutan tersebut untuk dan atas nama negara12. Jaksa

penuntut dalam melakukan tugas penegakan hukum, pada umumnya

bertindak untuk dan atas nama negara. Hal ini sebagaimana tertuang dalam

Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia.

Seperti pada uraian diatas, seponering hanya dapat dilakukan oleh Jaksa

Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan

kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

11
Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana: perbandingan komponen dan proses sistem
peradilan pidana di beberapa negara, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2013), hal.154.
12
ibid
10

Tujuan dari penyampingan perkara (seponering) pada prinsipnya adalah

untuk memberi kemanfaatan, kelayakan dan kesempatan yang baik guna

melindungi kepentingan masyarakat secara baik dan benar.

Secara garis besar kepentingan umum yang dimaksud harus sesuai

dengan tujuan dan cita-cita hukum bangsa Indonesia dalam pokok-pokok

pikiran Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 adalah kepentingan Negara

yang tercermin dalam pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga-lembaga

Negara khususnya bagi penyelengara wewenang dan tugas pemerintah, dan

kepentingan masyarakat yang tercermin dalam hukum yang hidup dalam

masyarakat tersebut.

Penyampingan perkara merupakan suatu cara dimana tidak perlu

menghukum seseorang yang bersalah walaupun orang tersebut telah terbukti

bersalah atas dasar asas oportunitas yang berlaku pada yurisdiksi kejaksaan.

Andi Hamzah mengemukakan bahwa :

“Dalam asas oportunitas, jaksa boleh memutuskan tidak akan menuntut


perkara pidana apabila penuntutan itu tidak dapat dilakukan atau tidak patut
dilakukan atau tidak dikehendaki atau apabila penuntutan itu lebih
merugikan kepentingan umum atau pemerintah daripada apabila penuntutan
itu dilakukan”.13
Pelaksanaan penyampingan perkara (seponering) akan membawa

dampak bagi hukum, baik terhadap proses peradilan terlebih lagi kepada

elemen-elemen yang melaksanakan suatu proses peradilan tersebut. Dampak

negatifnya, yaitu adanya penyampingan perkara (seponering) akan

13
R.M. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan
Kedudukannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.
11

menimbulkan kekhawatiran akan proses yang tidak transparan yang

berpotensi menciptakan penyalahgunaan kewenangan, sehingga dapat

menimbulkan dan menciptakan kerancuan dalam sistem hukum serta tatanan

hukum di Negara Indonesia.

Berdasarkan pemikiran yang telah dikemukakan, maka hal ini menjadi

dasar bagi penulis untuk menulis skripsi berjudul : “ANALISIS YURIDIS

PENERBITAN SURAT KETETAPAN MENGESAMPINGKAN

PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM OLEH KEJAKSAAN

(STUDI KASUS: SK Tap.012/A/JA/03/2016) ’’

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas penulis merumuskan tiga pokok

permasalahan, yaitu :

1. Bagaimanakah pertimbangan dalam menentukan “demi kepentingan

umum” untuk dilakukannya penyampingan perkara (seponering) oleh

Kejaksaan sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 ?

2. Bagaimanakah dasar pertimbangan Jaksa Agung dalam memberikan

seponering kepada Abraham Samad secara yuridis ?

3. Bagaimanakah konsekuensi hukum terhadap pemberian seponering

kepada Abraham Samad oleh Jaksa Agung ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan :
12

1) Menemukan apakah yang menjadi batasan dari “demi kepentingan

umum” untuk dilakukannya penyampingan perkara (seponering) oleh

Kejaksaan sebagai penuntut dalam perkara pidana.

2) Untuk mengetahui secara yuridis dasar pertimbangan Jaksa Agung

dalam memberikan seponering kepada Abraham Samad

3) Untuk mengetahui konsekuensi hukum terhadap pemberian

seponering kepada Abraham Samad oleh Jaksa Agung.

2. Manfaat Penulisan :

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis

maupun praktis.

a. Secara Teoritis, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan penelitian

dalam pengembangan ilmu hukum pidana dan menambah wawasan

dalam memberikan argumentasi serta pemahaman mengenai

wewenang kejaksaan khususnya dalam konsep penyampingan

perkara (seponering) oleh Kejaksaan. Serta guna mempertegas

pengaturan penyampingan perkara (seponering) oleh Kejaksaan

dalam peraturan perundang-undangan. Setidaknya dapat mendorong

peneliti hukum berikutnya guna mengembangkan konsep

penyampingan perkara (seponering) yang lebih berkeadilan.

b. Secara Praktis, diharapkan temuan dari penelitian ini dapat menjadi

bahan masukan bagi para pemangku kepentingan, terutama

pembentuk hukum dan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi


13

Jaksa dalam melakukan penegakan hukum dan dalam hal

mengunakan kewenanganya untuk melaksanakan seponering.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berdasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mepelajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan membuat analisis,14

untuk memperoleh data guna mengetahui lebih jelas suatu permasalahan yang

sedang di hadapi dan/atau sedang terjadi di lapangan, sehingga dapat

dirumuskan kesimpulan dan diharapkan dapat memecahkan permasalahan

yang dihadapi secara sistematik, faktual dan, relevan. Metode penelitian yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Tipe penelitian

Penelitian yang berkaitan dengan asas-asas hukum atau kaidah-

kaidah hukum termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif dan

berada dalam tataran filsafat hukum. Penelitian hukum normatif adalah

penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan

sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas,

norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian

serta doktrin (ajaran). Karena penelitian ini mengkaji penyampingan

perkara (seponering), maka penelitian ini masuk kategori penelitian

hukum normatif (legal research). Penelitian hukum normatif dilakukan

14
Johnny Ibrahim, Teori dan metodologi penelitian hukum normatif. (Jakarta : Bayumedia,
2006), hal.295.
14

(terutama) terhadap bahan hukum primer, sekunder, tersier, sepanjang

mengandung kaidah-kaidah hukum.15

2. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, maka

pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan

pendekatan kasus. Pendekatan perundang - undangan dilakukan untuk

mengkaji peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema

penelitian. Metode pendekatan normatif, digunakan untuk mengkaji

konsep penyampingan perkara (seponering).16

3. Bahan Hukum

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau yuridis

normatif. Penelitian hukum normatif hanya menggunakan data sekunder.

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi dokumentasi atau

studi kepustakaan (library research). Data sekunder yang dikumpulkan

melalui studi dokumentasi untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yang berkaitan langsung dengan pengaturan

lingkungan hidup dan sumber daya alam, meliputi:

1) Undang-undang Dasar 1945;

2) Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, yang

dilanjutkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang

15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.
(Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal. 24.
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Pers, 1986), hal. 51.
15

Kejaksaan Republik Indonesia, dan terakhir diatur dalam

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia;

3) Kitab Undang-undang Hukum Pidana

4) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

5) Peraturan Perundang-undangan berkaitan dengan pembentukan

peraturan perundang-undangan.

6) Naskah akademik atau kajian akademik terkait dengan peraturan

perundang-undangan yang diteliti.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini

dijadikan sebagai petunjuk dalam melaksanakan penelitian. Bahan

hukum sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini adalah: jurnal

ilmiah, makalah, hasil penelitian, artikel, buku teks, dan dokumen

lain yang relevan dengan objek penelitian.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti

kamus, ensiklopedia, indeks komulatif, dan seterusnya. Mukti Fajar

dan Yulianto Achmad menggunakan istilah bahan hukum tersier

dengan istilah bahan non hukum, tetapi sangat dianjurkan

menggunakan istilah bahan non hukum.

4. Metode Pengumpulan Data


16

a. Penelitian Kepustakaan (Library research), metode ini dilakukan

untuk mendapatkan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari

studi dokumen atau bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

b. Penelitian Lapangan (field research),metode ini dilakukan untuk

mendapatkan data primer yang dilakukan dengan wawancara dengan

beberapa narasumbr, seperti jaksa dan ahli hukum.

5. Pengolahan dan analisis bahan Hukum

Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu tersusun dalam bentuk

kalimat yang teratur, sistematis, sehingga mudah dipahami dan diberi

makna yang jelas. Secara kualitatif artinya mendeskripsikan secara rinci,

lengkap, jelas, dan komprehensif data dan informasi hasil penelitian dan

pembahasan. Berdasarkan pada hasil analisis data tersebut, kemudian

diambil simpulan secara induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang berisfat

khusus lalu menarik simpulan yang bersifat umum yang sesuai.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Skripsi ini disusun dalam lima bab dan setiap bab dibagi menjadi

beberapa sub bab. Adapun sistematika untuk setiap bab adalah sebagai berikut

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini membahas mengenai alasan pemilihan judul

penelitian, kemudian dilanjutkan dengan perumusan masalah

yang bertujuan agar dalam penelitian tidak terjadi penyimpangan


17

pengumpulan data dan kekaburan dalam pembahasan penelitian.

Setelah perumusan masalah, dijelaskan tentang tujuan penelitian

dan manfaat penelitian, dan yang terakhir adalah sistematika

penulisan skripsi yang bertujuan agar penulisan skripsi lebih

terarah dan sistematis.

BAB II : TINJAUAN TENTANG MENGESAMPINGKAN PERKARA

DEMI KEPENTINGAN UMUM (SEPONERING)

Bab ini menguraikan tentang kedudukan, tugas dan wewenang

kejaksaan tugas dan wewenang jaksa agung, tahap-tahap

penuntutan, dan pengesampingan perkara demi kepentingan umum.

BAB III :PENGUNAAN WEWENANG PENYAMPINGAN PERKARA

OLEH JAKSA AGUNG DALAM PENERBITAN SURAT

KETETAPAN MENGESAMPINGKAN PERKARA DEMI

KPENTINGAN UMUM ATAS NAMA TERSANGKA

ABRAHAM SAMAD

Bab ini memaparkan tentang mengesampingkan perkara demi

keentingan umum oleh Jaksa Agung dalam praktek peradilan

pidana di Indonesia, disertai dengan wawancara beberapa

narasumber, seperti jaksa dan ahli hukum perihal

mengesampingkan perkara (seponering)

BAB IV :ANALISIS YURIDIS PENYAMPINGAN PERKARA OLEH

JAKSA AGUNG DALAM MENGESAMPINGKAN


18

PERKARA ATAS NAMA TERSANGKA ABRAHAM

SAMAD

Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan

mengenai implikasi pengesampingan perkara demi kepentingan

umum oleh Jaksa Agung terhadap proses penegakan hukum,

menganalisis pertimbangan dalam menentukan demi kepentingan

umum, menganalisis dasar pertimbangan Jaksa Agung dalam

memberikan seponering secara yuridis, menganalisis konsekuensi

hukum terhadap pemberian seponering oleh Jaksa Agung.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi mengenai kesimpulan dari keseluruhan hasil

penelitian, kesimpulan yang menjawab perumusan masalah yang

diangkat oleh penulis. Serta dalam bab ini disertai saran terhadap

topik penelitian.

BAB II
19

TINJAUAN WEWENANG JAKSA DALAM MENGESAMPINGKAN

PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM (SEPONERING)

A. Tinjauan Umum Terhadap Kejaksaan Republik Indonesia sebagai

Lembaga Penuntutan

1. Sejarah Kekuasaan Kejaksaan dalam Ketatanegaraan Indonesia

Sebelum adanya penuntut umum di Indonesia, cara penyelesaian

perkara diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Pemerintah tidak ikut campur dalam penyelesaian tersebut, karena

dianggap persoalan pribadi yang bersangkutan. Akibatnya apabila

seseorang barangnya dicuri, maka yang bersangkutan mencari sendiri

pencurinya dan menyelesaikan sendiri dengan pencurinya. Apabila terjadi

pembunuhan, maka yang bersangkutan sendiri yang akan menyelesaikan,

yang akan melibatkan keluarga, kelompok untuk mengadakan balas

dendam tersebut.17

Adapun sejarah penegakan hukum khususnya yang dilakukan oleh

aparat Kejaksaan, pada prinsipnya lebih menitik beratkan pada masa

berkuasanya Kerajaan Majapahit dan Mataram. Kekuasaan tersebut

teristimewa melekat dan dimiliki oleh kerajaan terkuat di wilayah Asia

Tenggara ketika itu, yaitu Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Mataram.

Namun demikian, juga tidak mengenyampingkan peranan penegakan

hukum oleh aparat Kejaksaan ketika masih berkuasanya Kerajaan

17
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar
Maju, 2001), hal. 175.
20

18
Singasari maupun pada dinasti di Kesultanan Cirebon. Peran sejarah

penegakan hukum oleh aparat Kejaksaan pada dasarnya sangat penting.

Berikut sejarah penegakan hukum oleh Kejaksaan dari masa ke masa:

a. Penegakan Hukum Oleh Kejaksaan Pada Masa Kerajaan Majapahit

Dari khazanah pembedaharaan sejarah di tanah air kita serta

berbagai disiplin ilmu yang lain, telah disingkapkan oleh para ahli

dalam bidang masing-masing bahwa zaman bahari suku-suku bangsa

Indonesia telah memiliki kebudayaan yang cukup tinggi, serta sistem

peradilan yang memadai dengan situasi dan kondisi pada masing-

masing lingkungannya.19Berdasarkan data sejarah nasional pada zaman

Kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu Kerajaan Majapahit, telah

menunjukkan bahwa ada beberapa jabatan di negara tersebut yang

dinamakan Dhyaksa, Adhyaksa dan Dharmadhyaksa. Ketiga istilah

tersebut berasal dari bahasa Jawa kuno atau bahasa Sansakerta.

Peranan Kejaksaan telah dikenal sejak dahulu oleh masyarakat

Indonesia kuno. Dalam masa kekuasaan Kerajaan Majapahit, Gajah

Mada sebagai Mahapahit juga mempunyai kedudukan sebagai Jaksa

negara atau Raja atau Shiti Narendran. Dalam hal ini Gajah Mada

harus menyusun suatu rencana lengkap dalam soal sengketa yang

penting. Uraian tersebut dapat dilihat dalam buku pedoman pelajaran

tata hukum Indonesia, oleh Kusumadi Pudjosewojo, yang menyatakan,

18
Ilham Gunawan, Peran Kejaksaan Dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas Politik,
(Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hal. 43.
19
Ibid., hal. 44-45.
21

Di antara kitab-kitab hukum yang terdapat dari abad-abad dahulu itu

ada beberapa yang disebut oleh para sarjana seperti Krom dalam

bukunya “Hindoe-Javaansche Geschiedenis” Van Vollen Hoven

dalam bukunya adat recht Jilid II. Sebuah kitab hukum bernama

“Hukum Gajah Mada”.

Gajah Mada adalah pepatih Negara Majapahit dari tahun 1331-

1364. Orang kuat ini sebagai Adhyaksa (Jaksa) menyelenggarakan

segala Shiti Narendan (Undang-Undang Raja) dan sebagai Astapadha

Raja memberikan laporan pada segala peradilan perkara-perkara yang

sulit-sulit dan atas usahanya tersusunlah semua piagam-piagam perihal

yang dikenal pada masa itu berupa kitab hukum, yang disebut kitab

hukum Gajah Mada.

Menurut penjelasan W.F. Stuterheim, dalam karyanya Het

Hindoeisme in Den Archipel, dinyatakan bahwa Dhyaksa adalah

pejabat negara di zaman kerajaan Majapahit, ketika ada di bawah

kekuasaan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389), yang dibebani tugas

untuk menangani masalah-masalah peradilan di bawah pimpinan dan

pengawasan Maja pahit Gajah Mada20 Dari keterangan tersebut dapat

diambil kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan Dhyaksa adalah

Hakim Pengadilan, Adhyaksa Hakim tertinggi, yang memimpin dan

mengawasi para Dhyaksa. Dengan demikian Adhyaksa bekerja sebagai

pengawas (Opzichter) atau Hakim Tertinggi (Opperrechter).

Selanjutnya tugas Gajah Mada dalam urusan penegakan hukum bukan


20
Ibid
22

hanya sekadar bertindak sebagai Adhyaksa, akan tetapi menjalankan

juga segala peraturan Raja atau Shiti Narendran, dan melaporkan

perkara-perkara sulit ke Pengadilan. Jadi tugas yang disebut terakhir

ini mirip dengan tugas Jaksa selaku penyerah perkara pada dewasa

ini.21

Dari Adhyaksa dan Dhyaksa dituntut kemahiran dan keahlian

dalam kitab hukum hindu kuno yang sudah diakui oleh hukum adat

dan sesuai dengan perasaan atau pendapat para rohaniawan, serta

para cendikiawan yang mendampingi para Dhyaksa tadi. Sehubungan

dengan hal tersebut, pengertian Dhyaksa adalah seorang yang mahir

atau ahli dalam soal hukum, sedangkan Adhyaksa adalah sebagai

pengawas dan kadi.

Kemudian pada zaman kerajaan Majapahit maupun kerajaan

Singasari dalam abad ke XIII, Raja didampingi oleh Dharmadhyaksa

yaitu sang melaksanakan tugas dalam urusan agama Syiwa dan

Budha. Di samping sebagai petugas dalam bidang keagamaan,

Dharmadhyaksa mempunyai tiga pengertian dalam melaksanakan

tugasnya, yaitu:22 Sebagai pengawas tertinggi dari kekayaan suci

(Superintendent), Sebagai pengawas tertinggi dalam urusan

kepercayaan (Religie), Sebagai ketua pengadilan. Adapun tugas-tugas

Dharmadhyaksa dalam bidang keagamaan baik dalam agama Syiwa

21
Ibid., hal. 47.
22
Ibid., hal. 48.
23

dan Budha, masing-masing disebut Dharmadhyaksa ring kekecewaan

dan Dharmadhyaksa ring kasogotan.

b. Penegakan Hukum Oleh Kejaksaan Pada Masa Kerajaan Mataram

Dinasti kerajaan Mataram Islam, yang didirikan oleh Penembahan

Senopati pada tahun 1575, telah mencapai puncak kejayaannya pada

masa pemerintahan Sultan Agung. Raja ini dikenal sebagai Raja ketiga

yang memerintah pada tahun 1613 sampai dengan 1645. Pada waktu

itu kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung

meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat. Namun,

dalam masa pemerintahan Raja-raja yang menggantikannya nampak

adalah kemunduran. Kemudian secara berangsur-angsur wilayah

kekuasaan kerajaan semakin menyempit akibat aneksasi yang

dilakukan oleh Belanda, yaitu sebagai imbalan intervensi Belanda

dalam pertentangan-pertentangan intern dalam kerajaan.23

Pada zaman itu berdasarkan pengaruh ajaran agama Islam, yang

diperkenalkan oleh Sultan Agung, di Kerajaan Mataram telah diadakan

perubahan dalam tata hukum. Ketika itu Sultan Agung yang bergelar

Hanyokro Koesoemo Ing Alogo sangat terkenal sebagai seorang Raja

yang alim dan menjunjung tinggi agamanya. Perlu diketahui bahwa di

dalam struktur pengadilan di istana Mataram terdapat jabatan Jaksa.

Di dalam sidang pengadilan istana, Jaksa mengemukakan bukti-

bukti kesalahan-kesalahan dari terdakwa dan mengajukan tuntutan-

tuntutan. Sidang pengadilan diadakan di ruangan atau balai pertemuan


23
Ibid., hal. 49.
24

khusus yang disebut Bangsal Pancaniti dan dihadiri oleh Raja dan para

Pangeran yang telah berpengalaman sebagai penasihat Raja. Setelah

mendengar pembelaan dari pihak terdakwa dan pendapat atau saran-

saran dari para pangeran, akhirnya Raja setelah melakukan semadi atau

mengheningkan cipta sebentar lalu menjatuhkan vonis.

Pengadilan di Mataram terdiri atas dua jenis pengadilan yaitu

pradata dan padu. Dalam pengadilan pradata dilakukan pengadilan

terhadap perkara-perkara berat, seperti pembunuhan, pembakaran dan

sebagainya yang diancam dengan pidana siksaan atau pidana mati.

Pemeriksaan dilakukan dengan putusan dijatuhkan oleh Raja Mataram

sendiri. Tugas Jaksa dalam pengadilan ini adalah melakukan pekerjaan

kepaniteraan, menghadapkan terdakwa serta saksi.24

c. Penegakan Hukum Oleh Kejaksaan Pada Masa Pemerintahan

Penjajahan Belanda

Pada masa awal penjajahan tahun 1602, Verenigde Oost Indische

Compagnie (VOC) atau Kompeni membentuk berbagai peraturan

hukum, mengangkat para pejabat yang akan menjaga kepentingan

hukum, mengangkat para pejabat yang akan menjaga kepentingannya

dan membentuk badan-badan peradilannya sendiri (Schepenen bank)

yang petugas-petugasnya diberi kekuasaan sebagai penuntut umum,

yaitu officer van justittie.25

24
Ibid., hal. 50-51.
25
Marwan Effendi, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2005),hal.59.
25

Dengan berkuasanya Belanda di Indonesia khususnya di pulau

Jawa, hal itu mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap struktur

pemerintahan dan sistem hukum di wilayah ini. Adapun fungsi aparat

kejaksaan pada masa penjajahan Belanda antara lain sebagai berikut:

Pertama, memiliki fungsi untuk mengadili perkara. Kedua, memiliki

fungsi untuk menerima dan mempersiapkan perkara. Fungsi untuk

mengadili perkara, yaitu Jaksa hanya mengadili perkara padu saja.

Adapun yang dimaksud dengan perkara padu, ialah:

1) Perkara yang diadili oleh petugas Kejaksaan, sebab perkara itu

penting bagi rakyat dan tidak dapat didamaikan lagi.

2) Perkara yang apabila si pelanggar hukum telah ditangkap oleh

pihak lain.

Adapun maksud dari perkara padu ini, ialah agar pengadilan yang

dilakukan lebih cepat dalam menyelesaikan proses acara pidana itu.

Jadi fungsi Kejaksaan dalam hal menerima dan mempersiapkan

perkara, dapat dilaksanakan hanya dalam masalah yang menyangkut


26
perkara pradata saja. Dalam hal ini Jaksa tidak mempunyai hak

sama sekali untuk mengadili, ia hanya menerima perkara yang

disampaikan kepadanya, dan sesudah itu mengadakan persiapan untuk

dihadapkan kepada Raja untuk diadili karena hak mengadili terletak di

tangan pribadi raja.

26
Ibid., hal. 61.
26

d. Penegakan Hukum Oleh Kejaksaan Pada Masa Pemerintahan

Penjajahan Jepang

Sejak masa pemerintahan penjajahan Jepang nampaknya para

Jaksa memiliki kembali statusnya, yaitu sebagai penuntut umum yang

sebenarnya. Ketika Jepang berkuasa di Indonesia maka jabatan Asisten

Residen segera dihapuskan. Situasi yang demikian mengakibatkan

kedudukan Jaksa mengalami perubahan mendasar. Dalam masa ini,

semua tugas dan wewenang Asisten Residen dalam bidang penuntutan

perkara pidana diberikan kepada Jaksa dengan jabatan Tiokensatsu

Kyokuco atau Kepala Kejaksaan pada pengadilan Negeri, serta berada

di bawah pengawasan Koo Too Kensatsu Kyokuco atau Kepala

Kejaksaan Tinggi.27

Selanjutnya dengan Osamurai No. 49 Kejaksaan dimasukkan

kedalam wewenang Cianbu atau departemen Keamanan. Dengan

demikian tugas Jaksa telah ditentukan yaitu mencari kejahatan dan

pelanggaran (sebagai pegawai penyidik), menuntut perkara (pegawai

penuntut umum) dan menjalankan putusan hakim (pegawai eksekusi).

e. Penegakan Hukum Oleh Kejaksaan Pada Masa Indonesia Merdeka

Setelah Indonesia mengalami kemerdekaan pada tahun 1945,

sistem hukum yang berlaku tidak segera mengalami perubahan. Untuk

mengatasi situasi tersebut, peraturan-peraturan yang mengatur tentang

kedudukan Kejaksaan pada pengadilan-pengadilan di Indonesia tetap

memakai peraturan lama seperti sebelum Indonesia merdeka. Dengan


27
Ibid., hal. 63.
27

makluma pemerintah Republik Indonesia tanggal 1 Oktober 1945,

semua kantor Kejaksaan yang dahulunya masuk Departemen

Keamanan atau Cianbu dipindahkan kembali ke dalam Departemen

Kehakiman atau Shihoobu.28

Ketika itu Kejaksaan yang pernah bersama dengan Kepolisian

dalam naungan Departemen Dalam Negeri, kemudian memisahkan diri

masuk berintegrasi ke dalam Departemen Kehakiman RI dengan

kembalinya Kejaksaan ke dalam Departemen Kehakiman, maka corak

dan tugas kewajiban para Jaksa yang diberikan ketika pendudukan

tentara Jepang tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu peraturan

pemerintah tanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2, telah menetapkan

bahwa semua undang-undang dan peraturan yang dahulu tetap berlaku

sampai undang-undang tersebut diganti.

Dengan demikian, sejak proklamasi kemerdekaan, tugas

Openbaar Ministerie atau pengadilan terbuka tiap-tiap pengadilan

negeri menurut H.I.R (Herzieni Inlandsch Reglement), dijalankan oleh

Magistraat, oleh karena itu perkataan Magistraat dalam H.I.R diganti

dengan sebutan Jaksa. Sehingga Jaksa pada waktu itu adalah sebagai

Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri.

Dalam perkembangan selanjutnya setelah diundangkannya

Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, maka Kejaksaan keluar dari

Departemen Kehakiman Republik Indonesia dan berdiri sendiri.


28
Ibid.,hal. 64-65.
28

2. Pengertian Jaksa

Menurut konsep pemikiran dari R.Tresna, bahwa nama Jaksa atau

Yaksa berasal dari India dan gelar itu di Indonesia diberikan kepada

pejabat yang sebelum pengaruh hukum hindu masuk di Indonesia, sudah

biasa melakukan pekerjaan yang sama.

Dalam sisi yang lain, menurut pandangan pemikiran cendikiawan

Kejaksaan yaitu Saherodji, Kata Jaksa berasal bahasa sansakerta yang

berarti pengawas (super intendant) atau pengontrol yaitu pengawas soal-

soal kemasyarakatan. Kemudian sesuai dengan lampiran surat keputusan

Jaksa Agung Republik Indonesia Tahun 1978, menyatakan bahwa

pengertian Jaksa ialah, Jaksa berasal dari kata Seloka Satya Adhy

Wicaksana yang merupakan Trapsila Adhyaksa yang menjadi landasan

jiwa dan raihan cita-cita setiap warga adhyaksa dan mempunyai arti serta

makna sebagai berikut:29

a. Satya, kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan

Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun sesama

manusia.

b. Adhi, kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama

pemilik rasa tanggungjawab baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa

terhadap keluarga dan terhadap sesama manusia.

c. Wicaksana, bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya

dalam penerapannya kekuasaan dan kewenangannya.

29
Gunawan, op, cit., hal. 50.
29

Dalam bahasa Inggris, pengertian Jaksa ialah Public Prosecutor

(Jaksa Umum atau Jaksa Biasa), Jaksa Agung (Attorney General), Kantor

Kejaksaan (Office of a Public Prosecutor, Office of Counsil for the

Prosecution). Secara yuridis, pengertian Jaksa diatur dalam Pasal 1 ayat

6 huruf (a) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Jaksa adalah

pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk bertindak

sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap.30

Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan juga memberikan pengertian tentang Jaksa, Jaksa adalah

pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk

bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta wewenang lain

berdasarkan Undang-undang.31

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dapat

ditemukan perincian tugas penuntutan yang dilakukakan oleh para Jaksa.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membedakan

pengertian Jaksa dalam pengertian umum dan penuntut umum dalam

pengertian Jaksa yang sementara menuntut suatu perkara. Di dalam Pasal

1 butir 6 ditegaskan hal itu sebagai berikut.32

30
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana., op, cit., Pasal. 1 ayat (6) huruf a.
31
Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia, op, cit., Pasal. 1 butir 1.
32
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 75.
30

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini

untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-

Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan

penetapan hakim.

Melihat perumusan undang-undang tersebut, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa pengertian Jaksa adalah menyangkut jabatan, dan

penuntut umum menyangkut fungsi.

3. Tugas dan Kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia

Kejaksaan sebagai pemegang kekuasaan negara di bidang penuntutan

maka Kejaksaan melakukan penuntutan pidana. Berdasarkan Pasal 2 ayat

(2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, ditegaskan bahwa Kejaksaan

melaksanakan tugasnya secara merdeka, artinya bebas dan terlepas dari

pengaruh kekuasaan lainnya. Kewenangan Kejaksaan lainnya, antara

lain :33

a. Di bidang pidana, melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan

dan putusan hakim, pengawasan terhadap putusan lepas bersyarat

melengkapi berkas dengan melakukan pemeriksaan tambahan;

b. Di bidang perdata dan tata usaha negara, dengan kuasa khusus,

mewakili negara dan pemerintah (Instansi-instansi, Departemen,

Pemda, dan lain-lain);

33
Ibid., hal. 193-194.
31

c. Di bidang ketertiban dan ketentraman umum, peningkatan

kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijaksanaan penegak

hukum, pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan

masyarakat dan negara, pencegahan penyalahgunaan dan atau

penodaan agama, penulisan, pengembangan hukum serta statistik

kriminal;

d. Tugas lain-lain diantaranya: menempatkan terdakwa di rumah sakit,

memberi pertimbangan hukum pada instansi-instansi, pembinaan

hubungan sesama aparat penegak hukum.

Dalam Pasal 31 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 menegaskan

bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan

seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat

lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau

disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain,

lingkungan, atau dirinya sendiri.34

Kemudian pada Pasal 32 undang-undang tersebut menetapkan bahwa

di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-undang

Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-

undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas

dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan

badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara dan instansi

lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat

34
Marwan Effendi, Op.Cit., hlm. 128.
32

memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi

pemerintah lainnya. Penjelasan Pasal 35 Undang-undang Nomor 16 Tahun

2004 huruf c, yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah

kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

Selanjutnya pada Pasal 37 menegaskan bahwa:

1) Jaksa Agung bertanggungjawab atas penuntutan yang dilaksanakan

secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.

2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan rakyat sesuai

dengan akuntabilitas.

3) Kedudukan Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik

Indonesia

Keberadaan institusi Kejaksaan sebagai penegak hukum telah dikenal

di Indonesia jauh sebelum masa penjajahan. Meskipun mengalami

pergantian nama dan pemerintah. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,

menurut Pasal 24 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945, ditegaskan bahwa

kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman.

Ketentuan mengenai badan-badan lain tersebut dipertegas dalam Pasal 41

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Ketentuan mengenai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan


33

kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, dan

badan-badan lain yang diatur dengan undang-undang.35

Selanjutnya, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 2 menegaskan bahwa:

1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang

ini disebut Kejaksaan lembaga pemerintah yang melaksanakan

kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain

berdasarkan undang-undang.

2) Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

secara merdeka.

3) Kejaksaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan

tidak terpisahkan.

Mencermati isi Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004

diatas, dapat diidentifikasi beberapa hal, yaitu: Kejaksaan sebagai suatu

lembaga pemerintahan, Kejaksaan melakukan kekuasaan (kewenangan) di

bidang penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang,

Kekuasaan (kewenangan) itu dilakukan secara merdeka, Kejaksaan adalah

satu dan tidak terpisahkan.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia, Pasal 2, menegaskan bahwa: Kejaksaan Republik Indonesia


35
Marwan Efendi, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2005), Hal. 120.
34

selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Kejaksaan, adalah lembaga

pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan,

Kejaksaan adalah salah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan

penuntutan.

Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang ini dijelaskan

bahwa Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga pemerintahan pelaksanaan

kekuasaan negara yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang

penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan di lingkungan peradilan

umum. Kemudian Penjelasan Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan “Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan”

adalah landasan pelaksaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan

yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan,

sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata

laku, dan tata kerja kejaksaan. Oleh karena itu, kegiatan penuntutan di

pengadilan oleh Kejaksaan tidak akan berhenti hanya karena jaksa yang

semula bertugas berhalangan. Dalam hal demikian, tugas penuntutan oleh

Kejaksaan akan tetap dilakukan sekalipun oleh Jaksa Pengganti.

Kemudian Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 1 ayat 1

menegaskan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya disebut

Kejaksaan, ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas

sebagai Penuntut Umum. Dalam ayat 2 menyebutkan bahwa Kejaksaan

dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi


35

rakyat dan hukum negara. Pasal 3 menetapkan bahwa bahwa Kejaksaan

adalah satu dan tak dapat dipisah-pisahkan.

Menilik pengaturan Pasal 1 dan Pasal 3 undang-undang tersebut, dapat

ditarik beberapa hal penting, yaitu: Kejaksaan sebagai alat negara penegak

hukum, Tugas utama Kejaksaan adalah sebagai penuntut umum,

Kejaksaan harus menjujung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara,

Kejaksaan adalah satu dan tak dapat dipisah-pisahkan. Dalam Penjelasan

Umum undang-undang tersebut, diuraikan bahwa Kejaksaan RI, seperti

halnya dengan alat-alat negara lainnya adalah alat revolusi untuk

melaksanakan pembangunan nasional semesta yang berencana menuju

tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila atau

masyarakat Sosialis Indonesia yang memenuhi amanat penderitaan rakyat,

karena negara Republik Indonesia adalah negara Hukum, segala tindakan

yang dilakukan oleh Kejaksaan untuk menjunjung tinggi hak-hak asasi

rakyat dan hukum negara. Dalam Penjelasan Pasal 1 ayat 2 dinyatakan

bahwa istilah “menjunjung tinggi” adalah termaksud pengertian “memberi

perlindungan”. 36

Sementara itu, dalam Penjelasan Pasal 3 ayat 1 dinyatakan bahwa

dalam menjalankan tugasnya, pejabat-pejabat Kejaksaan harus

mengindahkan hubungan hierarki di lingkungan pekerjaannya. Bila ketiga

undang-undang mengenai kedudukan Kejaksaan RI dalam penegakan

36
Ibid., hal.123.
36

hukum di Indonesia di atas dikomparasi, tampak ada beberapa persamaan

namun ada pula perbedaan, yaitu:

1) Kesamaan ketiga Undang-undang Kejaksaan (Undang-undang Nomor

16 Tahun 2004, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991, dan Undang-

undang Nomor 15 Tahun 1961) berkaitan dengan kedudukan

Kejaksaan, Kejaksaan melakukan kekuasaan (kewenangan) utama di

bidang penuntutan.

2) Kesamaaan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dan Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1991 yakni Kejaksaan adalah lembaga

pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan.

Berbeda dari pengaturan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 yang

menegaskan bahwa Kejaksaan adalah alat negara penegak hukum yang

terutama bertugas sebagai penuntut umum.

3) Perbedaan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dengan Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang-undang Nomor 15 Tahun

1961 terletak pada unsur bahwa “kekuasaan (kewenangan) itu

dilakukan secara merdeka”. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004

mengatur dengan tegas bahwa kejaksaan memiliki kemerdekaan dan

kemandirian dalam melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan,

berbeda dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang-

undang Nomor 15 tahun 1961 yang tidak mengatur hal ini.

4) Perbedaan lainnya adalah Undang-undang No. 15 tahun 1961

menegaskan secara eksplisit bahwa kejaksaan harus menjunjung tinggi


37

hak-hak asasi rakyat dan hukum negara, sementara Undang-undang

Nomor 16 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan

Undang-undang Nomor 5 tahun 1991 tidak menegaskan hal tersebut.

Mencermati pengaturan di atas dapat dijelaskan bahwa kedudukan

kejaksaan sebagai suatu Lembaga pemerintahan yang melakukan

kekuasaan negara di bidang penuntutan, bila dilihat dari sudut kedudukan,

mengandung makna bahwa kejaksaan merupakan suatu lembaga yang

berada disuatu kekuasaan eksekutif. Sementara itu, bila dilihat dari sisi

kewenangan kejaksaan dalam melakukan penuntutan berarti Kejaksaan

menjalankan kekuasaan yudikatif. Disinilah terjadinya ambivalensi

kedudukan kejaksaan RI dalam penegakan hukum di Indonesia.

Selanjutnya, sehubungan dengan makna kekuasaan Kejaksaan dalam

melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka,

penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004

menjelaskan bahwa Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan

wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh

kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi Jaksa

seperti yang seperti yang digariskan dalam “Guidelines on the Role of

Prosecutors dan International Association of Prosecutors”.

Lebih jauh, dalam penjelasan Umum Undang-undang Nomor 16

Tahun 2004, antara lain dinyatakan bahwa diberlakukannya Undang-

undang ini adalah untuk pembaharuan Kejaksaan, agar kedudukan dan


38

peranannya sebagai lembaga pemerintahan lebih mantap dan dapat

mengemban kekuasaan Negara di bidang penuntutan, yang bebas dari

pengaruh kekuasaan pihak mana pun. Dalam pengertian lain, Kejaksaan,

dalam melaksanakan tugasnya, hendaknya merdeka dan terlepas dari

pengaruh kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan lainnya dalam upayanya

mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran

dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan

kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan

keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Bila kedudukan Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan

dikaitkan dengan kewenangan Kejaksaan melakukan kekuasaan Negara di

bidang penuntutan secara merdeka, di sini terdapat kontradiksi dalam

pengaturannya (Dual Obligation). Dikaitkan demikian, adalah mustahil

Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas

dari pengatur kekuasaan lainnya, karena kedudukan Kejaksaan berada di

bawah kekuasaan eksekutif. Kesimpulan ini, diperkuat lagi dengan

kedudukan Jaksa Agung, sebagai pemimpin dan penanggung jawab

tertinggi dalam bidang penuntutan, adalah sebagai Pejabat Negara yang

diangkat dan diberhentikan oleh serta bertanggung jawab kepada Presiden.

Dalam konteks Ilmu Manajemen Pemerintahan Agung, sebagai bawahan

Presiden, harus mampu melakukan tiga hal, yaitu:


39

1) Menjabarkan instruksi, petunjuk, dan berbagai bentuk kebijakan

lainnya dari Presiden dalam tugas dan wewenangnya dalam bidang

penegakan hukum;

2) Melaksanakan instruksi, petunjuk, dan berbagai kebijakan Presiden

yang telah dijabarkan tersebut; dan

3) Mengamankan instruksi, petunjuk, dan berbagai kebijakan Presiden

yang sementara dan telah dilaksanakan. 37

Dedikasi, loyalitas, dan kredibilitas Jaksa Agung di hadapan Presiden

diukur dari sejauh mana Jaksa Agung mampu melakukan ketiga hal

tersebut, yang pasti adalah Jaksa Agung harus berusaha melakukan ketiga

itu untuk menunjukkan dedikasi, loyalitas, dan kredibilitasnya sebagai

pengemban kekuasaan negara di bidang penegakan hukum. Di sinilah letak

kecenderungan ketidakmerdekaan Kejaksaan melakukan fungsinya, tugas,

dan wewenangnya. Implikasinya adalah keadilan, kepastian hukum, dan

kegunaan (kemamfaatan) hukum yang menjadi Cita Hukum bangsa

Indonesia, sekaligus yang menjadi tujuan hukum yang mestinya harus

diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya menjadi

cita-cita dan jauh dari kenyataan.

Maka berdasarkan penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2004 menempatkan Kejaksaan dalam

kedudukan yang ambigu. Di satu sisi, Kejaksaan dituntut menjalankan

fungsi, dan wewenangnya secara merdeka, di sisi lain, Kejaksaan dipasung

37
Ibid., Hal. 125.
40

karena kedudukan berada di bawah kekuasaan eksekutif. Disinilah antara

lain letak kelemahan pengaturan Undang-Undang ini. Apabila pemerintah

(Presiden) benar-benar memiliki komitmen untuk menegakkan supremasi

hukum di Indonesia, tidak menjadi masalah bila Kejaksaan tetap berada

dalam lingkungan eksekutif, asalkan Kejaksaan diberdayakan dengan

diberi kewenangan dan tanggung jawab luas dan besar namun profesional.

Apabila Pemerintah tidak memiliki komitmen seperti itu, alangkah

lebih baik bila Kejaksaan, sebagai salah satu instistusi penegak hukum,

didudukkan sebagai “badan negara” yang mandiri dan independen bukan

menjadi lembaga pemerintahan yang tidak berada di bawah kekuasaan

eksekutif, maupun di bawah kekuasaan lainnya, sehingga Kejaksaan

bersifat independen dan merdeka, dalam arti tidak terpengaruh dan atau

dipengaruhi, dalam melaksanakan penegakan hukum di Indonesia.

B. Tinjauan Umum Terhadap Penyampingan Perkara Oleh Jaksa Agung

1. Sejarah Penyampingan Perkara Dan Asas Oportunitas Di Indonesia

Wewenang mengesampingkan perkara sebenarnya sudah ada sejak

sebelum adanya Undang-undang yang mengatur wewenang tersebut.

Hingga kemudian dinyatakan secara eksplisit pada tahun 1961 dalam

Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, yang dilanjutkan dalam Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan

terakhir diatur dalam pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa


41

Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang salah satunya adalah

mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Adapun dasar penyampingan perkara ini, karena hukum acara kita

menganut asas oportunitas. Asas oportunitas pada mulanya itu timbul

dalam praktik yang berlakunya didasarkan pada hukum kebiasaan (hukum

tidak tertulis), yang kemudian dimasukkan ke dalam Pasal 8 Undang-

undang Nomor 15 Tahun 1961, namun undang-undang ini tidak berlaku

lagi setelah keluarnya Undang-Undang No 5 Tahun 1991, dimana hal

tersebut diatur dalam Pasal 32 sub c. Beberapa tahun kemudian, Undang-

undang Nomor 16 Tahun 2004, yang mana mengenai hal tersebut diatur

dalam Pasal 35.

Asas oportunitas sebelum dicantumkan dalam Pasal 8 Undang-

undang Nomor 15 Tahun 1961, sebenarnya asas itu sudah ada diatur di

dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tanggal 9 Juli

1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana

Korupsi, yang di dalam Pasal 4 nya dikatakan bahwa:

“Jaksa hanya diperbolehkan menyampingkan perkara korupsi, jika


ada perintah dari Jaksa Agung”

Dengan demikian sejak tanggal 9 Juli 1960, asas oportunitas

tersebut sudah ada diatur dalam bentuk tertulis hanya saja terbatas khusus

untuk perkara korupsi, tidak bersifat umum. Oleh sebab itu secara umum

asas itu dijadikan dalam bentuk tertulis sejak keluarnya Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan RI


42

(yang sekarang UU No 16 Tahun 2004).38 Berikut merupakan sejarah asas

oportunitas di Indonesia;

a. Sebelum Zaman Kolonial

Di berbagai tulisan, pada waktu sebelum zaman pendudukan

belanda azas opportunitas tidak diketahui secara tertulis. Oleh karena

di indonesia pemerintahannya pada waktu itu masih berbentuk

kerajaan, maka dapatlah dikatakan bahwa raja selalu mempunyai hak

opportunitet, mengingat kekuasaannya sebagai raja atau sultan.

b. Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda

Mengingat kekuasaan Gubernur Jenderal yang sangat besar di

wilayah jajahan, maka ia dengan mudah menjadikan pasal 179 R.O

(Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie)

sebagai dasar pelaksanaan azas opportunitee, meskipun dalam analisa

Andi Hamzah menulis Pasal 32 huruf C Undang-undang Nomor 5

Tahun 1991 tentang Kejaksaan dengan tegas menyatakan asas

oportunitas itu dianut di Indonesia. Pasal itu berbunyi; “Jaksa Agung

dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan

umum”. Sebelum ketentuan itu, dalam praktek telah dianut azas itu.39

Dalam hal ini Lemaire mengatakan bahwa pada dewasa ini

asas oportunitas lazim dianggap sebagai suatu asas yang berlaku di

negeri ini, sekalipun sebagai hukum tak tertulis yang berlaku.

38
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP penyidikan dan
penuntutan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), hal. 385.

39
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,(Jakarta:CV Artha Jaya, 1996), hal.15-16.
43

Dikatakan hukum tak tertulis karena adanya Pasal 179 RO yang

dipertentangkan itu. Ada yang mengatakan dengan pasal itu dianut

asas oportunitas di Indonesia, ada yang mengatakan tidak. Yang

mengatakan dianut atas legalitas karena alasan di dalam pasal 179

RO itu kepada Hooggerechtshof dahulu diberikan kewenangan untuk,

bila Majelis itu, karena pengaduan pihak yang berkepentingan atau

secara lain mana pun, mengetahui telah terjadi kealpaan dalam

penuntutan kejahatan atau pelanggaran, memberi perintah kepada

Pokrol Jenderal supaya berhubung dengan itu, melaporkan tentang

kealpaan itu dengan hak memerintahkan agar dalam hal itu diadakan

penuntutan jika ada alasan-alasan untuk itu. Yang mengatakan

dengan Pasal 179 RO itu dianut asas oportunitas karena pada ayat

pertama pasal itu ditambah dengan kata-kata “kecuali jika penuntutan

oleh Gubernur Jenderal dengan perintah tertulis telah atau akan

dicegah”.

Vonk mengatakan harus dibedakan antara oportunitas sebagai

asas dan oportunitas sebagai kekecualian. Dalam hal tersebut diatas

merupakan pengecualian. E. Bonn-Sosrodanukusumo mengatakan

bahwa waktu pembuat undang-undang tahun 1948 menyusun

reglemen itu teristimewa Pasal 179, tidak ingat asas oportunitas

dalam bentuknya yang sekarang. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa azas opportunitet tetap berlanjut pada zaman

kolonial.40
40
Marwan Efendi, op, cit.,hal. 131.
44

c. Zaman Jepang

Oleh karena pendudukan Jepang di Indonesia tidak begitu lama,

hanya kurang lebih 3 ½ tahun saja maka tidak ada perubahan apapun

terhadap perundang-undangan, kecuali penghapusan Raad Van

Justitie sebagai pengadilan untuk golongan Eropah.

d. Zaman Kemerdekaan

Sejak Jepang meninggalkan Indonesia (1945) keadaan Hukum

Acara Pidana tidak ada perubahan pemakaian azas opportinitet dalam

Hukum Acara Pidana, oleh karena Pasal 179 RO tetap berlaku

bahkan kemudian dengan di Undangkannya Undang-undang Pokok

Kejaksaan Undang-undang Nomor 15 tahun 1961, dalam Pasal 8,

memberi wewenang kepada Jaksa Agung untuk menseponir/

menyampingkan suatu perkara berdasar alasan “Kepentingan

Umum”.

Hal mana kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 5

tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, dalam Pasal 32 ( c ), yang

menyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang

untuk menyampingkan perkara, yang lebih dipertegas lagi dalam

buku pedoman pelaksanaan KUHAP, Penyampingan perkara untuk

kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung, dengan

dinyatakannya dalam penjelasan resmi Pasal 77 yaitu berupa : “Yang

dimaksudkan dengan “penghentian penuntutan” tidak termasuk


45

penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi

wewenang Jaksa Agung”.41

Maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP mengakui eksistensi

perwujudan dari azas oportunitas, sehingga dengan demikian

perwujudan dari azas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan,

mengingat dalam kenyataannya perundang-undangan posisif di

negara kita, yakni dalam KUHAP penjelasan resmi Pasal 77 dan

dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 (Undang-undang

Pokok Kejaksaan) Pasal 8 secara tegas mengakui eksistensi dari

perwujudan azas opportunitas, yaitu kepada Jaksa Agung selaku

Penuntut Umum tertinggi berdasarkan kepada keadaan-keadaan yang

nyata untuk tidak menuntut suatu perkara pidana dimuka persidangan

pengadilan pidana agar kepentingan umum tidak lebih dirugikan.

Maksud dan tujuan undang-undang memberikan kewenangan

pada Jaksa Agung tersebut adalah untuk menghindarkan tidak

timbulnya penyalah gunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan azas

oportunitas, sehingga dengan demikian satu-satunya pejabat negara di

negara kita yang diberi wewenang melaksanakan azas oportunitas

adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap Jaksa selaku Penuntut

Umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa Agung selaku

Penuntut Umum tertinggi. Untuk terjaminnya kepastian hukum dalam

rangka pelaksanaan azas oportunitas, Jaksa Agung menuangkan


41
M. Yahya Harahap, op, cit., hal. 388.
46

dalam suatu surat penetapan/keputusan yang salinannya diberikan

kepada yang dikesampingkan perkaranya demi kepentingan umum,

hal mana dapat dipergunakan sebagai alat bukti bagi yang

bersangkutan.

2. Pengertian Penyampingan Perkara (seponering)

Penyampingan perkara dalam bahasa Belanda terdapat dua istilah

yaitu deponeren dan seponeren. Penyampingan perkara yang dimaksud

oleh para ahli hukum sebenarnya adalah seponering yang berarti

mengesampingkan, bukan deponering yang berarti membuang. Jadi

mengesampingkan penuntutan terhadap tersangka dikarenakan asas

oportunitas atau karena tidak cukupnya bukti untuk dibawa ke pengadilan

disebut dengan penghentian secara teknis.

Penyampingan perkara dalam bahasa baku Belanda adalah

seponering yang memiliki arti menyisihkan, mengesampingkan. Tidak

bisa dipungkiri bahasa deponering sudah berkembang sebagai kalimat

populer sebagai kata dari Penyampingan Perkara demi kepentingan

umum. Karena sesungguhnya deponeren memiliki arti menyimpan,

menaruh, untuk diperiksa, menitipkan, mendaftarkan. Kata seponering

berarti “menyisihkan” atau yang dipakai sekarang dalam penerapan asas

oportunitas, ialah “mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”.

Begitu juga dengan pendapat yang mengatakan bahwa kekeliruan

penggunaan istilah deponering, karena sesungguhnya deponering bukan

memiliki arti mengesampingkan.42


42
Ibid., hal. 350.
47

Penyampingan perkara di Belanda, memilki kriteria

dikesampingkannya perkara karena alasan kebijakan (policy) yang

mengikuti perkara ringan, umur terdakwa sudah tua dan kerusakan telah

diperbaiki. Serta karena alasan teknis, dan perkara digabung dengan

perkara lain. Kriteria tersebut sebenarnya bukan penyampingan perkara

dalam arti perkara tidak diteruskan ke pengadilan. Namun terbitnya

penyampingan perkara (seponering) bukan berarti seorang tersangka yang

perkaranya dikesampingkan adalah orang istimewa, karena sesungguhnya

semua orang adalah sama di hadapan hukum. Akan tetapi ada kepentingan

yang jauh lebih besar yang harus diperhatikan, yaitu kepentingan

masyarakat luas.

Penyampingan perkara merupakan suatu cara dimana tidak perlu

(menghukum) seseorang yang bersalah walaupun orang tersebut telah

terbukti bersalah atas dasar asas oportunitas yang berlaku pada yurisdiksi

kejaksaan. Andi Hamzah mengemukakan bahwa “dalam asas oportunitas,

jaksa boleh memutuskan tidak akan menuntut perkara pidana apabila

penuntutan itu tidak dapat dilakukan atau tidak patut dilakukan atau tidak

dikehendaki atau apabila penuntutan itu lebih merugikan kepentingan

umum atau pemerintah daripada apabila penuntutan itu dilakukan.”43

3. Prosedur dalam Penyampingan Perkara (Seponering)

Setiap perkara yang merugikan kepentingan negara atau masyarakat

akan diadili oleh pengadilan untuk memutuskan sanksinya, sehingga

43
Andi Hamzah, Op.cit., hal. 14.
48

pengadilan mempunyai peranan penting dalam memutuskan suatu

perkara. Ditinjau dari segi institusi, Pengadilan Negeri adalah peradilan

“tingkat pertama”. Oleh karena itu putusan Pengadilan Negeri sebagai

instansi peradilan tingkat pertama, merupakan produk putusan “tingkat

pertama”. Putusan tingkat pertama ini yang diperiksa dan diputus kembali

oleh Pengadilan Tinggi sebagai instansi peradilan tingkat banding dan

produk putusan tingkat banding, mengubah sifat putusan tingkat pertama

Pengadilan Negeri menjadi putusan tingkat terakhir. Sistem peradilan kita

hanya mengenal dua tingkat peradilan yakni Pengadilan Negeri sebagai

instansi “peradilan pertama” dan Pengadilan Tinggi sebagai instansi

“peradilan kedua dan terakhir”. Mahkamah Agung merupakan peradilan

tingkat terakhir (kasasi) bagi semua lingkungan peradilan. Jadi, proses

penyelesaian suatu perkara di pengadilan mempunyai tingkatan-tingkatan

yang harus dilalui, sehingga suatu perkara tidak bisa langsung diadili oleh

Mahkamah Agung, akan tetapi harus diperiksa dan diadili terlebih dahulu

oleh pengadilan tingkat pertama, yaitu Pengadilan Negeri, selanjutnya

tingkat kedua (Pengadilan Tinggi) dan Mahkamah Agung.

Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan

umum44. Kewenangan Jaksa Agung merupakan pengecualian dalam

proses penyelesaian suatu perkara, yaitu demi kepentingan umum suatu

perkara tidak dilimpahkan ke pengadilan. Berdasarkan Pasal 35 sub c

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia, bahwa mengenyampingkan suatu perkara adalah hak prerogatif


44
Ibid, hal. 17.
49

Jaksa Agung, sehingga Jaksa Agung dapat mengambil suatu keputusan

untuk menyampingkan (menghentikan) suatu perkara untuk tidak

ditindaklanjuti, yaitu suatu perkara yang merugikan kepentingan umum.

Dalam memberikan seponering, hanya Jaksa Agung saja yang

mempunyai wewenang dalam penyampingan perkara demi kepentingan

umum. Hal ini barangkali dimaksudkan untuk mencegah adanya

penyalahgunaan wewenang dalam penyampingan perkara demi

kepentingan umum oleh para penuntut umum dan untuk menghindari

keputusan mengenyampingkan suatu perkara yang tidak sesuai dengan

kepentingan umum.

Pertimbangan Jaksa Agung dalam mengambil suatu keputusan untuk

menyampingkan perkara tentunya tidak terlepas dari apa yang telah

dilakukan terdakwa pidana dan akibat hukum yang ditimbulkannya,

terutama mengenai kepentingan umum yang harus dilindungi. Sehingga

hal ini menjadi bahan pertimbangan Jaksa Agung untuk menyampingkan

suatu perkara demi kepentingan umum atau sebaliknya.

Dalam menerapkan asas oportunitas, Jaksa Agung senantiasa lebih

dahulu bermusyawarah dengan pejabat tinggi negara terkait dengan

perkara itu. Para pejabat tinggi negara itu, antara lain Menteri Pertahanan

dan Keamanan, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), bahkan

dengan Presiden.45 Bermusyawarah sebelum mengambil suatu keputusan

45
Ali Yuswandi, Penuntutan Hapusnya Kewenangan Menuntut dan Menjalankan Pidana,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), hal. 84.
50

untuk mengenyampingkan suatu perkara sangat diperlukan, sehingga

Jaksa Agung dapat mengambil suatu keputusan dengan benar dan

memperkecil kesalahan dalam pengambilan keputusan penyampingan

perkara. Mengenai dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan kembali

perkara yang dikesampingkan (seponering), M. Yahya Harahap

memberikan pendapat, yaitu pada penyampingan perkara atau

seponering, perkara yang bersangkutan memang cukup bukti untuk

diajukan dan diperiksa di muka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti

yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan

tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini, “sengaja dikesampingkan”

dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak penuntut umum

atas alasan “demi untuk kepentingan umum”.46

Dalam hal ini satu kali dilakukan penyampingan perkara, tidak ada

lagi alasan untuk mengajukan perkara itu kembali ke muka sidang

pengadilan. Jadi, perkara yang telah dikesampingkan tidak dapat diajukan

lagi ke pengadilan walaupun terdapat bukti baru ataupun bukti lainnya,

dan perkara yang telah disampingkan dianggap tidak pernah ada karena

telah dikesampingkan.

Kepentingan umum yang diatur dalam Undang-undang atau dalam

suatu peraturan hukum, apabila dilanggar tidak dapat dijadikan sebagai

landasan penerapan asas oportunitas untuk menyampingkan perkara. Hal

ini disebabkan justru kepentingan umum itu sendiri menuntut agar


46
M. Yahya Harahap, op, cit., hal. 433.
51

diadakan kepentingan umum. Untuk mengesampingkan perkara pidana

harus diketemukan dalam aturan hukum lain yang mengatur tentang

kepentingan umum yang harus dilindungi dan dijaga. Kepentingan umum

harus sesuai dengan kebenaran kepentingan masyarakat luas. Apabila

kepentingan umum yang dimaksud tidak diketemukan dalam aturan

hukum lain, harus dikembalikan kepada peranan kepentingan umum

secara aktif yang mempunyai cita-cita hukum yang diwujudkan oleh

pokok-pokok fikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-undang

Dasar 1945 sebagai pancaran Pancasila yang menjiwai Undang-undang

Dasar 1945.

C. Tinjauan Pengaturan Seponering pada KUHAP dan Undang-undang

Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP yang menegaskan, penuntut umum

“dapat menghentikan penuntutan” suatu perkara. Dalam arti, hasil

pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang disampaikan penyidik tidak

dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan. Akan tetapi, hal ini bukan

dimaksudkan menyampingkan perkara atau seponering perkara pidana. Oleh

karena itu, dengan jelas dibedakan antara tindakan hukum penghentian

penuntutan dengan penyampingan perkara (seponering). Yang dimaksud

dalam Pasal 35 huruf c Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia dan Penjelasan Pasal 77 KUHAP. Sebagaimana yang telah

dijelaskan pada Penjelasan Pasal 77 KUHAP, menyatakan bahwa :


52

“yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk


penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi
wewenang Jaksa Agung”.

Masalah penyampingan perkara demi kepentingan umum (seponering)

lebih disoroti adalah perbandingan kontradiktif penghentian penuntutan dalam

KUHAP dengan pengaturan Kejaksaan, yakni segi-segi yang menyangkut

pertentangan antara asas legalitas dengan asas oportunitas. Juga

memperlihatkan bahwa sekalipun pada dasarnya KUHAP menganut asas

legalitas, namun KUHAP sendiri masih memberi kemungkinan

mempergunakan prinsip oportunitas sebagaimana hal itu masih diakui oleh

Penjelasan Pasal 77 KUHAP. Terlepas dari kenyataan bahwa KUHAP masih

memberi kemungkinan oportunitas dalam penegakan hukum, terdapat

perbedaan atau perbandingan yang kontradiktif antara penghentian penuntutan

dengan penyampingan perkara.47

Pada penyampingan perkara atau seponering perkara, perkara yang

bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa di

muka persidangan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar

terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan

bukti ini, “sengaja dikesampingkan” dan tidak dilimpahkan ke sidang

pengadilan oleh penunutut umum atas alasan “demi kepentingan umum”.

Menurut penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah

“kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas”


47
M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 436-437.
53

selanjutnya dikatakan “mengenyampingkan perkara sebagaimana dimaksud

dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, hanya dapat

dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari

badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah

tersebut. Dalam penyampingan perkara, hukum dan penegakan hukum

dikorbankan demi kepentingan umum. Seseorang yang cukup terbukti

melakukan tindak pidana, perkaranya di seponering atau dikesampingkan dan

tidak diteruskan ke sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum.

Itu sebabnya, asas oportunitas “bersifat diskriminatif” dan menggagahi makna

persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law). Sebab

kepada orang tertentu dengan mempergunakan alasan kepentingan umum,

hukum tidak diperlakukan atau kepadanya penegakan hukum dikesampingkan.

Pada penghentian penuntutan, alasannya bukan didasarkan kepada

kepentingan umum, akan tetapi semata-mata didasarkan kepada alasan dan

kepentingan hukum itu sendiri seperti :

1. Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup,

sehingga jika perkaranya diajukan ke pemeriksaan sidang pengadilan, di

duga keras terdakwa akan dibebaskan oleh hakim, atas alasan kesalahan

yang didakwakan tidak terbukti. Untuk menghindari keputusan

pembebasan yang demikian lebih bijaksana penuntut umum

menghentikan penuntutan.

2. Apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana

kejahatan atau pelanggaran. Setelah penuntut umum mempelajari berkas


54

perkara hasil pemeriksaan penyidikan dan berkesimpulan bahwa apa yang

disangkakan penyidik terhadap terdakwa bukan merupakan tindak pidana

kejahatan atau pelanggaran, penuntut umum lebih baik menghentikan

penuntutan. Sebab bagaimanapun, dakwaan yang bukan merupakan

tindak pidana kejahatan atau pelanggaran yang diajukan kepada sidang

pengadilan pada dasarnya hakim akan melepaskan terdakwa dari segala

tuntutan hukum (ontstag van rechtvervolging).

3. Alasan ketiga dalam penghentian penuntutan ialah atas dasar perkara

ditutup demi hukum atau set aside. Penghentian penuntutan atas dasar

perkara ditutup demi hukum ialah tindak pidana yang terdakwanya oleh

hukum sendiri telah dibebaskan dari tuntutan atau dakwaan dan perkara

itu sendiri oleh hukum harus ditutup atau dihentikan pemeriksaannya pada

semua tingkat pemeriksaan. Alasan hukum yang menyebabkan suatu

perkara ditutup demi hukum, bisa didasarkan anatara lain:

a. Karena tersangka/terdakwa meninggal dunia, Apabila terdakwa

meninggal dunia dengan sendirinya menurut hukum menutup

tindakan penuntutan. Hal ini sesuai dengan hukum yang dianut

bahwa suatu perbuatan tindak pidana hanya dapat dipertanggung-

jawabkan kepada orang yang melakukan sendiri tindak pidana

tersebut. Dengan demikian, apabila pelaku telah meninggal dunia

lenyap denngan sendirinya pertanggunjawaban atas tindak pidana

yang bersangkutan kepada keluarga atau ahli waris terdakwa (Pasal

77 KUHP).
55

b. Atas alasan ne bis in idem, Alasan ini menegaskan tidak boleh

menuntut dan menghukum seseorang dua kali atas pelanggaran

tindak pidna yang sama. Seseorang hanya boleh dihukum satu kali

saja atas suatu kejahatan atau pelanggaran tindak pidana yang sama.

Oleh karena itu, apabila penuntut umum menerima berkas

pemeriksaan dari penyidik, kemudian dari hasil penelitian yang

dilakukan ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka adalah

peristiwapidan yang telah dituntut dan diputus oleh hakim dalam

suatu sidang pengadilan dan putusan itu telah memperoleh kekuatan

hukum tetap. Jika demikian halnya penuntut umum harus menutup

pemeriksaan perkara demi hukum (Pasal 76 KUHP).

c. Terhadap perkara yang hendak dituntut oleh penuntut umum, ternyata

telah kadaluwarsa sebagaimana yang diatur dalam Pasal-Pasal 78

sampai dengan Pasal 80 KUHP”.

Dari yang dijelaskan di atas, tampak perbedaan alasan antara

penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara. Penghentian

penuntutan didasarkan pada alasan hukum dan demi tegaknya hukum. Di

samping perbedaan dasar alasan di atas terdapat lagi perbedaan prinsipil

antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara, yakni; Pada

penghentian penuntutan, perkara yang bersangkutan umumnya masih dapat

lagi kembali diajukan penuntutan jika ternyata ditemukan alasan baru yang

memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang pengadilan.

Umpamanya ditemukan bukti baru sehingga dengan bukti baru tersebut sudah
56

dapat diharapkan untuk menghukum terdakwa. Pada penyampingan perkara

demi kepentingan umum. Dalam hal ini satu kali dilakukan penyampingan

perkara, tidak ada lagi alasan untuk mengajukan perkara itu kembali ke muka

sidang pengadilan”.48

D. Tinjauan Terhadap Asas Oportunitas dan Asas Legalitas

Asas atau prinsip legalitas dengan tegas disebut dalam konsideran

KUHAP menyatakan, bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum

yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar ahun 1945 yang

menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga

negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Dari bunyi kalimat di atas dapat disimak :

1. Negara republik indonesia adalah “negara hukum”, berdasarkan pancasila

dan Undang-undang Tahun 1945;

2. Negara menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan;

3. Setiap warga negara “tanpa kecuali”, wajib menjunjung hukum dan

pemerintahan.

KUHAP sebagai hukum acara pidana adalah undang-undang yang asas

hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan penerapan KUHAP harus

bersumber pada titik tolak the rule of law. Semua tindakan penegakan hukum

48
Ibid., hal. 438.
57

harus berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang, Menempatkan

kepentingan hukum dan perundang-undangan di atas segala-galanya.

Sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat bangsa yang takluk di

bawah “supremasi hukum” yang selaras dengan ketentuan-ketentuan

peraturan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Jadi

arti the rule of law dan supremasi hukum, menguji dan menetapkan setiap

tindakan penegakanhukum takluk di bawah ketentuan konstitusi, undang-

undang dan rasa keadilan yang hidup ditengah-tengah kesadaran masyarakat.

Memaksakan dan atau menegakkan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat bangsa lain, tidak dapat disebut rule of law, bahkan mungkin

berupa penindasan.

Dengan asas legalitas yang berlandaskan the rule of law dan supremasi

hukum jajaran aparat penegak hukum tidak dibenarkan bertindak di luar

ketentuan hukum, atau undue to law maupun undue process, serta bertindak

sewenang-wenang, atau abuse of power. Karena Setiap orang baik dia

tersangka atau terdakwa mempunyai kedudukan,Sama sederajat dihadapan

hukum, atau equal before the law, Mempunyai kedudukan “perlindungan”

yang sama oleh hukum, equal protection on the law, Mendapat “perlakuan

keadilan” yang sama di bawah hukum, equal justice under the law.49

Sebagaimana diketahui, bertolak belakang dengan asas legalitas adalah “asas

oportunitas”, yang berarti sekalipun seorang tersangka terang cukup bersalah

menurut pemeriksaan penyidikan dan kemungkinan besar akan dapat dijatuhi

49
Ibid, hal. 36.
58

hukuman, namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan ke sidang

pengadilan oleh penuntut umum. Kasus perkara itu “dikesampingkan” oleh

pihak kejaksaan atas dasar pertimbangan “demi kepentingan umum”.

Kejaksaan berpendapat, lebih bermanfaat bagi kepentingan umum jika

perkara itu tidak diperiksa di muka sidang pengadilan. Dengan demikian,

perkaranya dikesampingkan saja (seponering).

Menurut Hadari Djenawi Taher, menyatakan bahwa : “KUHAP

tampaknya tidak dianut asas oportunitas lagi, yaitu ditiadakan penuntutan

karena alasan berdasar asas kepentingan umum sebagaimana yang kita kenal

sebagai kebiasaan selama ini. Asas yang dianut tampaknya sudah bergeser

kepada asas legalitas...”.50 Pendapat tersebut disimpulkan berdasar ketentuan

Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, dihubungkan dengan Pasal 14, yang

menentukan semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan

oleh hukum, penuntut umum harus menuntutnya di muka pengadilan, kecuali

terdapat cukup bukti bahwa peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan

tindak pidana atau perkaranya ditutup demi hukum.

Pada Pasal 14 huruf h KUHAP hanya memberi wewenang kepada

penuntut umum untuk menutup suatu perkara demi kepentingan hukum “tapi

bukan” demi kepentingan umum. Namun demikian, masih memperingatkan

kenyataan ketentuan Pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang memberi wewenang kepada

50
Ibid.,hal. 37.
59

Kejaksaan Agung untuk menseponering atau menyampingkan suatu perkara

berdasar alasan “kepentingan umum”. Memang keadaan seperti inilah yang

sebenarnya. Kejaksaan Agung atas dasar hukum yang diberikan Pasal 35

huruf c Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 masih berwenang melakukan

seponering. Bahkan bukan hanya atas dasar Pasal 35 huruf c Undang-undang

Nomor 16 Tahun 2004 tetapi dipertegas lagi oleh Buku Pedoman Pelaksanaan

KUHAP, menyatakan bahwa : “KUHAP mengakui eksistensi perwujudan

asas oportunitas”.

Dengan demikian di satu sisi dengan tegas mengakui “asas legalitas”,

tetapi pada sisi lain asas legalitas itu dikebiri oleh kenyataan pengakuan

KUHAP itu sendiri akan eksistensi “asas oportunitas”. Bukankah keadaan

yang seperti ini menyesatkan kewibawaan KUHAP itu sendiri, serta adanya

kemungkinan untuk mempergunakan alasan kepentingan umum “sebagai

kedok” untuk menyampaikan suatu perkara apalagi kalau diingat pengertian

“kepentingan umum” sangat kabur dan mengambang, karena KUHAP atau

undang-undang sendiri tidak merinci secara tegas dan jelas apa-apa yang

termasuk ke dalam kategori kepentingan umum.51

Dalam konsideran tegas dinyatakan KUHAP menganut prinsip legalitas,

akan tetapi masih tetap mengakui asas oportunitas. Kenyataan ini mau tidak

mau harus diterima, dengan penjernihan. Ada baiknya ditempuh suatu

perbandingan. Pelaksanaan the rule of law itu sendiri juga mempunyai corak

yang berbeda pada setiap negara yang berpegang kepada asas supremasi

51
Ibid., Hal. 38.
60

hukum. Tidak dijumpai 2 (dua) negara yang serupa sistemnya dalam

menjalankan asas the rule of law. Masing-masing mempunyai variasi

pertumbuhan mengikuti jalan perkembangan yang berbeda sesuai dengan

kehendak masyarakat yang bersangkutan.

Kalau dipinjam ungkapan yang diutarakan Sunajati Hartono, menyatakan


bahwa :
“..tidak ada dua masyarakat yang mengikuti jalan perkembangan
yang persis sama, sekalipun perkembangan itu didasarkan pada asas
perjuangan atau cita-cita yang sama”.
Kalau begitu, perkembangan pembinaan hukum melalui KUHAP untuk

“periode yang sekarang”, melalui DPR telah menggabungkan kedua asas itu

dalam suatu jalinan yang “titik beratnya” cenderung lebih mengutamakan

asas legalitas.52akan tetapi asas oportunitas merupakan pengecualian yang

dapat dipergunakan secara terbatas sekali. Mungkin dalam sejarah penegakan

hukum yang akan datang, Indonesia akan memahami betapa adilnya

mempergunakan asas legalitas secara mutlak dan menyeluruh, tanpa

diskriminasi atas alasan kepentingan umum, dan segera melenyapkan praktek

penegakan hukum yang berasaskan oportunitas demi tegaknya equality

before the law, equality protection on the law, and equality justice under the

law.

Dengan demikian Asas oportunitas dan asas legalitas di atas merupakan

ketentuan yang saling bertentangan, di satu pihak asas legalitas menghendaki

dilakukannya penuntutan terhadap semua perkara ke pengadilan, tanpa

terkecuali. Namun disisi lain asas oportunitas memberikan peluang bagi


52
Ibid
61

penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan perkara pidana di

pengadilan. Oleh karena itu asas oportunitas tersebut diartikan sebagai asas

yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau

tidak menuntut, dengan atau tanpa syarat seseorang yang telah mewujudkan

delik demi kepentingan umum.53

E. Hambatan Kejaksaan Dalam Penerbitan Surat Perintah Penghentian

Penuntutan

1. Tidak Adanya Batasan Pengertian “Demi Kepentingan Umum”

Hukum tidak terlepas dari nilai-nilai dalam masyarakat dan bahkan

dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan

konkretisasi dari pada nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam

masyarakat.54 Hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam

masyarakat. Kepekaan para penegak hukum dalam menempatkan hukum

sebagai kebutuhan yang terjadi dalam masyarakat adalah kebutuhan

pokok.

Begitu pula penuntut umum dalam melakukan penuntutan harus

menghubungkan antara kepentingan hukum dan kepentingan umum

karena kedua soal ini saling mempengaruhi satu sama lain. Penuntut

umum tidak hanya melihat kejahatan dan mencocokannya dengan suatu

peraturan hukum pidana akan tetapi mencoba menempatkan kejadian itu

dengan menghubungkan pada proporsi yang sebenarnya. Kepentingan


53
O.C Kaligis, op, cit., hal. 146.
54
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Binacipta, 1983), hal. 54.
62

umum merupakan alasan bagi Jaksa Agung untuk dapat

mengenyampingkan perkara. Adapun yang dimaksud dengan kepentingan

umum tidak ada batasan pengertian yang jelas dalam peraturan

perundang-undangan. Untuk itu permasalahannya harus dikembalikan

pada tujuan hukum atau cita-cita hukum. Cita-cita hukum bagi bangsa

Indonesia diwujudkan dalam pokok-pokok pikiran yang tertampung

dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 194555.

Secara garis besar kepentingan umum yang dimaksudkan dalam

pokok-pokok pikiran itu adalah kepentingan negara dan kepentingan

masyarakat. Kepentingan negara tercermin dalam pelaksanaan tugas dan

wewenang lembaga-lembaga negara khususnya bagi penyelenggara

wewenang dan tugas pemerintah berbeda dengan kepentingan masyarakat

yang tercermin dalam hukum yang hidup dalam masyarakat56.

Pengertian kepentingan umum ini diperluas dan mencakup

kepentingan hukum, karena bukan saja didasarkan atas alasan-alasan

hukum semata tetapi juga didasarkan atas alasan-alasan lain, alasan

kemasyarakatan, alasan kepentingan keselamatan negara dan saat ini

meliputi juga faktor kepentingan tercapainya pembangunan nasional.

Dalam mendasarkan pertimbangan dan penilaiannya, Jaksa Agung akan

55
Djoko Prakoso, Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985), hal. 89-90.
56
Ibid., hal. 91.
63

melihat dari segi kepentingan masyarakat luas terutama dari segi falsafah

hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara

yang mengutamakan sikap dasar untuk mewujudkan keselarasan,

keserasian, dan keseimbangan dalam hubungan sosial antara manusia

pribadi dengan manusia lainnya untuk mencapai atau memperoleh

kepentingannya. Dalam hal ini jelas bahwa kebijakan penuntutan untuk

kepentingan umum dipercayakan dan dipertanggungjawabkan pada Jaksa

Agung sebagai penuntut umum tertinggi dan adanya asas oportunitas

merupakan lembaga yang dibutuhkan dalam penegakan hukum demi

menjamin stabilitas dalam suatu negara hukum.

Perumusan kepentingan umum berdasarkan Pasal 35 huruf c.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia sangat luas dan dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-

beda bila tidak digariskan secara tegas. Kepentingan umum dalam suatu

negara hukum mempunyai peranan penting terhadap hukum yaitu peranan

aktif dan peranan pasif. Dalam peranan aktif, kepentingan umum

menuntut eksistensi dari hukum dan sebagai dasar menentukan isi hukum

agar tujuan hukum dapat dicapai. Jadi peranan aktif kepentingan umum

dalam hal ini adalah mengenai cita-cita hukum. Kepentingan umum

mempunyai peranan secara pasif apabila dijadikan objek pengaturan

daripada peraturan hukum.

Pelaksanaan asas oportunitas yang berlandaskan kepentingan umum

harus dilihat dari dua segi peranan kepentingan umum baik aktif maupun
64

pasif. Kepentingan umum yang diatur dalam suatu peraturan hukum

apabila dilanggar tidak dapat dijadikan sebagai landasan oportunitas

untuk menyampingkan perkara pidana. Sebab justru kepentingan umum

menuntut agar diadakan penuntutan di muka hakim pidana agar

dijatuhkan hukuman pidana yang setimpal. Untuk itu, kepentingan umum

yang dapat dijadikan sebagai landasan penyampingan perkara pidana

harus diketemukan dalam aturan hukum lain yang mengatur tentang

kepentingan umum yang harus dilindungi dan dipelihara. Apabila

kepentingan umum yang dimaksud tidak diketemukan dalam aturan

aturan hukum lainnya, maka harus dikembalikan kepada peranan

kepentingan umum secara mengenai cita-cita hukum bangsa Indonesia.

Pengertian kepentingan umum itu sendiri sampai saat ini belum ada

kesepakatan diantara para sarjana. Akan tetapi pengertian kepentingan

umum dapat dilihat dari defenisi yang diberikan oleh Sudikno

Mertokusumo, kepentingan umum merupakan kepentingan yang

didahulukan dari kepentingan-kepentingan lain dengan tetap

memperhatikan proporsi pentingnya dan tetap menghormati kepentingan-

kepentingan lainnya. Menurut Wirjono Prodjodikoro menjelaskan bahwa

hubungan hukum yang teratur dalam hukum pidana adalah sedemikian

rupa bahwa titik berat berada tidak pada kepentingan seorang individu

melainkan pada kepentingan orang-orang banyak yang juga dapat

dinamakan kepentingan umum.57

57
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., hal. 13.
65

Bahwa dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme pada Bab III diterangkan mengenai Asas Umum

Penyelenggaraan Negara dalam Pasal 3 angka 3 disebutkan mengenai

asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi: “Asas Kepentingan

Umum”. Dalam penjelasan pasal tersebut diterangkan yang dimaksud

dengan “Asas Kepentingan Umum” adalah asas yang mendahulukan

kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif akomodatif dan selektif.

Perbandingan antara kepentingan negara dan kepentingan masyarakat

yang harus dilindungi dalam hubungannya dengan pelaksanaan asas

oportunitas adalah sebagai berikut:58

a. “Apabila tindak pidana itu menimbulkan kerugian bagi negara dan

tidak terhadap kepentingan masyarakat, yang kerugian dari akibat

tersebut dirasakan tidak mempengaruhi jalannya pemerintahan, maka

dapat perkara itu dikesampingkan.

b. Apabila tindak pidana tersebut tidak merugikan bagi kepentingan

penyelenggara negara namun berakibat terganggunya kehidupan

masyarakat atau timbulnya ketidakadilan dalam masyarakat, maka

perkara tersebut tidak dapat dikesampingkan”.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan kepentingan

umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan

58
Andi Hamzah, op.cit., hal. 158-159.
66

masyarakat luas. Dalam mendasarkan pertimbangan dan penilaiannya,

Jaksa Agung akan melihatnya pula dari segi kepentingan masyarakat

luas, terutama dari segi falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila.

Pancasila sebagai dasar negara yang mengutamakan sikap dasar untuk

mewujudkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam hubungan

sosial antara manusia pribadi dengan manusia lainnya untuk mencapai

atau memperoleh kepentingannya.

Dengan demikian kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan

asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan

negara dan masyarakat.” Ini mirip dengan pendapat Soepomo yang

mengatakan “baik di Belanda maupun di Hindia Belanda berlaku yang

disebut asas oportunitas dalam tuntutan pidana itu artinya Badan

Penuntut Umum wewenang tidak melakukan suatu penuntutan, jikalau

adanya tuntutan itu dianggap tidak “oppotuun”, tidak guna kepentingan

masyarakat”.59 Oleh karenanya Jaksa Agung dalam menyampingkan

suatu perkara haruslah melihat dampaknya apakah dengan dilakukannya

penuntutan tersebut berdampak luas bagi kepentingan masyarakat atau

tidak. Bahwa deponering tersebut haruslah memberikan kemanfaatan dan

harus mempertimbangkan dengan baik sehubungan bahwa hukum

menuntut adanya keadilan dan persamaan. Oleh sebab itu Jaksa Agung

dalam menyampingkan suatu perkara haruslah hati-hati dalam

59
Andi Hamzah, op,cit., Hal.20.
67

menafsirkan kepentingan umum setelah meminta saran dan pendapat dari

badan kekuasaan negara.

BAB III

KEWENANGAN MENYAMPINGKAN PERKARA (SEPONERING) OLEH

JAKSA AGUNG RI DALAM PENERBITAN SURAT KETETAPAN


68

MENGESAMPINGKAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM

ATAS NAMA TERSANGKA ABRAHAM SAMAD

A. Kasus Posisi Seponering Perkara Demi Kepentingan Umum Oleh Jaksa

Agung RI (Studi Kasus Abraham Samad)

Penyampingan perkara (Seponering) yang baru-baru ini dikesampingkan

perkaranya oleh Jaksa Agung, ialah penyampingan perkara pidana terhadap

mantan ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Abraham Samad.

Abraham Samad terbelit perkara tindak pidana umum, yaitu memalsukan

dokumen administrasi kependudukan atas nama Feriyani Lim.

Kasus pemalsuan dokumen kependudukan yang terjadi pada tahun 2007

yang terjadi kepada Feriyani Liem yang merupakan warga Pontianak,

Kalimantan Barat, mengajukan permohonan pembuatan passport di Makassar.

Dalam kasus ini, Feriyani Lim memakai lampiran dokumen administrasi

kependudukan palsu berupa KK dan KTP, saat ditemukannya dokumen

administrasi kependudukan Feriyani Lim di Jakarta dengan data yang berbeda.

Dalam KK dan KTP Feriyani Lim tertera nama Abraham Samad sebagai

kepala keluarga yang beralamat di Boulevard, Kelurahan Masale, Kecamatan

Panakkukang, Makassar.

Kemudian, pada tanggal 29 Januari 2015 Ketua Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) Lembaga Peduli KPK dan Polri, Chairil Chaidar Said,

melaporkan Feriyani ke Bareskrim Polri. Kemudian Feriyani Liem pun turut

melaporkan Abraham Samad terkait dugaan pemalsuan yang dituangkan

dalam Laporan Polisi Nomor: TBL/72/II/2015/Bareskrim tertanggal 1


69

Februari 2015. Terhadap kasus tersebut lalu dilimpahkan kepada Ditreskrim

Polda Sulselbar, dari pemeriksaan 23 saksi diperoleh hasil bahwa Abraham

Samad diduga melakukan pengurusan Passport Feriyani yakni kartu tanda

penduduk dan kartu keluarga.

Pada tanggal 9 Februari 2015 Abraham Samad ditetapkan sebagai

tersangka oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sulselbar dan

disangka telah melakukan tindak pidana dalam perkara tindak pidana

pemalsuan surat atau tindak pidana administrasi kependudukan, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 264 ayat (1) subsider Pasal 266 ayat (1) KUHP atau

Pasal 93 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang telah diperbaharui

dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, Pasal 263 ayat (1) KUHP.

Pada tanggal 18 Februari 2015 Abraham Samad diberhentikan sementara

dari jabatannya sebagai ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, pada tanggal 20 Februari 2015

Polda Sulselbar memanggil Abraham Samad untuk diperiksa sebagai

tersangka, namun Abraham Samad tidak memenuhi panggilan dari Polda

Sulselbar.

Pada tanggal 28 April 2015 Abraham Samad ditahan di Polda Sulselbar

setelah diperiksa karena dikhawatirkan melarikan diri, mengulangi tindak

pidana atau menghilangkan barang bukti. Pada tanggal 29 April 2015, Polisi

menangguhkan penahanan Abraham Samad dan pada tanggal 3 Maret 2016

Jaksa Agung mengeluarkan Seponering kepada Abraham Samad demi

kepentingan umum. Jaksa Agung menyampingkan perkara tersebut


70

berdasarkan kepentingan umum dan telah meminta pertimbangan dari

beberapa pimpinan lembaga negara.

Jaksa Agung mengungkapkan, Abraham Samad dikenal luas sebagai

tokoh dan figur yang memiliki komitmen memberantas korupsi. Ketika

menghadapi tuduhan tindak pidana yang memerlukan pembuktian, apabila

tidak segera diselesaikan dikhawatirkan akan mempengaruhi semangat

pemberantasan korupsi di negara kita, kata Muhammad Prasetyo (Jaksa

Agung) saat memberikan keterangan di kantornya, Jaksa Agung memberikan

penyampingan perkara (seponering) kepada Abraham Samad di saat korupsi

sedang maraknya terjadi di Indonesia, sehingga apabila tidak dikesampingkan

perkaranya, maka dapat merugikan kepentingan umum yang lebih besar, yaitu

merugikan kepentingan negara dan/atau masyarakat luas.

Adapun kronologi perkara Abraham Samad dari permulaan sampai

putusan Jaksa Agung memberikan penyampingan perkara (seponering) tertara

dalam tabel di bawah ini:

Tabel perkara Abraham Samad dari permulaan sampai pada

putusan penyampingan perkara (seponering) oleh Jaksa Agung;

No Hari/tanggal Keterangan
1. Kamis, 29 Januari 2015 Kasus pemalsuan dokumen berupa KTP,

Yang dilaporkan oleh Chairil Chaidar Said di

Bareskrim Mabes Polri.


2. Senin, 02 Februari 2015 Feriyani Lim ditetapkan sebagai tersangka atas

pemalsuan dokumen kependudukan.


3. Senin, 02 Februari 2015 Di hari yang sama, Feriyani Lim melalui kuasa
71

hukumnya juga melaporkan Abraham Samad

terkait pemalsuan dokumen kependudukan ke

Bareskrim Mabes Polri.


4. Senin, 9 Februari 2015 Penyidik polisi menetapkan Abraham Samad

sebagai tersangka seusai gelar perkara di Markas

Polda Sulawesi Selatan dan Barat.


5. Rabu, 11 Februari 2015 Penyidik mengirim Surat Pemberitahuan

Dimulainya Penyidikan. Kasus dengan tersangka

utama Feriyani Lim ke Kejaksaan Tinggi

Sulawesi Selatan dan Barat.


6. Selasa,17 Februari 2015 Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat

(Sulselbar) menetapkan Abraham Samad resmi

sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen.


7. Jumat,20 Februari 2015 Abraham Samad dijadwalkan akan diperiksa

oleh Polda Sulselbar


8. Selasa,24 Februari 2015 Abraham Samad melakukan Pemeriksaaan

9. Selasa, 10 Maret 2015 Abraham Samad kembali dijadwalkan untuk

melakukan pemeriksaan.
10. Selasa, 28 April 2015 Pemeriksaan dilaksanakan kembali kepada

Abraham Samad.
11. Selasa, 28 April 2015 Pada tanggal yang sama, Abraham Samad resmi

ditahan oleh Kepolisian Daerah Sulselbar.


12. Kamis, 3 Maret 2016 Jaksa Agung M. Prasetyo akhirnya mengambil

langkah mengesampingkan perkara Abraham

Samad. Sebagaimana ucapan beliau dalam

jumpa pers di kantor Kejaksaan Agung, "Saya,

sebagai Jaksa Agung, menggunakan hak


72

prerogatif yang diberikan oleh Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 35 huruf C untuk

mengambil keputusan mengesampingkan

perkara atau seponering perkara atas nama

Abraham Samad.

B. Hasil Wawancara

1. Hasil wawancara dengan Bapak Agus selaku Jaksa Agung Muda bidang

Tindak Pidana Umum Kejaksan Agung RI pada tanggal 18 Februari 2019

Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-undang No. 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menyebutkan bahwa : “Yang

dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan bangsa dan

negara dan/atau kepentingan masyarakat luas”. Dalam mendasarkan

pertimbangan dan penilaiannya, Jaksa Agung akan melihatnya dari segi

kepentingan masyarakat luas, terutama dari segi falsafah hidup bangsa

Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang

mengutamakan sikap dasar untuk mewujudkan keselarasan,keserasian,dan

keseimbangan dalam hubungan sosial antara manusia pribadi dengan

manusia lainnya untuk mencapai atau memperoleh kepentingannya.

Menurut beliau Kejaksaan sebagai alat penegak hukum, bukan hanya

semata mata bertolak pada kekuasaan dan kewenangan yang ada padanya

sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tapi juga wajib melayani kebutuhan
73

hukum individu dan kepentingan masyarakat/negara sebagai satu kesatuan

secara serasi dan seimbang.

Sehingga Kejaksaan harus berani mengambil langkah-langkah secara

tegas kepada setiap pelanggar hukum dan melindungi setiap orang dari

tindakan pelanggar hukum. Jelas bahwa kebijakan penuntutan untuk

mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dipercayakan dan

dipertanggung-jawabkan pada Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum

Tertinggi, dan adanya asas oportunitas merupakan yang dibutuhkan dalam

penegakan hukum demi menjamin stabilitas dalam suatu negara hukum.

Selanjutnya sehubungan dengan konsekuensi hukum penyampingan

perkara pidana yang merupakan wewenang Jaksa Agung masihkah dapat

dilakukan pemeriksaan atau penuntutan kembali seperti halnya

penghentian penuntutan. Hal tersebut dapat di cermati dari prinsip dasar

dan alasan penyampingan perkara untuk mengesampingkan perkara

berdasarkan kepentingan umum yang dikenal sebagai wewenang untuk

mengesampingkan perkara berdasarkan asas oportunitas yakni salah

sebuah asas yang semata-mata terdapat dalam hukum acara pidana.

Menurut beliau, Tugas jaksa berdasarkan Undang-undang Hukum

Acara Pidana kita telah disebutkan secara bersama-sama, yang pada

hakikatnya merupakan tugas jaksa menurut hukum acara pidana di dalam

Pasal 14 KUHAP, yang apabila tidak dijelaskan secara jelas, akan dapat

menimbulkan kesalahpahaman seolah-olah setelah jaksa dengan seijin

Jaksa Agung masih dapat menggunakan haknya untuk mengesampingkan


74

perkara dengan alasan “demi kepentingan umum.” Dari kata

“mengesampingkan perkara” itu sendiri sebenarnya adalah sudah jelas,

bahwa tindakan “mengesampingkan perkara” itu berarti tidak

melimpahkan suatu perkara ke pengadilan untuk diadili, adalah keliru dan

bertentangan dengan hukum apabila hak untuk mengesampingkan perkara

itu masih dipergunakan Jaksa Agung atau oleh Jaksa setelah pengadilan

memberikan putusannya mengenai perkara yang dilimpahkannya ke

pengadilan dan telah diperiksa serta diadili oleh pengadilan. Terdapat

perbedaan yang prinsipil antara penghentian penuntutan dengan

penyampingan perkara.

Pada penghentian penuntutan, perkara yang bersangkutan umumnya

masih dapat lagi diajukan penuntutan jika ternyata ditemukan alasan baru

yang memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang pengadilan.

Umpamanya ditemukan bukti baru sehingga dengan bukti baru tersebut

sudah dapat diharapkan untuk menghukum terdakwa.

Lain halnya dengan penyampingan atau deponering perkara. Dalam

hal ini satu kali dilakukan penyampingan perkara, tidak ada lagi alasan

untuk mengajukan perkara itu kembali ke muka sidang pengadilan.

Konsekuensi hukum dari penyampingan perkara oleh Jaksa Agung,

diantaranya perkara tersebut dianggap tidak pernah ada karena telah

dikesampingkan. Namun demikian perihal mengenai status pidananya


75

KUHAP tidak memberikan pengaturan secara tegas seperti halnya

pengaturan tentang penghentian penuntutan. 60

Namun bila bisa mencermatinya dari beberapa ketentuan KUHAP

yang berkenaan dengan perihal penuntupan perkara demi hukum.

Menurut Lamintang, perbuatan menutup perkara demi hukum itu dapat

dilakukan oleh penuntut umum antara lain apabila mengenai sesuatu

tindak pidana itu ternyata terdapat alasan yang meniadakan penuntutan

(vervolgingsuitsluitingsgronden). Apabila yang ditemukan adalah dasar-

dasar yang meniadakan pidana (strafuitsluitinggronde), tidak adanya

unsur schuld (afwezigheid van alle schuld) baik dalam bentuk sengaja

(dolus) atau ketidak sengajaan (culpa), tidak dapat di

pertanggungjawabkannya tersangka atas perbuatannya

(ontoernkeningsvvatbaarheid), ataupun karena tidak dapat

dipertanggungjawabkannya perbuatan yang bersangkutan

(ontoerenkenbarheid), pada yang demikian ini bukanlah yang disebut

menutup perkara demi hukum. Karena pada hal tersebut hanya hakim

yang boleh memutuskannya61.

60
Hasil wawancara penulis dengan Agus Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Umum
Kejaksan Agung RI tanggal 18 Februari 2019

61
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Cipta Aditya Bakti, 1997),
hal. 45.
76

Dengan demikian tindakan menghentikan penuntutan dilakukan jika

penuntut umum sudah melakukan penuntutan, dan tindakan menutup

perkara demi kepentingan hukum dilakukan sebelum penuntut umum

melakukan suatu penuntutan. Sedangkan tindakan mengesampingkan

perkara idealnya dapat dilakukan sebelum perkara itu dilimpahkan ke

pengadilan, dan belum pernah pula dilakukan penghentian penuntutan

terhadap perkara tersebut, karena secara yuridis penyampingan perkara

itu dilakukan walaupun perkara tersebut telah memenuhi semua unsur-

unsur pidana, jika apabila masih belum lengkap unsur-unsur pidana

untuk dapatnya dilakukan penuntutan lebih baik dipilih tindakan

menghentikan penuntutan saja sehingga tidak berlebih.

Adapun mengenai status perkaranya, perkara yang telah

dikesampingkan dianggap tidak pernah ada karena telah dipetiskan atau

dikesampingkan. KUHAP sendiri tidak memberikan penjelasan

mengenai perihal status perkara, status tersangka, serta status perbuatan

atau tindak pidananya. Jadi tidak bisa kita mengatakan bahwa terhadap

perkara yang telah dikesampingkan oleh Jaksa Agung, maka status

tersangka masih tetap melekat selamanya atas pihak yang

dikesampingkan, pun juga sebaliknya tanpa dasar hukum yang jelas.

Tidak bisa juga kita mengatakan perkara yang diseponering,

sesungguhnya perkaranya masih tetap ada karena perkaranya hanya

dikesampingkan atau tidak menjadikannya hilang. Jika diteliti dari dasar-

dasar yang meniadakan pidana seperti tidak adanya unsur pidana, tidak
77

adanya unsur melawan hukum, dan tidak dapat

dipertanggungjawabkannya suatu perbuatan oleh pembuat, maka

tindakan penyampingan inipun tidaklah berkaitan dengan unsur-unsur

itu.

Apabila diteliti dari dasar-dasar yang meniadakan penuntutan seperti

yang dapat kita jumpai dalam Buku I KUHP Pasal 61, Pasal 62, Pasal 72,

Pasal 82, dan ketentuan dalam Buku II KUHP Pasal 166, Pasal 221, Pasal

284, juga tidak ada hubungan yang normative dalam tindakan

penyampingan perkara.

Dengan demikian keputusan untuk menyampingkan perkara dalam

hukum acara pidana di Indonesia memang murni merupakan penggunaan

asas oportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Agung sebagaimana yang

dilegitimasi dalam Pasal 35 huruf (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang mana penggunaanya

harus didasarkan semata-mata demi kepentingan umum. Makna dari

“demi kepentingan umum” tersebut adalah kepentingan masyarakat.

Kiranya perlu kita garis bawahi bahwa titik beratnya adalah kepentingan

Negara.

Mengesampingkan perkara adalah hak mutlak Jaksa Agung yang tidak

dapat diadili oleh pengadilan. Seponering yang diatur dalam pasal 35

huruf c UU 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, merupakan kewenangan

khusus yang dimiliki Jaksa Agung. Kewenangan adalah suatu kebijakan,

bukan tindakan hukum. Jadi pengadilan tidak berhak menilainya.


78

2. Hasil wawancara dengan Bapak H.Suharto,S.H.,M.Hum selaku Hakim

Tinggi Mahkamah Agung pada tanggal 18 Februari 2019

Dari perspektif sistem peradilan pidana Indonesia, mengesampingkan

perkara disebut juga sebagai asas oportunitas, diartikan sebagai asas

hukum yang memberikan wewenang kepada jaksa agung untuk melakukan

penuntutan, kepada seseorang, demi kepentingan umum. Kaidah dari asas

oportunitas disebut seponering, yang berarti pengesampingan perkara

pidana demi kepentingan umum. Dasar hukum asas oportunitas adalah

Pasal 35 huruf c UU Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan, yang

menegaskan, jaksa agung mempunyai tugas dan wewenang

mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Menurut H.Suharto memberikan pendapat perihal, “kepentingan

umum” sebenarnya bukan merupakan perdebatan baru, karena Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri sejak lama sudah

mempertanyakan tentang kriteria “kepentingan umum” tersebut.

Kepentingan umum merupakan kata-kata yang multitafsir namun dalam

hal ini tetap harus menjadi kewenangan dari jaksa agung, karena hal

tersebut merupakan hak eksklusif dari jaksa agung, yang dalam penerapan

nya akan di pertimbangkan terlebih dahulu apakah perkara tersebut layak

untuk di seponering atau tidak.

Seponering adalah istilah umum yang digunakan untuk menghentikan

penuntutan pidana, yang di Indonesia hanya dimiliki oleh Jaksa Agung.

Secara teoritik, dan praktik di beberapa negara lain, semua jaksa


79

memiliki kewenangan itu, bukan hanya jaksa agungnya Lantaran bersifat

diskresi, maka jaksa agung harus benar-benar dapat

mempertanggungjawabkan kebijakan seponering kepada publik. Hanya

saja hal tersebut sulit diterapkan di Indonesia. Kalau di negara lain

seperti Amerika, jaksa itu dipilih, bukan jaksa karir seperti di Indonesia.

Jadi disana jaksa juga harus mempertanggungjawabkan penerbitan

seponering secara politis, paparnya.

Dalam konteks Indonesia, Jaksa Agung merupakan bagian dari

eksekutif, maka jaksa agung harus mampu mempertanggungjawabkannya

kepada presiden. Apakah dalam pelaksanaannya penerbitan deponir

sudah sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik atau tidak.

Oleh karenanya, bagi jaksa agung yang tidak mampu

mempertanggungjawabkan kebijakannya menggunakan seponering,

maka harus siap-siap menanggung sanksi politis. Seperti dicopot dari

jabatannya.

Menurut H.Suharto langkah yang di ambil Jaksa Agung untuk

mengesampingkan perkara terhadap kasus Abraham Samad sudah tepat,

karena seponering perkara pidana Abraham Samad tersebut akan

menimbulkan banyaknya perdebatan dikalangan akademisi dan

mahasiswa pada saat itu, dimana dalam penjelasannya beliau, Jaksa

Agung memberlakukan seponering atau menggunakan hak

oportunitasnya selaku kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia

dengan adanya anggapan bahwa adanya kepentingan umum yang lebih di


80

utamakan dalam konteks ini adalah kepentingan negara atau rakyat

Indonesia.

Terlepas dari sikap pro dan kontra, perlu dikemukakan bahwa dalam

perspektif hukum positif, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia. Pengakuan asas oportunitas dalam sistem

peradilan pidana Indonesia merupakan hak khusus yang dimiliki oleh

Jaksa Agung. Pasal 35 huruf c Undang-Undang tentang Kejaksaan RI

menegaskan bahwa jaksa agung punya tugas dan wewenang

mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Dengan landasan

hukum tersebut seharusnya bukan menjadi suatu permasalahan, karena

pelaksanaan dari mengesampingan perkara telah didasari dengan adanya

asas oportunitas serta Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004.62

BAB IV

ANALISIS YURIDIS PENYAMPINGAN PERKARA OLEH JAKSA

AGUNG RI DALAM MENYAMPINGKAN PERKARA (SEPONERING)

ATAS NAMA TERSANGKA ABRAHAM SAMAD

A. Pertimbangan Dalam Menentukan “Demi Kepentingan Umum” Untuk

Dilakukannya Penyampingan Perkara (Seponering) Oleh Kejaksaan

Sebagaimana Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

62
Hasil wawancara penulis dengan H.Suharto,S.H.,M.Hum selaku Hakim Tinggi Mahkamah
Agung, tanggal 11 februari 2019
81

Kejaksaan Republik Indonesia sebagai salah satu lembaga negara yang

berperan penting dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Kejaksaan

dalam melaksanakan fungsinya dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang

mengendalikan tugas dan wewenang kejaksaan. Salah satu tugas dan

wewenang Jaksa Agung dalam Undang-undang Nomor. 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan RI khususnya Pasal 35 huruf c yang berbunyi:

“Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan


perkara demi kepentingan umum”.
Kemudian dalam penjelasannya disebutkan kepentingan umum sebagai

kepentingan bangsa atau negara dan atau kepentingan masyarakat luas.

Mengesampingkan perkara sebagaimana dalam ketentuan ini merupakan

pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung

setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan

negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

Penjelasan Pasal 35 Undang-undang No 16 Tahun 2006 ini tidak

menentukan secara limitatif apa rumusan atau definisi serta batasan dari

kepentingan negara, kepentingan bangsa, atau kepentingan masyarakat secara

jelas. Dengan demikian mengundang penafsiran yang beragam, baik di

kalangan praktisi hukum, akademisi hukum, maupun masyarakat pada

umumnya.

KUHAP sendiri tidak mengatur secara tegas ketentuan penyampingan

atau penghentian perkara demi kepentingan umum ini boleh digunakan

ditahap yang sama. Hanya tersirat dalam penjelasan Pasal 77 KUHAP yang

menyatakan, yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk


82

penyampingan perkara demi kepentingan umum yang menjadi wewenang

Jaksa Agung. Perihal kewenangan mengesampingkan perkara demi

kepentingan umum ditemukan didalam Undang-undang Kejaksaan. Undang-

undang yang mengatur tentang Kejaksaan Republik Indonesia keberlakuannya

telah berubah sebanyak tiga kali.

Pertama Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 Pasal 8: “Jaksa Agung

dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum”.

Kemudian, Undang-undang tersebut dicabut dan diganti dengan Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1991. Alasannya karena sudah tidak selaras dengan

pembaruan hukum nasional yaitu pemberlakuan KUHAP dan lebih

mengkonsentrasikan perannya di bidang penuntutan. Dalam Undang-undang

ini klausul menyampingkan perkara demi kepentingan umum terdapat dalam

Pasal 32 huruf (c) Undang-undang No. 5 tahun 1991. Undang-undang ini

kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2004

yang mengaturnya didalam Pasal 35 huruf (c).

Dalam hubunganya dengan hak penuntutan dikenal dua asas yaitu yang

disebut asas legalitas dan asas opportunitas (het legaliteits en het

opportuniteits beginsel) menurut asas yang tersebut pertama penuntut umum

wajib menuntut suatu delik. Menurut asas yang kedua, penuntut umum tidak

wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut

pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum.

Penyampingan perkara sudah jelas didasarkan pada asas oportunitas. Asas

oportunitas ialah asas yang melandaskan penuntut umum mempunyai


83

kewenangan untuk tidak menuntut suatu perkara di muka sidang pengadilan

dengan alasan demi kepentingan umum atau hak Jaksa Agung yang karena

jabatannya (ambtshalve) untuk menseponir perkara-perkara pidana, walaupun

bukti-bukti cukup untuk menjatuhkan hukuman, jika ia berpendapat bahwa

akan lebih banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut suatu

perkara daripada tidak menuntutnya. Dengan kata lain perkaranya

dikesampingkan walapun cukup bukti dan apabila diteruskan di persidangan

kemungkinan besar yang dimiliki institusi Kejaksaan Agung yang dalam hal

ini pelaksanaanya hanya ada pada Jaksa Agung.

Menurut Soebekti diskresi ialah kebijakan atas dasar pertimbangan

keadilan semata-mata dengan tidak terikat dengan ketentuan undang-undang.

Kejaksaan sebagai penuntut umum telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai

wakil masyarakat untuk menindak dan menuntut perbuatan pidana. Indonesia

menganut pemerintahan presidensil. Oleh sebab itu kejaksaan yang dipimpin

oleh Jaksa Agung bertanggung jawab kepada Presiden.63

Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyebutkan, bahwa yang dimaksud

dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau

kepentingan masyarakat luas. Secara garis besar dapat dilihat bahwa

kepentingan umum yang dimaksud dalam pokok pikiran itu adalah

kepentingan negara dan masyarakat. Kepentingan negara tercermin dalam

pelaksaam tugas dan wewenang lembaga negara khususnya bagi penyelengara

63
Soebekti, op,cit., hal. 40.
84

wewenang dan tugas pemerintah. Sedangkan kepentingan masyarakat

tercermin dalam hukum yang hidup dalam masyarakat.

Dalam mendasarkan pertimbangan dan penilaiannya, Jaksa Agung akan

melihatnya pula dari segi kepentingan masyarakat luas, terutama dari segi

falsafah hidup Bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai dasar

negara yang mengutamakan sikap dasar untuk mewujudkan keselarasan,

keserasian, dan keseimbangan dalam hubungan sosial antara manusia pribadi

dengan manusia lainnya untuk mencapai atau memperoleh kepentingannya.

Jelas bahwa kebijakan penuntut untuk kepentingan umum dipercayakan dan

dipertanggungjawabkan pada Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi,

dan adanya asas oportunitas yang dibutuhkan dalam penegakan hukum demi

menjamin stabilitas dalam suatu negara hukum.64

Kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas adalah hal yang

tidak menuntut/alasan penghentian penuntutan karena alasan kebijakan yakni

mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Menurut Prof. J.M.Van

Bemmelen terdapat 3 (tiga) alasan untuk tidak dapat melakukan penuntutan:

1. Demi Kepentingan Negara (straatsbelang):

Kepentingan negara tidak menghendaki suatu penuntutan jika terdapat

kemungkinan bahwa aspek-aspek tertentu dari suatu perkara akan

memperoleh tekanan yang tidak seimbang. Sehingga kecurigaan yang

dapat timbul pada rakyat, dalam keadaan tersebut menyebabkan kerugian

besar pada masyarakat. Kepentingan umum dalam suatu Negara hukum

64
Hasil wawancara penulis dengan Agus Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Umum
Kejaksan Agung RI tanggal 18 Februari 2019.
85

mempunyai peranan penting terhadap hukum, yaitu peranan aktif dan

pasif. Dalam peranan aktif, kepentingan umum menutut eksistensi dari

hukum dan sebagai dasar menentukan isi hukum agar tujuan hukum dapat

dicapai. Jadi peranan aktif kepentingan umum dalam hal ini adalah

mengenai cita-cita hukum. bagi bangsa Indonesia cita-cita hukum

diwujudkan pada pokok-pokok pikiran yang terkandung dalm pembukaan

undang-undang dasar tahun 1945 yaitu memejuhkan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Kepentingan umum mempunyai peranan pasif apabila dijadikan objek

pengaturan daripada peraturan hukum, pelaksanaan asas oportunitas yang

berlandaskan kepentingan umum harus dilihat dari dua segi perana

kepentingan umum baik aktif maupun pasif. Kepentingan umum yang

diatur dalam suatu peraturan hukum apabila dilanggar tidak dapat

dijadikan sebagai landasan oportunitas untuk menyampingkan perkara

pidana. Sebab justru kepentingan umum menuntut agar diadakan

penuntutan dimuka hakim pidana untuk dijatuhkan pidana setimpal. Untuk

itu, kepentingan umum yang dapat dipakai sebagai landasan untuk

menyampingkan perkara pidana harus dikemukakan dalam aturan hukum

lain yang mengatur tentang kepantingan umumyang harus dilindungi dan

dipelihara.

2. Demi kepentingan masyarakat (maatschapelijk belang)


86

Tidak dituntutnya perbuatan pidana karena secara sosial tidak dapat

dipertanggung jawabkan. Termaksud dalam kategori ini tidak menuntut

atas dasar pemikiran-pemikiran yang telah atau sedang berubah dalam

masyarakat. Kepentingan umum yang menjadi dasar didalam asas

oportunitas sesuai pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kepentingan umum yang

mengendalikan pada tugas alat negara untuk kelancaran mengurus rumah

tangga negara, dan kepentingan masyarakat yang mengendalikan pada

perlindungan serta ketentraman untuk bebas dari gangguan kejahatan bagi

semua orang. Agar dapat ditentukan apakah perkara pidana tersebut telah

memenuhi syarat dalam proses penyampingan perkara dalam penyelesaian

perkara pidana, dengan adanya kebijakan yang dilakukan oleh pihak-pihak

yang bersangkutan dalam melaksanakan penyampingan perkara yang

terkait dalam penyampingan perkara demi kepentingan umum yang

dilakukan oleh Jaksa Agung selaku Jaksa Tertinggi di Lembaga Kejaksaan

Agung sehingga perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan ke pengadilan

dengan dasar bahwa perkara pidana tersebut telah dikesampingkan dan

tidak dapat diproses.

3. Demi kepentingan pribadi (particular belang)

Termasuk didalam kategori-kategori bila kepentingan pribadi

menghendaki tidak dilakukannya penuntutan ialah dalam persoalan-

persoalan hanya perkara kecil, dan atau yang jika yang melakukan tindak

pidana telah membayar kerugian dan dalam keadaan ini masyarakat tidak
87

mempunyai cukup kepentingan dengan penuntutan atau penghukuman.

Penyampingan perkara yang dilakukan demi kepentingan pribadi dapat

merugikan, bahwa ada kalanya sudah terang-berderang seseorang

melakukan suatu kejahatan, akan tetapi keadaan yang nyata adalah

sedemikian rupa, sehingga kalau seseorang itu dituntut dimuka hakim

pidana, kepentingan negara akan sangat dirugikan. Guna mencegah

penyalagunaan kebijakan (diskresi) penuntutan maka wewenang tersebut

ditiadakan pada tahun 1961, sejak itu hanya Jaksa Agunglah yang boleh

menyampingkan perkara karena alasan kebijakan (policy).65

Makna “kepentingan umum” yang juga di atur dalam Undang-undang di

Indonesia yaitu sebagaimana dalam penjelasan Pasal 5 huruf d Undang-

undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) menegaskan bahwa kepentingan umum adalah asas yang

mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif,


66
dan selektif. Berbeda dengan Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 2

Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, yang dimaksud dengan

kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat atau kepentingan bangsa

dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri. 67

65
Andi Hamzah, op. cit,. hal. 156.
66
Indonesia, Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 31,
L.N. No. 144 Tahun 2002, T.L.N. No.425, Pasal. 5 huruf d.
67
Indonesia, Undang-undang Kepolisian Republik Indonesia. UU No. 2 , L.N. No. 2. Tahun
2002, T.L.N. No. 4168, Pasal. 1 angka 7.
88

Selanjutnya di dalam penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-undang

Nomor. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dikatakan bahwa

kepentingan umum adalah “kepentingan bangsa dan negara dan/atau

kepentingan pembangunan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan


68
yang berlaku”. Dalam Instruksi Presiden Nomor. 9 Tahun 1973 tentang

Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada

diatasnya, ditentukan dalam Pasal 1 bahwa kegiatan dalam rangka

pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum apabila

kegiatan tersebut menyangkut: Kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau,

Kepentingan masyarakat luas, dan/atau Kepentingan rakyat banyak/bersama,

dan/atau Kepentingan pembangunan. Itulah beberapa ketentuan perundang-

undangan mengenai kepentingan umum. Kepentingan umum mengandung

pengertian yang luas, karena luasnya pengertian kepentingan umum sehingga

segala macam kegiatan bisa saja dimasukkan dalam kegiatan demi

kepentingan umum.

Dalam tataran implementasi seponering Salah satu penyampingan perkara

yang telah dikeluarkan oleh Jaksa Agung untuk menyelesaikan kasus

Abraham Samad, menurut penulis sudah tepat dilakukan karena, jika di tinjau

dalam praktek selama ini, yaitu bahwa dalam mengesampingkan perkara yang

menyangkut kepentingkan umum, Jaksa Agung senantiasa bermusyawarah

dengan pejabat-pejabat tertinggi negara yang ada sangkut pautnya dengan

perkara yang bersangkutan, antara lain seperti dengan Mahkamah Agung,

68
Indonesia, Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 5, L.N. No. 77. Tahun
1986, T.L.N. No. 3344, Pasal. 49 huruf b.
89

Kapolri, DPR, bahkan sering kali dengan Presiden. Dengan demikian kriteria

“demi kepentingan umum” dalam penerapan asas oportunitas di negara kita

adalah didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk

kepentingan pribadi.

Bahwa dengan adanya kewenangan untuk tidak menuntut atas

pertimbangan kepentingan umum , disebabkan lebih banyak mudaratnya dari

pada manfaat bagi kemaslahatan masyarakat maka adalah layak apabila

dipertimbangkan memperlakukan kewenangan ini pada salah satu mata rantai

lainya sepanjang penerapan hukum kebiasaan ini juga memberikan ke

maslahatan umum.

Undang-undang memberikan kewenangan pada Jaksa Agung tersebut,

adalah untuk menghindarkan tidak timbulnya penyalahgunaan kekuasaan

dalam hal pelaksanaan asas oportunitas. Sehingga dengan demikian satu-

satunya pejabat negara di negara kita yang diberi wewenang melaksanakan

asas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak pada setiap jaksa selaku

penuntut umum(JPU) dan alasanya mengingat keadaan dan kedudukan Jaksa

Agung selaku Penuntut Umum Tertinggi. Jaksa Agung bisa menganggap

bahwa akan lebih banyak kerugiannya apabila menuntut baik untuk

masyarakat maupun untuk negara, maka perkara tersebut dikesampingkan.

Sebagai pertanggungjawaban Jaksa Agung atas hak oportunitas ini, Jaksa

Agung mempertanggungjawabkan pada Presiden berdasarkan Peraturan

Presiden No. 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan

Republik Indonesia. Apabila ternyata tetap bahwa cara-cara pelaksanaan hak


90

tersebut timbul keragu-raguan, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat

meminta keterangan dari Pemerintah (Presiden atau Jaksa Agung). Pada

akhirnya Presiden harus mempertanggungjawabkan di Majelis

Permusyawaratan Rakyat.

Dalam penyampingan perkara, hukum dan penegakan hukum

dikorbankan demi kepentingan umum. Seseorang yang cukup terbukti

melakukan tindak pidana, perkaranya dikesampingkan dan tidak diteruskan

ke sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum. Itulah

sebabnya, asas oportunitas bersifat diskriminatif dan menggagahi makna

equality before the law atau persamaan kedudukan di depan hukum. Sebab

kepada orang tertentu, dengan mempergunakan alasan kepentingan umum,

hukum tidak diperlakukan atau kepadanya penegakan hukum

dikesampingkan.

B. Dasar Pertimbangan Jaksa Agung Dalam Memberikan Seponering

Kepada Abraham Samad Secara Yuridis

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia yang mengatur terkait pemberian kewenangan kepada Jaksa Agung

dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum setelah

memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang

mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia yang memberikan

kewenangan secara bebas (vrij bevoegheid) kepada Jaksa Agung untuk

melakukan seponering berdasarkan pada diskresi (discretionary power) atau


91

freies ermessen yang dimiliki oleh Jaksa Agung itu sendiri. Kewenangan

bebas yang melahirkan kebebasan dalam memberikan pertimbangan

(beoordelingsvrijheid) dan kebebasan mengambil kebijakan (beleidsvrijheid).

Namun, kebebasan tertinggi sebenarnya adalah ketidak bebasan.

Sehingga dalam melaksanakan diskresinya, Jaksa Agung dalam

menyampingkan perkara kepada seseorang haruslah memiliki alasan yang

rasional dan hal tersebut sifatnya mutlak agar tidak terjadinya kesewenang-

wenangan. Ketika rasionalitas yang merupakan syarat mendasar dalam

pengambilan keputusan atau kebijakan.

Di Indonesia, satu-satunya yang berhak menerapkan Pasal 32 huruf c

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, yaitu mengesampingkan perkara

demi kepentingan umum, hanyalah Jaksa Agung. Tujuan Undang-undang

memberikan kewenangan pada Jaksa Agung tersebut adalah untuk

menghindarkan tidak timbulnya penyalahgunaan kekuasaan dalam hal

pelaksanaan mengesampingkan perkara yang dikhawatirkan oleh ada

kemungkinan dengan sebagai kedok, seorang jaksa menyampingkan perkara

dikarenakan terdakwa adalah sahabat karibnya atau memberi suap. 69 Maka

satu-satunya pejabat negara di negara Indonesia yang berwenang

melaksanakan seponering adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap

penuntut umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa Agung selaku

penuntut umum tertinggi.

69
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, cet.11, (Bandung: Sumur
Bandung, 1983), hal. 28.
92

Meskipun demikian, bukan tidak mungkin Jaksa Agung salah dalam

penerapannya. Akan tetapi setidak-tidaknya hal ini lebih hati-hati, sebab

dalam praktek selama ini, yaitu bahwa dalam penyampingan perkara yang

menyangkut kepentingan umum Jaksa Agung senantiasa bermusyawarah

terlebuh dahulu dengan pejabat-pejabat tertinggi yang ada sangkutpautnya

dalam perkara tersebut, antara lain: Kepala Kepolisian Negara, bahkan juga

seringkali langsung kepada Presiden.70 Guna terjaminnya kepastian hukum

dalam rangka pelaksanaan asas oportunitas, Jaksa Agung menuangkan dalam

suatu surat penetapan/keputusan yang salinannya diberikan kepada orang yang

dikesampingkan perkaranya demi kepentingan umum, dan dapat dipergunakan

sebagai alat bukti yang bersangkutan.

Untuk mengetahui proses dan mekanisme penerapan asas oportunitas ini,

dilihat dari buku penjelasan KUHAP sebagai berikut: Jikalau polisi sudah

mulai dengan penyidikan, yaitu memeriksa perkara dengan menangkap dan

menahan tersangka, ia tidak bisa menghentikan penyidikan itu dengan diam-

diam begitu saja. Ia harus meneruskan perkara tersebut kepada jaksa.

Demikian pula Jaksa, kalau ia sudah sekali menerima itu untuk dituntut,tidak

diperkenankan dengan diam-diam menhentikan pemeriksaan penuntutan itu, ia

harus meneruskan perkara itu, kalau perkaranya perlu diadili, dikirimkan ke

pengadilan negeri yang berwenang, kalau perlu dikesampingkan harus

diusulkan ke Jaksa Agung.

70
Wahyu Affandi, Berbagai Masalah Hukum di Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni,
1982), hal,155.
93

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menyampingkan

perkara, Jaksa Agung tidak memutuskannya melalui campur tangan langsung

di lapangan, melainkan mengetahui perkara tersebut berdasar pemberitahuan

jaksa penuntut umum di lapangan. Melalui pemberitahuan itulah Jaksa Agung

memutuskan untuk mengesampingkan perkara tersebut atau tidak, dengan

jalan memrintahkannya kepada jaksa yang menangani perkara yang

bersangkutan. Hal ini sesuai dengan keterangan bahwa sabagai alat kekuasaan

dari pemerintah, kejaksaan adalah satu dan tidak dapat dipisah-pisahkan,

sehingga dalam tugas pekerjaan para pejabat kejaksaan diharuskan

mengindahkan hubungan hirarkis (hubungan atasan dan bawahan)

dilingkungan pekerjaan. Untuk memperoleh kesatuan garis hirarki, maka

Jaksa Agung adalah penuntut umum tertinggi, yang bertugas memimpin dan

melakukan pengawasan terhadap para jaksa di dalam melakukan

pekerjaannya. Jadi, meskipun dikatakan bahwa Jaksa Agung lah yang

berwenang menyampingkan perkara, namun dalam prakteknya Jaksa Agung

tidak melakukannya sendiri melainkan melalui mekanisme kerja dari bawah

ke atas, kemudian dari atas ke bawah. Dalam memutuskan apakah perkara

perlu kesampingkan atau tidakpun, Jaksa Agung tidak melukannya sendiri,

melainkan berkonsultasi dengan pejabat tinggi lainnya yang berwenang.

Keterangan diatas menunjukan betapa penerapan asas opportunitas secara

teoritis, dilakukan dengan ekstra hati-hati.

Bahwa dalam kasus Abraham Samad Jaksa Agung berpendapat, Alasan

pemberian seponering Abraham Samad terdiri tiga alasan, yaitu pertama,


94

alasan filosofis yaitu terjadinya kegaduhan publik karena terganggunya

harmonisasi antar institusi penegak hukum. Sehingga hukum tidak dapat

terwujud secara maksimal. Kedua, alasan sosiologi yaitu karena terganggunya

pemberantasan korupsi sebab tersangka adalah tokoh dan aktivis yang diakui

luas oleh masyarakat dan yang ketiga, yaitu alasan yuridis bahwa Jaksa Agung

mengatakan bahwa dalam pemberian seponering Abraham Samad dalam

rangka untuk mewujudkan kepastian hukum. Sehingga pemberian seponering

kepada Abraham Samad secara yuridis dibenarkan.

Menurut penulis pemberian seponering oleh Jaksa Agung pada tahun

2016 kepada Abraham Samad, pemberian seponering tersebut telah sesuai

dengan Pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 yaitu untuk

kepentingan umum. Karena menurut Jaksa Agung ketika tetap dilanjutkan

perkaranya, maka akan terjadi kegaduhan di masyarakat dan menyurutkan

semangat pejuang anti korupsi di Indonesia. Karena apabila perkara tersebut

tetap dilanjutkan disebabkan lebih banyak mudaratnya dari pada manfaat bagi

kemaslahatan masyarakat maka adalah layak apabila Jaksa Agung

mempertimbangkan untuk memperlakukan kewenangan ini pada kasus

tersebut.

C. Konsekuensi Hukum Terhadap Pemberian Seponering Kepada Abraham

Samad Oleh Jaksa Agung

Kewenangan penyampingan perkara pidana oleh Jaksa Agung didasarkan

pada asas oportunitas yang melekat pada jabatan dan fungsinya. Asas

oportunitas sebagaimana dimaksud adalah ketentuan Pasal 35 huruf c Undang-


95

undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan

pada penjelasan Pasal 77 KUHAP. Dalam hal ini penuntutan pidana pun juga

dikenal asas oportunitas, adalah asas hukum yang memberikan wewenang

kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau

tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi

kepentingan umum.

Dalam proses penuntutan Jaksa Penuntut Umum mempunyai kewenangan

untuk menghentikan penuntutan, sedangkan Jaksa Agung dengan asas

oportunitas yang dimiliki dapat mengesampingkan suatu perkara demi

kepentingan umum. Apabila dicermati kedua kewenangan tersebut sama-sama

merupakan tindakan yang sifatnya menghentikan perkara, akan tetapi

keduanya mempunyai syarat dan ketentuan yang berbeda. Penghentian

penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum dilakukan bilamana:

1. Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai bukti yang cukup

2. Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa bukan merupakan tindak

pidana

3. Perkara ditutup demi hukum atau set aside.

Sedangkan penyampingan perkara dilakukan bilamana ada kepentingan

umum yang mendesak agar perkara dihentikan atau dikesampingkan, atau

dengan kata lain penyampingan perkara dapat dilakukan karena alasan

kepentingan umum. Pada penyampingan perkara atau deponering, perkara

yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan
96

diperiksa di muka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada,

kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman.

Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini, “sengaja

dikesampingkan” dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak

penuntut umum atas alasan “demi untuk kepentingan umum”. Dalam

penyampingan perkara, hukum dan penegakan hukum dikorbankan demi

kepentingan umum. Seseorang yang cukup bukti melakukan tindak pidana,

perkaranya dikesampingkan dan tidak diteruskan ke sidang pengadilan

dengan alasan demi kepentingan umum.

Terhadap dikeluarkannya keputusan penghentian penuntutan, masih

dapat dilakukan penuntutan kembali karena penghentian penuntutan tidak

serta merta menghapus unsur tindak pidananya. Penuntutan kembali terhadap

perkara yang telah dihentikan penuntutannya melalui Surat Ketetapan

Penghentian Penuntutan didasarkan pada alasan, yaitu:

1. Jika ternyata dikemudian hari ditemukan alasan baru.

2. Penuntutan kembali harus dilakukan apabila keputusan praperadilan

menetapkan penghentian penuntutan yang dilakukan tidak sah menurut

hukum.

Permintaan keberatan terhadap ketetapan penghentian penuntutan yang

diputuskan melalui praperadilan, dapat diajukan oleh penyidik atau pihak

ketiga yang berkepentingan. Jika demikian penghentian penuntutan tidaklah


97

bersifat permanen, karena sewaktu-waktu penuntutan dapat dilakukan oleh

penuntut umum atau sewaktu-waktu penghentian penuntutan dapat dicabut.

Namun demikian kapankah hal itu dapat dilakukan dalam hal telah

didapatkannya bukti baru. Tidak ada kepastian batasan waktu sampai kapan

penuntutan kembali dapat dilakukan. Sehingga jika demikian kapan saja

ditemukan bukti baru, penuntutan kembali dapat dilakukan. Yahya Harahap

memberikan pendapat yang tidak sepakat dengan ini, menurutnya demi

tegaknya kepastian hukum seharusnya pembuat undang-undang

menegaskan batas waktu penuntutan kembali atas suatu perkara yang pernah

dihentikan penuntutannya. Oleh karena undang-undang tidak memberikan

batas waktu, maka lebih lanjut menurutnya penuntutan kembali harus

dikaitkan dengan Pasal 78 KUHAP yang mengatur tentang hapusnya hak

menutut suatu perkara karena alasan kadaluwarsa. Jadi apabila terhadap

suatu perkara yang telah dihentikan penuntutannya, beberapa tahun

kemudian ditemukan hal-hal baru, akan tetapi saat ditemukannya hal baru

yang memungkinkan penuntutan kembali perkara tersebut ternyata tuntutan

terhadap tindak pidana yang bersangkutan sudah kadaluwarsa, maka dalam

hal seperti ini tidak lagi dapat dilakukan penuntutan kembali.

Selanjutnya sehubungan dengan penyampingan perkara pidananya yang

merupakan wewenang Jaksa Agung, bagaimanakah konsekuensi hukumnya,

masihkah dapat dilakukan pemeriksaan atau penuntutan kembali seperti

halnya penghentian penuntutan. Hal ini dapat di cermati dari prinsip dasar

dan alasan penyampingan perkara untuk mengesampingkan perkara


98

berdasarkan kepentingan umum dikenal sebagai wewenang untuk

mengesampingkan perkara berdasarkan asas oportunitas (opportuniteits

beginsel) yakni salah sebuah asas yang semata-mata terdapat dalam hukum

acara pidana dan tidak terdapat dalam hukum panitensier. Hal itu perlu

dikemukakan sehubungan dengan kenyataan bahwa tugas “melaksanakan

penetapan hakim” sebagai salah satu wewenang dari jaksa menurut hukum

penitensier itu, oleh undang-undang hukum acara pidana kita telah

disebutkan secara bersama-sama dengan sejumlah wewenang jaksa dalam

melaksanakan tugas penuntutan, yang pada hakikatnya merupakan tugas

jaksa menurut hukum acara pidana di dalam Pasal 14 KUHAP, yang apabila

tidak dijelaskan secara jelas, akan dapat menimbulkan kesalahpahaman

seolah-olah setelah jaksa dengan seijin Jaksa Agung masih dapat

menggunakan haknya untuk mengesampingkan perkara dengan alasan

“demi kepentingan umum.” Dari kata “mengesampingkan perkara” itu

sendiri sebenarnya adalah sudah jelas, bahwa tindakan “mengesampingkan

perkara” itu berarti tidak melimpahkan suatu perkara ke pengadilan untuk

diadili, adalah keliru dan bertentangan dengan hukum apabila hak untuk

mengesampingkan perkara itu masih dipergunakan Jaksa Agung atau oleh

jaksa setelah pengadilan memberikan putusannya mengenai perkara yang

dilimpahkannya ke pengadilan dan telah diperiksa serta diadili oleh

pengadilan.

Terdapat perbedaan yang prinsipil antara penghentian penuntutan

dengan penyampingan perkara. Pada penghentian penuntutan, perkara yang


99

bersangkutan umumnya masih dapat lagi diajukan penuntutan jika ternyata

ditemukan alasan baru yang memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan

ke sidang pengadilan. Umpamanya ditemukan bukti baru sehingga dengan

bukti baru tersebut sudah dapat diharapkan untuk menghukum terdakwa.

Lain halnya dengan penyampingan atau deponering perkara. Dalam hal ini

satu kali dilakukan penyampingan perkara, tidak ada lagi alasan untuk

mengajukan perkara itu kembali ke muka sidang pengadilan.

Konsekuensi hukum dari penyampingan perkara oleh Jaksa Agung,

diantaranya perkara tersebut dianggap tidak pernah ada karena telah

dikesampingkan. Namun demikian perihal mengenai status pidananya

KUHAP tidak memberikan pengaturan secara tegas seperti halnya

pengaturan tentang penghentian penuntutan. Namun bila bisa

mencermatinya dari beberapa ketentuan KUHAP yang berkenaan dengan

perihal penuntupan perkara demi hukum. Dengan demikian tindakan

menghentikan penuntutan dilakukan jika penuntut umum sudah melakukan

penuntutan, dan tindakan menutup perkara demi kepentingan hukum

dilakukan sebelum penuntut umum melakukan suatu penuntutan. Sedangkan

tindakan mengesampingkan perkara idealnya dapat dilakukan sebelum

perkara itu dilimpahkan ke pengadilan, dan belum pernah pula dilakukan.

Penghentian penuntutan terhadap perkara tersebut, karena secara yuridis

penyampingan perkara itu dilakukan walaupun perkara tersebut telah

memenuhi semua unsur-unsur pidana, jika apabila masih belum lengkap

unsur-unsur pidana untuk dapatnya dilakukan penuntutan lebih baik dipilih


100

tindakan menghentikan penuntutan saja sehingga tidak berlebih. Adapun

mengenai status perkaranya, perkara yang telah dikesampingkan dianggap

tidak pernah ada karena telah dipetiskan atau dikesampingkan. KUHAP

sendiri tidak memberikan penjelasan mengenai perihal status perkara, status

tersangka, serta status perbuatan / tindak pidananya.

Sekiranya perlu di garis bawahi bahwa terhadap perkara yang telah

dikesampingkan oleh Jaksa Agung, maka status tersangka masih tetap

melekat selamanya atas pihak yang dikesampingkan, pun juga sebaliknya

tanpa dasar hukum yang jelas. Tidak bisa juga kita mengatakan perkara

yang diseponering, sesungguhnya perkaranya masih tetap ada karena

perkaranya hanya dikesampingkan atau tidak menjadikannya hilang. Jika

diteliti dari dasar-dasar yang meniadakan pidana seperti tidak adanya unsur

pidana, tidak adanya unsur melawan hukum, dan tidak dapat

dipertanggungjawabkannya suatu perbuatan oleh pembuat, maka tindakan

penyampingan inipun tidaklah berkaitan dengan unsur-unsur itu. Apabila

diteliti dari dasar-dasar yang meniadakan penuntutan seperti yang dapat kita

jumpai dalam Buku I KUHP Pasal 61, Pasal 62, Pasal 72, Pasal 82, dan

ketentuan dalam Buku II KUHP Pasal 166, Pasal 221, Pasal 284, juga tidak

ada hubungan yang normative dalam tindakan penyampingan perkara.

Dalam bukunya O.C Kaligis berpendapat bahwa seponering merupakan

wewenang, bukan mustahil keputusan seponering dapat digugat ke

pengadilan, untuk mempertanyakan apakah dalam menjalankan tugas dan

wewenang menyampingkan perkara itu, Jaksa Agung memiliki alasan yang


101

cukup, yakni sejauh mana seponering itu memenuhi syarat demi

kepentingan umum, yakni kepentingan bangsa dan negara dan/atau

kepentingan masyarakat luas.

Untuk menjawab apakah keputusan deponering tersebut dapat

diperkarakan kembali atau tidak adalah tidak mudah. Karena belum ada

yurisprudensi tentang perkara seperti ini. Undang-undang juga tidak berkata

apa-apa, tidak membolehkan dan juga tidak melarang. Dalam teori ilmu

hukum sebagaimana berkembang di Belanda seponering adalah pelaksanaan

dari “opportuniteit beginsel” atas “asas opportunitas” yang dimiliki sebagai

“hak” Jaksa Agung. Namun, Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun

2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak menyebut hal itu sebagai

“hak”, melainkan sebagai “tugas dan wewenang” Jaksa Agung. Oleh karena

itu seponering atau penyampingan perkara demi kepentingan umum

merupakan “wewenang” khusus Jaksa Agung dan bukan “hak” Jaksa

Agung. Jika seponering merupakan wewenang maka wewenang tidak lepas

dari pertanggungjawaban dalam hal ini wewenang untuk menyampingkan

perkara demi kepentingan umum. Andi Hamzah mengatakan bahwa

pertanggungjawaban pelaksanaan asas opportunitas dalam hal ini

menyampingkan perkara demi kepentingan umum dipertanggungjawabkan

kepada Presiden.

Bahwa oleh karena cara perolehan kewenangan Jaksa Agung dalam hal

menyampingkan perkara demi kepentingan umum diperoleh secara atribusi

yaitu melalui undang-undang sendiri maka pertanggungjawaban sepenuhnya


102

seharusnya ada pada penerima wewenang, dalam hal ini Kejaksaan yang

menerima wewenang dari undang-undang untuk menyampingkan perkara

demi kepentingan umum. Oleh sebab itu Darmono mengatakan bahwa

pembatalan atas ketetapan penyampingan perkara demi kepentingan umum

dimaksud hanya dimungkinkan apabila Jaksa Agung membatalkannya

melalui ketetapan baru untuk mencabut ketetapan sebelumnya apabila ada

alasan, misalnya karena terdapat kekeliruan dalam penetapan tersebut.

Tetapi sangat kecil kemungkinan untuk dilakukan karena akan

mengakibatkan ketidakpastian hukum.

Bahwa dengan demikian terhadap ketetapan yang telah dikeluarkan

oleh Jaksa Agung sudah bersifat final dan mengikat, terhadap ketetapan

tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun dikarenakan ketetapan

yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung tersebut merupakan tugas dan

wewenang khusus yang diberikan oleh Undang-undang. Sehingga hal ini

berlaku juga terhadap kasus pemberian seponering Abraham Samad.


103

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sesuai dengan

rumusan masalah yaitu :

1. Penyampingan perkara demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung

terdapat dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia bahwa yang dimaksud dengan

kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau


104

kepentingan masyarakat luas, dan memberikan batasan kepentingan

dalam dua hal, pertama terhadap kepentingan bangsa dan negara,

sedangkan kedua terhadap kepentingan masyarakat luas.

Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini

merupakan pelaksanaan asas oportunitas.

Asas oportunitas ialah asas yang melandaskan penuntut umum

mempunyai kewenangan untuk tidak menuntut suatu perkara di muka

sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum atau hak Jaksa

Agung yang karena jabatannya (ambtshalve) untuk menseponir perkara-

perkara pidana, walaupun bukti-bukti cukup untuk menjatuhkan

hukuman, jika ia berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian bagi

kepentingan umum dengan menuntut suatu perkara daripada tidak

menuntutnya. Dengan kata lain perkaranya dikesampingkan oleh Jaksa

Agung walapun cukup bukti, setelah memperhatikan saran dan pendapat

Badan-badan Kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan

masalah tersebut.

2. Alasan pemberian seponering Abraham Samad terdiri tiga alasan, yaitu

pertama, alasan filosofis yaitu terjadinya kegaduhan publik karena

terganggunya harmonisasi antar institusi penegak hukum. Sehingga

hukum tidak dapat terwujud secara maksimal. Kedua, alasan sosiologi

yaitu karena terganggunya pemberantasan korupsi sebab tersangka adalah

tokoh dan aktivis yang diakui luas oleh masyarakat dan yang ketiga, yaitu

alasan yuridis bahwa Jaksa Agung mengatakan bahwa dalam pemberian


105

seponering Abraham Samad dalam rangka untuk mewujudkan kepastian

hukum. Sehingga pemberian seponering kepada Abraham Samad secara

yuridis dibenarkan.

3. Bahwa oleh karena cara perolehan kewenangan Jaksa Agung dalam hal

menyampingkan perkara demi kepentingan umum diperoleh secara

atribusi yaitu melalui undang-undang sendiri maka pertanggungjawaban

sepenuhnya seharusnya ada pada penerima wewenang, dalam hal ini

Kejaksaan yang menerima wewenang dari undang-undang untuk

menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Oleh sebab tidak ada

upaya hukum terhadap pembatalan atas ketetapan penyampingan perkara

demi kepentingan umum. Jika memang dimungkinkan maka Jaksa Agung

membatalkannya melalui ketetapan baru untuk mencabut ketetapan

sebelumnya apabila ada alasan, misalnya karena terdapat kekeliruan

dalam penetapan tersebut. Tetapi sangat kecil kemungkinan untuk

dilakukan karena akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Bahwa

dengan demikian terhadap ketetapan yang telah dikeluarkan oleh Jaksa

Agung sudah bersifat final dan mengikat, terhadap ketetapan tersebut

tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun dikarenakan ketetapan yang

dikeluarkan oleh Jaksa Agung tersebut merupakan tugas dan wewenang

khusus yang diberikan oleh Undang-undang. Sehingga hal ini berlaku

juga terhadap kasus pemberian seponering Abraham Samad.

B. SARAN

Adapun Saran yang dapat disampaikan dalam skripsi ini yaitu :


106

1. Pembuat Undang- undang haruslah merevisi Undang-undang 16 Tahun

2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap penafsiran

kepentingan umum yaitu kepentingan bangsa dan negara dan/atau

kepentingan masyarakat luas. Perlunya kriteria-kriteria terkait

kepentingan umum yaitu kriteria kepentingan bangsa dan negara yang

terdiri dari: persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, kedamaian dan

ketertiban umum, stabilitas roda pemerintahan. Sedangkan kriteria

kepentingan masyarakat luas terdiri dari: pencegahan pelanggaran hak,

pencegahan kemorosotan akhlak, perlindungan lembaga sosial dan

kesejahteraan umum. Agar tidak terjadi salah penafsiran dalam penerapan

asas oportunitas.

2. Perlunya ditinjau kembali terkait penafsiran Pasal 35 huruf c Undang-

undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

dalam hal sebelum Jaksa Agung memberikan penyampingan perkara

kepada seseorang, maka harus memperhatikan saran dan pendapat dari

pelaku, dan badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan

dengan masalah tersebut. Menurut penulis, badan-badan kekuasaan

negara yang mempunyai dengan masalah tersebut haruslah dimaknai

hanya; lembaga Kepresidenan (Presiden) Kepolisian Republik Indonesia

(Polri), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini dikarenakan menurut

hemat penulis lembaga tersebut yang paling koheren dalam memberikan

saran sebelum diberikannya penyampingan perkara kepada seseorang.


107

3. Kewenangan ini masih perlu dimiliki oleh Kejaksaan selaku penegak

hukum. Karena berdasarkan asas oportunitas, Jaksa Agung memang perlu

memiliki kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan

umum. Namun mengenai ketentuan hukum yang mengatur perihal

penyampingan perkara seharusnya lebih diperjelas khususnya pada

tahapan teknis pelaksanaannya, karena regulasi mengenai hal ini masih

sangat kurang sehingga sangat berpotensi menimbulkan ketidakpastian

hukum. Dan perlunya ada upaya hukum (praperadilan) atas keputusan

atau ketetapan Jaksa Agung dalam memberikan penyampingan perkara

demi kepentingan umum terhadap sesorang tersangka, dan sebagai sarana

penyeimbang dari subjektifitas seorang Jaksa Agung dalam menafsirkan

kepentingan umum tersebut menjadi lebih objektif.

Anda mungkin juga menyukai