Anda di halaman 1dari 16

Illegal Fishing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

Diajukan untuk memenuhi tugas Hukum Laut, Udara dan Ruang


Angkasa

Oleh:
Putra Purwantoro Widodo
173112330050076

Program Studi Ilmu Hukum


Fakultas Hukum
Universitas Nasional
2020
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan..................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah...................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................3
Bab II Tinjauan Teoritis dan Pembahasan..............................................4
2.2 Tinjauan Teoritis..............................................................................4
2.3 Pembahasn........................................................................................7
Bab III Penutup.......................................................................................13
3.1 Kesimpulan......................................................................................13
3.2 Saran.................................................................................................13
Daftar Pustaka.........................................................................................14
Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar belakang Masalah


Indonesia merupakan negara yang memiliki bentangan garis pantai dengan
panjang 81.00 KM, sehingga menjadikan laut Indonesia dan wilayah pesisir
Indonesia memiliki kandungankekayan dan sumber daya alam hayati laut yang
sangat berlimpah, seperti ikan, terumbu karang, hutan mangrove dan
sebagainya.1
Perairan laut yang luas dan kaya akan jenis-jenis maupun potensi
perikanannya dimana di bidang penangkapan 6,4 juta ton/tahun serta potensi
perikamam umum sebesar 304.650 ton/tahun serta potensi kelautan kurang lebih
4 milyar USD/tahun.2 sektor perikanan yang memiliki potensi yang cukup kaya
tersebut mengundang banyak nelayan asing maupun lookal melakukan kegiatan
pemanfaatan sumber daya perikanan di Indonesia.3
Kekayaan alam Indonesia ini dimanfaatkan oleh sekelompok masyarakat
Indonesia yang bermukim di kawasan pantai yang dimana pada umumnya
menggantungkan sumber kehidupan dari sektor kelautan dan perikanan atau
yang disebut juga dengan nelayan. Wilayah perairan yang sangat luas selaun
memberikan harapan dan manfaat yang besar, tapi juga membawa konsekuensi
dan beberapa permasalahan, antara lain banyaj tidak dipatuhinya hukum
nasional maupun hukum internasional yang berlaku di perairan Indonesia seperti
Illegal Fishing. Penyimpangan usaha pemanfaatan sumber daya laut akan
menimbulkan masalah-masalah bagi kelestarian sumber daya alam yang ada.
Maraknya penyimpangan dakam usaha pemanfaatan sumber daya perikanan di
perairan Indonesia berdampak terhadap keterpurukan ekonomi nasional maupun
regional dan meningkatnya permasalahan sosial di masyarakat perikanan
Indonesia.4
1
Supriadi dan Alimudin, Hukum Peikanan di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2001, hal 2.
2
Ibid.
3
Marlina dan Faisal, Aspek Hukum Peran Masyarakat dalam Mencegah Tindak Pidana Perikanan,
Jakarta, Sofmedia, 2013, hal 2.
4
Suhana, IUU Fishing dan Kerentanan Sosial Nelayan, hal 3.

1
Penangkapan ikan secara ilegal atau illegal fishing di wilayah perairan
Indonesia semakin marak terjadi, hal serupa bisa kita lihat dari data yang
diumumkan Menteri Kelautan Periode 2014-2019 Susi Pudjiastuti, selama beliau
menjabat sekitar 556 kapal pencuri ikan sudah dimusnahkan.5 Permasalahan-
permasalahan tersebut diantaranya adalah mengancam kelestarian stok ikan
nasional maupun regional serata kerusakan ekosistem laut dan juga mendorong
hilangnya rantai sumber daya perikanan. Beberapa penyimpangan yang sering
terjadi antara lain:
a. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan bahan
beracun;
b. Penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai musaknya pukat harimau
dengan ukuran mata jarring yang terlalu kecil dan terlebih dengan
dilakukan pada daerah-daerah tangkap yang telah rawan kualitasnya
banyak menimbulkan masalah kelestarian sumber daya hayati.6

Kegiatan yang umumnya dilakukan oleh nelayan dalam melakukan


penangkapan adalah dengan alat tangkap terlarang atau pemboman
menggunakan bahan peledak karena cara ini dinilai paling gampang dan mudah
dibuat oleh banyak orang.7 Kegiatan ini termasuk dalam tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor
45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang berbunyi:
“Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau
menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapa ikan yang
mengganggu keberlangsungan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan
di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.”8
5
https://regional.kompas.com/read/2019/10/07/17203981/selama-2-hari-menteri-susi-
tenggelamkan-40-kapal-pencuri-ikan-di-pontianak?page=2, diakses pada 26 April 2020 pukul
23.07 WIB.
6
Dian Saptarini, Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Wilayah Pesisir, Kerjasama Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat) dengan
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (Pusat Studi Lingkungan), Jakarta, 1996, hal 3.
7
Marlina dan Faisal, Aspek Hukum Peran Masyarakat dalam Mencegah Tindak Pidana Perikanan,
Jakarta, Sofmedia, 2013, hal 28.
8
Pasal 9 Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan
atas Undang-undang negara republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

2
Penangkapan ikan menggunakan bahan peledak dapat memberikan akibat
yang kurang baik bagi ikan-ikan yang akan ditangkap maupun untuk karang
yang juga terdapat disekitar lokasi penangkapan. Penangkapan menggunakan
bom ii menimbulan efek samping yang begitu besar. Selain rusaknya terumbu
karang disekitar penangkapan juga dapat menyebabkan kematian berbagai biota
laut lain yang bukan menjadi sasaran penangkapan.
Berdasarkan hal di atas, maka penulis akan mengajukan sebuah makalah
yang berjudul “Illegal Fishing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian Illegal Fishing?
2. Apakah pengertian Zona Ekonoi Ekslusif?
3. Apakah jenis-jenis tindak pidana Illegal Fishing?

Bab II
Tinjauan Teoritis dan Pembahasan

3
2.1 Tinjauan Teoritis
A. Teori Kepastian Hukum
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan.
Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakuan dan
adil karena pedoman kelakuan itu harys menunjang suatu tatanan yang dinilai
wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat
menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya
bisa dihawab secara normatif, bukan sosiologi.9
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah
pernyataan yang menekankan aspek “sehatusnya” atau das sollen, dengan
menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-
norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-undang yang
berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu
bertingkah laku dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu
menjadi balasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan
terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturab tersebyr
nenimbulkan kepastian hukum.10
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu
pertama, adanya aturan yang bersifat uum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidaj boleh dilakukan, dan kedua, berupa
keamanan hukum bagu individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu indvidu dapat mengetahui apa saja yang
boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.11
Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum yang berisi
keadilan. Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-sungguh
berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Menurut Gustav Radbruch keadilan
dan kepastian hukum merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Beliau
berpendapat bahwa keadilan dan kepastian hukum harus diperhatikan, kepastian
9
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Yogyakarta,
Laksbang Presindo, 2010, hal 59.
10
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana, 2008, hal 158.
11
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hal 23.

4
hukum harus dijaga demi keamanan dan ketertiban suatu negara. Akhirnya
hukum positif harus selalu ditaati. Berdasarkan teori kepastian hkum dan nilai
yang ingin dicapai yaitu nilai keadilan dan kebahagiaan.12
Jika dikaitkan teori kepastian hukum dalam kasus Illegal Fishing
menkankan pada penafsiran dan sanksi yang jelas agar suatu tindak pidana tidak
berjalan terus menerus. Kepastian memberikan kejelasan dalam melaksanakan
sanksi pidana dan penegakan hukum terhadap tindak pidana Illegal Fishing.
B. Teori Keadilan
Para filosof Yunani memandang keadilan sebagai suatu kabjikan
individual (individual virtue). Apabila terjadi tindakan yang dianggap tidak adil
(unfair prejudice) dalam tata pergaulan masyarakat, maka hukum sangat
berperan untuk membalikkan keadaan, sehingga keadilan yang telah hilang (the
lost justice) kembali dapat ditemukan oleh pihak yang telah diperlakukan tida
adil, atau terjadi keadilan korektif menurut Aristoteles. 13 Keadilan yang mesti
dikembalikan oleh hukum menurut istilah John Rawls adalah “reasonably
expected to be everyone’s advantage”.
Pembicaraan tentang keadilan telah dimulai sejak Aristoteles samapai
dengan saat ini. bahkan para ahli mempunyai pandangan yang berbeda tentang
esensi keadilan. Teori yang mengkaji dan menganalisis tentang keadilan dari
sejak Aristoteles sampai saat ini, disebut dengan teori keadilan. Teori keadilan
dalam Bahasa Inggris disebut dengan theory of justice, sedangkan dalam Bahasa
Belanda disebut dengan theorie van rechtvaardigheid terdiri dari dua kata, yaitu:
Teori dan Keadilan.14
Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan seperti diikuti, L.J.
Van Apeldorn yaitu:
Keadilan distributif dan keadilan commutatief. Keadilan distributif yaotu
keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya.
Sedangkan keadilan commutatief adalah keadilan yang memberikan pada
12
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosialogis), Jakarta, Gunung
Agung, 2002, hal 83.
13
B. Arief Sidharta Meuwissen, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan
Filsafat Hukum, Bandung, Refika Aditama, 2007, hal 93.
14
H. Salim, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Perkasa, 2014, hal 25.

5
setiap orang yang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa
perseorangan.15
Demikian juga Thomas Aquinas membedakan keadilan atas dua
kelompok yaitu keadian umum (justiciar generalis) dan keadilan khusus.
Keadilan umum adalah keadilan yang harus dijalankan unuk kepentingan umum.
Sedangkan keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau
prorporsionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan menjadi:
1). Keadilan distributif (justiciar distributiva);
2). Keadilan komutatif (justiciar commutativa);
3). Keadilan vindikatif (justiciar vindicativa);

Keadilan distributif adalah keadilan yang secara proporsional ditetapkan


dalam lapangan hukum publik secara umum. Sebagai contoh, negara hanya akan
mengangkat seorang menjadi hakim apabila orang itu memiliki kecakapan untuk
menjadi hakim. Keadilan komutatif adalah keadilan dengan mempersamakan
antara prestasi dan kontra prestasi. Sedangkan keadilan vindikatif adalah
keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak
pidana. Seorang dianggap adil apabila ia dipidana badan sesuai dengan besarnya
hukuman yang telah ditentukan atas tidakan pidana yang dilakukannya.16
Berdasarkan pemaparan beberapa teori keadilan di atas, penulis merasa
lebih sepakat dengan teori keadilan vindikatif, dimana apabila ada pelanggaran
ketentuan pidana maka harus dijatuhi sanksi pidana yang sesuai dengan
perbuatannya.

2.2 Pembahasan
A. Pengertian Tindak Pidana
Perkataan tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
“strabaar feit”. Dalam menterjemahkan perkataan strafbar feit itu terdapat

15
L.J. Van Alpedorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 1982, hal 13.
16
Darji Darmnoharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta, Gramedia Pustaka,
2006, hal 156.

6
beraneka macam istilah yang dipergunakan dari beberapa sarjana dan juga di
dalam berbagai perundang-undangan.
Prof. Moeljanto, guru besar Universitas Gadjah Mada dalam bukunya
menggunakan 4 istilah dalam bahasa Indonesia, yakni:
1). Peristiwa pidana (Pasal 14 ayat 1 UUDS 1950);
2). Perbuatan pidan atau perbuatan yang dapat/boleh dihukum Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara
Pengadilan Sipil. Pasal 5 ayat (5) Undang-undang Darurat tentang
Mengubah Ordinansi Tijdelijk Bijzondere Bepalingen Strafrecht.
Dan dalam buku Mr. Krni, tentang Ringkasan Hukum Pidana 1950;
3). Tindak pidana (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang
Pemilihan Anggota Konstituante dan DPR);
4). Pelanggaran pidana dalam bukunya Mr. Tirtamidjaja: pokok-pokok
Hukum Pidana 1955.17

Prof. Moeljanto mempergunakan istilah “perbuatan pidana”, dengan


alasan sebagai berikut:
1). Perkataan peristiwa, tidak menunjukan bahwa yang menimbulkan
adalah handeling atau gedraging seseorang, mungkin juga heqan
atau kekuatan alam;
2). Perkataan tindak, berarti langkah dan baru dalam bentuk tindakan
tanduk atau tingkah laku;
3). Perkataan perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam percakapan
sehari-hari;

Ada beberapa batasan mengenai tindak pidana yang dikekmukakan para


sarjana antara lain:
17
Moeljanto, Azaz-azaz Hukum Pidana, Rineka Cipta, 2000

7
1) Vos : tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia yang oleh
peraturan undang-undang diberi pidaa; jadi kelakuan manusia yang
pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana.
2) Pompe mengatakn tindak pidana adalah sesuatu pelanggaran
kaedah(pelanggaran hukum, normovertrending) yang diadakan
karena kesalahan pelanggar, yang harus diberikan pidana untuk
mempertahankan tata hukum dan penyelamatan kesejahteraan
3) Van Hattum mengatakan suatu tindak podana adalah suatu peristiwa
yang menyebabkan hal seorang (pembuat) mendapat hukuman atau
dapat dihukum.
4) Simons dakan bukunya moeljanto mengatakan tindak pidana itu
adalah suatu perbuatan:
a) Oleh hukum diancam dengan pidana;
b) Bertentangan dengan hukum;
c) Dilakukan oleh orang yang bersalah;
d) Orang itu boleh dianggap bertanggung jawab atas
perbuatannya.
5) Moeljanto mengatakan tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman yang
berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan
tersebut.
6) R. Tresna mengatakan tindak pidana adalah suatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-
undang atau aturan undang-undang lainnya, terhadap perbuatan
mana diadakan tindakan hukum.18

Jado setiap perbuata seseorang yang melanggar, tidak mematuhi


perintah-perintah dan larangan-larangan dalam undang-undang pidana disebut
dengan tindak pidana.

18
E. Utrecht, Hukum Pidana I, Penerbit Universitas, 1960, hal 253.

8
B. Pengertian Illegal Fishing
Illegal Fishing berasal dari kata illegal yang berarti tidak sah atau tidak
resmi. Fishing merupakan kata benda yang berarti perikanan; dari kata fish
dalam Bahasa Inggris yang berarti ikan; mengambil, merogoh; mengail, atau
memancing.19
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Peikanan menyebutkan bahwa penangkapan ikan adalah kegiatan unuk
memperoleh ikan diperairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan
alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk
memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolahm
dan/atau mengawetkannya.20 Penangkapan ikan secara ilegal berarti segala
bentuk kegiatan penangkapan ikan yang melanggar ketentuan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan segala bentuk
peraturan prundang-undangan yang masih berlaku.
Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan Kementerian Kelautan
dan Perikanan, memberi batasan pada istilah illegal fishing yaitu pengertian
Illegal, Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing yang secara harfiah dapat
diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang
tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada
suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia.21
Hal ini merujuk pada pengertian yang dikeluarjan oleh International Plan
of Action (IPOA) Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) yang diprakarsai oleh
FAO dalam konteks implementasi Code of Conduct For Responsible Fisheries
(CCRF). Pengertian illegal fishing dijelaskan sebagai berikut:
1). Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu
atau kapa lasing di perairan yang bukan merupakan yurisdiksinya tanpa
izin dari negara yang memiliki yurisdiksi atau kegiatan penagkapan ikan
tersebut bertentangan dengan hukum dan peraturan negara;

19
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing, Jakarta, Sinar Grafika, 2015, hal 80.
20
Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan.
21
Nunung Mahmudah, Op Cit, hal 80.

9
2). Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan
berbedera salah satu negara yang bergabung sebagai anggota organisasi
pengelolaan perikanan regional;
3). Kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-
undangan suatu negara atau ketentuan internasional.22

C. Dasar Hukum Pengaturan Illegal Fishing

Dasar hukum yang menjadi landasan hukum pengaturan illegal fishing di


Indonesia adalah:

1) Undang-undang republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang


Perikanan.
Undang-undang ini merupakan perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Ada beberapa ketentuan yang
berhubungan dengan sesuatu larangan dalam hal penangkapan ikan
sehingga pasal berikut mengatur apa larangannya, kewajiban menjaga
kelestarian laut, serta besarnya sanksi yang akan diberikan.
2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tentang
Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia.
Undang-undang ini dibuat pada bulan Oktober 1983 dimasa
pemerintahan Suharto, sesuai dengan perkembangan hukum laut
internasional saat itu yang mengharuskan setiap negara pantai mempunyai
peraturan perundang-undangan yang mengatu masalah Zona Ekonomi
Eksklusif, sebagai jawaban dan respon terhadap konvensi PBB tentang
hukum laut UNCLOS III, yang kemudian dalam perkembangannya
Konvensi PBB itu diratifikasi menjadi hukum nasional Indonesia dengan
adanya Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985.
Di dalan Undang-undang ini dijelaskan bahwa pengertian Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut

22
Ibid.

10
wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan Undang-undang
yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di
bawahnya dan air do atasnya dengan batas terluar 200 mi laut diukur dari
garis pangkal laut wilayah Indonesia. Keterkaitannya dengan illegal
fishing terletak pada pengaturan garis batas ZEE yang sering digunakan
oleh pelaku illegal fishing sebagai tempat pelarian dari kejaran apparat
keamanan negara Indonesia, karena ternyata di dalam Undang-undang ini
ada celah untuk mengelak dari jerat hukum yaitu dengan adanya Pasal 4
ayat (3) yang berbunyi “di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, kebebasan
pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan
kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut
internasional yang berlaku.”
3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Perikanan
Undang-undang ini adalah pengganti Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1985 tentang Perikanan karena dianggap sudah tidak dapat
mengantisipasi
perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan
datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat
besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan,
kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode
pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern,
sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara hati-hati dengan
berdasarkan asas manfaat, keadilan,kemitraan, pemerataan, keterpaduan,
keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.

11
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Jadi kegiatan illegal fishing adalah perbuatan penangkapan ikan yang tidak
sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kegiatan illegal fishing juga sering menggunakan
peralatan yang berbahaya bagi kelangsungan kehidupan biota laut seperti karang
dan ikan-ikan kecil yang harus mati.

3.2 Saran
Dengan ditulisnya makalah ini, penulis ingin menyaraankan kepada pihak
yang berwenang untuk bertindak lebih tegas kepada para pelaku illegal fishing,
seperti yang kita ketahui beberapa tahun kebelakang penegakan hukum terhadap
pelaku illegal fishing yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan

12
seperti menenggelamkan kapal pelaku terbukti ampuh untuk mengurangi
kejahatan illegal fishing maka sudah seharusnya peraturan tersebut diperketat
lagi dan didukung emi kemajuan dunia perikanan Indonesia.

Daftar Pustaka
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosialogis), Jakarta, Gunung Agung
B. Arief Sidharta Meuwissen, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu
Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Bandung, Refika Aditama, 2007
Darji Darmnoharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta,
Gramedia Pustaka, 2006
Dian Saptarini, Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Wilayah Pesisir,
Kerjasama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Pembinaan Penelitian
dan Pengabdian pada Masyarakat) dengan Kementerian Negara Lingkungan
Hidup (Pusat Studi Lingkungan), Jakarta, 1996
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami
Hukum, Yogyakarta, Laksbang Presindo, 2010

13
H. Salim, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo
Perkasa, 2014
L.J. Van Alpedorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita
Marlina dan Faisal, Aspek Hukum Peran Masyarakat dalam Mencegah
Tindak Pidana Perikanan, Jakarta, Sofmedia, 2013
Moeljanto, Azaz-azaz Hukum Pidana, Rineka Cipta
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana, 2008
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya
Bakti, 1999
Suhana, IUU Fishing dan Kerentanan Sosial Nelayan
Supriadi dan Alimudin, Hukum Peikanan di Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika, 2001

14

Anda mungkin juga menyukai