OLEH :
KELOMPOK 15
CHEALSE TAMARA SULISTIO 110110160307
KARENINA AULIA PUTI C. 110110160308
SASKIA KUSUMAWARDANI 110110160309
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
BAB I
PUTUSAN
Tujuan diadakannya suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan
hakim.1 Putusan Hakim merupakan tindakan akhir dari Hakim di dalam persidangan, menentukan
apakah di hukum atau tidak si pelaku, jadi putusan Hakim adalah pernyataan dari seorang hakim
dalam memutuskan suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki kekuatan hukum tetap.
Perihal “putusan hakim” atau “putusan pengadilan” merupakan aspek penting dan diperlukan
untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena itu dapatlah dikonklusikan lebih jauh
bahwasanya “putusan hakim” disatu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum
(rech zekerheids) tentang “statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya
terhadap putusan tersebut dalam artian berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya
Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum, yaitu menetapkan
bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan
dalam suatu negara hukum. Untuk itu harus memerhatikan tiga faktor yang seyogyanya diterapkan
secara proporsional, yaitu: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Untuk dapat membuat
putusan yang benar-benar menciptakan kepastian dan mencerminkan keadilan bagi para pihak
yang berperkara, hakim harus mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum
tertulis dalam perundang-undangan maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum adat.
1
M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Cet. III, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2003, hlm. 48.
1. PENGERTIAN PUTUSAN
A. Sudikno Mertokusumo
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang
diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau masalah antar pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang
disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian
diucapkan oleh Hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai
B. Lilik Mulyadi
Putusan hakim adalah putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam
persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural
hukum acara pidan pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari
segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara.3
Putusan pengadilan adalah suatu putusan oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi
wewenang menjalankan kekuasaan kehakiman, yang 20 dituangkan dalam bentuk tertulis dan
kemudian diucapkan di persidangan serta bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu
gugatan.
2
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ketujuh, Yogyakarta: Liberty, 2006, hlm.
212.
3
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Prakter Peradilan, Bandung:
Mandar Maju. 2007. hlm. 127.
D. Ridwan Syahrani
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, suatu putusan hakim merupakan suatu
pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang
untuk itu yang diucapkan dimuka persidangan sesuai dengan perundangan yang ada yang menjadi
hukum bagi para pihak yang mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melaksanakan suatu
perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu perbuatan yang harus ditaati.4
2. ASAS-ASAS PUTUSAN
Asas yang mesti ditegakkan agar suatu putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat,
diatur dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 Rbg dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Menurut asas ini putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang
jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan itu dikategorikan putusan yang
Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan Pasal
35 Tahun 1999, sekarang dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu bahwa segala putusan pengadilan harus memuat
4
Rai Mantili dan Anita Afriana, Buku Ajar Hukum Acara Perdata, Bandung: Penerbit CV Kalam Media,
2015, hlm. 58.
alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, serta mencantumkan pasalpasal peraturan
berdasarkan sumber hukum lainnya, baik yang tertulis, seperti yurisprudensi atau doktrin
hukum, maupun yang tidak tertulis, seperti hukum kebiasaan atau hukum adat.
Bahkan menurut Pasal 178 ayat (1) H.I.R., hakim karena jabatannya atau secara ex
officio, wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang
berperkara. Artinya, bahwa dalam hal ini hakim harus dapat menemukan hukum yang tepat
guna mencukupi segala alasan-alasan dan dasar-dasar hukum dalam putusan sekiranya hal
Asas ini sebagimana yang digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) H.I.R., Pasal 189 ayat
(2) R.Bg. dan Pasal 50 Rv. Dimana dalam setiap putusannya hakim harus secara
menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Hakim tidak
boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja, dan mengabaikan gugatan selebihnya.
Karena cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang digariskan undang-
undang. Akibatnya, seperti pada asas sebelumnya, bahwa putusan hakim yang seperti itu
Asas ini digariskan dalam Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189 ayat (3) RBG, dan Pasal
50 Rv. Putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang diajukan dalam gugatan.
Larangan ini disebut ultra petitum partium. Jika hakim mengabulkan lebih dari tuntutan
dalam gugatan maka hakim dianggap telah melampaui batas wewenang dan harus
dinyatakan cacat meskipun hal ini dilakukan hakim dengan itikad baik maupun sesuai
Prinsip ini didasarkan oleh asas fair trial, menurut asas ini pemeriksaan
persidangan harus didasarkan pada proses yang jujur sejak awal sampai akhir. Prinsip
putusan diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum atau di muka
menjadi tidak sah atau tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagaimana yang
ditegaskan oleh Mahkamah Agung melalui S.E.M.A. No. 4 Tahun 1974 yang
dikeluarkan pada tanggal 16 September 1974. Prinsip ini bertolak belakang dengan
peradilan yang bersifat rahasia (secrecy) atau confidence sebagaimana dalam proses
pemeriksaan mediasi atau arbitrase, dengan maksud untuk menjaga kredibilitas para
5
R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita, 1977, hlm. 61.
Akibat hukum atas pelanggaran asas keterbukaan.
sidang terbuka.
Hal ini tidak terkecuali terhadap pemeriksaan yang dilakukan dalam sidang
Tahun 1975 menegaskan bahwa putusan gugatan perceraian harus tetap diucapkan
putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan dalam sidang
pengadilan. Menyimpang dari ketentuan itu, mengakibatkan putusan tidak sah dan
sidang.
televisi, dapat dilakukan langsung dari ruang sidang, dan hal ini sudah banyak
Secara garis besar putusan hakim atau yang lazim disebut putusan pengadilan diatur dalam
Pasal 185 H.I.R., Pasal 196 R.Bg., dan Pasal 46-48 Rv. Untuk itu, berdasarkan pasal-pasal yang
disebut di atas, maka dapat dikemukakan berbagai segi putusan hakim yang diklasifikasikan dalam
A. Menurut bentuknya, penyelesaian perkara oleh pengadilan dapat dibedakan menjadi dua
yaitu:
Putusan atau vonis adalah suatu putusan diambil untuk memutusi suatu perkara.
putusan yakni:
Putusan Sela
Sebelum menjatuhkan putusan akhir, ada kalanya hakim lebih dahulu harus
terhadap perkara yang akan atau sedang diperiksanya itu. Dalam hal yang demikian, maka
hakim dapat menjatuhkan putusan yang bersifat sementara, dan bukan merupakan putusan
akhir, atau dalam praktik putusan ini lebih dikenal dengan istilah putusan sela,
sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 185 ayat (1) H.I.R, 196 RBg, atau Pasal 48 Rv.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat ditarik definisi putusan sela adalah putusan
yang dijatuhkan sebelum putusan akhir, diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau
mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.6 Selain itu, putusan sela juga tidak dapat
berdiri sendiri tanpa adanya putusan akhir, sebab putusan sela merupakan satu kesatuan
dengan putusan akhir.7 Meskipun di persidangan putusan sela diucapkan secara terpisah
sebelum dijatuhkannya putusan akhir, namun putusan sela tidak dibuat dengan putusan
tersendiri, melainkan hanya ditulis dalam berita acara persidangan. Sehingga jika pihak
yang berperkara menginginkan sela itu, maka hakim hanya dapat memberikan salinan
Pada teori dan praktik dikenal beberapa jenis putusan yang muncul dari putusan
1. Putusan Preparatoir
melancarkan segala sesuatu guna mengadakan putusan akhir. Sifat putusan ini tidak
mempunyai pengaruh atas pokok perkara atau putusan akhir karena putusannya
pemeriksaan saksi-saksi.
6
H. Zainuddin Mappong, Eksekusi Putusan Serta Merta (Proses Gugatan Dan Cara Membuat Putusan Serta
Pelaksanaan Eksekusi Dalam Perkara Perdata), Malang: Tunggal Mandiri Publishing, 2010, hlm. 105.
7
Harahap, Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal. 880.
8
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. V, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti,
1992), hlm. 165.
9
M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 20.
Putusan yang memerintahkan tergugat supaya menghadap sendiri di
replik-duplik dan tahap pembuktian. Akan tetapi, dalam praktik hal ini
tahap-tahapnya.10
2. Putusan Interlocutoir
putusan ini dapat berpengaruh terhadap pokok perkara, atau dengan kata lain
10
Harahap. Op.cit.
11
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Cet. I, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004, hlm.
129.
Memerintahkan pemeriksaan keterangan ahli, berdasarkan pasal 154
HIR.
Jika hakim berpendapat atau atas permintaan salah satu pihak, perlu
karena sekarang Pengadilan Negeri hanya terdiri dari seorang hakim. Namun,
dapat dilakukan oleh hakim atau majelis hakim yang menangani perkara
interlocutoir.
yakni saksi yang diperlukan penggugat atau tergugat, tetapi tidak dapat
3. Putusan Incidenteel
atau peristiwa yang dapat menghentikan proses peradilan biasa untuk sementara.
Misalnya, kematian kuasa dari salah satu pihak, baik itu tergugat maupun
penggugat. Dalam teori dan praktik pada umumnya dikenal dua bentuk putusan
incidenteel, yaitu:
4. Putusan Provisionil
Diatur dalam Pasal 180 HIR, Pasal 191 RGB. Disebut juga provisionele
akhir mengenai pokok perkara dijatuhkan. Putisan ini juga merupakan putusan yang
12
Harahap. Op.cit.
menjawab tuntutan provisi yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan
tindakan pendahulu guna kepenntingan salah satu pihak sebelum putusan akhir
dijatuhkan.
Dalam beberapa literatur ada perbedaan pendapat mengenai sifat dari putusan
ini. Muhammad Nasir berpendapat bahwa sifat dari putusan ini adalah berhubungan
dan mempengaruhi pokok perkara sementara menurut Yahya Harahap putusan ini
tidak mengenai pokok perkara, tetapi hanya terbatas mengenai tindakan sementara,
dengan ancaman hukuman membayar uang paksa. Hal ini sebagaimana yang
ditegaskan dalam salah satu putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa
gugatan provisioneel seharusnya bertujuan agar ada tindakan sementara dari hakim
mengenai hal yang tidak termasuk pokok perkara, sehingga gugatan atau
gugatan atau permohonan provisioneel ini dapat diajukan dalam gugatan tersendiri
dan diajukan berbarengan dengan gugatan pokok. Akan tetapi, biasanya diajukan
bersama-sama dalam satu kesatuan dengan gugatan pokok, sebab tanpa gugatan
Dalam gugatan provisioneel ada beberapa syarat formil yang harus dipenuhi,
diantaranya:
provisioneel ada beberapa tata tertib yang harus dipatuhi oleh hakim dalam
singkat
Hal ini sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 283 Rv. yang
Bahkan pada prinsipnya harus diperiksa dan diputus pada saat itu juga.
diperbaiki.
Pada hakikatnya, secara tersirat Pasal 286 Rv. tidak memberi pilihan lain
Hal ini dapat terjadi apabila apa yang diminta dalam gugatan tidak
sama sekali.
besar.13
uitvoerbaar bij voorraad yang dapat mengakibatkan putusan ini dapat dilaksanakan
terlebih dahulu, meskipun perkara pokok belum diperiksa dan diputus. Hal ini
13
Ibid. hlm. 885-886.
dilakukan karena alasan yang sangat mendesak demi kepentingan salah satu pihak.
Misalnya:
Putusan yang menyatakan bahwa suami yang digugat oleh istrinya karena
dahulu kepada anak istrinya sebelum putusan akhir dijatuhkan, dan lain
sebagainya.
Putusan Akhir
Putusan akhir (eindvonnis) adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata pada
tingkat pemeriksaan tertentu. Perkara perdata dapat diperiksa pada 3 (tiga) tingkat
Putusan akhir ditinjau dari segi sifat amarnya (diktumnya) dapat dibedakan atas tiga
macam, yaitu:14
1) Putusan Declaratoir
keabsahan anak angkat menurut hukum, putusan ahli waris yang yang sah, putusan
14
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori Dan Praktik, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 211-212.
pemilik atas suatu benda yang sah. Pada dasarnya, tidak ada putusan yang tidak
bersifat atau mengandung amar declaratoir, baik itu putusan constitutief maupun
sendiri, tiada lain penegasan bahwa penggugat tidak berhak atau tidak memiliki
hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru. Misalnya: putusan
tidak ada lagi ikatan hukum antara suami dan istri sehingga putusan itu meniadakan
hubungan perkawinan yang ada, dan bersamaan dengan itu timbul keadaan hukum
yang baru kepada suami dan istri, yaitu sebagai janda dan duda), putusan yang
putusan condemnatoir ini terjadi disebabkan oleh karena dalam hubungan perikatan
antara penggugat dan tergugat yang bersumber pada perjanjian atau undang-undang
setempat.
Apabila ditinjau dari isinya, maka putusan hakim ini dapat dibagi dalam 2 (dua)
dihadiri oleh para pihak, dan untuk itu para pihak harus dipanggil secara patut.
Akan tetapi, terkadang meskipun para pihak telah dipanggil secara patut, tetap ada
kemungkinan bagi salah satu pihak untuk tidak hadir memenuhi panggilan tanpa
Apabila penggugat tidak datang pada hari sidang yang telah ditentukan,
maka dalam hal ini hakim dapat dan berwenang untuk menjatuhkan
dalam Pasal 124 H.I.R. Sementara akibat hukum yang timbul dari
Putusan verstek
ditentukan, meskipun telah dipanggil secara patut dan sah. Putusan ini
diatur dalam Pasal 125 ayat (1) H.I.R. dan Pasal 78 Rv. Adapun bentuk
murni dan bulat berdasarkan Pasal 174 H.I.R. dan Pasal 1925 K.U.H.Per.
dan atas dasar anggapan pengakuan tersebut, maka gugatan penggugat
dikabulkan, kecuali jika gugatan itu tanpa hak atau tanpa dasar hukum.
Putusan contradictoir
Bentuk putusan ini ditinjau dari segi kehadiran para pihak pada saat
apabila ditinjau dari segi ini, maka terdapat 2 (dua) jenis putusan
contradictoir, yaitu:
Hal ini dapat terjadi apabila pada waktu putusan dijatuhkan dan
Pasal 81 Rv. Putusan ini dapat dijatuhkan apabila baik pada sidang
bersangkutan selalu hadir, atau mungkin juga salah satu sidang tidak
hadir, atau pada sidang-sidang yang lain selalu hadir, akan tetapi
pada saat putusan diucapkan, pihak tersebut atau salah satu pihak
tidak hadir.
Terdapat berbagai ragam cacat formil yang menjadi dasar bagi hakim
berikut:
persona;
Gugatan daluwarsa.
b) Menolak gugatan penggugat
menyatakan tidak dapat diterima sebagian yang lain. Atau dapat juga
dimiliki hakim dalam memeriksa setiap perkara, dan pada dasarnya setiap
Secara garis besar, formulasi putusan diatur dalam Pasal 184 ayat (1) H.I.R. atau Pasal 195
R.Bg., serta Pasal 25 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Suatu putusan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi,
“Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa” (Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 14 tahun
1970). Kepala ini memberi kekuatan eksekutorial pada putusan apabila tidak dibubuhkan
Dalam putusan harus dimuat identitas dari pihak: nama, alamat, pekerjaan, dan nama
dari pengacaranya kalau para pihak menguasakan pekerjaan kepada orang lain.
Dalil gugatan dalam putusan cukup dijelaskan dengan singkat dasar hukum dan
hubungan hukum serta fakta yang menjadi dasar gugatan. Apabila suatu putusan tidak
mencantumkan dalil gugatan, maka putusan tersebut dianggap tidak mempunyai titik tolak,
karena dalil gugatan adalah landasan titik tolak periksaan perkara, dan akibatnya putusan
tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum, karena bertentangan dengan Pasal 184 ayat
(1) H.I.R. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung No.
312K/Sip/1974.
Pengertian jawaban dalam arti luas, meliputi replique dan duplique serta kesimpulan.
Pertimbangan atau alasan putusan hakim terdiri atas dua bagian yaitu pertimbangan
tentang duduk perkara dan pertimbangan tentang hukumnya. Pertimbangan disini berisi
analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim yang memeriksa
perkara. Biasanya terhadap pertimbangan ini sering kali dijadikan alasan atau dasar bagi
pihak yang dikalahkan untuk melakukan upaya hukum selanjutnya, dengan menganggap
bahwa suatu putusan tidak memiliki cukup pertimbangan, sehingga berharap putusan
Pada pasal 184 HIR, 195 RBG, 23 UU Nomor 14 tahun 1970, menentukan bahwa
setiap putusan dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan
jelas, alasan dan dasar putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya
perkara, serta hadir tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada waktu putusan diucapkan.
dalam putusan, digariskan dalam Pasal 184 ayat (2) HIR. dan Pasal 25 ayat (1) Undang-
Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa segala
putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, harus juga
memuat pasal-pasal tertentu dan peraturan perundangan yang menjadi landasan putusan,
atau juga menyebut dengan jelas sumber hukum tak tertulis yang menjadi dasar
dengan status dan hubungan hukum antara para pihak dengan obyek yang disengketakan.
Dalam amar putusan dimuat suatu pernyataan hukum, penetapan suatu hak, lenyap atau
timbulnya keadaan hukum dan isi putusan yang berupa pembebanan suatu prestasi tertentu.
Dalam diktum itu ditetapkan siapa yang berhak atau siapa yang benar atau pokok
perselisihan. Dan juga berisi perintah atau penghukuman (condemnatoir) yang ditimpakan
kepada pihak yang berperkara. Untuk itu, amar putusan harus jelas dan ringkas
Pencantuman biaya perkara dalam putusan diatur dalam Pasal 184 ayat (1) HIR dan
Pasal 187 RBG, bahkan dalam Pasal 183 ayat (1) HIR dan Pasal 194 RBG. Dinyatakan
bahwa banyaknya biaya perkara yang dijatuhkan kepada pihak yang berperkara.
Putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang
menurut ketentuan undang-undang masih terbuka kesempatan untuk menggunakan upaya hukum
melawan putusan itu, misalnya perlawanan (verzet), banding, atau kasasi. Sedangkan putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang-undang
tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa (perlawanan (verzet), banding,
atau kasasi) melawan putusan itu. Jadi putusan itu tidak dapat lagi diganggu gugat. Putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata mempunyai 3 (tiga) macam
kekuatan:
Kekuatan Mengikat (Bindende Kracht)
sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Apabila pihak yang bersengketa tidak
dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka secara damai, dan kemudian menyerahkan
dan mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa dan
diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersengketa akan tunduk
dan patuh pada putusan yang dijatuhkan, sehingga putusan itu mempunyai kekuatan
Dituangkannya putusan dalam bentuk tertulis, yang merupakan akta otentik, tidak
lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin
diperlukannya untuk mengajukan upaya hukum. Karena meskipun putusan hakim atau
putusan pengadilan tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga, namun
Kekuatan mengikat suatu putusan pengadilan belum cukup dan tidak berarti
apabila putusan itu tidak direalisasi atau dilaksanakan, karena putusan itu menetapkan
dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisasi, maka putusan hakim tersebut
mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang telah
ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat negara. Sebenarnya yang memberi
kekuatan executoriaal kepada putusan hakim atau putusan pengadilan adalah kata-kata,
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang ada pada setiap putusan.
Akan tetapi, tidak semua putusan dapat dilaksanakan secara paksa oleh
pengadilan. Hanya putusan condemnatoir sajalah yang dapat dilaksanakan secara paksa
oleh pengadilan, sementara putusan declatoir dan constitutif tidaklah memerlukan sarana-