Anda di halaman 1dari 27

TUGAS HUKUM PERDATA

PUTUSAN DAN UPAYA HUKUM

Dosen : Linda Rachmainy, S.H., M.H.

Rai Mantili, S.H., M.H.

OLEH :

KELOMPOK 15
CHEALSE TAMARA SULISTIO 110110160307
KARENINA AULIA PUTI C. 110110160308
SASKIA KUSUMAWARDANI 110110160309

Disusun untuk memenuhi nilai tugas Hukum Acara Perdata kelas E

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2018
BAB I

PUTUSAN

Tujuan diadakannya suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan

hakim.1 Putusan Hakim merupakan tindakan akhir dari Hakim di dalam persidangan, menentukan

apakah di hukum atau tidak si pelaku, jadi putusan Hakim adalah pernyataan dari seorang hakim

dalam memutuskan suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki kekuatan hukum tetap.

Perihal “putusan hakim” atau “putusan pengadilan” merupakan aspek penting dan diperlukan

untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena itu dapatlah dikonklusikan lebih jauh

bahwasanya “putusan hakim” disatu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum

(rech zekerheids) tentang “statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya

terhadap putusan tersebut dalam artian berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya

hukum verzet, banding atau kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya.

Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum, yaitu menetapkan

bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan

dalam suatu negara hukum. Untuk itu harus memerhatikan tiga faktor yang seyogyanya diterapkan

secara proporsional, yaitu: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Untuk dapat membuat

putusan yang benar-benar menciptakan kepastian dan mencerminkan keadilan bagi para pihak

yang berperkara, hakim harus mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum

tertulis dalam perundang-undangan maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum adat.

1
M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Cet. III, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2003, hlm. 48.
1. PENGERTIAN PUTUSAN

A. Sudikno Mertokusumo

Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang

diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau

menyelesaikan suatu perkara atau masalah antar pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang

disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian

diucapkan oleh Hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai

kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim.2

B. Lilik Mulyadi

Putusan hakim adalah putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam

persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural

hukum acara pidan pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari

segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara.3

C. Bab I Pasal 1 angka 5 Rancangan Undang-undang Hukum Acara Perdata

Putusan pengadilan adalah suatu putusan oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi

wewenang menjalankan kekuasaan kehakiman, yang 20 dituangkan dalam bentuk tertulis dan

kemudian diucapkan di persidangan serta bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu

gugatan.

2
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ketujuh, Yogyakarta: Liberty, 2006, hlm.
212.
3
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Prakter Peradilan, Bandung:
Mandar Maju. 2007. hlm. 127.
D. Ridwan Syahrani

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang

terbuka untuk umum untuk menyelesaikan dan mengakhiri perkara perdata.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, suatu putusan hakim merupakan suatu

pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang

untuk itu yang diucapkan dimuka persidangan sesuai dengan perundangan yang ada yang menjadi

hukum bagi para pihak yang mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melaksanakan suatu

perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu perbuatan yang harus ditaati.4

2. ASAS-ASAS PUTUSAN

Asas yang mesti ditegakkan agar suatu putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat,

diatur dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 Rbg dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman, antara lain:

A. Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci;

Menurut asas ini putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang

jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan itu dikategorikan putusan yang

tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd (insufficient judgement).

Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan Pasal

23 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No.

35 Tahun 1999, sekarang dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu bahwa segala putusan pengadilan harus memuat

4
Rai Mantili dan Anita Afriana, Buku Ajar Hukum Acara Perdata, Bandung: Penerbit CV Kalam Media,
2015, hlm. 58.
alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, serta mencantumkan pasalpasal peraturan

perundang-undangan tertentu yang bersangkutan dengan perkara yang diputus atau

berdasarkan sumber hukum lainnya, baik yang tertulis, seperti yurisprudensi atau doktrin

hukum, maupun yang tidak tertulis, seperti hukum kebiasaan atau hukum adat.

Bahkan menurut Pasal 178 ayat (1) H.I.R., hakim karena jabatannya atau secara ex

officio, wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang

berperkara. Artinya, bahwa dalam hal ini hakim harus dapat menemukan hukum yang tepat

guna mencukupi segala alasan-alasan dan dasar-dasar hukum dalam putusan sekiranya hal

tersebut tidak dikemukakan oleh para pihak yang berperkara.

B. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan

Asas ini sebagimana yang digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) H.I.R., Pasal 189 ayat

(2) R.Bg. dan Pasal 50 Rv. Dimana dalam setiap putusannya hakim harus secara

menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Hakim tidak

boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja, dan mengabaikan gugatan selebihnya.

Karena cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang digariskan undang-

undang. Akibatnya, seperti pada asas sebelumnya, bahwa putusan hakim yang seperti itu

dapat dibatalkan pada tingkat selanjutnya.

C. Tidak Boleh Mengabulkan Melebih Tuntutan

Asas ini digariskan dalam Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189 ayat (3) RBG, dan Pasal

50 Rv. Putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang diajukan dalam gugatan.

Larangan ini disebut ultra petitum partium. Jika hakim mengabulkan lebih dari tuntutan

dalam gugatan maka hakim dianggap telah melampaui batas wewenang dan harus
dinyatakan cacat meskipun hal ini dilakukan hakim dengan itikad baik maupun sesuai

dengan kepentingan umum.

D. Diucapkan di muka umum

 Prinsip keterbukaan untuk umum bersifat imperatif (memaksa).

Prinsip ini didasarkan oleh asas fair trial, menurut asas ini pemeriksaan

persidangan harus didasarkan pada proses yang jujur sejak awal sampai akhir. Prinsip

putusan diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum atau di muka

umum, ditegaskan dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman, yaitu:

Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum


apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa prinsip keterbukaan ini

bersifat memaksa (imperatief)5, sehingga tidak dapat dikesampingkan, mengingat

pelanggaran atas prinsip keterbukaan ini mengakibatkan putusan yang dijatuhkan

menjadi tidak sah atau tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagaimana yang

ditegaskan oleh Mahkamah Agung melalui S.E.M.A. No. 4 Tahun 1974 yang

dikeluarkan pada tanggal 16 September 1974. Prinsip ini bertolak belakang dengan

peradilan yang bersifat rahasia (secrecy) atau confidence sebagaimana dalam proses

pemeriksaan mediasi atau arbitrase, dengan maksud untuk menjaga kredibilitas para

pihak yang bersengketa.

5
R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita, 1977, hlm. 61.
 Akibat hukum atas pelanggaran asas keterbukaan.

Pelanggaran terhadap prinsip keterbukaan dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2)

jo Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,

mengakibatkan; tidak sah, atau tidak mempunyai kekuatan hukum.

 Dalam hal pemeriksaan secara tertutup, putusan tetap diucapkan dalam

sidang terbuka.

Hal ini tidak terkecuali terhadap pemeriksaan yang dilakukan dalam sidang

tertutup. Khususnya dalam bidang hukum keluarga, seperti misalnya perkara

perceraian. Sebab meskipun peraturan perundang-undangan membenarkan perkara

perceraian diperiksa secara tertutup, namun Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 9

Tahun 1975 menegaskan bahwa putusan gugatan perceraian harus tetap diucapkan

dalam sidang yang terbuka untuk umum.

 Diucapkan di dalam sidang pengadilan.

Selain persidangan harus terbuka untuk umum, pemeriksaan dan pengucapan

putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan dalam sidang

pengadilan. Menyimpang dari ketentuan itu, mengakibatkan putusan tidak sah dan

tidak mempunyai kekuatan.

 Radio dan televisi dapat menyiarkan langsung pemeriksaan dari ruang

sidang.

Sesuai dengan perkembangan jaman, penyiaran dan penayangan radio dan

televisi, dapat dilakukan langsung dari ruang sidang, dan hal ini sudah banyak

diterapkan di berbagai negara.


3. JENIS-JENIS PUTUSAN

Secara garis besar putusan hakim atau yang lazim disebut putusan pengadilan diatur dalam

Pasal 185 H.I.R., Pasal 196 R.Bg., dan Pasal 46-48 Rv. Untuk itu, berdasarkan pasal-pasal yang

disebut di atas, maka dapat dikemukakan berbagai segi putusan hakim yang diklasifikasikan dalam

beberapa jenis putusan.

A. Menurut bentuknya, penyelesaian perkara oleh pengadilan dapat dibedakan menjadi dua

yaitu:

 Putusan atau vonis adalah suatu putusan diambil untuk memutusi suatu perkara.

 Penetapan atau beschikking adalah suatu penetapan diambil berhubungan dengan

suatu permohonan yaitu dalam rangka yang dinamakan yurisdiksi voluntair.

B. Menurut golongannya, suatu putusan pengadilan dikenal dua macam penggolongan

putusan yakni:

Putusan Sela

Sebelum menjatuhkan putusan akhir, ada kalanya hakim lebih dahulu harus

mengambil putusan mengenai suatu masalah yang menyangkut jalannya pemeriksaan

terhadap perkara yang akan atau sedang diperiksanya itu. Dalam hal yang demikian, maka

hakim dapat menjatuhkan putusan yang bersifat sementara, dan bukan merupakan putusan

akhir, atau dalam praktik putusan ini lebih dikenal dengan istilah putusan sela,

sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 185 ayat (1) H.I.R, 196 RBg, atau Pasal 48 Rv.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat ditarik definisi putusan sela adalah putusan

yang dijatuhkan sebelum putusan akhir, diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau
mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.6 Selain itu, putusan sela juga tidak dapat

berdiri sendiri tanpa adanya putusan akhir, sebab putusan sela merupakan satu kesatuan

dengan putusan akhir.7 Meskipun di persidangan putusan sela diucapkan secara terpisah

sebelum dijatuhkannya putusan akhir, namun putusan sela tidak dibuat dengan putusan

tersendiri, melainkan hanya ditulis dalam berita acara persidangan. Sehingga jika pihak

yang berperkara menginginkan sela itu, maka hakim hanya dapat memberikan salinan

otentik dari berita acara tersebut dengan membayar biayanya.8

Pada teori dan praktik dikenal beberapa jenis putusan yang muncul dari putusan

sela antara lain:9

1. Putusan Preparatoir

Adalah putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk

melancarkan segala sesuatu guna mengadakan putusan akhir. Sifat putusan ini tidak

mempunyai pengaruh atas pokok perkara atau putusan akhir karena putusannya

dimaksudkan untuk mempersiapkan putusan akhir. Misalnya:

 Putusan yang menolak atau menerima penundaan sidang untuk

pemeriksaan saksi-saksi.

 Putusan yang menolak atau menerima penundaan sidang untuk

pemeriksaan saksi ahli.

6
H. Zainuddin Mappong, Eksekusi Putusan Serta Merta (Proses Gugatan Dan Cara Membuat Putusan Serta
Pelaksanaan Eksekusi Dalam Perkara Perdata), Malang: Tunggal Mandiri Publishing, 2010, hlm. 105.
7
Harahap, Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal. 880.
8
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. V, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti,
1992), hlm. 165.
9
M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 20.
 Putusan yang memerintahkan tergugat supaya menghadap sendiri di

persidangan pengadilan untuk dimintai keterangan langsung tentang

terjadinya peristiwa hukum yang sebenarnya walaupun tergugat telah

diwakili oleh kuasa hukumnya dan lain sebagainya.

 Putusan yang menetapkan bahwa gugatan balik (gugatan dalam

reconventie) tidak akan diputus bersama-sama dengan gugatan dalam

konvensi atau sebelum hakim memulai pemeriksaan, lebih dahulu

menjatuhkan putusan tentang tahap-tahap proses atau jadwal

persidangan. Umpamanya pembatasan tahap jawab-menjawab atau

replik-duplik dan tahap pembuktian. Akan tetapi, dalam praktik hal ini

jarang terjadi. Proses pemeriksaan berjalan dan berlangsung sesuai

dengan kebijakan hakim, yaitu dengan memperhitungkan tenggang

pemunduran persidangan oleh hakim tanpa lebih dahulu ditentukan

tahap-tahapnya.10

2. Putusan Interlocutoir

Putusan Interlocutoir merupakan bentuk khusus putusan sela yang dapat

berisi bermacam-macam perintah yang menyangkut masalah pembuktian, sehingga

putusan ini dapat berpengaruh terhadap pokok perkara, atau dengan kata lain

putusan ini dapat mempengaruhi putusan akhir11.

10
Harahap. Op.cit.
11
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Cet. I, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004, hlm.
129.
 Memerintahkan pemeriksaan keterangan ahli, berdasarkan pasal 154

HIR.

Apabila hakim secara ex officio maupun atas permintaan salah satu

pihak, menganggap perlu mendengar pendapat ahli yang kompeten

menjelaskan hal yang belum terang tentang masalah yang disengketakan.

 Memerintahkan pemeriksaan setempat (gerechtelijke

plaatssopmening) berdasarkan Pasal 153 HIR.

Jika hakim berpendapat atau atas permintaan salah satu pihak, perlu

dilakukan pemeriksaan setempat maka pelaksanaannya dituangkan dalam

putusan interlocutoir yang berisi perintah kepada Hakim Komisaris dan

Panitera untuk melaksanakannya. Akan tetapi, pasal ini ditiadakan oleh

karena sekarang Pengadilan Negeri hanya terdiri dari seorang hakim. Namun,

berdasarkan S.E.M.A. No. 7 Tahun 2001 pemeriksaan setempat ini tetap

dapat dilakukan oleh hakim atau majelis hakim yang menangani perkara

dengan dibantu oleh Panitera Pengganti.

 Memerintahkan pengucapan atau pengangkatan sumpah baik sumpah

penentu atau tambahan berdasarkan Pasal 155 HIR, Pasal 1929

KUHPerdata maka pelaksanaannya dituangkan dalam putusan

interlocutoir.

 Memerintahkan pemanggilan para saksi berdasarkan Pasal 139 HIR

yakni saksi yang diperlukan penggugat atau tergugat, tetapi tidak dapat

menghadirkannya berdasarkan pasal 121 HIR, pihak yang


berkepentingan dapat meminta kepada hakim supaya saksi tersebut

dipanggil secara resmi oleh juru sita.

 Memerintahkan pemeriksaan pembukuan perusahaan yang terlibat

dalam suatu sengketa oleh akuntan publik yang independen.12

3. Putusan Incidenteel

Putusan incidenteel adalah putusan sela yang berhubungan dengan insident

atau peristiwa yang dapat menghentikan proses peradilan biasa untuk sementara.

Misalnya, kematian kuasa dari salah satu pihak, baik itu tergugat maupun

penggugat. Dalam teori dan praktik pada umumnya dikenal dua bentuk putusan

incidenteel, yaitu:

 Putusan atas tuntutan agar pihak penggugat mengadakan jaminan

terlebih dahulu sebelum dilaksanakan putusan serta merta. Putusan

incidenteel yang dikaitkan dengan pelaksanaan sita jaminan

(consevatoir beslag) ini disebut cautio judicatum solvi.

 Putusan yang memperbolehkan pihak ketiga turut serta dalam suatu

perkara (voeging, tusschenkomst, vrijwaring) dan sebagainya.

4. Putusan Provisionil

Diatur dalam Pasal 180 HIR, Pasal 191 RGB. Disebut juga provisionele

beschikking, yakni keputusan yang bersifat sementara atau interm award

(temporary disposal) yang berisi tindakan sementara menunggu sampai putusan

akhir mengenai pokok perkara dijatuhkan. Putisan ini juga merupakan putusan yang

12
Harahap. Op.cit.
menjawab tuntutan provisi yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan

tindakan pendahulu guna kepenntingan salah satu pihak sebelum putusan akhir

dijatuhkan.

Dalam beberapa literatur ada perbedaan pendapat mengenai sifat dari putusan

ini. Muhammad Nasir berpendapat bahwa sifat dari putusan ini adalah berhubungan

dan mempengaruhi pokok perkara sementara menurut Yahya Harahap putusan ini

tidak mengenai pokok perkara, tetapi hanya terbatas mengenai tindakan sementara,

misalnya melarang untuk meneruskan pembangunan di atas tanah terperkara

dengan ancaman hukuman membayar uang paksa. Hal ini sebagaimana yang

ditegaskan dalam salah satu putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa

gugatan provisioneel seharusnya bertujuan agar ada tindakan sementara dari hakim

mengenai hal yang tidak termasuk pokok perkara, sehingga gugatan atau

permohonan provisioneel mengenai pokok perkara harus ditolak. Pada dasarnya

gugatan atau permohonan provisioneel ini dapat diajukan dalam gugatan tersendiri

dan diajukan berbarengan dengan gugatan pokok. Akan tetapi, biasanya diajukan

bersama-sama dalam satu kesatuan dengan gugatan pokok, sebab tanpa gugatan

pokok, gugatan provisioneel tidak mungkin diajukan, karena itu gugatan

provisioneel merupakan accessoir dari gugatan pokok.

Dalam gugatan provisioneel ada beberapa syarat formil yang harus dipenuhi,

diantaranya:

 Gugatan provisioneel harus memuat dasar alasan permintaan yang

menjelaskan urgensi dan relevansinya;


 Gugatan provisioneel harus mengemukakan dengan jelas tindakan

sementara apa yang harus diputuskan;

 Gugatan provisioneel tidak boleh menyangkut materi pokok perkara.

Sementara dalam proses pemeriksaan perkara, dengan adanya gugatan

provisioneel ada beberapa tata tertib yang harus dipatuhi oleh hakim dalam

menangani perkara, diantaranya adalah:

1) Mendahulukan pemeriksaan gugatan provisioneel

Dengan adanya gugatan provisioneel, maka hakim dilarang untuk lebih

dahulu melakukan pemeriksaan terhadap pokok perkara, tetapi harus lebih

mendahulukan pemeriksaan terhadap gugatan provisioneel.

2) Sistem pemeriksaan gugatan provisioneel mempergunakan prosedur

singkat

Hal ini sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 283 Rv. yang

menghendaki bahwa gugatan provisioneel harus segera diberikan putusan.

Bahkan pada prinsipnya harus diperiksa dan diputus pada saat itu juga.

Namun, Pasal 285 Rv. memberi kemungkinan untuk menunda atau

memundurkan pemeriksaan dengan syarat apabila hal itu tidak

menimbulkan kerugian yang besar atau kerugian yang tidak dapat

diperbaiki.

3) Harus menjatuhkan putusan provisioneel

Pada hakikatnya, secara tersirat Pasal 286 Rv. tidak memberi pilihan lain

kepada hakim, selain daripada harus menjatuhkan putusan atas gugatan

provisioneel tersebut, dan putusan yang dijatuhkan tidak boleh


menimbulkan kerugian terhadap pokok perkara. Adapun putusan yang

dapat dijatuhkan hakim antara lain:

 Menyatakan gugatan provisioneel tidak dapat diterima

Hal ini dapat dikarenakan gugatan provisioneel bukan merupakan

tindakan sementara, tetapi sudah menyangkut materi pokok

perkara. Sehingga dapat dikatakan bahwa gugatan tersebut tidak

memenuhi syarat formil yang telah ditentukan oleh undang-undang.

 Menolak gugatan provisioneel

Hal ini dapat terjadi apabila apa yang diminta dalam gugatan tidak

ada kaitannya dengan pokok perkara atau tidak ada urgensinya

sama sekali.

 Mengabulkan gugatan provisioneel

Adapun alasan yang cukup untuk dapat mengabulkan gugatan

provisioneel yakni apabila secara obyektif dan realistis gugatan

provisioneel berkaitan erat dengan pokok perkara dan apabila tidak

diambil tindakan sementara akan menimbulkan kerugian yang

besar.13

Dalam putusan provisioneel melekat langsung putusan serta merta atau

uitvoerbaar bij voorraad yang dapat mengakibatkan putusan ini dapat dilaksanakan

terlebih dahulu, meskipun perkara pokok belum diperiksa dan diputus. Hal ini

13
Ibid. hlm. 885-886.
dilakukan karena alasan yang sangat mendesak demi kepentingan salah satu pihak.

Misalnya:

 Putusan dalam perkara perceraian dimana pihak istri mohon agar

diperkenankan meninggalkan tempat tinggal bersama suami selama dalam

proses persidangan berlangsung.

 Putusan yang menyatakan bahwa suami yang digugat oleh istrinya karena

telah melalaikan kewajibannya untuk memberikan nafkah kepada anak

istrinya, agar suami tersebut dihukum untuk membayar nafkah terlebih

dahulu kepada anak istrinya sebelum putusan akhir dijatuhkan, dan lain

sebagainya.

Putusan Akhir

Putusan akhir (eindvonnis) adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata pada

tingkat pemeriksaan tertentu. Perkara perdata dapat diperiksa pada 3 (tiga) tingkat

pemeriksaan, yaitu pemeriksaan tingkat pertama di pengadilan negeri, pemeriksaan tingkat

banding di pengadilan tinggi, dan pemeriksaan tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

Putusan akhir ditinjau dari segi sifat amarnya (diktumnya) dapat dibedakan atas tiga

macam, yaitu:14

1) Putusan Declaratoir

Putusan declaratoir adalah putusan yang hanya menegaskan atau

menyatakan suatu keadaan hukum semata-mata. Misalnya: putusan tentang

keabsahan anak angkat menurut hukum, putusan ahli waris yang yang sah, putusan

14
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori Dan Praktik, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 211-212.
pemilik atas suatu benda yang sah. Pada dasarnya, tidak ada putusan yang tidak

bersifat atau mengandung amar declaratoir, baik itu putusan constitutief maupun

putusan condemnatoir. Misalnya sengketa perkara perbuatan melawan hukum

berdasarkan Pasal 1365 K.U.H.Per. Jika gugatan dikabulkan, putusan didahului

dengan amar declaratoir berupa pernyataan, bahwa tergugat terbukti bersalah

melakukan perbuatan melawan hukum. Bahkan putusan yang menolak gugatan

pun, mengandung pernyataan, bahwa gugatan penggugat ditolak. Penolakan itu

sendiri, tiada lain penegasan bahwa penggugat tidak berhak atau tidak memiliki

status atas masalah yang disengketakan.

2) Putusan Constitutief (Pengaturan)

Putusan Constitutief adalah putusan yang dapat meniadakan suatu keadaan

hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru. Misalnya: putusan

tentang perceraian (merupakan putusan yang meniadakan keadaan hukum yakni

tidak ada lagi ikatan hukum antara suami dan istri sehingga putusan itu meniadakan

hubungan perkawinan yang ada, dan bersamaan dengan itu timbul keadaan hukum

yang baru kepada suami dan istri, yaitu sebagai janda dan duda), putusan yang

menyatakan bahwa seseorang jatuh pailit, putusan tidak berwenangnya pengadilan

menangani suatu perkara.

3) Putusan Condemnatoir (Menghukum)

Putusan Condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak

yang dikalahkan dalam persidangan untuk memenuhi prestasi. Pada umumnya

putusan condemnatoir ini terjadi disebabkan oleh karena dalam hubungan perikatan
antara penggugat dan tergugat yang bersumber pada perjanjian atau undang-undang

telah terjadi wanprestasi dan perkaranya diselesaikan di pengadilan. Misalnya:

 Hukuman untuk meyerahkan sebidang tanah beserta bangunan rumah

yang berdiri diatasnya sebagai pelunasan utang.

 Hukuman untuk membayar sejumlah uang.

 Hukuman untuk membayar ganti rugi.

 Hukuman untuk menyerahkan barang-barang jaminan baik terhadap

barang-barang bergerak maupun tidak bergerak. Dalam putusan

condemnatoir ini mempunyai kekuatan mengikat terhadap salah satu

pihak yang dikalahkan dalam persidangan untuk memenuhi prestasinya

sesuai dengan perjanjian yang telah mereka sepakati bersama ditambah

dengan bunga dan biaya persidangan dan eksekusi, yang mana

pelaksnaan eksekusi terhadap barang-barang yang menjadi jaminan atas

perikatan dapat dilaksanakan dengan cara paksa oleh panitera

pengadilan yang dibantu oleh aparat teritorial (aparat pemerintah)

setempat.

Apabila ditinjau dari isinya, maka putusan hakim ini dapat dibagi dalam 2 (dua)

bentuk permasalahan, yaitu:

1) Dalam aspek kehadiran para pihak

Pada prinsipnya, setiap penyelesaian sengketa di sidang pengadilan harus

dihadiri oleh para pihak, dan untuk itu para pihak harus dipanggil secara patut.

Akan tetapi, terkadang meskipun para pihak telah dipanggil secara patut, tetap ada
kemungkinan bagi salah satu pihak untuk tidak hadir memenuhi panggilan tanpa

alasan yang jelas. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka undang-undang

memberi kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan putusan, sebagai ganjaran

atas tindakan tersebut. Putusan yang dimaksud antara lain:

 Putusan gugatan gugur

Apabila penggugat tidak datang pada hari sidang yang telah ditentukan,

atau tidak menghadirkan wakilnya padahal telah dipanggil secara patut,

maka dalam hal ini hakim dapat dan berwenang untuk menjatuhkan

putusan menggugurkan gugatan penggugat, dan bersamaan dengan itu

penggugat dihukum membayar biaya perkara, sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 124 H.I.R. Sementara akibat hukum yang timbul dari

putusan adalah pihak tergugat dilepaskan dari dugaan bersalah

sebagaimana yang dikemukakan dalam gugatan penggugat, dan satu-

satunya upaya yang dapat ditempuh pengugat untuk menghadapi putusan

ini hanyalah mengajukan gugatan baru.

 Putusan verstek

Putusan ini merupakan suatu hukuman yang diberikan undang-undang

kepada tergugat atas keingkarannya menghadiri persidangan yang telah

ditentukan, meskipun telah dipanggil secara patut dan sah. Putusan ini

diatur dalam Pasal 125 ayat (1) H.I.R. dan Pasal 78 Rv. Adapun bentuk

hukuman yang dikenakan kepada tergugat dalam putusan ini yakni

bahwa tergugat dianggap mengakui dalil gugatan penggugat secara

murni dan bulat berdasarkan Pasal 174 H.I.R. dan Pasal 1925 K.U.H.Per.
dan atas dasar anggapan pengakuan tersebut, maka gugatan penggugat

dikabulkan, kecuali jika gugatan itu tanpa hak atau tanpa dasar hukum.

Sementara bagi tergugat, upaya yang dapat ditempuh untuk menghadapi

putusan verstek adalah mengajukan perlawanan atau verzet, dalam

tenggang waktu selambat-lambatnya 14 (empat) belas hari sejak putusan

verstek diberitahukan kepada tergugat.

 Putusan contradictoir

Bentuk putusan ini ditinjau dari segi kehadiran para pihak pada saat

putusan diucapkan. Terdapat perbedaan yang fundamental dalam putusan

verstek dan contradictoir, yaitu pengambilan putusan verstek harus

didasarkan atas ketidakhadiran tergugat pada sidang pertama tanpa

alasan yang jelas. Sedang putusan contradictoir, ketidakhadiran itu

terjadi pada saat putusan dijatuhkan. Dan menurut Yahya Harahap,

apabila ditinjau dari segi ini, maka terdapat 2 (dua) jenis putusan

contradictoir, yaitu:

a) Pada saat putusan diucapkan para pihak hadir

Hal ini dapat terjadi apabila pada waktu putusan dijatuhkan dan

diucapkan hakim, pihak penggugat dan tergugat atau kuasanya

datang menghadiri persidangan, namun kemungkinan pada

sidangsidang sebelumnya, salah satu pihak, penggugat atau tergugat

pernah tidak datang menghadiri sidang.

b) Pada saat putusan diucapkan salah satu pihak tidak hadir


Bentuk ini mengacu kepada ketentuan Pasal 127 H.I.R. dan

Pasal 81 Rv. Putusan ini dapat dijatuhkan apabila baik pada sidang

pertama maupun sidang-sidang berikutnya, pihak yang

bersangkutan selalu hadir, atau mungkin juga salah satu sidang tidak

hadir, atau pada sidang-sidang yang lain selalu hadir, akan tetapi

pada saat putusan diucapkan, pihak tersebut atau salah satu pihak

tidak hadir.

2) Dalam menetapkan secara pasti hubungan hukum antara para pihak

a) Menyatakan gugatan tidak dapat diterima

Terdapat berbagai ragam cacat formil yang menjadi dasar bagi hakim

untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima, antara lain sebagai

berikut:

 Pihak yang mengajukan gugatan adalah kuasa yang tidak

didukung oleh surat kuasa khusus yang memenuhi syarat

atau ketentuan yang berlaku; Gugatan mengandung error in

persona;

 Gugatan di luar yuridiksi absolut atau relatief pengadilan;

 Gugatan obscuur libel;

 Gugatan yang diajukan mengandung unsur ne bis in idem;

 Gugatan masih prematur;

 Gugatan daluwarsa.
b) Menolak gugatan penggugat

Alasan bagi hakim menjatuhkan putusan akhir menolak gugatan

penggugat, apabila penggugat tidak mampu membuktikan dalil gugatan,

disebabkan alat bukti yang diajukan tidak memenuhi batas minimal

pembuktian, atau alat bukti yang diajukan penggugat, dilumpuhkan dengan

bukti lawan yang diajukan tergugat.

c) Mengabulkan gugatan penggugat

Berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya, dalam putusan ini

terjadi koreksi hubungan hukum ke arah yang menguntungkan pihak

penggugat. Sekaligus koreksi ini itu dibarengi dengan pembebanan

kewajiban hukum kepada tergugat berupa hukuman untuk melaksanakan

pemenuhan sesuatu. Dalam mengabulkan gugatan, hakim tidak diwajibkan

untuk mengabulkan seluruh gugatan. Melainkan dapat mengabulkan

sebagian dan menolak selebihnya, atau mengabulkan sebagian dan

menyatakan tidak dapat diterima sebagian yang lain. Atau dapat juga

mengabulkan sebagian dan menolak sebagian serta menyatakan tidak dapat

diterima sebagian lainnya. Hal ini tergantung dari pertimbangan yang

dimiliki hakim dalam memeriksa setiap perkara, dan pada dasarnya setiap

hakim memiliki pertimbangan yang berbeda dalam memeriksa setiap

perkara yang dihadapinya.


5. SUSUNAN PUTUSAN HAKIM

Secara garis besar, formulasi putusan diatur dalam Pasal 184 ayat (1) H.I.R. atau Pasal 195

R.Bg., serta Pasal 25 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

(1) Kepala putusan

Suatu putusan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi,

“Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa” (Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 14 tahun

1970). Kepala ini memberi kekuatan eksekutorial pada putusan apabila tidak dibubuhkan

maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut.

(2) Identitas pihak yang berperkara

Dalam putusan harus dimuat identitas dari pihak: nama, alamat, pekerjaan, dan nama

dari pengacaranya kalau para pihak menguasakan pekerjaan kepada orang lain.

(3) Tentang dalil gugatan

Dalil gugatan dalam putusan cukup dijelaskan dengan singkat dasar hukum dan

hubungan hukum serta fakta yang menjadi dasar gugatan. Apabila suatu putusan tidak

mencantumkan dalil gugatan, maka putusan tersebut dianggap tidak mempunyai titik tolak,

karena dalil gugatan adalah landasan titik tolak periksaan perkara, dan akibatnya putusan

tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum, karena bertentangan dengan Pasal 184 ayat

(1) H.I.R. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung No.

312K/Sip/1974.

(4) Tentang jawaban para pihak

Pengertian jawaban dalam arti luas, meliputi replique dan duplique serta kesimpulan.

Sama seperti syarat sebelumnya, bahwa kelalaian mencantumkan jawaban ini


mengakibatkan putusan dapat dinyatakan batal demi hukum, karena bertentangan dengan

Pasal 184 ayat (1) H.I.R.

(5) Pertimbangan serta alasan-alasan

Pertimbangan atau alasan putusan hakim terdiri atas dua bagian yaitu pertimbangan

tentang duduk perkara dan pertimbangan tentang hukumnya. Pertimbangan disini berisi

analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim yang memeriksa

perkara. Biasanya terhadap pertimbangan ini sering kali dijadikan alasan atau dasar bagi

pihak yang dikalahkan untuk melakukan upaya hukum selanjutnya, dengan menganggap

bahwa suatu putusan tidak memiliki cukup pertimbangan, sehingga berharap putusan

tersebut dapat dibatalkan.

Pada pasal 184 HIR, 195 RBG, 23 UU Nomor 14 tahun 1970, menentukan bahwa

setiap putusan dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan

jelas, alasan dan dasar putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya

perkara, serta hadir tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada waktu putusan diucapkan.

(6) Ketentuan perundang-undangan

Keharusan menyebut pasal-pasal tertentu peraturan perundangan yang diterapkan

dalam putusan, digariskan dalam Pasal 184 ayat (2) HIR. dan Pasal 25 ayat (1) Undang-

Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa segala

putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, harus juga

memuat pasal-pasal tertentu dan peraturan perundangan yang menjadi landasan putusan,

atau juga menyebut dengan jelas sumber hukum tak tertulis yang menjadi dasar

pertimbangan dalam putusan.


(7) Amar dan dictum putusan

Amar atau diktum putusan merupakan pernyataan (declaration) yang berkenaan

dengan status dan hubungan hukum antara para pihak dengan obyek yang disengketakan.

Dalam amar putusan dimuat suatu pernyataan hukum, penetapan suatu hak, lenyap atau

timbulnya keadaan hukum dan isi putusan yang berupa pembebanan suatu prestasi tertentu.

Dalam diktum itu ditetapkan siapa yang berhak atau siapa yang benar atau pokok

perselisihan. Dan juga berisi perintah atau penghukuman (condemnatoir) yang ditimpakan

kepada pihak yang berperkara. Untuk itu, amar putusan harus jelas dan ringkas

perumusannya, sehingga tidak menimbulkan dualisme penafsiran.

(8) Mencantumkan biaya perkara

Pencantuman biaya perkara dalam putusan diatur dalam Pasal 184 ayat (1) HIR dan

Pasal 187 RBG, bahkan dalam Pasal 183 ayat (1) HIR dan Pasal 194 RBG. Dinyatakan

bahwa banyaknya biaya perkara yang dijatuhkan kepada pihak yang berperkara.

6. KEKUATAN PUTUSAN PENGADILAN

Putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang

menurut ketentuan undang-undang masih terbuka kesempatan untuk menggunakan upaya hukum

melawan putusan itu, misalnya perlawanan (verzet), banding, atau kasasi. Sedangkan putusan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang-undang

tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa (perlawanan (verzet), banding,

atau kasasi) melawan putusan itu. Jadi putusan itu tidak dapat lagi diganggu gugat. Putusan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata mempunyai 3 (tiga) macam

kekuatan:
 Kekuatan Mengikat (Bindende Kracht)

Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau

sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Apabila pihak yang bersengketa tidak

dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka secara damai, dan kemudian menyerahkan

dan mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa dan

diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersengketa akan tunduk

dan patuh pada putusan yang dijatuhkan, sehingga putusan itu mempunyai kekuatan

mengikat terhadap pihakpihak yang bersengketa.

 Kekuatan Pembuktian (Bewijzende Kracht)

Dituangkannya putusan dalam bentuk tertulis, yang merupakan akta otentik, tidak

lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin

diperlukannya untuk mengajukan upaya hukum. Karena meskipun putusan hakim atau

putusan pengadilan tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga, namun

mempunyai kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga.

 Kekuatan Eksekutorial (Executoriale Kracht)

Kekuatan mengikat suatu putusan pengadilan belum cukup dan tidak berarti

apabila putusan itu tidak direalisasi atau dilaksanakan, karena putusan itu menetapkan

dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisasi, maka putusan hakim tersebut

mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang telah

ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat negara. Sebenarnya yang memberi

kekuatan executoriaal kepada putusan hakim atau putusan pengadilan adalah kata-kata,

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang ada pada setiap putusan.
Akan tetapi, tidak semua putusan dapat dilaksanakan secara paksa oleh

pengadilan. Hanya putusan condemnatoir sajalah yang dapat dilaksanakan secara paksa

oleh pengadilan, sementara putusan declatoir dan constitutif tidaklah memerlukan sarana-

sarana memaksa untuk dapat melaksanakannya.

Anda mungkin juga menyukai