Anda di halaman 1dari 6

SISTEM PERADILAN PIDANA

I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH

MENCERMATI PENDEKATAN SISTEM MENURUT PROF. ROMLI


ATMASASMITA DAN TELUSURI DALAM KETENTUAN KUHAP

OLEH:
Kadek Doni Wiguna
1804551068
Kelas A / Reguler Pagi

UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS HUKUM
DENPASAR
2020
MENCERMATI PENDEKATAN SISTEM MENURUT PROF. ROMLI
ATMASASMITA DAN TELUSURI DALAM KETENTUAN KUHAP

Menurut Romli Atmasasmita ciri pendekatan sistem dalam peradilan pidana ialah:

1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana


(kepolisian,kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan);
2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan
pidana;
3. Efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian
perkara;
4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan the administration of
justice.

PENJELASAN:

TITIK BERAT PADA KOORDINASI DAN SINKRONISASI KOMPONEN


PERADILAN PIDANA

Apabila ditelaah secara teliti isi ketentuan Undang-Undang No 8 tahun 1981 tentang
KUHAP, maka di dalam Integrated criminal justice system Indonesia menggunakan empat
komponen aparat penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan.1 Keempat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk suatu
“integrated criminal justice system, Makna intergrated criminal justice system adalah
sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam:2

1. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan


antar lembaga penegak hukum.
2. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan
horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif.

1
Nyoman Satyayudhadananjaya, Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integreted Criminal Justice System) Di Kaji
Dari Perspektif Sub Sistem Kepolisian, VYAVAHARA DUTA Volume IX, No. 1, September 2014, Hal. 89. Diakses
melalui file:///C:/Users/Ocean%20Dewata/Downloads/Documents/f12be23c1beac354c8d11190a6636827.pdf,
pada tanggal 6 Oktoberr 2020, pukul 14.30 Wita
2
Edi Setiadi dan Kristian, 2017, Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dan Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia,
Penerbit Prenadamedia Group, Jakarta.
3. Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam maghayati
pandanganpandangan, sikar-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari j
alannya sistim peradilan pidana.

Konsep sinkronisasi merupakan makna Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Dalam sistem
peradilan pidana terpadu, lembaga atau instansi yang bekerja dalam penegakan hukum,
meskipun tugasnya berbeda-beda dan secara internal mempunyai tujuan sendiri-sendiri, tetapi
pada hakikatnya masing-masing subsistem dalam sistem peradilan pidana tersebut saling
bekerjasama dan terikat pada satu tujuan yang sama. Hal ini bisa terjadi jika didukung adanya
sinkronisasi dari segi substansi yang mencakup produk hukum di bidang sistem peradilan
pidana yang memungkinkan segenap subsistem dapat bekerja secara koheren, koordinatif dan
integrative.3

Hal ini dapat diamati dalam perkara pidana, pemeriksan dilakukan oleh kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan. Kepolisian adalah pihak yang paling awal melakukan penanganan
terhadap pelaku kejahatan atau pelanggaran, jika terjadi suatu kejahatan polisi wajib
melakukan pengusutan dan melakukan penyidikan, selanjutnya pihak kejaksaan mengambil
alih perkara guna melakukan penuntutan kepada para pelaku kejahatan di muka pengadilan,
dan apabila sudah diputus maka Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan para
pelanggar hukum.

Contoh koordinasi antar komponen aparat penegak hukum yang terdapat dalam
KUHAP:
- Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan, memberitahukan hal itu kepada Penuntu
Umum (Pasal 109 ayat (2)), sebaliknya dalam hal Penuntut Umum menghentikan
penuntutan, ia memberikan Surat Ketetapan kepada Penyidik (Pasal 144 ayat (3));
- Dalam hal Penuntut Umum berpendapat hasil penyidikan belum lengkap, ia segera
mengembalikan kepada penyidik disertai petunjuknya dan penyidik wajib
melengkapinya dengan melakukan pemeriksaan tambahan (Pasal 14 huruf b, Pasal 110
ayat (2) dan (3));
- Penuntut Umum memberikan turunan surat pelimpahan perkara, surat dakwaan kepada
penyidik (Pasal 143 ayat (4)), demikian pula dalam hal Penuntut Umum mengubah surat
dakwaan ia memberikan turrunan perubahan surat dakwaan itu kepada penyidik (Pasal
144 ayat (3));
3
Supriyatna, 2010, “Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP sebagai Sarana Mewujudkan
Sistem Peradilan Pidana Terpadu”, Hal. 3-4
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PENGGUNAAN KEKUASAAN OLEH
KOMPONEN PERADILAN PIDANA;

Sistem pengawasan dalam sistem peradilan pidana memiliki dua bentuk, yaitu built in
control dan pengawasan antar lembaga. Pengawasan built in control adalah pengawasan
yang dilakukan di dalam lembaga tersebut, sedangkan pengawasan antar lembaga dilakukan
oleh pengawas di luar lembaga tersebut. Setiap lembaga penegak hukum memiliki lembaga
pengawas masing-masing, hakim pengadilan negeri diawasi oleh hakim tinggi, hakim tinggi
diawasi oleh Mahkamah Agung dan lain sebagainya. Selain itu, di luar lembaga tersebut,
masing-masing lembaga diawasi oleh lembaga independen, Komisi Yudisial mengawasi
kinerja hakim, komisi kejaksaan mengawasi kinerja jaksa dan lain sebagainya.

Pengawasan dalam sistem peradilan pidana juga dapat berupa court


administration maupun administration of justice. Keduanya memiliki perbedaan yang
tipis, court administration mengawasi keadministrasian atau tertib administrasi yang harus
dilakukan berkaitan dengan jalannya kasus tindak pidana dari tahap penyelidikan sampai
dengan tahap pelaksanaan putusan dalam sistem peradilan pidana. Sedangkan administration
of justice berarti segala hal yang mencakup tertib hukum pidana formil dan materiil yang
harus dipatuhi dalam proses penanganan perkara dan tata cara serta praktik litigasi.4

Contoh Pengawasan antar komponen peradilan pidana dalam KUHAP:


- Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam berhubungan dengan
tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan
tanpa mendengar isi pembicaraan. (Pasal 71 ayat (1))
- Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi
petunjuk oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a. (Pasal 105)

Mengenai sistem peradilan pidana, Chamelin/Fox/Whisenand menyatakan bahwa


criminal justice system adalah suatu sistem dari masyarakat dalam proses menentukan konsep
sistem merupakan aparatur peradilan pidana yang diikat bersama dalam hubungan antara
subsistem polisi, pengadilan dan lembaga (penjara).5 Jadi perlu adanya sebuah satu kesatuan
yang bergerak secara selaras untuk mencapai tujuan bersama penegak hukum. Tentu setiap
komponen di dalamnya memiliki kekuasaan yang begitu besar. Kekuasaan tersebut harus
dapat dikendalikan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Contohnya di dalam Pasal 1
4
Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan Pelaksanaannya Dalam
Penegakkan Hukum di Indonesia), Bandung: Widya Padjadjaran, Hal. 75
5
Abdussalam dan D.P.M. Sitompul, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta. Hal. 5
angka 6 hurup a dan b KUHAP, dalam ketentuan tersebut diatur bahwa Jaksa adalah pejabat
yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Jadi tidak semua jaksa bisa
menjadi penuntut umum. Jaksa bisa menjadi penuntut umum jika ia sudah diberikan
wewenang oleh UU.

EFEKTIFITAS SISTEM PENANGGULANGAN KEJAHATAN LEBIH UTAMA


DARI EFISIENSI PENYELESAIAN PERKARA;

Maksudnya adalah mencegah lebih diutamakan daripada mengobati. Dengan kata lain
penanggulangan kejahatan lebih baik daripada kejahatan itu diselesaikan di pengadilan.
Pengertian Sistem Peradilan Pidana adalah sistem yang dibuat untuk menanggulangi
masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu ketertiban dan mengancam rasa aman
masyarakat, merupakan salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya
kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima.6

Pelaksanaan peradilan pidana adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan yang


terjadi di masyarakat dengan mengajukan para pelaku kejahatan ke pengadilan sehingga
menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan dan membuat para calon pelaku
kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan7

Contohnya, Dalam Hukum Positif Indonesia perkara pidana tidak dapat diselesaikan
diluar proses pengadilan, akan tetapi dalam hal-hal tertentu dimungkinkan pelaksanaan
tersebut. Dimana dalam praktek penegakan hukum pidana di Indonesia walaupun tidak ada
landasan hukum formalnya perkara pidana sering diselesaikan diluar proses pengadilan
melalui diskresi. Mengenai diskresi sendiri dapatlah dilihat secara tersirat dalam KUHAP dan
UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri yang memberikan kebebasan yang bertanggung jawab
untuk mengambil tindakan berdasarkan penialian sendiri. Selain itu ada Namanya mediasi
penal. Yang dimana Mediasi Penal merupakan penyelesaian perkara pidana dengan
mempertemukan antara korban dengan pelaku kejahatan guna menyelesaikan konflik yang
mereka hadapi, dimana penggunaan mediasi penal ini paling tidak akan mengurangi beban
6
Mardjono Reksodiputro (1997), Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Lembaga Kriminologi UI,
hal. 140
7
Abdussalam dan D.P.M. Sitompul, Op.Cit. Hal.4
sistem peradilan pidana dan mampu menciptakan kembali hubungan harmonis antara para
pihak.

PENGGUNAAN HUKUM SEBAGAI INSTRUMEN UNTUK MEMANTAPKAN THE


ADMINISTRATION OF JUSTICE.

Administration of justice yang dalam hal ini dapat berarti segala hal yang mencakup
tertib hukum pidana formil dan materiil yang harus dipatuhi dalam proses penanganan perkara
dan tata cara serta praktek litigasi.8

Berdasarkan pemahaman tentang administrasi tersebut, maka diperlukan suatu sistem


dan manajemen yang mengatur sistem tersebut, terutama dalam hal ini berkaitan dengan
wacana yang mengemuka yaitu mengenai penegakan hukum, khususnya hukum pidana. Dan
karena yang menjadi fokus perhatian tidak termasuk badan-badan di luar tugas penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemasyarakatan atau yang lebih dikenal dengan
tugas peradilan pidana, maka kemudian munculah istilah sistem peradilan pidana.

Contohnya dalam Pasal 18 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa “Pelaksanaan tugas
penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan
memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan
yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian
singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa”. Dalam ketentuan
tersebut, perlu adanya surat tugas dan surat surat perintah penangkapan untuk melakukan
penangkapan. Artinya KUHAP sudah memiliki administrasi peradilan yang dimana
administrasi peradilan tersebut sangatlah dibutuhkan dalam sistem peradilan pidana.

8
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Habibie Center,
2002), hal. 3.

Anda mungkin juga menyukai