Anda di halaman 1dari 6

HUKUM ADAT BALI

Dr. I Ketut Sudantra, SH., MH

KEDUDUKAN HUKUM ADAT BALI SETELAH BERLAKUNYA UU


PERKAWINAN

OLEH:
Kadek Doni Wiguna
1804551068
Kelas B / Reguler Pagi

UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS HUKUM
DENPASAR
2020
KEDUDUKAN HUKUM ADAT BALI SETELAH BERLAKUNYA UU
PERKAWINAN

Masyarakat adat di Bali mengenal perkawinan dengan istilah pawiwahan/nganten.


Pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat adat Bali mempunyai makna yang sakral dalam
arti bahwa perkawinan itu bukan semata-mata ikatan yang bersifat lahirian saja melainkan
juga bersifat rohaniah. Oleh karena itu dalam pandangan masyarakat Bali perkawinan itu
bukan hanya kontrak keperdataaan yang cukup diselesaikan di kantor catatan sipil melainkan
juga merupakan urusan keagamaan (rohaniah) yang melibatkan roh leluhur yang bersemayam
di sanggat atau merajan.1

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah


dengan UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut dengan UU
Perkawinan) di Indonesia telah terjadi pluralisme dalam hukum perkawinan yang antara lain:
a. Bagi orang yang beragama islam berlaku hukum islam yang telah diresepsi dalam
hukum adat
b. Bagi orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat
c. Bagi orang Indonesia Asli beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen (STB. 1933 no.74).
d. Bagi orang Timur Asing lainnya dan Warga Negara Indanesia keturunan Timur Asing
lainnya berlaku Hukum Adat mereka.
e. Bagi orang Eropa dan Warga Negara Indonesia Keturunan Eropa dan yang disamakan
dengan mereka berlaku Kitab Undang Undang-Hukum Perdata.
f. Peraturan Perkawinan Campuran berlaku STB. 1898 no. 158.2

Di Bali sendiri, perkawinan dan perceraian sebelum adanya UU Perkawinan dapat


dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali (disaksikan prajuru banjar atau
desa pakraman) dan agama Hindu. Namun dengan adanya UU Perkawinan tersebut maka
secara otomatis seluruh warga Indonesia harus menggunakan UU Perkawinan ini sebagai
dasar dalam mengadakan atau menyelenggarakan perkawinan.3
1
Ari Atu Dewi, dkk., Bahan Ajar Hukum Adat Bali, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar: 2015, hal,
17.
2
Abidin Raden Zainal, Slamet Suhartono, Erny Herlin Setyorini, “Perkawinan Adat Setelah Berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Yayasan Akrab Pekanbaru Jurnal Akrab Juara Volume 5
Nomor 1 Edisi Februari 2020 (189-199), Hal 191
3
E Sembiring dan V Christina, “Kedudukan Hukum Perkawinan Adat di Dalam Sistem Hukum Perkawinan
Nasional Menurut UU No. 1 Tahun 1974”, Hal. 10
Berlakunya UU Perkawinan di Indonesia tidak lantas menenggelamkan Hukum Adat
dan Hukum Agama mengenai perkawinan di Indonesia. Bahkan hingga sekarang hukum adat
dan hukum agama mengenai perkawinan masih tetap eksis dilaksanankan oleh masyarakat
adat di Indonesia. Hal ini tak terlepas dari beberapa ketentuan yang mendorong eksisnya
hukum adat dan hukum agama tersebut.

Terdapat beberapa ketentuan yang menjadi landasan tetap berlakunya Hukum Adat
dalam perkawinan umat Hindu di Bali diantaranya Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang
menentukan bahwa; “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari perspektif teori-teori mengenai relasi
antara hukum adat dan agama, seperti teori recepitieo in complexu dan teori receptie4, frasa
“hukum agama dan kepercayaannya itu” dapat ditafsirkan sebagai berlakunya hukum adat
Bali dalam pengesahan perkawinan.

Selain ketentuan diatas, terdapat pula Pasal 66 UU Perkawinan yang menjadi pijakan
berlakunya Hukum adat. Pasal 66 UU Perkawinan menyebutkan: “Untuk perkawinan dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini,
maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-
peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-
undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. Namun jika menggunakan penafsiran a contrario hal-
hal yang tidak diatur dalam UU Perkawinan ini tetapi diatur oleh hukum adat maka hukum
adat tersebut tetap berlaku, seperti halnya bentuk perkawinan, upacara perkawinan, dan lain-
lain. Jadi Pasal 66 UU Perkawinan punya fungsi sebagai dasar hukum berlakunya hukum
perkawinan adat.5

Ketentuan-ketentuan pasal diatas tentunya menjadi angin segar bagi hukum-hukum


adat perkawinan di Indonesia tidak terkecuali di Bali. Jika mengacu pada Pasal 66 UU di
atas, masih banyak aspek-aspek pelaksanaan perkawinan umat Hindu di Bali yang belum
diatur oleh UU Perkawinan sehingga keberadaan daripada Hukum Adat Bali sangat penting
untuk melengkapi Hukum Perkawinan Nasional.

4
soemadiningrat H.r. otje salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung: 2002, hal
72
5
E Sembiring dan V Christina, Op. Cit., Hal. 10-11
Sebutlah yang paling prinsip adalah mengenai bentuk perkawinan, yang sangat kuat
dilandasi oleh sistem kekeluargaan patrilineal (sistem purusa atau kapurusa) yang dianut oleh
umat Hindu di Bali. Berdasarkan sistem kekeluargaan ini dapat diperhitungkan individu-
individu yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan suatu keluarga besar dari
garis laki-laki (purusa), baik dalam hubungan-hubungan di dunia nyata (hak dan kewajiban
materiil, seperti hak pemeliharaan, hak waris, dan lain-lain) maupun hubunngan dengan alam
gaib menyangkuit hubungan dengan leluhur (kawitan) yang bersemayam di sanggah/merajan
(tempat persembahyangan keluarga batih) atau sanggah gede/merajan agung (tempat
persembahyangan keluarga besar).6

Selain bentuk perkawinan, hukum adat juga dapat menjadi pelengkap UU Perkawinan
dalam kaitan dengan larangan-larangan perkawinan,. Pasal 8 menentukan bahwa:
“Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;


b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin”.

Dengan mendasarkan pada ketentuan huruf f di atas, dimungkinkan melengkapi larangan-


larangan perkawinan yang sudah disebutkan secara ekplisit dalam Pasal 8 dengan larangan-
larangan perkawinan berdasarkan hukum agama dan atau hukum adatnya. dengan demikian,
posisi hukum agama dan atau hukum adat akan melengkapi Undang-undang perkawinan.7

Ketentuan lain dalam UU Perkawinan yang bisa dilengkapi oleh hukum adat adalah
Pasal 37. dalam pasal ini diatur mengenai kedudukan harta bersama dalam perkawinan

6
I Sudantra Ketut, I Gusti Ngurah Dharma Laksana, “Pluralisme Hukum Yang Berlaku Dalam Perkawinan Umat
Hindu di Bali”, Seminar Nasional Sains dan Teknologi Iv 2017, Inovasi Humaniora, Sains dan Teknologi untuk
Pembangunan Berkelanjutan, Kuta; 2017, hal. 161-162
7
Ibid., Hal. 162
apabila terjadi perceraian. Pasal ini dengan sangat tegas dan spesifik menentukan bahwa:
“Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing”. Menurut penjelasan terhadap Pasal 37. yang dimaksud “hukumnya masing-
masing” adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

Selain berkedudukan sebagai pelengkap hukum perkawinan nasional, hukum adat dan
hukum agama juga memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam aspek-aspek tertentu
dibandingkan dengan hukum perkawinan nasional. Ha ini bisa diilihat dalam ketentuan Pasal
6 ayat (6) yang mengatur mengenai syarat-syarat perkawinan. Pasal 6 ayat (1) sampai (5)
mengatur dua poin. Pertama, perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai. Kedua, jika ingin kawin, seseorang yang belum berumur 21 tahun harus
mendapatkan izin orang tua. Kemudian yang menarik disini adalah ayat (6) yang
menyebutkan: “Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain”. Artinya jika ketentuan hukum adat atau hukum agama menentukan
hal lain maka ketentuan Pasal 6 ayat (1) sampai (5) tidak berlaku. Contohnya adalah bentuk
perkawinan ngerorod dalam Hukum Adat Bali. Jika mengacu syarat-syarat perkawinan
dalam UU Perkawinan maka perkawinan ngerorod tidaklah memenuhi syarat, tetapi dengan
adanya ketentuan Pasal 6 ayat (6) tersebut maka perkawinan ngerorod dianggap sah karena
Hukum adat Bali mengakui perkawinan ngerorod.

Keistimewaan hukum adat tidak hanya berakhir disana saja, dalam Pasal 10 Undang-
undang Perkawinan menentukan: “Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu
dengan lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan
itu dari yang bersangkuitan tidak menentukan lain”. Sama seperti ketentuan Pasal 6 diatas,
ketentuan ini juga tidak akan berlaku jika hukum adat menentukan hal lain.

Jadi dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan Hukum Adat
Bali setelah berlakunya UU Perkawinan adalah Hukum Adat Bali tetap berlaku untuk
melengkapi hukum perkawinan nasional.
DAFTAR PUSTAKA

Ari Atu Dewi, dkk., Bahan Ajar Hukum Adat Bali, Fakultas Hukum Universitas Udayana,
Denpasar: 2015.

soemadiningrat H.r. otje salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni,


Bandung: 2002.

E Sembiring dan V Christina, “Kedudukan Hukum Perkawinan Adat di Dalam Sistem


Hukum Perkawinan Nasional Menurut UU No. 1 Tahun 1974”, Hal. 10

I Sudantra Ketut, I Gusti Ngurah Dharma Laksana, “Pluralisme Hukum Yang Berlaku Dalam
Perkawinan Umat Hindu di Bali”, Seminar Nasional Sains dan Teknologi Iv 2017,
Inovasi Humaniora, Sains dan Teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kuta;
2017.

Abidin Raden Zainal, Slamet Suhartono, Erny Herlin Setyorini, “Perkawinan Adat Setelah
Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Yayasan
Akrab Pekanbaru Jurnal Akrab Juara Volume 5 Nomor 1 Edisi Februari 2020 (189-
199).

Anda mungkin juga menyukai