OLEH:
Kadek Doni Wiguna
1804551068
Kelas B / Reguler Pagi
UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS HUKUM
DENPASAR
2020
KEDUDUKAN HUKUM ADAT BALI SETELAH BERLAKUNYA UU
PERKAWINAN
Terdapat beberapa ketentuan yang menjadi landasan tetap berlakunya Hukum Adat
dalam perkawinan umat Hindu di Bali diantaranya Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang
menentukan bahwa; “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari perspektif teori-teori mengenai relasi
antara hukum adat dan agama, seperti teori recepitieo in complexu dan teori receptie4, frasa
“hukum agama dan kepercayaannya itu” dapat ditafsirkan sebagai berlakunya hukum adat
Bali dalam pengesahan perkawinan.
Selain ketentuan diatas, terdapat pula Pasal 66 UU Perkawinan yang menjadi pijakan
berlakunya Hukum adat. Pasal 66 UU Perkawinan menyebutkan: “Untuk perkawinan dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini,
maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-
peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-
undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. Namun jika menggunakan penafsiran a contrario hal-
hal yang tidak diatur dalam UU Perkawinan ini tetapi diatur oleh hukum adat maka hukum
adat tersebut tetap berlaku, seperti halnya bentuk perkawinan, upacara perkawinan, dan lain-
lain. Jadi Pasal 66 UU Perkawinan punya fungsi sebagai dasar hukum berlakunya hukum
perkawinan adat.5
4
soemadiningrat H.r. otje salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung: 2002, hal
72
5
E Sembiring dan V Christina, Op. Cit., Hal. 10-11
Sebutlah yang paling prinsip adalah mengenai bentuk perkawinan, yang sangat kuat
dilandasi oleh sistem kekeluargaan patrilineal (sistem purusa atau kapurusa) yang dianut oleh
umat Hindu di Bali. Berdasarkan sistem kekeluargaan ini dapat diperhitungkan individu-
individu yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan suatu keluarga besar dari
garis laki-laki (purusa), baik dalam hubungan-hubungan di dunia nyata (hak dan kewajiban
materiil, seperti hak pemeliharaan, hak waris, dan lain-lain) maupun hubunngan dengan alam
gaib menyangkuit hubungan dengan leluhur (kawitan) yang bersemayam di sanggah/merajan
(tempat persembahyangan keluarga batih) atau sanggah gede/merajan agung (tempat
persembahyangan keluarga besar).6
Selain bentuk perkawinan, hukum adat juga dapat menjadi pelengkap UU Perkawinan
dalam kaitan dengan larangan-larangan perkawinan,. Pasal 8 menentukan bahwa:
“Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
Ketentuan lain dalam UU Perkawinan yang bisa dilengkapi oleh hukum adat adalah
Pasal 37. dalam pasal ini diatur mengenai kedudukan harta bersama dalam perkawinan
6
I Sudantra Ketut, I Gusti Ngurah Dharma Laksana, “Pluralisme Hukum Yang Berlaku Dalam Perkawinan Umat
Hindu di Bali”, Seminar Nasional Sains dan Teknologi Iv 2017, Inovasi Humaniora, Sains dan Teknologi untuk
Pembangunan Berkelanjutan, Kuta; 2017, hal. 161-162
7
Ibid., Hal. 162
apabila terjadi perceraian. Pasal ini dengan sangat tegas dan spesifik menentukan bahwa:
“Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing”. Menurut penjelasan terhadap Pasal 37. yang dimaksud “hukumnya masing-
masing” adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
Selain berkedudukan sebagai pelengkap hukum perkawinan nasional, hukum adat dan
hukum agama juga memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam aspek-aspek tertentu
dibandingkan dengan hukum perkawinan nasional. Ha ini bisa diilihat dalam ketentuan Pasal
6 ayat (6) yang mengatur mengenai syarat-syarat perkawinan. Pasal 6 ayat (1) sampai (5)
mengatur dua poin. Pertama, perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai. Kedua, jika ingin kawin, seseorang yang belum berumur 21 tahun harus
mendapatkan izin orang tua. Kemudian yang menarik disini adalah ayat (6) yang
menyebutkan: “Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain”. Artinya jika ketentuan hukum adat atau hukum agama menentukan
hal lain maka ketentuan Pasal 6 ayat (1) sampai (5) tidak berlaku. Contohnya adalah bentuk
perkawinan ngerorod dalam Hukum Adat Bali. Jika mengacu syarat-syarat perkawinan
dalam UU Perkawinan maka perkawinan ngerorod tidaklah memenuhi syarat, tetapi dengan
adanya ketentuan Pasal 6 ayat (6) tersebut maka perkawinan ngerorod dianggap sah karena
Hukum adat Bali mengakui perkawinan ngerorod.
Keistimewaan hukum adat tidak hanya berakhir disana saja, dalam Pasal 10 Undang-
undang Perkawinan menentukan: “Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu
dengan lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan
itu dari yang bersangkuitan tidak menentukan lain”. Sama seperti ketentuan Pasal 6 diatas,
ketentuan ini juga tidak akan berlaku jika hukum adat menentukan hal lain.
Jadi dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan Hukum Adat
Bali setelah berlakunya UU Perkawinan adalah Hukum Adat Bali tetap berlaku untuk
melengkapi hukum perkawinan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Ari Atu Dewi, dkk., Bahan Ajar Hukum Adat Bali, Fakultas Hukum Universitas Udayana,
Denpasar: 2015.
I Sudantra Ketut, I Gusti Ngurah Dharma Laksana, “Pluralisme Hukum Yang Berlaku Dalam
Perkawinan Umat Hindu di Bali”, Seminar Nasional Sains dan Teknologi Iv 2017,
Inovasi Humaniora, Sains dan Teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kuta;
2017.
Abidin Raden Zainal, Slamet Suhartono, Erny Herlin Setyorini, “Perkawinan Adat Setelah
Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Yayasan
Akrab Pekanbaru Jurnal Akrab Juara Volume 5 Nomor 1 Edisi Februari 2020 (189-
199).