Anda di halaman 1dari 22

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.2 (2021.1)

Nama Mahasiswa : Brian Salviantono

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 030743404

Tanggal Lahir : 08 Juni 1992..…………………………………………………………………..

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM 4404/Teori Perundang-Undangan

Kode/Nama Program Studi : 311/Ilmu Hukum ……………………………………………………..

Kode/Nama UPBJJ : 50/SAMARINDA

Hari/Tanggal UAS THE : Minggu/04 Juli 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Brian Salviantono


NIM : 030743404
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM 4404/Teori Perundang-Undangan
Fakultas : FHISIP
Program Studi : Ilmu Hukum
UPBJJ-UT : Samarinda

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik
yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
Bontang, 03 Juli 2021
Yang Membuat Pernyataan

Brian Salviantono
No Soal
1 Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang diberikan kewenangan dalam hal
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Keberadaan Mahkamah Konstitusi menuai beberapa pendapat yang
dapat dikategorikan secara kelembagaan. Pertama, Mahkamah Agung yang melakukan fungsi Mahkamah
Konstitusi. Kedua, dibentuk badan baru yang sejajar dengan Mahkamah Agung. Ketiga, sebuah badan peradilan
dalam lingkungan kekuasaan kehakiman.
Pertanyaan:
1. Berikan analisis anda atas batasan kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
2. Berikan analisis Anda, jika terjadi tumpang tindih atas wewenang Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga kekuasaan kehakiman Republik Indonesia.
2 Tanpa Pancasila, PP Standar Nasional Pendidikan Digugat di MA
CNN Indonesia | Selasa, 27/04/2021 18:09 WIB
Kelompok masyarakat yang terdiri dari siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), mahasiswa hingga orang tua siswa
menggugat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) ke
Mahkamah Agung (MA). Para pemohon memberikan kuasa kepada Dr. Husdi Herman, S.H., M.M. Law Office untuk
melakukan uji materi atas PP tersebut. Adapun pemohon masing-masing adalah Sharon Clarins Herman, mahasiswa
pascasarjana FH UI (pemohon I); Ronaldo Heinrich Herman, mahasiswa pascasarjana FH UI (pemohon II); Nikita
Johanie, mahasiswa S1 FH Universitas Kristen Indonesia (pemohon III). Kemudian Alvanda Yazari Proklamethia,
siswa SMK Yadika 6 (pemohon IV); dan Wisnu Prabawa selaku orang tua siswa SMP Negeri 6 Pondok Gede, Bekasi
(pemohon V). Viktor menjelaskan para pemohon keberatan dengan tidak dimasukkannya Pancasila menjadi
kurikulum wajib dalam PP 57/2021. "Padahal PP ini merupakan peraturan yang mengatur lebih lanjut (rigid) hal-hal
yang sudah ataupun belum diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi," kata dia. Viktor menerangkan dalam Pasal 36
ayat 3 UU 20/2003, Pancasila memang tidak tercantum
dalam kurikulum. Namun, menurut dia, dalam aturan itu memuat frasa 'dengan memperhatikan' yang
merupakanfrasa terbuka alias bukan pengaturan rigid. Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam Pasal 35 ayat (3)
UU 12/2012 yang menggunakan frasa 'wajib memuat mata kuliah' yang bersifat perintah. "Artinya, PP 57/2021
sebagai peraturan perundang-undangan yang menindaklanjuti UU 20/2003 dan UU 12/2012, seharusnya mengatur
secara rigid dengan mengatur Pendidikan Pancasila masuk dalam kurikulum wajib," tutur Viktor. "Karena apabila
kita cermati secara sistematis pengaturan dalam UU 20/2003, Pancasila sebagai Dasar Pendidikan Nasional sudah
ditegaskan dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 2 UU 20/2003," lanjutnya. (ryn/pmg)
Pertanyaan :
1. Berikan analisis anda hak gugat dari pihak yang mengajukan permohonan pada artikel tersebut di atas.
2. Berikan analisis anda akibat hukum dari putusan Mahkamah Agung sebagai lembaga yang menerima
permohonan pengujian tersebut.
3 Berdasarkan kasus nomor 2 tersebut di atas buatlah draf permohonan pengujian peraturan menteri sesuai dengan
kaidah penyusunan. Posisikan anda sebagai kuasa hukum dari pemohon sesuai dengan contoh artikel tersebut.
4 Sidang Pengucapan Putusan merupakan tahap akhir dalam proses persidangan di MK. Sidang Pengucapan Putusan
dilaksanakan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum yang dihadiri paling sedikit 7 (tujuh) orang Hakim dan para
pihak. Putusan MK, mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka. Putusan
yang telah diucapkan dalam Sidang Pleno diunggah pada laman MK (www.mkri.id) dan dapat diakses oleh
masyarakat.
Pertanyaan:
1. Berikan analisis anda apakah MK memiliki kewenangan yang sama dengan kewenangan legislatif dalam
putusannya.
2. Berikan analisis anda, apakah akibat dari putusan hakim yang melampaui wewenangnya
Jawab
1 1. Analisis Terhadap batasan kemerdekaan kekuasaan kehakiman
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara
hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya
jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam
kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan
tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Asas kebebasan kekuasaan kehakiman dalam Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
kebebasan kekuasaan kehakiman meliputi :
1) Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya.
2) Bebas dari paksaan, direktive atau rekomendasi dari pihak ekstra judisial, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan
oleh UU.
Dalam konteks ini, dapat dikemukakan 3 dimensi kebebasan kekuasaan kehakiman, yakni :
1) Kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan (fungsi yudisial) yang meliputi kebebasan dalam memeriksa,
mengadili dan memutus perkara.
2) Kebebasan yang mengandung makna larangan bagi kekuasaan ekstra yudisial mencampuri proses
penyelenggaraan peradilan. Hal ini merupakan penegasan penjelasan UUD 1945 yang secara umum
menyebutkan “terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah". Kekuasaan pemerintah tidak semata-mata
kekuasaan eksekutif tetapi juga meliputi kekuasaan lainnya seperti kekuasaan MPR, DPR, DPA, BPK dan
kekuasaan ekstra yudisial lainnya.
3) Kebebasan yang terkait dengan upaya mewujudkan negara berdasarkan atas hukum (de rechtsstaat). Dalam
hal ini, kekuasaan kehakiman dimungkinkan untuk melakukan pengawasan yudisial (rechterlijke control)
terhadap tindakan badan penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintah lainnya.
Di samping itu, masih ada kebebasan lainnya yakni kebebasan untuk membuat kebijaksanaan dengan tujuan agar
fungsi yudisial itu dapat berjalan lancar, sehingga mencapai hasil guna yang optimal. Kebijaksanaan semacam itu
misalnya tindakan Mahkamah Agung membuat surat edaran, instruksi, teguran dan lain-lain yang terkait dengan
fungsi pengawasan kepada pengadilan rendahan.
Dari paparan di atas nampak betapa asas kebebasan kekuasaan kehakiman itu benar-benar telah memiliki sifat
yang universal, karena ia telah diterima melalui doktrin, dan konstitusi. Fungsi kekuasaan kehakiman dapat
dibedakan dalam ragam fungsi sebagai berikut :
1) Fungsi pokok berupa fungsi mengadili (recthtsprekende functie)
2) Fungsi pengawasan (controlerende functie)
3) Fungsi memberi nasehat (advieserende functie)
4) Fungsi mengatur (regelende functie)
5) Fungsi menguji materiil (materieel toetsingrect)
Konsep Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu bagian dari kekuasaan negara. Dalam ajaran pembagian kekuasaan
dari John Locke keberadaan kekuasaan kehakiman belum disinggung-singgung sebagai suatu kekuasaan
tersendiri yang bebas/mandiri. Secara jelas keberadaan kekuasaan kehakiman itu baru disebut-sebut oleh
Montesquieu dengan mengatakan : "Again, there is no liberty, if the judiciary power be not separated from the
legislative. He live and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control, for the judge would be then
the legislator, it joined to executive power, the judge might behave with violence and oppression"
Kekuasaan kehakiman yang merupakan salah satu bagian kekuasaan negara itu haruslah memiliki kebebasan
karena hanya dengan kebebasan itu ia dapat mengontrol kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif.
Sehubungan dengan itu maka kekuasaan kehakiman yang bebas akan mampu menyatakan secara hukum syah
atau tidaknya tindakan pemerintah demi perlindungan terhadap hak-hak. Bila hak-hak masyarakat telah
terlindungi berarti sistem hukum suatu negara telah berfungsi dengan balk. Penyelesaian sengketa tentang hak-
hak perorangan oleh suatu kekuasaan kehakiman yang bebas merupakan kunci bagi berfungsinya sistem hukum
dengan baik dalam suatu negara.
Hakikat kebebasan hakim atau kemandirian kekuasaan kehakiman (independensi peradilan) itu bermaksud
untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh badan negara. Sehubungan dengan ini Frans
Magnis Suseno, mengemukakan bahwa dengan adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman dari
cabang kekuasaan negara lainnya, maka diharapkan bahwa badan yuridikatif dapat melakukan kontrol segi
hukum terhadap kekuasaan negara disamping untuk mencegah dan mengurangi kecenderungan
penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Tidak hanya kemandirian kekuasaan kehakiman, terutama dari
pengaruh kekuasaan pemerintah akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian
hak asasi manusia oleh penguasa karena kekuasaan kehakiman yang secara konstitusional memiliki wewenang
untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan pemerintah sulit menjalankan fungsi tersebut.
Untuk memutus suatu perkara, hakim memiliki kemerdekaan dari campur tangan atau intervensi dari pihak
manapun, yang dikenal dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, atau dapat diartikan sebagai kekuasaan
kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun.Kekuasaan kehakiman yang merdeka ini merupakan
suatu kemandirian atau kemerdekaan yang dimiliki oleh lembaga peradilan demi terciptanya suatu putusan yang
bersifat obyektif dan imparsial. Maksud dari sifat putusan yang obyektif adalah dalam proses pemberian putusan
hakim harus berpendirian jujur, berpandangan yang benar atau berpandangan sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya dengan mengacu pada ukuran atau kriteria obyektif yang berlaku umum, sedangkan maksud dari
putusan yang bersifat imparsial adalah putusan yang dihasilkan seorang hakim tidak memihak kepada salah satu
pihak menimbulkan rasa ketidakadilan dari pihak-pihak yang berperkara atau bersengketa. Disamping itu
keputusan yang diberikan tersebut secara langsung memberikan kepastian hukum dalam masyarakat. Jadi dapat
disimpulkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, harus menjamin terlaksananya peradilan yang jujur dan adil
serta memenuhi kepastian hukum dalam masyarakat berdasarkan hukum yang berlaku.
Dasar hukum tentang prinsip kebebasan hakim adalah Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan”. Dalam interpretasi historis, dapat diketahui bahwa pasal tersebut oleh
pembuatnya dimaksudkan bahwa lembaga peradilan bebas dari intervensi lembaga eksekutif atau lembaga dan
perorangan. Prinsip yang terkandung didalamnya adalah bahwa kemerdekaan, kebebasan, atau kemandirian
adalah bersifat kelembagaan, yaitu lembaga peradilan.
Mengenai prinsip kebebasan hakim sebagaimana dimaksudkan Pasal 32 ayat (5) Undang-undang No. 14 tahun
1985 tentang Mahkamah Agung (yang tidak dirubah oleh Undang-undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung), tidak dijelaskan lebih lanjut secara
rinci oleh undang-undang tersebut, oleh karena itu semangat makna Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 harus
dikembangkan dalam memahami maksud kebebasan hakim dalam Pasal 32 ayat (5) Undang-undang No. 14
tahun 1945 tentang Mahkamah Agung (yang tidak dirubah oleh Undang-undang No.3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 14 tahun 1945 tentang Mahkamah Agung), bahwa kebebasan hakim
harus dalam kerangka prinsip kebebasan lembaga peradilan. Karena hakim adalah sub sistem dari lembaga
peradilan, sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, sehingga kebebasan hakim haruslah selalu
berada di dalam koridor kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 3 ayat (1)
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa “Dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemadirian peradilan”.
Pernyataan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri merupakan salah satu hasil amandemen UUD 1945
khususnya Pasal 24 yang setelah diamandemen selengkapnya berbunyi:
(1) “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3) Badan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.
Dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman UUD 1945 khususnya Bab IX menyebutkan bahwa ada tiga
lembaga negara yang termasuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah
Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2), hanya MA (dan badan peradilan di
bawahnya) dan MK yang merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan KY tidak memiliki
kewenangan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai lembaga ekstra-yudisial.
Untuk menjalankan fungsinya ini Mahkamah Agung selaku pemegang kekuasaan kehakiman dibantu oleh badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha Negara. Dengan demikian pengadilan sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum
(rechtsstaat), dan hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan
kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Secara prinsip tujuan dari kemerdekaan yudisial adalah untuk memfasilitasi tiga nilai tertentu.
1) Kemerdekaan yudisial merupakan kondisi yang diperlukan untuk memelihara negara hukum.
2) Dalam suatu pemerintahan konstitusional, hanya hukum yang secara konstitusional memiliki legitimasi yang
harus ditegakkan dan pengadilan harus memiliki kemampuan untuk melakukan tugas dalam memutuskan
hukum tersebut. Karena itu, terdapat kebutuhan agar pengadilan memiliki kemerdekaan untuk membatalkan
aturan hukum yang melanggar nilai-nilai tersebut.
3) Dalam Negara demokrasi, pengadilan harus memiliki otonomi yang kuat dalam menolak godaan untuk
memberikan penghormatan terlalu banyak pada pemegang kekuasaan ekonomi atau politik.
Kemerdekaan kehakiman tidak hanya merdeka secara kelembagaan semata akan tetapi mengandung makna
perlindungan pula bagi hakim sebagai penegak hukum untuk bebas dari pengaruh-pengaruh dan direktiva yang
dapat berasal dari antara lain; lembaga-Iembaga di luar badan-badan peradilan, baik eksekutif maupun legislatif,
lembaga-lembaga internal didalam jajaran kekuasaan kehakiman sendiri, pengaruh-pengaruh pihak yang
berperkara, pengaruh tekanan-tekanan masyarakat, baik nasional maupun internasional dan pengaruh-
pengaruh yang bersifat “trial by the press”.
Batasan kemerdekaan kekuasaan kehakiman
Dalam The International Bar Association Code of Minimum Standrads of Judicial Independence, 1987
menyebutkan batasan-batasan dari kemerdekaan kekuasaan yudisial (kehakiman) yang meliputi (Lubis &
Santosa, 2000: 171):
1) Kemerdekaan personal
Kemerdekaan personal mensyaratkan bahwa pengisian jabatan hakim, termasuk pengangkatan,
pemindahan, pemensiunan, dan penggajian tidak ditetapkan oleh dan di bawah keputusan eksekutif.
2) Kemerdekaan substantif
Kemerdekaan substantif mensyaratkan seorang hakim harus memberi putusan sendiri atas dasar penalaran
atau argumentasi hukum sendiri, bukan atas dasar penalaran orang lain.
3) Kemerdekaan internal
Kemerdekaan internal berarti seorang hakim harus mampu mengambil putusan tanpa campur tangan kolega
atau atasannya.
4) Kemerdekaan kolektif
Kemerdekaan kolektif mengacu pada fakta bahwa suatu pengadilan adalah suatu badan atau lembaga yang
tidak bergantung pada kekuasaan pemerintahan yang lain.
Berkenaan dengan kemerdekaan kehakiman, Pasal 13 menetapkan organisasi, administrasi, dan finansial
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan dan kewenangan masing-masing
mahkamah tersebut. Dengan ketentuan tersebut semua pegawai yang mengurusi peradilan di bawah
Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Agama serta semua PNS di lingkungan peradilan militer menjadi
pegawai pada Mahkamah Agung.
Ketentuan tentang hal itu merupakan perkembangan yang telah dimulai sejak UU Nomor 39 Tahun 1999 dan
mengandung koreksi atas penyenggaraan kekuasaan kehakiman yang tidak merdeka pada masa Orde Baru.
Sebelumnya dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang dibuat oleh Orde Baru diatur, bahwa urusan organisatoris,
administratif, dan finansial dari badan peradilan berada di bawah departemen-departemen (Pasal 11 UU No. 14
Tahun 1970). Ketentuan tersebut diubah berdasarkan Ketetapan MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok
Reformasi Pembangunan dlam Rangka Penyelematan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan
Negara yang di antaranya mengagendakan adanya pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudisial dari
eksekutif. Pemisahan itu ditempuh dengan mengalihkan urusan organisatoris, administratif, dan finansial
menjadi di bawah Mahkamah Agung dan setelah amandemen termasuk di bawah Mahkamah Konstitusi.
2. Analisis atas tumpang tindihnya wewenang Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
Pasca perubahan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), kekuasaan kehakiman
tidak lagi dilaksanakan oleh satu lembaga negara, melainkan oleh dua mahkamah, yaitu Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Hal itu secara tegas dinyatakan dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945: “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Pilihan ini sebetulnya mirip dengan apa yang dilakukan oleh 78 negara lainnya di dunia. Dimana, selain
Mahkamah Agung (Supreme Court) dibentuk mahkamah yang berdiri sendiri yang secara umum diberi nama
Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Dengan demikian, kekuasaan kehakiman akan dilaksanakan oleh
dua mahkamah secara bersamaan.
Diselenggarakannya satu cabang kekuasaan oleh dua institusi yang berbeda setidaknya akan menimbulkan dua
dampak. Di satu sisi, kekuasaan tersebut akan dapat dilaksanakan secara efektif, di mana antara dua institusi
pelaku kekuasaan sama-sama dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik tanpa mengalami
persinggungan kewenangan yang dapat menimbulkan persoalan. Di lain sisi, pelaksanaan satu kekuasaan oleh
dua atau beberapa institusi potensial terjadinya tumpang tindih kewenangan, atau setidak-tidaknya akan
muncul pesinggungan kewenangan yang dapat berujung pada tidak efektifnya pelaksanaan kekuasaan
dimaksud.
Idealnya, pembagian kewenangan dalam rangka melakukan satu kekuasaan kepada dua institusi berbeda mesti
diikuti dengan pemberian batas demarkasi kewenangan yang jelas. Dimana, kewenangan institusi yang satu
dibedakan secara pasti dengan kewenangan lembaga yang lainnya. Sehubungan dengan itu, pembagian
kewenangan dalam melaksanakan kekuasaan yudikatif secara konseptual dapat dibelah menjadi dua bagian,
yaitu mahkamah sistem hukum (court of law) dan mahkamah keadilan (court of justice). Di mana, dengan
pembelahan seperti itu diyakini akan mampu menghindari terjadinya benturan antar kedua lembaga pelaku
kekuasaan kehakiman. Dengan pembelahan semacam itu, institusi pelaku kekuasaan kehakiman diidealkan akan
fokus pada bidang kewenananganya masing-masing. Secara bersamaan, benturan dalam pelaksanaan
kewenangan tidak akan terjadi atau setidak-tidaknya dapat dihindari sedemikian rupa.
Hanya saja, membaca desain yang ada, UUD 1945 ternyata tidak menganut pembelahan kewenangan seperti
itu pada saat munculnya ketentuan Pasal 24 Ayat (2), Pasal 24A Ayat (1) dan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Dalam
hal ini, UUD 1945 tidak menempatkan dua fungsi kekuasaan kehakiman kepada dua lembaga (MA dan MK)
secara terpisah. Padahal, dari sudut pandang teoretik, kehadiran Mahkamah Konstitusi diidealkan sebagai
mahkamah sistem hukum (court of law). Sedangkan Mahkamah Agung tetap dengan kedudukannya sebagai
mahkamah keadilan (court of justice).
Dengan kewenangan yang dimiliki sesuai Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945, MK tidak hanya bertindak
sebagai court of law, melainkan juga court of justice, seperti memutus sengketa/perselisihan hasil pemilihan
umum. Sementara di lain pihak, Mahkamah Agung juga tidak sepenuhnya diletakkan pada posisi sebagai court
of justice. Sebab, MA juga melakukan judicial review yang merupakan ranah court of law terhadap peraturan
Perundang-undangan meski dibatasi untuk peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Di mana
berdasarkan Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Agung diberikan kewenangan menguji peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.
Jika hendak menempatkan MA dan MK sebagai dua lembaga pelaku kekuasaan kehakiman dengan
persinggungan kewenangan yang sangat tipis, tentunya kewenangan pengujian peraturan Perundang-undangan
sepenuhnya mesti diberikan kepada MK, sedangkan penyelesaian sengketa seperti sengketa hasil pemilihan
umum sebagai bagian dari kerja court of justice sepenuhnya juga diserahkan kepada MA. Dengan pembagian
kewenangan demikian tentunya persinggungan kewenangan yang potensial memunculkan masalah dalam
pelaksanaannya tidak akan terjadi.
Pada kenyataannya, “percampuran” kewenangan antara MK dan MA telah menimbulkan berbagai persoalan.
Pada gilirannya, muncullah persinggungan kewenangan dua lembaga tersebut yang dapat berujung pada
terjadinya ketidakpastian hukum. Atas dasar itu pula muncul berbagai pertanyaan terkait persinggungan
kewenangan dan jalan penyelesaiannya, terutama kewenangan pengujian peraturan Perundang-
undangan (judicial review). Pertanyaan dimaksud adalah:
1) Pertama, apakah ratio legis ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 yang mengatur bahwa
Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya pengujian Undang-Undang dalam
jangka waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi?
2) Kedua, dalam hal Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang menyangkut tentang pengujian Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa suatu Undang-Undang tidak sah karena dinilai
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, apakah putusan tersebut secara juridis mengikat terhadap
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya?
3) Ketiga, dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi
terhadap rumusan dalam suatu Undang-Undang, maka penafsiran manakah yang secara juridis harus
dipedomani oleh pencari keadilan?
Semua pertanyaan di atas akan dijawab menggunakan pendekatan peraturan Perundang-undangan yang
mengatur tentang kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian
peraturan Perundang-undangan terhadap peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Kewenangan MA dan MK dalam Judicial Review


Sebagaimana disinggung sebelumnya, MA dan MK mempunyai kewenangan yang berbeda, namun kewenangan
tersebut saling bersinggungan. Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, MA berwenang:
1) mengadili pada tingkat kasasi
2) menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang
3) mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh UndangUndang.
Sementara itu, Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, bahwa MK berwenang:
1) mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap UUD
2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,
3) memutus pembubaran partai politik
4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain kewenangan, Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa MK memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD
1945.
Sesuai ketentuan Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945, MA berwenang untuk menguji peraturan Perundang-undangan
di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Sementara berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK
berwenang untuk menguji Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar. Merujuk ketentuan tersebut,
penggunaan wewenang pengujian peraturan Perundang-undangan (judicial review) menjadi salah satu titik
singgung yang mempertemukan kewenangan MA dengan kewenangan MK. Hal itu sangat mungkin terjadi pada
ketika seseorang mengajukan permohonan pengujian peraturan Perundang-undangan terhadap Undang-
Undang pada Mahkamah Agung. Dimana, pada saat bersamaan, Undang-Undang yang dijadikan batu uji dalam
pengujian di Mahkamah Agung juga diajukan pengujian terhadap Undang-Undang Dasar di Mahkamah
Konstitusi.
Pengalaman yang pernah terjadi misalnya, pada Tahun 2009, Zainal Maarif dan kawan-kawan mengajukan
permohonan pengujian Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman
Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan
Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota Tahun 2009 kepada Mahkamah Agung melalui Perkara Nomor 15 P/HUM/2009.
Dalam perkara tersebut Pemohon mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 22 huruf c dan pasal 23
Ayat (1) dan Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009. Ketentuan tersebut dinilai Pemohon bertentangan
dengan Pasal 205 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan
DPRD. Pada tanggal 18 Juni 2009, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan terhadap perkara uji materil (judicial
review) tersebut, di mana, MA menyatakan permohon dimaksud beralasan hukum dan dikabulkan. Sebab, Pasal
22 huruf c dan pasal 23 Ayat (1) dan Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 dinilai bertentangan dengan
UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota Legislatif. Akibat putusan tersebut, Partai politik
yang perolehan suaranya tidak mencapai angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) tidak akan dihitung sebagai
suara sisa dan tidak akan mendapatkan perolehan kursi.
Akibat putusan pengujian Peraturan KPU tersebut, sejumlah partai politik dan caleg mengajukan permohonan
pengujian terhadap Pasal 205 dan Pasal 212 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD dan DPRD kepada Mahkamah Konstitusi. Sebab, kedua ketentuan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tersebut dianggap multitafsir, terutama dalam kaitannya untuk mengimplementasikan sistem
proporsional yang dianut Undang-Undang Pemilu, sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian
hukum. Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan mengabulkan permohonan
Pemohon dan menyatakan Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 dan Pasal 212 Undang-Undang No 10 Tahun 2008
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang dimaknai bahwa suara partai partai politik yang
tidak memenuhi angka BPP tetap dihitung sebagai suara sisa dan diikutkan dalam pembagian perolehan kursi
DPR dan DPRD.
Pengalaman di atas menunjukkan bahwa hubungan kewenangan MA dan MK dalam pengujian peraturan
Perundang-undangan sangat rapat. Di mana, pelaksanaan kewenangan pengujian peraturan Perundang-
undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang tidak dapat dilepaskan dari kewenangan
pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Hal itu merupakan konsekuensi dari sistem
hierarkis peraturan Perundang-undangan Indonesia. Di mana, norma yang lebih rendah bersumber dan tidak
boleh bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai konsep stufentheorie yang
dibangun oleh Hans Kelsen dan muridnya Hans Nawiasky. Kewenangan pengujian peraturan Perundang-
undangan, baik yang dimiliki MA maupun MK adalah dalam rangka mempertahankan dan menegakkan prinsip
norma yang hierarkis tersebut.
Dalam konsep hierarkis dimaksud, Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 mengatur bahwa jenis
dan hierarki peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4) Peraturan Pemerintah;
5) Peraturan Presiden;
6) Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kekuatan hukum dari enam jenis peraturan Perundang-undangan di atas adalah sesuai dengan hierarkinya
masing-masing. Dalam Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dinyatakan, yang
dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan
pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Dapat dipahami bahwa kekuatan hukum sebuah Undang-
Undang adalah kesesuaiannya atau ketidakbertentangannya dengan Undang-Undang Dasar. Demikian juga
dengan peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang, kekuatan hukum berlakunya tergantung
pada kesesuaiannya dengan Undang-Undang.
Sepanjang peraturan Perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi (yang puncaknya adalah UUD 1945 sebagai hukum dasar atau hukum tertinggi), maka peraturan
tersebut sah dan mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Sebaliknya, apabila bertentangan, maka dapat
dibatalkan atau menjadi batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Dalam kerangka hubungan hierakis antara peraturan Perundang-undangan yang satu dengan yang lain inilah
hubungan MA dan MK dibangun. Di mana, MK berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar, sedangkan MA berwenang menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap
Undang-Undang. Dalam konteks ini, MK memiliki wewenang konstitusional untuk menafsirkan UUD 1945 dalam
rangka menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan MA berwenang melakukan
penafsiran terhadap Undang-Undang dalam rangka menguji peraturan perundangundangan di bawah Undang-
Undang terhadap Undang-Undang. Dalam hal ini, proses pengujian yang dilakukan MA akan sangat bergantung
pada bagaimana panafsiran MK terhadap Undang-Undang Dasar dalam menguji Undang-Undang yang dijadikan
batu uji dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.
Dengan hubungan kewenangan yang seperti itu, ruang perbedaan pandangan antara MA dan MK terbuka lebar.
Sebab, sangat mungkin terjadi kondisi di mana hakim agung dalam melakukan pengujian peraturan Perundang-
undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang tidak sejalan dengan penafsiran konstitusi oleh
MK dalam menguji Undang-Undang yang dijadikan MA sebagai batu uji.
Secara normatif, persoalan tersebut sebetulnya terjawab dengan keberadaan Pasal 55 Undang-Undang No 24
Tahun 2003 yang menyatakan, pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang
sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian
peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah
Konstitusi. Dengan ketentuan tersebut, hasil pengujian peraturan Perundang-undangan oleh MA akan sangat
bergantung pada hasil pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi oleh MK. Selain itu, sesuai
ketentuan tersebut, kemungkinan terjadinya permasalahan antara putusan MA dengan putusan MK dalam
pengujian peraturan Perundang-undangan dapat diatasi dengan merujuk pada pembagian kewenangan judicial
review yang dimiliki dua mahkamah tersebut.

Lingkup Keberlakuan Putusan Pengujian UU Oleh MK


Dengan persinggungan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan antara MA dan MK
sebagaimana telah diulas sebelumnya, berikut akan diuraikan tentang daya berlaku dan daya jangkau putusan
pengujian Undang-Undang yang dilakukan MK. Secara lebih khusus, apakah putusan MK tersebut secara yuridis
juga mengikat terhadap Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya?
Jawaban atas pertanyaan tersebut berhubungan erat dengan sifat putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal
24C Ayat (1) UUD 1945 dinyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Sesuai ketentuan tersebut, putusan pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi adalah final. Dalam
penjelasan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dijelaskan: “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final,
yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak
ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang
ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).”
Dengan demikian, apabila MK melalui putusan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
menyatakan : materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari suatu Undang-Undang bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sejak saat itu, putusan tersebut bersifat final. Sehingga
norma yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tidak lagi dapat dijadikan dasar hukum untuk
mengambil tindakan atau putusan. Pertanyaan selanjutnya, apakah putusan bersifat final tersebut hanya
mengikat pembentuk Undang-Undang atau mengikat semua pihak, termasuk Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung?
Terkait siapa saja addresat putusan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, menurut
pendapat Thomas Gawron, addresat putusan pengujian peraturan Perundang-undangan adalah semua pihak
(umum), di mana lembaga peradilan termasuk salah satunya. Sejalan dengan itu, Marurar Siahaan juga penah
mengemukakan, putusan pengujian Undang-Undang oleh hakim konstitusi sebagai negative legislator mengikat
secara umum baik terhadap warga negara maupun lembaga-lembaga negara sebagai penyelenggara kekuasaan
pemerintahan negara. Akibatnya, semua organ penegak hukum, terutama pengadilan terikat untuk tidak lagi
menerapkan hukum yang telah dibatalkan. Dengan demikian, sifat erga omnes putusan MK mengikat semua
orang, termasuk pejabat dan otoritas publik atau lembaga negara, oleh karenanya putusan tersebut mesti
dijadikan acuan atau rujukan dalam memperlakukan hak dan kewenangannya. Sejalan dengan itu, Hans Kelsen
juga mengemukakan, Undang-Undang yang “tidak konstitusional” tidak dapat diterapkan oleh setiap organ
lainnya.
Dalam konteks ini, Mahkamah Agung merupakan salah institusi atau organ negara yang juga terikat pada hasil
pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi. Sebab, dalam mengadili
suatu perkara, Mahkamah Agung tentu akan mendasarkan proses pemeriksaan dan putusannya pada Undang-
Undang tertentu. Dalam konteks itu, jika Undang-Undang yang dijadikan pedoman memeriksa perkara telah
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Agung berkewajiban untuk memedomaninya.
Daya keberlakuan putusan MK untuk umum seperti dijelaskan di atas juga dapat dikonfirmasi dengan daya
jangkau keberlakuan sebuah Undang-Undang. Di mana, akibat hukum dari pengundangan satu undang-undang
berlaku sama dalam hal Undang-Undang atau bagian Undang-Undang tersebut dibatalkan. Dalam arti, daya
berlaku Undang-Undang berbanding lurus dengan daya jangkau ketidakberlakuannya.
Dalam konteks itu, sebagai sebuah produk legislasi, Undang-Undang merupakan salah satu jenis peraturan
Perundang-undangan yang berlaku secara umum. Sebuah Undang-Undang berlaku untuk siapapun, baik warga
negara maupun penyelenggara negara. Setiap Undang-Undang mesti dipatuhi oleh semua orang dan semua
lembaga negara. Keberlakukan Undang-Undang tidak dipilah-pilah melainkan berlaku untuk semua. Dengan
demikian, setiap peraturan Perundang-undangan dianggap mempunyai daya laku serta daya ikat bagi setiap
orang atau semua pihak.
Seiring dengan sifat keberlakuan Undang-Undang, maka pada saat Undang-Undang atau bagian dari Undang-
Undang tersebut dibatalkan melalui proses pengujian Undang-Undang, maka ketidakberlakukan norma tersebut
juga berlaku umum. Ketidakberlakuan Undang-Undang bukan hanya bagi Pemohon yang mengajukan pengujian
Undang-Undang, juga bukan hanya bagi pembentuk Undang-Undang semata, melainkan berlaku untuk semua
pihak. Karena itu, tidak ada alasan untuk menolak putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menghilangkan
keberlakuan sebuah norma di dalam Undang-Undang.

Beda Penafsiran Terhadap Undang-Undang, Mana yang Diikuti?


Sebagaimana disinggung di atas, disebabkan sama-sama memiliki kewenangan dalam menguji peraturan
Perundang-undangan dan hanya berbeda dalam hal jenis peraturan yang diuji, perbedaan penafsiran antara MA
dan MK akan sangat mungkin terjadi. Bila memang betul-betul terjadi, penafsiran manakah yang secara juridis
harus dipedomani oleh pencari keadilan?
Pertanyaan tersebut pada dasarnya dapat dijawab dengan sistem hierarki peraturan Perundang-undangan yang
dianut dalam Undang-Undang No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di
mana, MK diberi kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, sementara MA
diberi kewenangan untuk menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap undang-
undang.
Perbedaan penafsiran antara dua lembaga ini sangat mungkin terjadi ketika hendak menafsirkan Undang-
Undang. Sebab, bagi MK undang-undang merupakan objek yang diuji terhadap UUD 1945, sedangkan bagi MA
Undang-Undang adalah batu uji untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang
terhadap Undang-Undang. Apabila perbedaan penafsiran terhadap Undang-Undang tersebut benar-benar
terjadi, maka yang semestinya diikuti adalah penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebab,
penafsiran Mahkamah Konstitusi didasarkan pada norma konstitusi. Dalam hal ini, sumber validitas penafsiran
MK adalah konstitusi. Sementara sumber valitasi penafsiran MA adalah Undang-Undang itu sendiri. MA sesuai
kewenangan tidak dapat memasuki ranah penafsiran konstitusi. Sebab, itu merupakan ranah kewenangan MK.
Oleh karena itu, MA pun mesti tunduk pada penafsiran yang dilakukan MK terhadap UUD 1945 dalam menilai
dan menafsirkan sebuah atau bagian Undang-Undang tertentu.
Secara konseptual, MK merupakan lembaga yang diberikan otoritas oleh konstitusi bertindak sebagai organ yang
menjalankan pengawasan terhadap Undang-Undang, di mana lembaga ini dapat saja menghapus sepenuhnya
Undang-Undang yang tidak konstitusional. Dalam kapasitas seperti itu, Bishop Hoadly sebagaimana dikutip
Kelsen pernah mengatakan: “barangsiapa mempunyai wewenang absolut untuk menafsirkan hukum tertulis
atau tidak tertulis, maka dialah orang yang sesungguhnya pemberi makna hukum kepada semua maksud dan
tujuan hukum tersebut, dan bukan orang yang pertama kali menuliskannya atau mengucapkannya; lebih tegas
lagi barangsiapa mempunyai wewenang absolut bukan hanya untuk menafsirkan hukum, tetapi juga untuk
mendefenisikan hukum, maka dialah sesungguhnya pemberi makna hukum).
Apabila pendapat tersebut disandingkan dengan norma Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, dapat dipahami bahwa
Mahkamah Konstitusi merupakan otoritas yang memiliki kewenangan konstitusional untuk bertindak sebagai
penafsir konstitusi. Dalam konteks itu, MK merupakan lembaga yang sesungguhnya berwenang memberi makna
terhadap Undang-Undang sebagai hukum. Posisi MK sebagai penafsir konstitusi sekaligus sebagai lembaga yang
berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, di mana penafsiran MK-lah yang mesti
dipedomani ketika terjadi perbedaan penafsiran terhadap Undang-Undang, juga dikuatkan dengan keberadaan
beberapa norma yang terdapat dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Ketentuan dimaksud adalah sebagai berikut:
Pasal 53
“Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian
Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.”
Pasal 55
“Pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang sedang dilakukan
Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan
tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah
Konstitusi.”
Pemberitahuan kepada MA tentang adanya permohonan pengujian Undang-Undang serta adanya kewajiban
MA untuk menghentikan proses pengujian terhadap peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang
ketika Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang diuji oleh MK menyiratkan dua
hal pokok, yaitu:
1) kewenangan pengujian peraturan Perundangundangan di bawah undangundang oleh MA tunduk pada
sistem hierarki peraturan Perundang-undangan. Di mana, apabila Undang-Undang sebagai peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi sedang diuji di MK, maka pengujian peraturan Perundang-undangan
di bawahnya mesti dihentikan.
2) penafsiran Undang-Undang dalam rangka menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-
Undang yang dilakukan MA mesti mengikuti penafsiran Undang-Undang sebagai peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi sebagaimana dilakukan oleh MK.
Referensi
1) Maria Farida Indrati, et.al. 2015. Teori Perundang-Undangan. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
2) Frans Magnis Suseno. 1991. Etika Politik : Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta : Gramedia.
3) Lubis, Todung Mulya & Mas Achmad Santosa. 2000. Regulasi Ekonomi, Sistem yang Berjalan Baik dan
Lingkungan: Agenda Reformasi Hukum di Indonesia dalam Arief Budiman et al. (ed.), Harapan dan Kecemasan
Menatap Arah Reformasi Indonesia. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
4) Afif Noor. 2011. Independensi Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar
1945. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Wali Songo Semarang.
5) Jimly Asshiddiqie. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesi. Jakarta:, Sinar Grafika.
6) Yuliandri. 2008. Pembagian Wewenang dan Pertanggungjawaban Kekuasaan Kehakiman Pascaamandemen
UUD 1945, dalam Mohammad Fajrul Falaakh (Penyunting), Gagasan Amandemen UUD 1945 Suatu
Rekomendasi.Jakarta: Komisi Hukum Nasional
7) Saldi Isra. 2019. Titik Singgung Wewenang Mahkamah Agung Dengan Mahkamah Konstitusi. Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang
8) Firman Floranta Adonara. 2015. Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi.
Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015, diakses tanggal 4 Juli 2021.
9) I Gusti Ketut Ariawan. 2010. Penerobosan Terhadap Batas-Batas Kekuasaan Kehakiman. Jurnal MMH Jilid 39,
Desember 2010, diakses tanggal 4 Juli 2021
10) Aidul Fitriciada Azhari. 2005. Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dan Bertanggung Jawab Di Mahkamah
Konstitusi: Upaya Menemukan Keseimbangan. Jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 89 – 118, diakses
pada 4 Juli 2021.
2 1. Hak gugat dari pemohon Uji Materi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP)
Hak gugat atau sering kali disebut dengan istilah legal standing, secara harfiah berasal dari sistem hukum
common law. Menurut Bambang Sutiyoso, legal standing dapat diartikan sebagai kualitas atau hak
menggugat/berperkara ke pengadilan dengan mengatasnamakan kepentingan kelompok masyarakat tertentu.
Legal standing juga dikenal sebagai Ius Standi atau Standing to Sue atau Locus Standi.
Pemohon pada Uji Materil Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP), terdiri dari 5 orang pemohon yaitu:
1) Sharon Clarins Herman, SH (Mahasiswa Pascasarjana FH UI)
2) Ronaldo Heinrich Herman, SH (Mahasiswa Pascasarjana FH UI)
3) Nikita Johanie (Mahasiswa S1 FH Universitas Kristen Indonesia)
4) Alvanda Yazari Proklamethia (Siswa SMK Yadika 6)
5) Wisnu Prabawa (Orang Tua Siswa SMP Negeri 6 Pondok Gede, Bekasi)
Kedudukan Hukum (Legal Standing) dan Kepentingan Hukum Para Pemohon adalah sebagai berikut:
1) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung, yang dapat
mengajukan permohonan uji materi adalah “(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang, yaitu: a. perorangan warga Negara Indonesia, b. kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau c. badan hukum publik atau badan
hukum privat”
2) Bahwa Para Pemohon adalah perseorangan Warga Negara Indonesia sebagaimana terbukti dari Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atau yang mereka miliki;
3) Bahwa Pemohon 1 dan 2 adalah mahasiswa aktif di Universitas Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu
Tanda Mahasiswa atau Surat Keterangan Aktif Kuliah
4) Bahwa Pemohon 3 adalah mahasiswa aktif di Universitas Kristen Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu
Tanda Mahasiswa atau Surat Keterangan Aktif Kuliah
5) Bahwa Pemohon 4 adalah siswa di Sekolah Menengah Kejuruan Yadika 6 yang dibuktikan dengan Kartu
Pelajar
6) Bahwa Pemohon 5 adalah orang tua siswa yang anaknya bersekolah di SMP Negeri 6 Pondok Gede, Bekasi.
7) Bahwa para pemohon merasa dirugikan dengan tidak dimasukkannya “Pancasila” sebagai kurikulum wajib
pada Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Hal ini tertuang
dalam Pasal 40 ayat 2 yang menyebutkan: “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a.
pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; c. bahasa; d. matematika; e. ilmu pengetahuan alam;
f.ilmu pengetahuan sosial; g. seni dan budaya; h. pendidikan jasmani dan olahraga; i.
keterampilan/kejuruan; dan j. muatan lokal,” serta ayat 3 yang menyebutkan : “Kurikulum pendidikan tinggi
wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; dan c. bahasa.”
8) Bahwa Para Pemohon merasa dirugikan dengan hilangnya “Pancasila” sebagai kurikulum wajib karena
mereka tidak akan mendapatkan Pendidikan Pancasila secara langsung yang diajarkan pada Pendidikan
formal. Padahal pendidikan teramat sangat penting dalam pengembangan karakter, etika, dan integritas
pada anak didik dimanapun jenjangnya. Sementara itu, Pancasila adalah nilai moral dan basis pendidikan
kewarnegaraan yang selalu diajarkan pada setiap jenjang Pendidikan. Dalam konteks pendidikan, Pancasila
merupakan upaya penanaman nilai ideologi dan karakter bangsa Indonesia. Di tengah gempuran yang
memporak porandakkan ideologi kebangsaan dengan maraknya gempuran pemahaman trans nasional dan
tumbuh sumburnya pemahaman terorisme maupun pemahaman non pancasilais lainnya.
9) Bahwa pemberlakuan Pasal 40 ayat 2 dan 3 Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2021 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP), telah mengakibatkan kerugian terhadap Pemohon 1 – 5 karena secara nyata-
nyata telah menciptakan system pendidikan yang membayakan bagi masa depan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang bergantung pada generasi-generasi muda yang menempuh Pendidikan formal. Penghapusan
ini berpotensi mengubur Pancasila dalam upaya Pembudayaan Pancasila melalui jalur Pendidikan Nasional,
dimana penghapusan Pancasila sama dengan menghapus landasan sebagai nilai moral.
10) Bahwa berdasarkan uraian di atas, sudah cukup menurut hukum untuk menyatakan bahwa Para Pemohon
memenuhi ketentuan dan syarat untuk memiliki kedudukan hukum (legal standing) dan mengajukan
permohonan a quo sebagai perseorangan Warga Negara Indonesia yang dirugikan haknya ataupun paling
tidak potensial dirugikan haknya.

2. Analisis akibat hukum dari putusan Mahkamah Agung sebagai lembaga yang menerima permohonan
pengujian tersebut.
Ketika Mahkamah Agung menerima permohonan uji materi atas suatu peraturan perundang-undangan, maka
peraturan perundang-undangan yang dimohonkan uji materinya tersebut masih sah dan berlaku untuk umum
hingga terbitnya putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht).
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, yaitu karena peraturan
perundang-undangan yang dimohonkan Uji Materi tersebut bertentangan dengan UU atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, maka permohonan Uji Materi tersebut dapat dikabulkan atau dapat
diterima.
Mahkamah Agung dalam amar putusannya, menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan
yang lebih tinggi. Oleh Mahkamah Agung peraturan perundang-undangan yang dimohonkan Uji Materi tersebut
dinyatakan sebagai tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat untuk umum, serta memerintahkan
kepada instansi yang bersangkutan segera mencabutnya;
Dalam kasus ini maka Mahkamah Agung akan memerintahkan Presiden Republik Indonesia mencabut Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) sehingga tidak memiliki
kekuatan yang mengikat. Sehingga penyusunan kurikulum pendidikan dasar, menengah akan mengacu pada
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Pendidikan
Tinggi juga akan lebih detail dan spesifik diatur pula pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Referensi:
1)Bambang Sutiyoso, Implementasi Gugatan Legal Standing dan Class Action dalam Praktik Peradilan di Indonesia,
Jurnal Hukum, Nomor 26, Volume 11, Mei 2004, hal. 67.
2)Peraturan Mahkamah Agung tentang Hak Uji Material No.1 tahun 2011
3)Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP)
3 Nomor : XXxxxxxxxxxx Jakarta, 27 April 2021
Perihal : Permohonan Pengujian Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun
2021 tentang Standar Nasional Pendidikan TERHADAP Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Kepada Yth.
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
Di-Jakarta

Dengan Hormat,
Perkenankanlah kami :
Viktor Santoso Tandiasa seorang Advokat pada “Viktor Santoso & PARTNERS” yang beralamat di Jl. HR. Rasuna Said,
Kawasan Epicentrum Utama, Mall Epicentrum Walk, Office Suites A529, Kuningan – Jakarta Selatan, berdasarkan
surat kuasa khusus Nomor xxxxxxxxxx tertanggal 25 April 2021, dalam hal ini bertindak kuasa hukum bersama-sama
ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama:
1) Sharon Clarins Herman, SH, seorang Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang
beralamat di Jl. Prof. Mr Djokosoetono, Beji, Depok, Jawa Barat. Untuk selanjutnya disebut --------------------
sebagai Pemohon 1
2) Ronaldo Heinrich Herman, SH seorang Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang
beralamat di Jl. Prof. Mr Djokosoetono, Beji, Depok, Jawa Barat. Untuk selanjutnya disebut -------------------
sebagai Pemohon 2
3) Nikita Johanie, seorang Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, yang beralamat di Jl.
Mayjen Sutoyo No.2, RT.9/RW.6, Cawang, Kec. Kramat jati, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta. Untuk selanjutnya disebut -------------------------- sebagai Pemohon 3
4) Alvanda Yazari Proklamethia, seorang Siswa SMK Yadika 6 Bekasi, yang beralamat Jl. Wadas Raya No.38,
RT.005/RW.003, Jaticempaka, Kec. Pondokgede, Kota Bekasi, Jawa Barat. Untuk selanjutnya disebut --------
------sebagai Pemohon 4
5) Wisnu Prabawa, Orang Tua Siswa SMP Negeri 6 Pondok Gede Bekasi, yang beralamat di Jl.Mesjid Nurul
Ihsan, RT.001/RW.011, Jatiwaringin, Kec. Pondokgede, Kota Bekasi, Jawa Barat. Untuk selanjutnya disebut
--------------sebagai Pemohon 5
Untuk selanjutnya secara keseluruhan Pemohon tersebut disebut ------------------------------ sebagai PARA PEMOHON
Dengan ini Para Pemohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Agung untuk melakukan
Pengujian Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan TERHADAP
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi;
Bahwa selanjutnya perkenankanlah kami mengemukakan dalil-dalil diajukannya permohonan Pengujian Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan TERHADAP Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yakni sebagai berikut :
1. KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG
1) Perubahan UUD Negara Republik Indonesia 1945 telah menciptakan sebuah kewenangan baru bagi
Mahkamah Agung yang berfungsi untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang
terhadap Undang-Undang, sebagaimana tertuang dalam Pasal 24A Undang-Undang Dasar Negara RI 1945,
yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung. Selain itu juga diatur lebih lanjut melalui Undang-Undang nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
2) Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MA adalah menguji peraturan perundang-undangan
dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 24A Ayat (1) UUD NRI
1945 yang berbunyi: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat Kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang…”
3) Selanjutnya, Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan:
“ (1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-
Undang terhadap Undang-Undang.
(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang atas
alasan bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku…”
Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, menyatakan: “(2) Mahkamah Agung berwenang :menguji peraturan perundang-undangan
dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang; dan…”
4) Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menyatakan “Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-
Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”;
Berdasarkan uraian angka 1 sampai 4 di atas, maka tidak ada keraguan sedikitpun bagi para Pemohon
menyimpulkan, bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk mengadili permohonan Pengujian Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan TERHADAP Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final.
2. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)
1) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung, yang dapat
mengajukan permohonan uji materi adalah “(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang, yaitu: a. perorangan warga Negara Indonesia, b. kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau c. badan hukum publik atau
badan hukum privat”
2) Bahwa Para Pemohon adalah perseorangan Warga Negara Indonesia sebagaimana terbukti dari Kartu
Tanda Penduduk (KTP) atau yang mereka miliki;
3) Bahwa Pemohon 1 dan 2 adalah mahasiswa aktif di Universitas Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu
Tanda Mahasiswa atau Surat Keterangan Aktif Kuliah
4) Bahwa Pemohon 3 adalah mahasiswa aktif di Universitas Kristen Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu
Tanda Mahasiswa atau Surat Keterangan Aktif Kuliah
5) Bahwa Pemohon 4 adalah siswa di Sekolah Menengah Kejuruan Yadika 6 yang dibuktikan dengan Kartu
Pelajar
6) Bahwa Pemohon 5 adalah orang tua siswa yang anaknya bersekolah di SMP Negeri 6 Pondok Gede, Bekasi.
7) Bahwa para pemohon merasa dirugikan dengan tidak dimasukkannya “Pancasila” sebagai kurikulum wajib
pada Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Hal ini tertuang
dalam Pasal 40 ayat 2 yang menyebutkan: “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a.
pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; c. bahasa; d. matematika; e. ilmu pengetahuan alam;
f.ilmu pengetahuan sosial; g. seni dan budaya; h. pendidikan jasmani dan olahraga; i.
keterampilan/kejuruan; dan j. muatan lokal,” serta ayat 3 yang menyebutkan : “Kurikulum pendidikan tinggi
wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; dan c. bahasa.”
8) Bahwa Para Pemohon merasa dirugikan dengan hilangnya “Pancasila” sebagai kurikulum wajib karena
mereka tidak akan mendapatkan Pendidikan Pancasila secara langsung yang diajarkan pada Pendidikan
formal. Padahal pendidikan teramat sangat penting dalam pengembangan karakter, etika, dan integritas
pada anak didik dimanapun jenjangnya. Sementara itu, Pancasila adalah nilai moral dan basis pendidikan
kewarnegaraan yang selalu diajarkan pada setiap jenjang Pendidikan. Dalam konteks pendidikan, Pancasila
merupakan upaya penanaman nilai ideologi dan karakter bangsa Indonesia. Di tengah gempuran yang
memporak porandakkan ideologi kebangsaan dengan maraknya gempuran pemahaman trans nasional dan
tumbuh sumburnya pemahaman terorisme maupun pemahaman non pancasilais lainnya.
9) Bahwa pemberlakuan Pasal 40 ayat 2 dan 3 Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2021 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP), telah mengakibatkan kerugian terhadap Pemohon 1 – 5 karena secara nyata-
nyata telah menciptakan system pendidikan yang membayakan bagi masa depan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang bergantung pada generasi-generasi muda yang menempuh Pendidikan formal.
Penghapusan ini berpotensi mengubur Pancasila dalam upaya Pembudayaan Pancasila melalui jalur
Pendidikan Nasional, dimana penghapusan Pancasila sama dengan menghapus landasan sebagai nilai
moral.
10) Bahwa berdasarkan uraian di atas, sudah cukup menurut hukum untuk menyatakan bahwa Para Pemohon
memenuhi ketentuan dan syarat untuk memiliki kedudukan hukum (legal standing) dan mengajukan
permohonan a quo sebagai perseorangan Warga Negara Indonesia yang dirugikan haknya ataupun paling
tidak potensial dirugikan haknya.
3. POKOK PERMOHONAN
Pasal 40 ayat 2
(2) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan;
c. bahasa;
d. matematika;
e. ilmu pengetahuan alam;
f. ilmu pengetahuan sosial;
g. seni dan budaya;
h. pendidikan jasmani dan olahraga;
i. keterampilan/kejuruan; dan
j. muatan lokal,
Pasal 40 ayat 3
(3) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan; dan
c. bahasa.
4. ALASAN PERMOHONAN KEBERATAN (POSITA)
1) Bahwa Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), telah
menghilangkan Pancasila yang seharusnya menjadi dasar Dasar Pendidikan Nasional dengan tidak
memasukkannya menjadi kurikulum wajib dalam peraturan perundangan ini. Padahal PP ini merupakan
peraturan yang mengatur lebih lanjut (rigid) hal-hal yang sudah atau pun belum diatur dalam Undang-
Undang No 20 Tahun 2003 tentang tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi;
2) Bahwa dalam ketentuan Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang tentang Sistem
Pendidikan Nasional memang tidak tercantum Pancasila dalam kurikulum, namun pengaturan dalam Pasal
36 ayat (3) Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang tentang Sistem Pendidikan Nasional terdapat kata
frasa 'dengan memperhatikan' yang merupakan frasa terbuka (bukan pengaturan rigid). Berbeda dengan
pengaturan dalam Pasal 35 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menggunakan
frasa 'wajib memuat mata kuliah' yang bersifat perintah. Sehingga, Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2021
tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagai peraturan perundang-undangan yang menindaklanjuti
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi, seharusnya mengatur secara rigid dengan mengatur Pendidikan Pancasila masuk
dalam kurikulum wajib. Karena apabila kita cermati secara sistematis pengaturan dalam Undang-Undang No
20 Tahun 2003 tentang tentang Sistem Pendidikan Nasional; Pancasila sebagai Dasar Pendidikan Nasional
sudah ditegaskan dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 2 Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang tentang
Sistem Pendidikan Nasional;
3) Bahwa dalam Pasal 35 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dinyatakan: “Kurikulum
Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat mata kuliah: a. Agama, b. Pancasila,
c. kewarganegaraan, dan d. Bahasa Indonesia.” Sehingga jika pada jenjang Pendidikan Tinggi saja Pancasila
menjadi kurikulum wajib, maka sudah seharusnya dalam Kurikulum Pendidikan Dasar, Menengah juga wajib
memasukkan Pancasila sebagai Kurikulum Wajib. Terlebih dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 2 Undang-Undang
No 20 Tahun 2003 tentang tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menegaskan bahwa Pendidikan
nasional adalah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
4) Bahwa Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), tidak memuat
dan merujuk sama sekali UU No12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, tetapi hanya merujuk UU No 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Padahal, dalam UU tersebut, khususnya di Pasal 37, baik di
ayat 1 untuk Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah, maupun ayat 2 untuk kurikulum Pendidikan Tinggi,
tidak memuat secara khusus dan penyebutan secara eksplisit tentang Pendidikan Pancasila. Penyebutan
yang implisit ini dapat diterlusuri, karena suasana kebatinan saat perumusan Undang-Undang No 20 Tahun
2003 tentang tentang Sistem Pendidikan Nasional menginginkan agar Pancasila tidak dikeramatkan, tidak
disakralkan seperti praktik negatif Pancasila pada era Orde Baru. Waktu itu Pancasila lebih banyak digunakan
sebagai alat politik untuk menstigmatisasi kelompok yang bersebarangan dengan pemerintah. Alhasil,
Pancasila hanya dimasukkan ke dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Meskipun begitu kata
Pancasila tidak hilang 100%, namun dapat kita temukan pada Pasal 1 ayat 2 BAB I Ketentuan Umum Undang-
Undang No 20 Tahun 2003 tentang tentang Sistem Pendidikan Nasional berbunyi: “pendidikan nasional
adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman.“
5) Bahwa bagaimanpun Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP),
tidak merujuk prinsip lex specialis pada UU No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi dalam Pasal 35 ayat
3 butir c. Padahal, dalam Pasal tersebut secara jelas menyebutkan kurikulum Pendidikan Tinggi wajib
memuat mata kuliah Pancasila, yang artinya jelas bahwa peraturan pemerintah itu bertentangan dengan UU
No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
6) Bahwa dengan hilangnya Pancasila sebagai kurikulum wajib, akan membatasi akses peserta didik atas
Pendidikan Pancasila secara langsung yang diajarkan pada Pendidikan formal. Padahal pendidikan teramat
sangat penting dalam pengembangan karakter, etika, dan integritas pada anak didik dimanapun jenjangnya.
Sementara itu, Pancasila adalah nilai moral dan basis pendidikan kewarnegaraan yang selalu diajarkan pada
setiap jenjang Pendidikan. Dalam konteks pendidikan, Pancasila merupakan upaya penanaman nilai ideologi
dan karakter bangsa Indonesia. Di tengah gempuran yang memporak porandakkan ideologi kebangsaan
dengan maraknya gempuran pemahaman trans nasional dan tumbuh sumburnya pemahaman terorisme
maupun pemahaman non pancasilais lainnya.
7) Bahwa pemberlakuan Pasal 40 ayat 2 dan 3 Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2021 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP), telah nyata-nyata menciptakan system pendidikan yang membayakan bagi masa
depan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang bergantung pada generasi-generasi muda yang menempuh
Pendidikan formal. Penghapusan ini berpotensi mengubur Pancasila dalam upaya Pembudayaan Pancasila
melalui jalur Pendidikan Nasional, dimana penghapusan Pancasila sama dengan menghapus landasan
sebagai nilai moral.

5. PETITUM
Bahwa selanjutnya berdasarkan alasan-alasan hukum di atas, maka mohon kiranya Majelis Hakim Mahkamah
Agung berkenan memutuskan:
1) Menerima seluruh permohonan para Pemohon;
2) Menyatakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan
bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi;
3) Menyatakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat ;
4) Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Atau mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aquo et Bono);
Bahwa selanjutnya untuk menguatkan dalil-dalil permohonan, para Pemohon telah mengajukan barang bukti
berupa naskah UU, PP, dan surat-surat yang diberi tanda P- 1 sampai dengan P-X sebagaimana terlampir ;
Demikian Permohonan Kami, atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih.

Hormat Kami,

Viktor Santoso
Kuasa Hukum Para Pemohon:
4 1. Analisis wewenang MK dengan kewenangan legislatif dalam putusan.
Wewenang Mahkamah Konstitusi
Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menggariskan wewenang
Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang Undang Dasar.
Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dengan rincian sebagai berikut:
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannnya bersifat final
untuk:
a. Menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai
dengan Pasal 60. Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-
kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung
kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi
suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di
atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi,
mekanisme yang disepakati adalah judicial review. Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu
dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan MK. Melalui
kewenangan judicial review, MK menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan
hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang disertai
persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara
tersebut. Hal ini mungkin terjadi mengingat sistem relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya
menganut prinsip check and balances, yang berarti sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama lain.
Sebagai akibat relasi yang demikian itu, dalam melaksanakan kewenangan masing-masing timbul
kemungkinan terjadinya perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD., MK dalam hal ini, akan menjadi
wasit yang adil untuk menyelesaikannya. Kewenangan mengenai ini telah diatur dalam Pasal 61 sampai
dengan Pasal 67 UU Nomor 24 Tahun 2003.
c. Memutus pembubaran partai politik;
Kewenangan ini diberikan agar pembubaran partai politik tidak terjebak pada otoritarianisme dan arogansi,
tidak demokratis, dan berujung pada pengebirian kehidupan perpolitikan yang sedang dibangun.
Mekanisme yang ketat dalam pelaksanaannya diperlukan agar tidak berlawanan dengan arus kuat
demokrasi. Partai politik dapat dibubarkan oleh MK jika terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan
kegiatannya bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 74 sampai dengan Pasal 79 UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi telah mengatur kewenangan ini.
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan
perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU
mempengaruhi 1). Terpilihnya anggota DPD, 2). Penetapan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua
pemilihan presiden. dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden, dan 3).
Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam Bagian
Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum habis masa
jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of
law dan equality before law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum
sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang
presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah MK.
Dalam hal ini hanya DPR yang dapat mengajukan ke MK. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya
pendapat semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 2/3 (dua
pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya
2/3 (dua per tiga) anggota DPR.
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur
dalam undang-undang.
b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-
undang.
c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih.
d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 6 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Wewenang Legislatif
Lembaga legislatif merupakan lembaga atau dewan yang mempunyai tugas serta wewenang membuat atau
merumuskan Undang-Undang yang ada di sebuah negara. Selain itu, lembaga legislatif juga diartikan sebagai
lembaga legislator, yang mana jika di negara Indonesia lembaga ini dijalankan oleh DPD (Dewan Perwakilan
Daerah), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat, dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).
Legislative review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk
mengubah suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu undang-
undang dapat meminta legislative review ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan tentunya pemerintah (dalam
UUD 1945, pemerintah juga mempunyai kewenangan membuat UU) untuk mengubah UU tertentu.
Terkait dengan fungsi legislasi, DPR memiliki tugas dan wewenang:
1) Menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
2) Menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU)
3) Menerima RUU yang diajukan oleh DPD (terkait otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan SDA dan SDE lainnya; serta perimbangan keuangan pusat
dan daerah)
4) Membahas RUU yang diusulkan oleh Presiden ataupun DPD
5) Menetapkan UU bersama dengan Presiden
6) Menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU (yang diajukan Presiden) untuk
ditetapkan menjadi UU
Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa MK memiliki kewenangan yang berbeda dengan
kewenangan legislatif dalam putusannya. Karena kewenangan tersebut diberikan sesuai dengan isi materi
putusan perundang-undangannya. Walaupun kewenangan hak menguji sepenuhnya dilakukan oleh badan
Yudikatif dalam hal ini adalah MK, akan tetapi juga bisa dilakukan oleh badan Legislatif dan Eksekutif sehingga
terciptanya sistem check and balance (saling mengontrol).
Dewan Perwakilan Rakyat adalah organ pembentuk undang-undang. Karena itu, dalam memeriksa undang-
undang yang diajukan pengujiannya, Mahkamah Konstitusi harus memperhatikan dan mempertimbangkan
dengan sungguh-sungguh keterangan, baik lisan maupun tertulis dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
pembentuk Undang- Undang.
Dewan Perwakilan Rakyat juga dapat bertindak sebagai pihak dalam persidangan perkara sengketa kewenangan
antar lembaga negara. Misalnya, DPR dapat saja berwengketa dengan Dewan Perwakilan Daerah dalam
menjalankan kewenangannya menurut Undang-Undang Dasar. Begitu juga DPR dapat saja bersengketa dengan
Presiden, dengan BPK, atau dengan MPR dalam menjalankan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh
Undan-Undang Dasar kepada lembaga-lembaga tersebut. Di samping itu, DPR juga berperan penting dalam
penentuan anggaran negara, termasuk dalam hal ini adalah anggaran MK yang tersendiri sesuai ketentuan
Undang-Undang.
Dengan perkataan lain, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat dapat berkaitan dengan status DPR sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim
konstitusi, DPR sebagai pembentuk undang-undang, dan DPR sebagai lembaga negara yang berpotensi
bersengketa dengan lembaga negara lain dalam menjalankan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar.
Di samping itu, sengketa hasil pemilihan umum yang berpengaruh terhadap terpilih tidaknya anggota DPR; dan
yang terakhir pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melanggar hukum atau telah
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, juga
ditentukan dan diputuskan oleh MK. Dalam hal yang terakhir ini, DPR bertindak sebagai pemohon kepada MK.
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai legislatif mempunyai kekuasaan sebagai pembentuk Undang-Undang. Untuk
itu sebagai pembentuk undang-Undang, DPR RI dapat diminta oleh Mahkamah Konstitusi agar hadir pada sidang
uji materil terhadap sebuah Undang-Undang sebagai salah satu pemberi keterangan. Hubungan Mahkamah
Konstitusi dengan DPR kalau ada dugaan oleh DPR terhadap Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
(1) penghianatan terhadap negara, (2) korupsi, (3) penyuapan, (4) tindak pidana berat lainnya, (5) perbuatan
tercela, (6) tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden.
Pada posisi ini, DPR tidak bisa lagi langsung meminta pertanggung jawaban politik Presiden kehadapan sidang
MPR, tetapi terlebih dahulu harus mendapat putusan dari Mahkamah Konstitusi, apakah Presiden terbukti
melanggar atau tidak. Berkenaan dengan pengajuan pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran oleh
Presiden/Wakil Presiden maka DPR harus mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi beserta alasan atau
pelanggaran yang dilakukan Presiden dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/wakil Presiden
dilengkapi keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan. Terhadap permohonan yang diajukan oleh DPR
tersebut maka Mahkamah Konstitusi diberikan waktu paling lambat dalam 90 hari sejak di catat dalam buku
registrasi, sudah harus diputus diterima atau ditolak secara hukum.
Hubungan lainnnya antara Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah dalam adanya sengketa
kewenangan antara lembaga negara lainnya dengan DPR. Satu hal kedepan yang bisa menjadi sengketa
kewenangan antar lembaga negara adalah antara DPR dengan DPD menyangkut tidak diikut sertakannya DPD
dalam pembahasan sebuah RUU yang juga merupakan kewenangan DPD untuk ikut membahasnya bersama DPR.

2. Analisis akibat dari putusan hakim yang melampaui wewenangnya


Tujuan diadakannya suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim. Putusan hakim
atau lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan atau dinanti-
nantikan oleh pihak-pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan sebaik-
baiknya. Sebab dengan putusan hakim tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian
hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.
Untuk dapat memberikan putusan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan,
hakim sebagai aparatur negara yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang
sebenarnya, serta peraturan hukum yang mengaturnya yang akan diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis seperti hukum kebiasaan. Karenanya
dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Prof. Sudikno Mertokusumo, S.H. memberikan definisi putusan hakim sebagai suatu pernyataan yang oleh hakim,
sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau suatu sengketa antara para pihak.
Asas Putusan Hakim adalah asas-asas yang semestinya ditegakkan dalam setiap putusan. Asas-asas ini dijelaskan
dalam Pasal 178 H.I.R., Pasal 189 R.Bg. dan beberapa pasal yang terdapat dalam Undang-Undang No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Asas tersebut adalah sebaga berikut:
1) Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
2) Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
3) Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
4) Diucapkan di Muka Umum
Putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Larangan ini disebut ultra
petitum partium. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 178 ayat (3) H.I.R., Pasal 189 ayat (3) R.Bg. dan Pasal 50 Rv.
Menurut asas ini hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugat, dianggap telah melampaui
batas wewenang atau ultra vires yakni bertindak melampaui wewenangnya (beyond the powers of his authority).
Dengan demikian, apabila suatu putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun
hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public
interest). Hal ini mengingat bahwa peradilan perdata semata-mata hanya sebagai sarana penyelesaian sengketa
antara kedua belah pihak guna melindungi kepentingan para pihak yang bersengketa, bukan untuk kepentingan
umum (public interest). Hal senada juga disampaikan oleh R. Soepomo yang menganggap peradilan perdata
sebagai urusan kedua belah pihak semata-mata, dimana hakim harus bertindak pasif.
Yahya Harahap beranggapan bahwa mengadili dengan cara mengabulkan melebihi dari apa yang digugat, dapat
dipersamakan dengan tindakan yang tidak sah (ilegal). Sehingga menurutnya, hakim yang melanggar prinsip ultra
petitum sama dengan pelanggaran terhadap prinsip rule of law, karena tindakan itu tidak sesuai dengan hukum,
padahal menurut prinsip rule of law semua tindakan hakim harus sesuai dengan hukum.
Sementara itu, Mahkamah Agung dalam salah satu putusannya menyatakan bahwa dimungkinkan mengabulkan
gugatan yang melebihi permintaan sepanjang masih dalam kerangka yang serasi dengan inti gugatan atau masih
sesuai dengan kejadian materiil. Hal ini terkait dengan putusan yang didasarkan pada petitum subsidair yang
berbentuk ex aequo et bono. Namun perlu diingat, penerapan yang demikian sangat kasuistik. Akan tetapi, dalam
hal gugatan mencantumkan petitum primair dan subsidair secara terperinci satu persatu, maka hakim hanya
dibenarkan memilih salah satu diantaranya, apakah mengabulkan seluruh atau sebagian petitum primair atau
subsidair. Selain itu, dalam hal ini perlu diingat bahwa asas ini tidak hanya melarang hakim untuk menjatuhkan
putusan yang mengabulkan melebihi tuntutan, melainkan juga putusan yang mengabulkan sesuatu yang sama
sekali tidak diminta dalam tuntutan, karena hal tersebut nyata-nyata melanggar asas ultra petitum, sehingga
mengakibatkan putusan itu harus dibatalkan pada tingkat selanjutnya.

Referensi :
1) Maria Farida Indrati, et.al. 2015. Teori Perundang-Undangan. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
2) Ernawati Munir. 2005. Pengkajian Hukum Tentang Hubungan Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945.
Depertemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
3) M. Nur Rasaid. 2003. Hukum Acara Perdata, cet. III. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
4) Moh. Taufik Makarao. 2004. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, cet. I. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
5) Sudikno Mertokusumo. 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty: Yogyakarta.
6) Riduan Syahrani. 1998. Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, cet. I. Jakarta: Pustaka Kartini.
7) R. Soepomo. 1994. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, cet. 13. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Anda mungkin juga menyukai