Anda di halaman 1dari 11

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.2 (2021.1)

Nama Mahasiswa : M. Irfan Syah Fahri

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 041635361

Tanggal Lahir : 28 Juni 1999

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4202/Hukum Perdata

Kode/Nama Program Studi : Ilmu Hukum S1

Kode/Nama UPBJJ : Bandar Lampung

Hari/Tanggal UAS THE : Selasa/6 Juli 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Surat Pernyataan
Mahasiswa
Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama Mahasiswa : M. Irfan Syah Fahri

NIM : 041635361

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4202/Hukum Perdata

Fakultas : Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik

Program Studi : Ilmu Hukum S1

UPBJJ-UT : Bandar Lampung

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada
laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal
ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan
aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan
tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik
yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.

Bandarlampung, 6 Juli 2021

Yang Membuat Pernyataan

M. Irfan Syah Fahri


1. a) Kecakapan bertindak adalah kewenangan umum untuk melakukan tindakan hukum. Kecakapan
bertindak pada umumnya dan pada asasnya berlaku bagi semua orang. Setelah manusia dinyatakan
mempunyai kewenangan hukum maka kepada mereka diberikan kewenangan untuk melaksanakan hak
dan kewajibannya. Untuk itu, diberikan kecakapan bertindak. Kewenangan bertindak merupakan
kewenangan khusus, yang hanya berlaku untuk orang tertentu dan untuk tindakan hukum tertentu saja.
Kewenangan bertindak diberikan dengan mengingat akan tindakan, untuk mana diberikan kewenangan
bertindak sehingga tidak ada ketentuan umum tentang kewenangan bertindak.Karena tindakan hukum
menimbulkan akibat hukum yang mengikat si pelaku,yang bisa membawa akibat yang sangat besar, maka
kepada mereka yang belum atau belum sepenuhnya bisa menyadari akibat dari tindakannya, perlu
diberikan perlindungan dalam hukum. Untuk itu, pembuat undang-undang mengaitkan lembaga hukum
kecakapan bertindak dengan umur dewasa.
b) Dalam hal melakukan perbuatan hukum berupa perjanjian, bahwa pihak-pihak yang hendak melakukan
perjanjian harus memenuhi unsur-unsur perjanjian dan juga syarat-syarat sahnya perjanjian. Salah satu
dari perjanjian yang harus dipenuhi menyangkut kewenangan bertindak adalah, adanya para pihak
“Sedikitnya dua orang pihak ini disebut subyek perjanjian, dapat manusia maupun badan hukum dan
mempunyai wewenang perbuatan hukum seperti yang ditetapkan undang-undang”. Dalam kalimat
“mempunyai wewenang perbuatan hukum seperti yang ditetapkan undang-undang”, berkaitan erat
dengan salah satu syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu Kecakapan
para pihak dalam membuat suatu perjanjian. Cakap, artinya orang-orang yang membuat perjanjian harus
cakap menurut hukum. Seorang yang telah dewasa atau akil balik, sehat jasmani dan rohani dianggap
cakap menurut hukum, sehingga dapat membuat suatu perjanjian. Orang-orang yang dianggap tidak
cakap menurut kum ditentukan dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu : Orang yang belum dewasa dan
Orang yang ditaruh di bawah pengampuan. Sehingga agar suatu tindakan dalam perjanjian dapat
menimbulkan akibat hukum yang sempurna, maka orang yang bertindak, pada saat tindakan dilakukan,
harus mempunyai kematangan berfikir yang secara normal mampu menyadari sepenuhnya tindakannya
dan akibat dari tindakannya. Orang yang secara normal mampu menyadari tindakan dan akibat dari
tindakannya dalam hukum disebut dengan cakap bertindak. Oleh karena itu, maka agar orang setiap kali
akan lakukan perjanjian tidak perlu menyelidiki terlebih dahulu apakah lawan janjinya tersebut cakap
bertindak atau tidak, maka oleh undang-undang ditetapkan sekelompok orang-orang, yang dimaksukkan
dalam kelompok mereka yang cakap, yaitu orang sudah dewasa dan sebaliknya sekelompok orang yang
tidak cakap bertindak, yaitu mereka yang belum dewasa dan orang-orang yang ditaruh di bawah
pengampuan. Mengenai batasan umur dewasa kebanyakan orang menyimpulkan hanya dari ketentuan
Pasal 330 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
Batasan dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu m tahun, dan tidak
lebih dahulu telah menikah. Akan tetapi dalam perkembangannya, hal tersebut di atas sedikit mengalami
perubahan dengan adanya ketentuan Pasal 47 dan 50 Undang-Undang Perkawinan yang selanjutnya
disebut dengan UUP dan Pasal 39 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris yang selanjutnya disebut UUJN, yang mensyaratkan seorang penghadap paling sedikit
berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum.
Perbedaan batasan usia dewasa dalam perbuatan hukum ini, memicu timbulnya perbedaan persepsi yang
menjadi masalah hukum. Usia dewasa menurut UUJN adalah 18 tahun, sedangkan menurut KUH Perdata
adalah 21 tahun. Perbedaan ini tentunya memiliki implikasi hukum di dalam kehidupan sehari-hari.
Berikut adalah contoh kasus yang dikemukakan oleh Ismiati Dwi Rahayu, Ketua Ikatan Notaris Indonesia
(INI) Kota Depok : adanya anak usia 18 tahun hendak melakukan pengikatan jual beli sebidang tanah
kepada notaris, karena UUJN memperbolehkan usia 18 tahun bisa melakukan perbuatan hukum, maka
akta pengikatan jual beli tersebut dibuatkan oleh notaris. Untuk ini ia dikatakan sudah cakap bertindak.
Kemudian, waktu dilakukan Balik Nama dan Akta Jual Beli melalui PPAT, BPN tidak menerimanya.
Alasannya, BPN tidak tunduk pada UUJN yang menganggap usia 18 tahun belum cakap hukum. Untuk itu,
si anak tersebut harus menunggu hingga dinilai telah cakap hukum. Kondisi ini tentu saja menyulitkan
notaris, yang berujung merugikan para pihak. Berdasarkan contoh kasus tersebut jelas menunjukkan,
bahwa munculnya perbedaan persepsi usia 18 tahun dalam melakukan perbuatan hukum, akhirnya
menimbulkan masalah hukum.
2. a) Menurut kitab undang-undang Hukum Perdata ada 2 cara untuk mendapatkan kewarisan yaitu :
1. Sebagai ahli waris menurut Undang-Undang
2. Karena Ditunjukdalam surat wasiat (testament)
Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testament (surat wasiat) maka dalam Undang-Undang
Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut :
1. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak masing masing berhak
mendapat bagian yang sama jumlahnya (Pasal 852 BW)
2. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut diatas maka yang kemudian berhak mendapat warisan
adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang tua
masing-masing sekurang-kurangnya mendapat seperempat dari warisan (Pasal 854 BW)
3. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut diatas , maka warisan dibagi dua separuh untuk keluarga
pihak ibu dab separuh untuk keluarga dai pihak ayah yang meninggal dunia , keluarga yang paling dekat
berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris,
maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (Pasal 853BW)
Empat Golongan yang berhak menerima warisan:
- Golongan 1
Suami atau isteri dan anak-anak dari keturunan pewaris yangberhak mendapat warisan.
- Golongan 2
Golongan ini mendapat warisan jika pewaris belum mempunyai isteri atau suami dan anak, dengan
demikian yang berhak adalah orang tua, saudara, dan keturunan saudara pewaris.
- Golongan 3
Kakek nenek , dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan
waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas baik dari garis ibu maupun ayah.
- Golongan 4
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih
idup. Mereka ini dapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat
dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisa.
b) Prinsip pewarisan menurut KUHPerdata adalah hubungan darah. Yang berhak mewaris adalah yang
punya hubungan darah, kecuali suami/isteri pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata).
Sedangkan, yang berhak mewaris menurut hukum Islam berdasarkan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum
Islam, yaitu mereka yang:
1. Mempunyai hubungan darah dengan pewaris,
2. Mempunyai hubungan perkawinan (dengan pewaris),
3. Beragama Islam,
4. Tidak dilarang Undang-Undang selaku ahli waris

Dengan demikian, dalam hal mertua janda tersebut (ayah/ibu kandung suami) meninggal dunia, maka
yang berhak menggantikan kedudukan almarhum suami janda tersebut hanyalah keturunan langsung dari
almarhum suami janda tersebut, yaitu anaknya. Dalam hukum waris Perdata Barat (nasional) hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 842 KUHPerdata yang berbunyi:
“Penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus dengan tiada akhirnya….”
Jadi, cucu dari pewaris menggantikan kedudukan anak pewaris (suami si janda). Dengan demikian,
hak/bagian dari cucu adalah sebesar bagian dari anak pewaris yang digantikan (karena telah meninggal
terlebih dahulu dari pewaris). Hal ini sesuai dengan Pasal 841 KUHPerdata yang berbunyi:
“Pergantian memberi hak kepada seorang yang mengganti,untuk bertindak sebagai pengganti dalam
derajat dan dalam segala hak orang yang diganti”
Untuk bagian dari anak kandung suami janda dimaksud (cucu pewaris) adalah bergantung pada jumlah
ahli waris lain dari Pewaris. Karena posisi cucu menggantikan anak pewaris, maka bagian dari cucu adalah
sama dengan bagian dari anak pewaris.

Satu hal yang perlu diperhatikan, jika suami janda tersebut meninggal sebelum mertuanya meninggal
dunia (pewaris), maka sang suami sempat menjadi ahli waris dari ayahnya. Dalam hal kemudian suami
juga meninggal dunia (setelah pewaris), maka janda bisa mendapat bagian warisan, tetapi sebagai ahli
waris dari almarhum suaminya.
Jika suami janda tersebut tidak memiliki keturunan (anak kandung atau anak luar kawin yang telah diakui
sah sebelum dia meninggal dunia), maka bagian dari suami (dari mertua janda tersebut) digantikan oleh
anak yang lain, atau ke keluarga mertua atau orang tua dari mertua sebagai ahli waris golongan II.
3. a) Jaminan utang dalam perbankan disebut dengan jaminan kredit atau agunan (Pasal 1 ayat (3) UU
Perbankan). Secara umum jaminan kredit perbankan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu
barang bergerak, barang tidak bergerak yang merupakan jaminan kebendaan dan jaminan perorangan
(penanggungan). Barang bergerak terbagi menjadi barang yang berwujud seperti barang perhiasan, surat
berharga, kendaraan bermotor, perlengkapan rumah tangga, perlengkapan kantor, alat berat, alat
transportasi, dll dan barang tidak berwujud seperti tagihan, piutang. Sedangkan yang termasuk benda tak
bergerak atau benda tetap adalah berupa tanah dan benda-benda yang berkaitan (melekat) dengan tanah
seperti rumah tinggal, gedung, dll. Dan yang dimaksud dengan penanggungan utang dapat berupa
jaminan pribadi (personal guaranty) dan jaminan perusahaan (corporate guaranty). Terkait dengan
jaminan kebendaan dalam kegiatan perbankan, maka objek yang menjadi jaminan kebendaan tersebut
semakin luas. Objek yang berkembang saat ini yang dapat menjadi objek jaminan adalah rumah susun.
Rumah susun dibangun untuk menjawab perkembangan yang terjadi terutama di daerah perkotaan,
dimana tingkat kebutuhan akan perumahan cukup tinggi sementara keterbatasan lahan tidak
memungkinan pembangunan rumah secara leaded house, sehingga pembangunan perumahan diarahkan
pada pembangunan rumah susun atau apartemen yang menganut konsep kepemilikan satuan rumah
susun, yaitu unit rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama
sebagai tempat hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum (Pasal 1 ayat (3) UU No. 20
Tahun 2011 tentang Rumah Susun, selanjutnya disebut UU Rumah Susun). Menurut Pasal 47 ayat (5) UU
Rumah Susun dikatakan, “SHM sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan”
Sebelum berlakunya UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, pengaturan hukum mengenai rumah
susun diatur dalam UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang dalam Pasal 12 ayat (1). dikatakan,
Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan hutang dengan :
a. Dibebani hipotik, jika tanahnya tanah hak milik atau hak guna bangunan;
b. Dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah Negara;
Perubahan ketentuan tersebut karena dengan terbitnya Undang Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah (UUHT), telah terjadi unifikasi
hak jaminan atas tanah, dimana menurut Pasal 27 UU HT menyatakan “ketentuan undang -undang ini
berlaku juga terhadap pembebanan hak jaminan atas rumah susun dan hak milik atas satuan rumah
susun”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka satuan rumah susun atau apartemen dapat dijadikan jaminan
utang atau jaminan kredit. Bahwa dalam hal ini yang menjadi objek jaminan kredit dan diikat dengan Hak
Tanggungan adalah bukan tanahnya tetapi hak milik atas satuan rumah susunnya beserta bagian bersama,
benda bersama sebesar bagian pemilik hak milik atas satuan rumah susun.
b) Pada pembebanan rumah susun sebagai jaminan kredit yang diikat dengan Hak Tanggungan dan
menjadi objek Hak Tanggungan bukanlah tanahnya namun hak milik atas satuan rumah susunnya yang
oleh karenanya selain satuan rumah susun yang bersangkutan juga bagian bersama, benda bersama dan
tanah bersama sebesar bagian pemilik hak milik atas satuan rumah susun. Pembebanan HMSRS sebagai
jaminan kredit didasarkan karena adanya perjanjian kredit, dimana perjanjian jaminan yang merupakan
perikatan antara kreditor dengan debitor atau pihak ketiga yang isinya menjamin pelunasan utang yang
timbul dari pemberian kredit. Perjanjian jaminan kredit merupakan perjanjian yang bersifat accessoir,
yaitu senantiasa merupakan perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok. Proses pembebanan Hak
Tanggungan atas rumah susun dilakukan dalam 2 tahap, yaitu :
1. Tahap pemberian Hak Tanggungan yaitu dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh
PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang piutang yang dijamin.
2. Tahap pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan
tersebut. Apabila debitur cidera janji dalam perjanjian kredit, maka Hak Tanggungan akan dilakukan
eksekusi sebagaimana ketentuan Pasal 20 UUHT, dimana obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan
umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan yang berlaku dan pemegang
Hak Tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk pelunasan piutangnya,
dengan hak yang mendahului dari pada kreditor kreditor yang lain yang dapat dilaksanakan melalui dua
macam cara, yaitu :
a. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 UU HT, yaitu Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual
obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri yang diperkuat dengan janji yang disebut dalam Pasal 11
ayat 2 huruf e Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (UUHT) atau disebut
dengan cara parate eksekusi.
b. Berdasarkan Title eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat 2 UUHT, dimana eksekusi dilakukan dengan meminta bantuan pengadilan atau
disebut dengan cara Fiat Eksekusi
4. a) Ingkar Janji (Wanprestasi)
Karena banyaknya putusan hakim (yurisprudensi) yang saling bertentangan, maka jawaban hanya
didasarkan kepada “KUH Perdata” saja. Perjanjian atau perikatan secara umum diatur dalam Pasal 1233
sampai 1864 KUH Perdata. Adapun khusus mengenai perjanjian sewa menyewa diatur melalui Pasal 1547
sampai 1600 KUH Perdata.
Menurut Pasal 1548 KUH Perdata:
“Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk
memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan
pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan
pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.”
Dari pengertian di atas, dapat diambil pemahaman bahwa sewa menyewa memiliki unsur:
- Adanya perjanjian (persetujuan) antara pihak;
- Adanya objek yang diperjanjikan;
- Adanya batas waktu;
- Adanya harga dan pembayaran.
Undang-undang telah tegas mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa menyewa,
baik penyewa maupun pemilik, mulai dari Pasal 1550 sampai pasal 1600 KUH Perdata. Jika dirangkum, hak
dan kewajiban pihak yang menyewakan adalah:
* Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa;
* Memelihara barang yang disewakan sedemikian, hingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang
dimaksudkan;
* Memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram daripada barang yang disewakan selama
berlangsungnya sewa. Sedangkan pihak penyewa memiliki kewajiban utama berupa:
* memakai benda sewaan sebagai penyewa yang baik sesuai dengan tujuan yang diberikan pada benda itu
menurut perjanjian;
* membayar uang sewa pada waktu yang telah ditentukan.

b) Dikaitkan dengan permasalahan di atas, si penyewa tidak mau membayar uang sewa tahun kedua
karena tidak mau melanjutkan sewanya. Artinya, si penyewa sudah ingkar atas janji yang dibuatnya
(wanprestasi) berkaitan dengan kewajiban untuk membayar sewa, di saat perjanjian sewa menyewa telah
dibuat secara tertulis untuk dua tahun. Padahal di sisi lain, semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya, sesuai ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata.
Dalam praktik, bentuk-bentuk ingkar janji (wanprestasi) biasanya terjadi dalam hal:
1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
2. Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat);
3. Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan; dan/atau
4. Melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk membuktikan bahwa si penyewa ingkar janji, si pemilik harus melakukan teguran (somasi) untuk
kembali melakukan kewajibannya. Apabila si penyewa tetap tidak melakukan pemenuhan janji untuk
membayar, si pemilik bisa melakukan tuntutan kepada penyewa dalam bentuk penggantian biaya,
kerugian, dan bunga. Pasal 1243 KUH Perdata selengkapnya berbunyi:
“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila
debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang
harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang
melampaui waktu yang telah ditentukan”
Tidak dibayarnya sewa tahun kedua untuk membatalkan sewa adalah bentuk ingkar janji (wanprestasi),
bukan tindakan melawan hukum. Sehingga kami sarankan Anda untuk menuntut si penyewa dengan pasal
ingkar janji (wanprestasi), sesuai Pasal 1243 KUH Perdata. Anda dapat menuntut:
1. Si penyewa melaksanakan perjanjian sesuai dengan kontrak;
2. Si penyewa melaksanakan perjanjian dengan ganti rugi; atau
3. Si penyewa membayar ganti rugi.

Anda mungkin juga menyukai