Anda di halaman 1dari 4

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : ISWANTO ARDIMAN

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 043170214

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4102/Hukum dan Masyarakat

Kode/Nama UPBJJ : 84/MANADO

Masa Ujian : 2022/23.1 (2022.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
LEMBAR JAWABAN
1. Terlepas dari konstruksi hukum kasus ini, ada persoalan esensial yang seharusnya menjadi
perhatian kita bersama. Ketika saya menyaksikan kondisi Ompung Saulina (di televisi dan
beberapa video jurnalis), ada perasaan miris yang menyesakkan dada. Bagaimana mungkin
seorang nenek yang sudah uzur diseret ke meja hijau karena persoalan sepele? Apa yang ada
dalam pikiran para pelapor (terhitung masih kerabatnya) ketika bersikeras memidanakan nenek
renta itu, meski upaya damai sudah dicoba oleh pemilik tanah yang sah? Kenapa para pelapor
tetap menolak dengan alasan uang ganti rugi yang terlalu kecil? Sebegitu dahsyatkah daya tarik
uang merasuki pemikiran pelapor? Apakah tidak tersisa sedikit pun ruang (baca: hati nurani)
untuk mempertimbangkan kondisi Ompung Saulina?
Di sisi lain, kita juga menyayangkan aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan)
yang terlibat dalam proses pemidanaan Ompung Saulina. Bagaimana perasaan para penyidik
ketika menginterogasi (mempersiapkan BAP) Ompung Saulina, atau para penuntut (jaksa)
ketika mempersiapkan penuntutan? Di mana hati nurani mereka ketika melihat seorang nenek
renta (bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia) harus diproses ke pengadilan? Tidakkah tersisa
sedikit pun ruang empati terhadap kondisi dia? Kenapa aparat penegak hukum ini tidak
berusaha lebih keras untuk membujuk pelapor agar menyelesaikan kasus di luar pengadilan
(perdamaian)?
Tragedi Ompung Saulina menjadi salah satu contoh nyata matinya akal sehat di negeri
ini. Saulina menjadi korban kesekian kali dari rentetan degradasi akal sehat dalam penegakan
hukum di Tanah Air. Masih segar dalam ingatan kita kasus Nenek Asyani di Situbondo (2015)
yang divonis 1 tahun penjara karena dituduh mencuri kayu jati di tanah Perum Perhutani.
Sebelumnya, ada kasus Nenek Minah di Banyumas (2009) yang dihukum 1,5 tahun penjara
karena dituduh mencuri tiga buah kakao yang harganya tidak lebih dari Rp 10.000.
Mungkin aparat penegak hukum bisa berdalih tetap memproses berbagai kasus itu dengan
alasan prinsip kesetaraan di depan hukum (equality before the law). Namun, sebenarnya mereka
bisa mengedepankan keadilan restoratif (restorative justice). Ini jika aparat penegak hukum
benar-benar mengutamakan akal sehat daripada hanya prosedur formal semata. Pertanyaannya,
kenapa aparat penegak hukum tetap menggebu untuk melanjutkan proses hukum? Apakah
mungkin ada motivasi lain (misal: iming-iming material dari pelapor)? Saya tidak mau
berprasangka buruk, namun sungguh menyayangkan ketidakpedulian mereka.
Kalau untuk para pelapor (pihak yang memperkarakan), saya pikir jika mereka mau
memakai akal sehat, tentu tidak akan tega memidanakan nenek renta. Kita benar-benar tak habis
pikir, bagaimana mereka tega melakukan hal ini kepada perempuan lansia yang seharusnya
menikmati masa tuanya. Dalam benak saya, bukankah para pelapor ini juga dikandung dan
dilahirkan dari rahim seorang ibu? Mengapa tidak ada sedikit pun penghormatan dan belas
kasihan kepada perempuan tua yang sudah menjanda? Apalagi secara kesehatan, pada usia ini
mereka sudah memasuki tahap kemunduran fisik, mental, dan sosial. Mereka jelas tidak bisa
mengikuti proses persidangan dengan baik.

2. Perkembangan masyarakat akan mengakibatkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum juga


semakin kompleks, banyak bermunculan pemikiran dari pakar-pakar hukum yang melahirkan aliran-
aliran atau mzhab-mazhab. Salah satu aliran yang akan dibahas adalah aliran utilitarianisme yang dapat
dimasukkan dalam ajaran moral-praktis. Penganut aliran utilitarianisme ini menganggap bahwa tujuan
hukum semata-mata adalah memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi
sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Pandangannya didasarkan pada falsafah sosial bahwa setiap
warga masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu alatnya. Hukum harus
mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan masyarakat dan memberikan rasa
kesehjateraan.
Adapun kasus yang di alami Ompung Saulina ada banyak kejanggalan dalam kasus ini.
Pemilik tanah (Kardi Sitorus) sendiri jelas mengatakan bahwa dia mengizinkan Ompung
Saulina untuk membersihkan lahan itu sebelum pembuatan makam. Kardi juga sudah
mencoba menginisiasi perdamaian namun pihak pelapor menolak karena merasa uang ganti
rugi terlalu kecil. Ompung Saulina juga sudah meminta maaf kepada pelapor, namun kasus
ini tetap dilanjutkan ke pengadilan. Akhirnya kasus ini pun mendapat sorotan publik setelah
diekspose berbagai media massa.
Matinya Akal Sehat
Potret kematian akal sehat ini sudah meracuni banyak manusia di tengah kompetisi
(persaingan) dalam kehidupan modern. Tidak jarang orang mengorbankan akal sehat demi
segepok uang (materi) dan kekuasaan. Contoh nyata ialah para elite pemburu kekuasaan
(baca: politisi) yang menghalalkan apa saja, mulai dari politik uang sampai provokasi SARA
(politik identitas) untuk meraih suara atau dukungan. Berbagai janji manis ditebar ketika
kampanye, namun begitu terpilih langsung lupa dan hanya memikirkan kepentingan pribadi
serta kroninya. Maka tidak heran jika banyak pejabat yang masuk jeruji penjara karena
merampok uang rakyat.
Sementara di sisi lain, beberapa pengusaha tidak segan mempermainkan hukum demi
mendapatkan keuntungan (kepentingan ekonomi). Tidak heran jika kita sering melihat konflik
perusahaan (baca: pengusaha) dengan masyarakat kecil terutama menyangkut sengketa
tanah dan pencemaran lingkungan. Ketika berhadapan dengan masyarakat, beberapa
pengusaha hitam justru memakai penguasa (baca: pejabat) dan aparat penegak hukum untuk
membungkam masyarakat.
Ironisnya, generasi muda kita juga tidak lepas dari fenomena kematian akal sehat ini.
Potret hedonisme dan konsumerisme sangat marak dalam pergaulan anak muda zaman now.
Penghormatan terhadap orangtua dan guru juga semakin menipis (bahkan ada yang
menganiaya dan membunuh gurunya karena ditegur). Banyak anak muda gemar
menghabiskan waktu untuk bersenang-senang atau mengejar materi semata dan tidak tertarik
lagi jika berbicara tentang pemberantasan kemiskinan atau menolong kaum marginal. Emang
gue pikirin, kalimat pemungkas yang biasa diucapkan ketika ada yang mengingatkan mereka
untuk memperbaiki diri atau lebih peduli dengan orang lain (masyarakat dan bangsa).

3. Sebagai gambaran, merujuk Putusan Pengadilan Negeri Bondowoso Nomor 88/Pid.B/2018/PN


Bdw. Terdakwa secara bersama-sama dengan kedua orang lainnya melakukan pencurian pohon
sengon laut tersebut, yang menanam dan memiliki pohon sengon laut tersebut adalah saksi.

Terdakwa melakukan pencurian yaitu dengan cara memotong-motong kayu sengon laut
menggunakan gergaji. Terdakwa juga mengaku sudah 3 kali mencuri pohon sengon laut milik
saksi.Pencurian pertama dan kedua dijual, sedangkan yang untuk yang ketiga kalinya belum
sempat dijual sudah ketahuan oleh saksi. Majelis hakim memutuskan dalam amarnya bahwa
terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
pencurian dalam keadaan memberatkan dan menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun.
Dalam putusan ini, terdakwa dijatuhi Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP sebab pencurian
dilakukan oleh 2 orang atau lebih dengan bersekutu. Seluruh informasi hukum yang ada di
Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum
(lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik
terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Anda mungkin juga menyukai