Anda di halaman 1dari 16

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.1 (2021.2)
Nama Mahasiswa : AH. FAHREZA RAMDHANI…………………………………………..……….

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 043094074………………………………………………………………………….

Tanggal Lahir : 22 DESEMBER 2000…………………………………………………………….

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM 4403/ILMU PERUNDANG UNDANGAN..………………....

Kode/Nama Program Studi : 311/ ILMU HUKUM (S1)……………………………………………………….

Kode/Nama UPBJJ : 78/ UPBJJ MATARAM…………………………………………………………..

Hari/Tanggal UAS THE : RABU 29 DESEMBER 2021….………………………………………………..

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : AH. FAHREZA RAMDHANI …………………………………………………


NIM : 043094074………………………………………………………………………..
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM 4403/ILMU PERUNDANG UNDANGAN………………….
Fakultas : FHISIP………………………………………………………………………………..
Program Studi : ILMU HUKUM (S1)……………………………………………………………..
UPBJJ-UT : 78/ UPBJJ MATARAM…………………………………………………………

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
RABU, 29 DESEMBER 2021

Yang Membuat Pernyataan

AH. FAHREZA RAMDHANI


BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

A. Pembangunan hukum dimulai dari pondasinya dan jiwa paradigma bangsa Indonesia, Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum (Staatsfundamentalnorm), yang dipertegas dalam UU No 10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terutama Pasal 2 yang menyatakan Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum bagi kehidupan hukum di
Indonesia
Fungsi Pancasila sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum
 
Adapun fungsi Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum mengandung arti bahwa Pancasila
berkedudukan sebagai:
1. Ideologi hukum Indonesia

2. Kumpulan nilai-nilai yang harus berada di belakang keseluruhan hukum Indonesia


3. Asas-asas yang harus diikuti sebagai petunjuk dalam mengadakan pilihan hukum di Indonesia
4. Sebagai suatu pernyataan dari nilai kejiwaan dan keinginan bangsa Indonesia, juga dalam
hukumnya

B. .maka hal tersebut dapat diartikan bahwa “Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis
bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila”. Kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum negara merupakan grundnorm dalam sistem hukum Indonesia yang memberikan arah dan jiwa serta
menjadi paradigma norma-norma dalam pasalpasal UUD 1945. Cita hukum dan falsafah hidup serta
moralitas bangsa yang menjadi sumber segala sumber hukum negara akan menjadi satu fungsi krisis dalam
menilai kebijakan hukum (legal Policy) atau dapat dipergunakan sebagai paradigma yang menjadi landasan
pembuatan kebijakan (policy making) dibidang hukum dan perundang-undangan maupun bidang sosial,
ekonomi, dan politik.

C. Judicial review dalam sistem hukum common law acapkali dipahami sebagai upaya pengujian peraturan
perundang-undangan yang dilakukan oleh badan peradilan, walaupun dalam konteks cakupan kewenangan
yang lebih luas, karena kadangkala menguji pula produk administrasi (administrative Acts). Pada umumnya,
judicial review merupakan nomenklatur yang berpaut dengan kegiatan judisiil ‘in which a superior court had
power to determine questions of constitutional validity of enactment of the legislature’ (Khaterine Lindsay,
2003 : 15). Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar ditetapkan dalam Pasal 24 C UUD
NRI Tahun 1945 (Perubahan ketiga) sebagai salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final guna -antara lain- menguji undang-undang terhadap UUD. Putusan final Mahkamah, sebagaimana
dimaksud Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 tidak membuka peluang bagi upaya hukum banding, kasasi
ataupun upaya hukum lainnya. Berbeda halnya dengan hak uji (toetsingsrecht) undang-undang yang dimiliki
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung diberi kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang, sebagaimana dimaksud Pasal 24 A UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan pengujian
peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung merupakan bagian dari
fungsi peradilan (justitieele functie) mahkamah dalam pemeriksaan tingkat kasasi namun pengujian
peraturan perundang-undangan sedemikian dapat pula dimohonkan langsung kepada Mahkamah Agung
(vide pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Pengujian
undang-undang yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji secara konstitusionalitas
suatu undang-undang, menguji sejauh mana undang-undang yang bersangkutan bersesuai atau
bertentangan (tegengesteld) dengan UUD. Constitutie is de hoogste wet!

Menurut Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terdapat 2
(dua) macam pengujian undang-undang, yakni: – Pengujian undang-undang secara formal (formele
toetsing), yakni pengujian terhadap suatu undang-undang dilakukan karena proses pembentukan undang-
undang tersebut dianggap pemohon tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar. –
Pengujian undang-undang secara materiil (materieele toetsing), yakni pengujian terhadap suatu undang-
undang dilakukan karena terdapat materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang
dianggap pemohon bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Dalam hal suatu pembentukan undang-
undang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD maka undang-undang
tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Apabila suatu
materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang dinyatakan mahkamah bertentangan dengan
UUD maka materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak lagi mempunyai
kekuatan hukum mengikat [Pasal 57 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003]. Putusan
Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara, dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan. Undang-undang yang diuji tetap
berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan
UUD (Pasal 57 ayat 3 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Mahkamah Konstitusi tidak
membatalkan keberlakuan suatu undangundang tetapi menyatakan bahwasanya suatu undang-undang,
atau materi ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat
(not legally binding). Mahkamah tidaklah dapat mengubah rumusan redaksi ayat, pasal dan/atau bagian
undang-undang

2. A. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang di akui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agar supaya tata kehidupan berbangsa dan bernegara di desa dapat
berjalan lancar maka dibentuklah peratutan desa.

Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas
dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa. Pembentukan peratutan desa ini bertujuan agar
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan
Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika serta
Pengaturan Desa bertujuan:

a. memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya
sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;

c. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;

d. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset
Desa guna kesejahteraan bersama;

e. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;

f. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan
kesejahteraan umum;

g. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang
mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;

h. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan i.
memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.

Dan undang undang sudah jelas menetapkan bahwa kedudukan peraturan desa dalam UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA.
B. suatu perda layak dicabut apabila tidak memiliki kesesuaian lagi dengan peraturan perundang-undangan
di atasnya. Tidak hanya itu, pembatalan perda juga dilakukan karena perda-perda yang ada sudah tidak
relevan dengan era sekarang dan juga tidak ada lagi objek yang diatur.

“Banyak perda dibatalkan karena secara jelas rumusannya bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan di atasnya,”

pencabutan perda juga dapat dilakukan apabila perda yang ada bersifat menghambat kegiatan investasi
dan pembangunan. Misalnya saja perda-perda yang mengganggu kegiatan masuknya investasi seperti
perijinan yang berbelit-belit dapat dilakukan pembatalan.

“Perda juga bisa dicabut jika bersifat SARA,”

terdapat perda yang tidak perlu dicabut. Perda-perda yang meskipun tidak diatur oleh peraturan perundang-
undangan lebih tinggi, tetapi muncul dari aspirasi daerah maka tidak perlu dianulir. Semisal, perda yang
berhubungan dengan sejarah suatu wilayah. Walaupun perda yang mengatur hal tersebut tidak lagi relevan
dengan era sekarang, namun memperlihatkan nilai-nilai dan perkembangan budaya daerah maka harus
terus dijaga.

3. A. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan (“UU 12/2011”), materi muatan baik Peraturan Daerah (“Perda”) Provinsi maupun
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Lebih lanjut menurut hierarki peraturan perundang-undangan, yang dapat memuat sanksi sebagaimana
Anda tanyakan telah diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU 12/2011, yang berbunyi:

1. Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:

a. Undang-Undang;
b. Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Adapun ketentuan pidana pada Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota berupa ancaman pidana kurungan
paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp50 juta.
Selain itu, Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana
denda sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
muatan mengenai sanksi yang dapat diatur pada peraturan perundang-undangan termasuk Perda bukanlah
tanpa alasan. Sebab hal ini mengacu asas no punish without representative, artinya pencantuman norma
sanksi pidana hanya diperbolehkan dengan persetujuan rakyat melalui perwakilannya di parlemen, dalam
hal ini persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk Undang-Undang. Sementara Perda, atas persetujuan
dari Gubernur, Bupati dan/atau Walikota.
Adapun kriteria penentuan sanksi dalam Perda sudah diatur secara limitatif sebagaimana bunyi Pasal 15
ayat (2) UU 12/2011. Namun mengenai rumusan sanksi yang dituangkan dalam Perda tentunya sangat
relatif, sesuai dengan kondisi daerah masing-masing dengan mempertimbangkan segi sosial, ekonomi,
politik dan budaya.
Selain itu, untuk menentukan berapa lama waktu pemidanaan atau berapa banyaknya denda, perlu
dipertimbangkan pula mengenai dampak yang timbul sebagai akibat dari tindak pidana yang dilakukan
dalam masyarakat dan unsur kesalahan si pelaku.
Dalam rangka merumuskan ketentuan pidana, menurut hemat kami perlu didasarkan pada asas-asas umum
ketentuan pidana yang diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), sebab
ketentuan dalam Buku I KUHP berlaku pula bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan
perundang-undangan lain, kecuali jika oleh undang-undang terkait ditentukan lain sebagaimana
dimaksud Pasal 103 KUHP.
Secara teknis, ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu Bab Ketentuan Pidana yang
diletakan sesudah materi muatan pokok yang diatur atau sebelum Bab Ketentuan Peralihan atau Bab
Ketentuan Penutup.
 
B. Terdapat dua kesimpulan dari pertanyaan mengapa kewenangan pemerintah pusat membatalkan
peraturan daerah dicabut?
Pertama, implementasi pengujian Perda pasca putusan MK No. 56/PUU-XIV/2016 maka pengujian Perda
dilaksanakan melalui Judicial Review di Mahkamah Agung dan dengan dibatalkannya Pasal 251 UU No. 23
Tahun 2014 berarti pengawasan represif terhadap Perda melalui executive review tidak dapat dilaksanakan
lagi, pengawasan represif terhadap Perda dilakukan oleh lembaga yudisial yaitu Mahkamah Agung.
Kedua, terdapat dua dampak penting yang timbul pasca putusan MK No. 56/PUU-XIV/2016. Pertama,
berakhirnya dualisme pengujian perda. Dengan dinyatakannya inkonstitusional Pasal 251 ayat (1) dan (2)
yang menjadi dasar yuridis untuk menguji Perda, maka Kementerian Dalam Negeri tidak lagi berwenang
menguji Perda melalui executive review. Sehingga hanya Mahkamah Agung yang berwenang melakukan
pengujian terhadap Perda melalui judicial review. Kedua, Putusan MK No. 56/PUU-XIV/2016 harus
dimaknai bahwa putusan tersebut tidak menghapuskan konsep pengawasan pusat dan daerah terhadap
Perda yang dapat dilaksanakan melalui pengawasan preventif. Sebab Mahkamah Konstitusi hanya
membatalkan Pasal 251 yang mengatur pengawasan represif. Sebagaimana disinggung dimuka bahwa
pengawasan administratif mempunyai dua bentuk yaitu pengawasan represif dan pengawasan preventif.
Lebih lanjut, oleh karena pengawasan preventif yang dibangun dalam UU No. 23 Tahun 2014 tidaklah kuat
yang menurut penulis hanya ‘menggugurkan’ peran pemerintah pusat untuk melakukan pengawasan maka
penulis mengusulkan dalam revisi UU No. 23 Tahun 2014 sebagai tindak lanjut dari putusan MK dibentuk
sebuah model executive preview sebagai bentuk pengawasan preventif.
4.
Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis
Pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan

 
Salah satu asas di atas yaitu asas dapat dilaksanakan yang memiliki arti bahwa setiap Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan
tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

a. Landasan Filosofis

Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”).
 

b. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat
dan negara.
 

c. Landasan Yuridis

Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin
kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang
berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-
Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan,
peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang
sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya
memang sama sekali belum ada.
 
Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dimuat dalam pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang,
Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis
tersebut menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara
berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis:

a. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan


hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia
yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
b. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek.
c. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan
hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang
akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.

 
Menimbang atau Konsiderans dalam suatu peraturan perundang-undangan memuat uraian singkat
mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan perundang-
undangan tersebut.
 
Contoh: Undang-Undang Nomor .. tahun …. tentang Pertokoan Modern
 
Menimbang :

a. Bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu didukung
oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
b. Bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional dan sekaligus
memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan
perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi pada masa
mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas
yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif;
c. Bahwa Aktivitas perdagangan merupakan salah satu cara manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya yang beranekaragam. Aktivitas perdagangan atau jual beli dilakukan di pasar. Peraturan
Presiden No. 112 Tahun 2007 menerangkan bahwa pasar adalah area tempat jual beli barang atau
tempat bertemunya pedagang dan pembeli. Pasar tradisional adalah pasar dengan ciri utama
terdapat tawarmenawar harga dalam proses jual beli, sedangkan pasar modern merupakan area jual
beli yang memiliki harga yang pasti. Pasar modern dibedakan menjadi pusat perbelanjaan dan toko
modern. Pusat perbelanjaan adalah suatu area tertentu yang terdiri dari satu atau beberapa
bangunan yang didirikan secara vertikal maupun horizontal, yang dijual atau disewakan kepada
pelaku usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan perdagangan barang.;
d. Bahwa Regulasi Perpres No,112 tahun 2007 dan Permendagri No.58 tahun 2008 tidak mampu
meredam penetrasi yang dilakukan secara massif dari minimarket. Setelah munculnya perda di
masing-masing Kabupaten tidak memberikan dampak signifikan terhadap pengendalian pasar
modern. sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d perlu membentuk Undang-Undang tentang Pertokoan Modern

berdasarkan penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis
dimuat dalam pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota. Unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis tersebut menjadi pertimbangan dan alasan
pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.
 
Unsur filosofis diartikan sebagai pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD1945.
 
Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dalam berbagai aspek.
 
Kemudian unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan
hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan
diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
 
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Anda mungkin juga menyukai