Petunjuk
1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.
NIM : 041635361
1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada
laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal
ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan
aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan
tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
Universitas Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik
yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
Perjanjian Westphalia dinilai sebagai suatu masa penting khususnya dalam sejarah diplomasi modern.
Tidak hanya itu, hukum internasional pun mulai berkembang sejak perjanjian Westphalia muncul.
Perjanjian Westphalia mencantumkan banyak aturan dan prinsip politik masyarakat negara-negara baru
(Watson, 1992: 186). Perjanjian ini meliputi prinsip penghormatan atas kedaulatan suatu negara dan hak
dalam menentukan nasib bangsnya sendiri, yakni dengan prinsip non-intervention. Prinsip non-intervensi
tersebut memiliki arti bahwa setiap negara berhak untuk mengatur dan mengendalikan atas urusan
internal negaranya tersendiri. Selain itu, perjanjian Westphalia juga memuat prinsip kesamaan di depan
hukum bagi setiap negara. Hal ini memperkuat teori kalangan realist dan tradisional bahwa negara-negara
merupakan Billiard Ball Model dimana negara-negara yang ada memiliki status hukum yang sama
(Wardhani, 2014).
Sejarah perjanjian Westphalia dimulai sejak abad pertengahan (abad ke-17), Eropa dilanda peperangan
yang cukup dahsyat melibatkan kaum penganut agama Katolik dan Protestan antar kerajaan-kerajaan di
Eropa. Perang tersebut merupakan pertentangan yang dimulai oleh reformasi protestan yang tidak
menyetujui reformasi katolik, begitu pula sebaliknya. Babak munculnya awal konflik dipicu oleh upaya
pembunuhan atas Raja Bohemia (Czech Republic) yang akhirnya menjadi kaisar suci, Ferdinand II pada
tahun 1618. Ferdinand II saat itu menerapkan nilai-nilai Katolik di penjuru kerajaannya. Namun sayangnya,
hal tersebut ditentang oleh kalangan Protestan dan sehingga terjadilah perang sepanjang dekade 1930-an.
Hampir seluruh wilayah Eropa terlibat peperangan ini, khususnya wilayah Jerman yang banyak terjadi
kerusakan. Perang tiga puluh tahun ini mengakibatkan musibah kelaparan, wabah penyakit, banyaknya
warga sipil yang mati, penjarahan, serta kerugian-kerugian lainnya.
Setelah beberapa tahun perang berjalan, para penguasa yang memerintah akhirnya sadar bahwa
kekuasaan militer tidak dapat lagi membantu mereka mencapai tujuan mereka. Akhirnya kaisar Ferdinand
II dari imperium Romawi suci, Raja Louis XIII dari Perancis, Ratu Christina dari Swedia sepakat untuk
membuat konferensi dan mengundang pihak-pihak yang berperang untuk merundingkan perdamaian.
Dua lokasi untuk penyelenggaraan konferesnsi dipilih, yakni kota Osnabrück dan Münster di Provinsi
Westphalia, Jerman. Kedua kota tersebut dipilih karena letaknya yang strategis, yakni di antara ibu kota
Swedia dan Perancis. Pada tahun 1643, sekitar 150 delegasi dan bebera tim-tim besar penasihat tiba di
kedua kota ini. Kemudian tepat setelah tiga puluh tahun, perjanjian Westphalia dibuat. Perjanjian ini
melibatkan kaisar romawi suci, Ferdinand II, dan kerajaan dari Spanyol, Perancis, Swedia, Belanda, dan
sejumlah penguasa wilayah lainnya.
Perjanjian Westphalia telah menghasilkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena
perang Eropa tersebut. Perjanjian perdamaian Westphalia mengakhiri usaha kaisar Romawi yang suci,
hubungan antara negara-negara juga dilepaskan dari persoalan hubungan agama atau kegerejaan dan
didasarkanatas kepentingan nasional negara masing-masing, serta kemerdekaan bagi negara Belanda,
Swiss, dan pengakuan atas negara-negara kecil di Jerman. Sebagai akibat dari munculnya perjanjian
Westphalia ini, kekaisaran Romawi suci mengalami perpecahan. Swedia mengambil kendali wilayah Baltik,
dan Perancis muncul sebagai kekuatan baru.
2. a) 2. Saat ini setiap negara yang berdaulat mampu mengadakan perjanjian internasional. hal ini didasarkan
pada beberapa teori hukum yang mendeskripsikan hakikat mengikatnya suatu kontrak dalam (Huala,
Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional (Revisi) 2002) , yaitu sebagai berikut :
- Teori Kehendak (the will theory), yaitu kesepakatan yang akan mengikat ketika negara secara sengaja
mengehendaki atau melakukan suatu perjanjian yang diinginkan.dengan kehendak sendiri.
- Teori Persetujuan (the bargain theory), yaitu adanya persetujuan dari negara- negara pihak sehingga
pada teori ini kontrak bukanlah suatu kehendak dari para pihak.
- Teori kesetaraan (the equivalent theory), yaitu kesepakatan yang berisi tentang pemberian kesetaraan
atau kesamaan bagi para pihak.
- Teori kerugian (the injurious-reliance theory), yaitu kesepakatan yang mengikat diakibatkan oleh
pernyataan diri untuk mengandalkan pihak yang menerima janji dengan akibat adanya kerugian.
Dengan merujuk pada teori di atas dan Konvensi Wina 1969 terkait Perjanjian Internasional, maka cukup
memberi kejelasan dan pijajakn dasar tentang norma dalam perjanjian internasional. Setelah melihat
pemaparan di atas, maka di sini kedaulatan negara menjadi karakteristik tersendiri yang menjadi lebih
sensitif dan berujung pada sebutan “quacy of law” bagi hukum internasional. Jadi, negara akan terikat di
dalam sebuah perjanjian internasional jika negara dengan kehendaknya sendiri ikut berperan dan terikat
sebagai negara pihak. sehingga apabila telah menjadi bagian dari negara pihak maka secara otomatis akan
dibebankan suatu hak dan kewajiban sesuai dengan perjanjian internasional yang dibuat. Negara berhak
menentukan sendiri tindakan yanga akn diambilnya dan ini merupakan bentuk penghargaan bagi negara
atas kedaualatnya.
Menurut International Law Commision dalam (Situngkir 2018) terdapat dua kondisi yang menciptakan hak
bagi negara bukan peserta dari suatu ketentuan perjanjian internasional, yaitu sebagai berikut :
- Para pihak harus memiliki niatan sesuai dengan ketentuan hak untuk keadaan uang bersangkutan
dalam memberikan hak bagi negara pserta.
- Adanya persetujuan dari negara penerima.
Dalam jurnal (Situngkir 2018) disebutkan tindakan suatu negara terikat pada perjanjian internasional
apabila :
- Penandatanganan dijadikan sebagai bukti persetujuan dari negara bahwa telah terikat dengan
perjanjian yang dinyatakan melalui tanda tangan perwakilan.
- Pertukaran instrumen-instrumen menjadi suatu tanda bahwa adanya persetujuan yang terikat oleh
suatu perjanjian internasional. dengan pertukaran instrument tersebut maka secara hukum akan
menghasilkan efek yang mengikat. Dalam hal ini, kesepakatan dari negara-negara yang telah
mengadakan pertukaran instrument akan dinyatakan sebagai syarat mengikatnya perjanjian
internasional.
- Ratifikasi, penerimaan atau persetujuan menjadi suatu persetujuan terikatnya sebuah perjanjian dari
negara yang terikat di dalam suatu perjanjian internasional, ketika :
a. Perjanjian yang menentukan demikian,
b. Negara-negara yang bernegosiasi menyepakati untuk meratifikasi perjanjian,
c. Negara yang bernegosiasi sepakat bahwa perjanjian harus diratifikasi.
d. Penandatanganan suatu perjanjian telah dilakukan oleh wakil dari negara untuk subjek ratifikasi.
e. Kekuatan secara penuh dari setiap perwakilan selama negosiasi mampu meyakinkan niat negara
untuk menandatanagi perjanjian yang telah diratifikasi pacta sunt servanda dikatakan sebagai suatu
asas yang paling fundamental (Grotius). Pasalnya pacta sunt servanda ini merupakan norma dasar di
dalam sebuah hukum internasional yang secara umum mengikat suatu negara terhadap sebuah
perjanjian internasional akibat adanya suatu persetujuan dari suatu negara agar terikat dengan
perjanjian internasional. asas ini juga berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar kedaulaan dan
kemerdekaan negara-negara terlibat sebelum mereka dapat terikat terhadap peraturan, maka negara
harus terlebih dulu menyetujui peraturan tersebut.
Syarat agar suatu perjanjian mengikat negara-negara terkait harus dinyatakan oleh penerimaan atau
persetujuan (ratifikasi). Di dalam perjanjian internasional terdapat istilah "entry into force" dimana istilah
ini mengartikan bahwa suatu perjanjian secara resmi mulai berlaku. Setelah itu negara-negara akan
membuat perjanjian dengan mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian internasional melalui tandatangan
oleh perwakil negara yang ditunjuk. Setelah itu proses trakhir sebelum perjanjian disahkan dan
diberlakukan maka proses yang harus dilakukan dan dilalui adalah penyerahan ratifikasi kepada badan
atau lembaga khusus yang ditunjuk untuk menerima ratifikasi. Apabila seluruh syarat telah terpenuhi,
maka bisa dipastikan suatu perjanjian internasional yang dibuat sudah dapat diberlakukan.
b) UUD 1945 Pasal 11 Ayat 1 menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Perihal perjanjian dengan
negara lain atau perjanjian internasional kemudian lebih lanjut diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2000.
Sesuai UU Nomor 24 Tahun 2000, Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama
tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan
kewajiban di bidang hukum publik. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa kata
ratifikasi memiliki arti pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya pengesahaan UU,
perjanjian antar negara, dan persetujuan hukum internasional.
Indonesia dalam hubungannya dengan negara lain, sering kali terikat dalam suatu perjanjian di berbagai
bidang termasuk perdagangan yang didalamnya mencakup kerja sama perdagangan barang dan jasa
sektor energi. Perjanjian internasional dalam lingkup kerja sama dilakukan oleh Indonesia baik secara
bilateral, regional maupun multilateral.
Pada awal tahun 2019 sebagai contoh, Indonesia sedang mempersiapkan proses ratifikasi ASEAN
Framework Agreement on Services (AFAS) Paket 10. Setelah ditandatangani pada 11 November 2018,
negara-negara ASEAN termasuk Indonesia segera melakukan proses ratifikasi AFAS Paket 10. Kementerian
Perdagangan selaku focal point kerja sama ini menyatakan bahwa tujuan ratifikasi AFAS Paket 10 adalah
memberikan dasar hukum bagi Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan komitmen AFAS 10.
Sesuai UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Pasal 84, setiap perjanjian perdagangan
internasional disampaikan kepada Dewan Perwakilan (DPR) rakyat paling lama 90 (Sembilan puluh) hari
kerja setelah penandatanganan perjanjian. Suatu perjanjian internasional yang akan diratifikasi harus
dilengkapi dengan beberapa dokumen diantaranya adalah permohonan pengesahan ke Presiden RI
melalui Menteri Luar Negeri, naskah urgensi pengesahan, naskah terjemahan perjanjian tersebut, naskah
akademik pengesahan dan Rancangan Peraturan Presiden atau rancangan UU tentang pengesahan.
Ratifikasi suatu perjanjian internasional dapat dilakukan dengan UU atau Keputusan Presiden. Dalam
proses ratifikasi, DPR melakukan tinjauan utamanya sisi manfaat dari perjanjian internasional tersebut.
c) Reservasi adalah suatu tindakan untuk memungkinkan perjanjian multilateral memperoleh peserta yang
luas. Perumusan Reservasi (pasal 19 Konvensi wina). Suatu Negara pada waktu melakukan
penandatangan, ratifikasi, menerima, mengesahkan atau aksesi terhadap suatu perjanjian boleh
mengajukan reservasi kecuali jika : Reservasi itu dilarang oleh perjanjian. Perjanjian itu sendiri
menyatakan bahwa hanya reservasi-reservasi tertentu yang tidak termasuk reservasi yang dipersoalkan,
boleh diajukan dalam hal tidak termasuk di dalam sub paragraph (a) dan (b), maka reservasi itu
bertentangan dengan tujuan dan maksud perjanjian Pasal 20 Konvensi Wina 1969. Reservasi yg diizinkan
oleh perjanjian tidak memerlukan penerimaan oleh negara peserta lainnya. Jika penerapan perjanjian
secara keseluruhan sebagai syarat utama untuk terikat oleh perjanjian maka reservasi memerlukan
penerimaan seluruh peserta perjanjian. Jika perjanjian merupakan instrumen konstitusi organisasi
internasional maka reservasi memerlukan penerimaan dari organ kompeten organisasi tersebut. Reservasi
dapat dilakukan dengan tidak memerlukan persetujuan negara peserta lainnya Perlu persetujuan dari,
semua negara peserta organ yang kompeten dari organisasi internasional.
b) Dalam Pasal 3 Draft Code of Crimes against the piece and Security of Mankind 1987 yang dikeluarkan
oleh International Law Comission menyatakan bahwa individu adalah person dalam Hukum Internasional.
Meskipun Individu merupakan subjek hukum intenasional, ada beberapa hal yang tidak dapat dilakukan
oleh individu seperti menguasai wilayah, tidak dapat membuat perjanjian internasional. Tetapi seorang
individu dapat melakukan kejahatan seperti perompakan, perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan
kedaulatan asing dan dapat memiliki kekayaan yang dilindungi oleh hukum internasional serta dapat
menuntut kompensasi untuk tindakan-tindakan tertentu misalnya mengenai kontrak dan delik.
Dalam Danzig Railway Official’s Case, Mahkamah memutuskan bahwa apabila suatu perjanjian
internasional memberikan hak tertentu kepada individu, hak itu harus diakui dan mempunyai daya laku
dalam hukum internasional, artinya diakui oleh suatu badan peradilan internasional. Keputusan tersebut
memperkuat arah perkembangan hak kepada individu dalam perjanjian internasional.
c) Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang memberikan hak dan
membebani kewajiban serta tanggungjawab secara langsung kepada individu semakin bertambah pesat,
terutama setelah Perang Dunia II. Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-
konvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi individu
sebagai subyek hukum internasional yang mandiri.
Dasar hukum yang menyatakan individu sebagai subjek hukum internasional ialah :
1. Perjanjian Versailles 1919 pasdal 297 dan 304
2. Perjanjian Uppersilesia 1922
3. Keputusan Permanent Court of Justice 1928
4. Perjanjian London 1945 (inggris, Perancis, Rusia, dan USA)
5. Konvensi Genocide 1948.
4. a) Salah satu unsur esensial dari negara adalah wilayah tertentu dalam mana berlaku hukum negara itu.
Dalam batas-batas wilayah kekuasaan tertinggi berada dalam tangan negara. Inilah konsep “Kedaulatan
Territorial”, yang bahwa dalam wilayah itu, negara menjalankan yurisdiksi atas orang dan benda. Dalam
hukum internasional perolehan dan hilangnya wilayah negara akan menimbulkan dampak terhadap
kedaulatan negara atas wilayah itu. Oleh karena itu, hukum internasional tidak hanya mengatur perolehan
atau hilangnya wilayah negara itu, tetapi yang lebih penting adalah dampak hukum terhadap kedaulatan
negara dan penduduk yang tinggal di wilayah tersebut. Kedaulatan negara atas wilayahnya memiliki dua
aspek baik positif maupun negatif. Aspek positif wilayah negara dalam bentuk adanya kekuasaan tertinggi
atau kewenangan eksklusif dari negara di wilayahnya. Sebaliknya, di luar wilayahnya suatu negara tidak
lagi memiliki kekuasaan demikian karena kekuasaan itu berakhir dan kekuasaan suatu negara lain mulai.
Aspek negatif dari wilayah negara ditunjukkan dengan adanya kewajiban negara untuk melindungi hak
negara-negara lain di wilayahnya. Dalam prakteknya segketa kewilayahan dapat disebabkan oleh dua hal
yaitu bentuk klaim terhadap wilayah dari suatu negara, seperti misalnya dalam sengketa Arab – Israel;
atau dapat juga dalam bentuk klaim terhadap suatu bagian dari wilayah suatu negara yang berbatasan,
seperti misalnya dalam sengketa antara Indonesia dan Malaysia mengenai Pulau Sipadan dan Ligitan di
atas. Tuntutan terhadap wilayah atau atau bagian wilayah dari suatu negara dapat didasarkan pada
berbagai macam hal mulai dari bentuk klasik seperti okupasi atau preskripsi, sampai kepada bentuk paling
mutakhir seperti misalnya hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination), dengan dukungan
berbagai faktor yang bersifat politis maupun hukum seperti misalnya kelanjutan geografis (geographical
contiguity), tuntutan sejarah atau faktor ekonomi. Di samping itu, hukum internasional juga mengenal
adanya wilayah yang tidak berada di bawah kedaulatan negara maupun yang dikenal sebagai terra nulius.
Ada wilayah yang tidak dapat ditundukkan pada kedaulatan negara manapun yang disebut res comunis
seperti misalnya laut lepas, kawasan dasar laut samudra dalam (international seabed area) dan ruang
angkasa (outer space).
b) Kedaulatan negara merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk dijaga oleh suatu negara.
Sebagaimana diketahui dalam literatur ketatanegaraan, bahwa syarat berdirinya suatu negara adalah
adanya wilayah, rakyat dan pemerintahan yang berdaulat. Negara yang berdaulat diartikan sebagai negara
yang mempunyai kekuasaan tertinggi (supreme authority) yang berarti bebas dari kekuasaan negara lain,
bebas dalam arti seluas-luasnya baik ke dalam maupun ke luar. Jean Bodin dalam tulisannya menyatakan
pentingnya suatu kedaulatan bagi pelaksanaan pemerintahan dan sejak itu kedaulatan merupakan
masalah sentral dalam pembahasan perangkat negara modern dari hukum internasional.Teori kedaulatan
Hans Kelsen mengungkapkan bahwa kedaulatan adalah kualitas penting dari negara yang berarti negara
tersebut merupakan satu kekuasaan
tertinggi dan kekuasaan didefinisikan sebagai hak atau kekuatan untuk memaksa.
Hukum internasional hanya berlaku apabila diakui oleh negara yang berdaulat.
Pengakuan dunia internasional akan wilayah udara sebagai bagian dari kedaulatan negara memberikan
legitimasi yang kuat bagi Indonesia sebagai suatu negara yang luas. Wilayah udara adalah ruang udara
yang berada di atas wilayah daratan dan perairan suatu negara. Wilayah suatu negara biasanya terdiri dari
tiga dimensi, yaitu daratan, perairan, dan ruang udara. Namun tidak semua negara memiliki wilayah
perairan (laut) atau dikatakan sebagai negara dua dimensi, seperti Laos, Kamboja, Nepal, Kazakhstan,
Swiss, Austria, Irak, Congo, Nigeria, dan lain sebagainya, yang dalam istilah hukum internasional disebut
landlocked states. Sedangkan yang memiliki lengkap tiga dimensi, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia,
Filipina, India, Pakistan, Inggris, Belanda, Amerika Serikat, Kanada, Argentina, China, Korea, Jepang, dan
lain sebagainya. Bagian wilayah yang pasti dimiliki semua negara adalah wilayah udara, bagaimanapun
bentuk geografisnya.
Setelah menyadari bahwa wilayah udara memiliki nilai ekonomis dan strategis, maka negara-negara mulai
memikirkan instrumen hukum untuk melindungi kepentingannya sehingga lahirlah berbagai perjanjian
internasional di bidang hukum udara. Dua perjanjian internasional yang melegitimasi kepemilikan negara
atas ruang udara adalah Konvensi Paris 1919 dan konvensi Chicago 1944. Lahirnya dua perjanjian tersebut
didasarkan atas teori kepemilikan ruang udara (the air sovereignty theory).
Kedaulatan negara di ruang udara yang bersifat complete and exclusive adalah konsep hukum yang sudah
diakui sebagai sebuah rezim hukum internasional yang sudah mapan, namun dalam perkembangannya
konsep ini terdegradasi dengan lahirnya berbagai perjanjian internasional yang meliberalisasi
perdagangan jasa penerbangan. Kebijakan open sky policy yang membuka era perdagangan jasa
penerbangan untuk dimasuki oleh penyedia jasa penerbangan dari negara-negara lain secara bebas, telah
mengikis sifat tersebut. Itu artinya, kedaulatan negara atas sumber daya alam berupa ruang udara tidak
dapat lagi disebut complete and exclusive milik bangsa Indonesia, karena telah terbagi kepada negara-
negara lain.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pada masa kini kedaulatan negara
merupakan sisa dari kekuasaan yang dimiliki dalam batas- batas yang ditetapkan melalui hukum
internasional.