Anda di halaman 1dari 15

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.2 (2021.1)

Nama Mahasiswa : M. Irfan Syah Fahri

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 041635361

Tanggal Lahir : 28 Juni 1999

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4206/Hukum Internasional

Kode/Nama Program Studi : Ilmu Hukum S1

Kode/Nama UPBJJ : Bandar Lampung

Hari/Tanggal UAS THE : Minggu/4 Juli 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Surat Pernyataan
Mahasiswa
Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama Mahasiswa : M. Irfan Syah Fahri

NIM : 041635361

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4206/Hukum Internasional

Fakultas : Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik

Program Studi : Ilmu Hukum S1

UPBJJ-UT : Bandar Lampung

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada
laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal
ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan
aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan
tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik
yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.

Bandarlampung, 4 Juli 2021

Yang Membuat Pernyataan

M. Irfan Syah Fahri


1. a)
- Perkembangan Awal (Masa Kuno)
Perkembangan awal hukum internasional dapat kita ditelusuri dengan melihat hubungan politik yang
telah dilakukan oleh bangsa-bangsa sejak ribuan tahun yang lalu. Dijelaskan dalam buku Malcolm N.Shaw
bahwa sekitar tahun 2100 SM, misalnya, sebuah perjanjian resmi telah ditandatangani antara para
penguasa Lagash dan Umma, dua negara-kota yang terletak di daerah yang dikenal oleh para sejarawan
dengan nama Mesopotamia. Perjanjian itu tertulis di atas sebuah balok batu dan menyebutkan tentang
penentuan batas yang harus dihormati oleh kedua pihak. Contoh lain perjanjian internasional lainnya
yaitu, perjanjian antara Rameses II dari Mesir dan raja kaum Het untuk menegakkan perdamaian dan
persaudaraan langgeng.
Dipenjuru lainnya, India Kuno juga memiliki kaidah dan lembaga hukum yang mengatur hubungan antar
kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja. Terdapat ketentuan yang mengatur perjanjian, hak dan kewajiban
raja, tetapi ketentuan yang cukup jelas berkaitan dengan hukum yang mengatur perang. Selain itu,
terdapat perbedaan antara combatant dan noncombatant, ketentuan mengenai perlakuan tawanan
perang dan cara melakukan perang. Dalam lingkungan budaya Yahudi, terdapat ketentuan mengenai
perjanjian perlakuan terhadap orang asing dan cara melakukan perang. Hal ini tertulis dalam Kitab
Perjanjian Lama. Yunani pun sudah mengenal perwaistan (arbitration) dan hubungan diplomatik. Salah
satu konsep Yunani yang mempengaruhi pemikiran Eropa dan dikembangkan oleh Romawi adalah
mengenai Konsep Hukum Alam. Ide ini dirumuskan oleh para filsuf Stoa pada abad ke-3 SM dan teori ini
menyatakan bahwa sekumpulan aturan yang bersifat universal. Selain Eropa, Kekaisaran Byzantium dan
dunia Islam pun, memberikan tanda-tanda adanya kehidupan hukum internasional, seperti adanya
praktek diplomasi dan adanya sumbangan terpenting dalam hukum perang. Secara umum, aturan perang
yang bersifat manusiawi pun dikembangkan dan ‘kaum kitab’ (Yahudi dan Kristen) diperlakukan lebih baik
daripada non-mukmin, meskipun dalan posisi inferior terhadap umat Islam. Hukum mengenai para
diplomat dibentuk berdasarkan gagasan kesantunan dan keamanan (aman), sementara aturan mengenai
perjanjian internasional berkembang dari konsep sikap penghormatan atas janji yang dibuat.
Dapat disimpulkan bahwa berbagai praktek-praktek hubungan politik yang telah dilakukan menjadi tanda
bahwa hukum internasional sudah hadir walaupun terbatas secara geografis dan kultural. Praktek seperti
diplomasi, penghormatan integritas wilayah masing-masing, penghentian keadaan agresi, pembentukan
aliansi pertahanan, perjanjian perdamaian dan keadilan sosial telah menunjukkan bahwa terdapat
hubungan politik antar bangsa-bangsa. Selain itu, munculnya Ide Hukum Alam juga menjadi salah satu
konsep hadirnya hukum internasional. Selain menjadi konsep fundamental dalam teori hukum, Hukum
Alam sangat penting untuk memahami hukum internasional serta menjadi pendahuluan yang mutlak bagi
pembahasan kontemporer tentang hak asasi manusia.
- Abad Pertengahan dan Renaisans
Abad pertengahan ditandai adanya otoritas Gereja yang terorganisir. Pada zaman Romawi, Hukum
Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar kerajaan bangsa tidak mengalami
perkembangan yang pesat. Walaupun demikian, terdapat perkembangan pesat dalam bidang lainnya,
seperti Hukum Maritim dan Hukum Komersial. Dalam Hukum Maritim, munculnya Hukum Laut Rhodian
Karya Bizatium yang berisikan serangkaian kebiasaan yang berlaku umum terkait laut Atlantik dan pantai
Mediterania. Sedangkan dalam Hukum Komersial, munculnya Merchant Law yang dibentuk oleh Inggris
mengenai aturan bagi para pedagang asing dan berlaku universal.
Namun, dalam perjalanannya otoritas Gereja memudar dan mengalami masa Renaisans. Renaisans
mengubah wajah masyarakat Eropa dan memunculnya ciri pemikiran ilmiah, humanistik dan individualis.
Pada masa ini, penemuan mesin cetak (Abad 15) menjadi sarana menyebarkan pengetahuan. Dengan
menyebarnya pengetahuan maka bermunculan pula landasan kehidupan internasional modern seperti,
diplomasi, kenegarawanan, teori keseimbangan kekuasaan dan ide tentang komunitas para negara.
- Menuju Masa Modern
Salah satu peristiwa penting yang membuat Hukum Internasional menuju tatanan modern adalah
munculnya gerakan reformasi dan sekularisasi untuk menentang kekuasan gereja dan negara. Gerakan ini
memunculkan Perdamaian Westphalia 1648. Masa ini menjadi Titik Terang Eropa untuk melakukan
pembaharuan sistem dan memunculkan berbagai pemikiran salah satunya mengenai Postivisme dan
Naturalisme.
- Abad Kesembilan Belas
Tidak hanya memunculkan berbagai pemikiran-pemikiran baru, namun membawakan berbagai peristiwa-
peristiwa penting lainnya yang berkaitan dalam pembangunan hukum internasional. Berbagai konferensi
Eropa diselenggarakan dan memberikan kontribusi besar bagi pengembangan aturan mengenai
pelaksanaan perang. Berbagai peristiwa seperti Final Act Kongres Wina (1815) yang membahas kebebasan
pelayaran dalam perairan internasional dan mendirikan Komisi Sentral Rhine untuk mengatur
pelaksanaan, adanya Komisi Sungai Danube dan sungai Eropa lain mengenai perjanjian dan ketetapan
internasional, Konferensi Perdamaian (1856), Konvensi Jenewa (1864) tentang ‘Pemanusiawian’ konflik,
Konferensi Den Haag 1899 dan 1907 membentuk Pengadilan Arbitrase Tetap dan membahas perlakuan
para tahanan dan kontrol peperangan. Selain itu, hadir pula lembaga-lembaga internasional seperti,
Komite Palang Merah Internasional (The Internasional Committee of the Red Cross) (1863), Uni Telegraf
Internasional (1865), Uni Pos Universe (1874). Berbagai Karya tentang hukum internasional pun mulai
banyak bermunculan pada abad ini.
- Abad Kedua Puluh
Setelah Perang Dunia berakhir (28 Juli 1914-11 November 1918). Muncullah Perjanjian Perdamaian 1919
dan terbentuklah Liga Bangsa-Bangsa. Liga ini tentu muncul sebagai wadah untuk memelihara tatanan
hubungan internasional, agar tidak terjadi kembali Perang Dunia yang lainnya. Namun nyatanya, Perang
Dunia II (1939-1945) tidak dapat dihindari. Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa (Warisan terpenting dari sudut
pandang hubungan internasional) tentu memberikan motivasi bagi seluruh negara didunia untuk saling
bersama-sama menjaga perdamaian. Melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (1946), menjadi titik balik untuk
memperbaiki kekurangan pendahulunya, dan menjadi wadah yang bersifat universal. Pada masa ini,
terbentuk pula lembaga-lembaga seperti Mahkamah Tetap Internasional (1921), lalu diganti menjadi
Mahkamah Internasional (1946). Terbentuk pula Organisasi Buruh Internasional yang berdiri sejak akhir
Perang Dunia I hingga saat ini.
- Masa Kini
Permasalahan yang dihadapi kini tidak hanya menyangkut permasalahan wilayah atau yurisdiksi negara
yang dipahami secara sempit, tetapi juga mengenai permasalahan lainnya, seperti hak asasi manusia,
pertumbuhan hukum ekonomi internasional yang mencakup urusan keuangan dan pembangunan,
keprihatian kepada perusakan lingkungan, upaya eksplorasi ruang angkasa dan eksploitasi sumber daya
laut dan dasar laut.
b) Perjanjian Westphalia merupakan jalan keluar untuk mengakhiri perang tiga puluh tahun (1618 - 1648)
yang menitikberatkan perang katolik dan kristen dalam sejarah kekristenan Eropa. Perjanjian Westphalia
terjadi pada Masa Menuju Modern dan terdiri atas dua perjanjian yang ditandatangani di dua kota di
wilayah Westphalia, yaitu di Osnabrück pada tanggal 15 Mei 1648 dan di Münster pada tanggal 24
Oktober 1648. Perjanjian perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam tonggak
sejarah hubungan internasional modern karena telah berhasil menghasilkan konsep nation-state (bangsa
dan negara). Oleh karena itu, istilah negara baru muncul setelah perjanjian ini dibuat.

Perjanjian Westphalia dinilai sebagai suatu masa penting khususnya dalam sejarah diplomasi modern.
Tidak hanya itu, hukum internasional pun mulai berkembang sejak perjanjian Westphalia muncul.
Perjanjian Westphalia mencantumkan banyak aturan dan prinsip politik masyarakat negara-negara baru
(Watson, 1992: 186). Perjanjian ini meliputi prinsip penghormatan atas kedaulatan suatu negara dan hak
dalam menentukan nasib bangsnya sendiri, yakni dengan prinsip non-intervention. Prinsip non-intervensi
tersebut memiliki arti bahwa setiap negara berhak untuk mengatur dan mengendalikan atas urusan
internal negaranya tersendiri. Selain itu, perjanjian Westphalia juga memuat prinsip kesamaan di depan
hukum bagi setiap negara. Hal ini memperkuat teori kalangan realist dan tradisional bahwa negara-negara
merupakan Billiard Ball Model dimana negara-negara yang ada memiliki status hukum yang sama
(Wardhani, 2014).

Sejarah perjanjian Westphalia dimulai sejak abad pertengahan (abad ke-17), Eropa dilanda peperangan
yang cukup dahsyat melibatkan kaum penganut agama Katolik dan Protestan antar kerajaan-kerajaan di
Eropa. Perang tersebut merupakan pertentangan yang dimulai oleh reformasi protestan yang tidak
menyetujui reformasi katolik, begitu pula sebaliknya. Babak munculnya awal konflik dipicu oleh upaya
pembunuhan atas Raja Bohemia (Czech Republic) yang akhirnya menjadi kaisar suci, Ferdinand II pada
tahun 1618. Ferdinand II saat itu menerapkan nilai-nilai Katolik di penjuru kerajaannya. Namun sayangnya,
hal tersebut ditentang oleh kalangan Protestan dan sehingga terjadilah perang sepanjang dekade 1930-an.
Hampir seluruh wilayah Eropa terlibat peperangan ini, khususnya wilayah Jerman yang banyak terjadi
kerusakan. Perang tiga puluh tahun ini mengakibatkan musibah kelaparan, wabah penyakit, banyaknya
warga sipil yang mati, penjarahan, serta kerugian-kerugian lainnya.

Setelah beberapa tahun perang berjalan, para penguasa yang memerintah akhirnya sadar bahwa
kekuasaan militer tidak dapat lagi membantu mereka mencapai tujuan mereka. Akhirnya kaisar Ferdinand
II dari imperium Romawi suci, Raja Louis XIII dari Perancis, Ratu Christina dari Swedia sepakat untuk
membuat konferensi dan mengundang pihak-pihak yang berperang untuk merundingkan perdamaian.
Dua lokasi untuk penyelenggaraan konferesnsi dipilih, yakni kota Osnabrück dan Münster di Provinsi
Westphalia, Jerman. Kedua kota tersebut dipilih karena letaknya yang strategis, yakni di antara ibu kota
Swedia dan Perancis. Pada tahun 1643, sekitar 150 delegasi dan bebera tim-tim besar penasihat tiba di
kedua kota ini. Kemudian tepat setelah tiga puluh tahun, perjanjian Westphalia dibuat. Perjanjian ini
melibatkan kaisar romawi suci, Ferdinand II, dan kerajaan dari Spanyol, Perancis, Swedia, Belanda, dan
sejumlah penguasa wilayah lainnya.

Perjanjian Westphalia telah menghasilkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena
perang Eropa tersebut. Perjanjian perdamaian Westphalia mengakhiri usaha kaisar Romawi yang suci,
hubungan antara negara-negara juga dilepaskan dari persoalan hubungan agama atau kegerejaan dan
didasarkanatas kepentingan nasional negara masing-masing, serta kemerdekaan bagi negara Belanda,
Swiss, dan pengakuan atas negara-negara kecil di Jerman. Sebagai akibat dari munculnya perjanjian
Westphalia ini, kekaisaran Romawi suci mengalami perpecahan. Swedia mengambil kendali wilayah Baltik,
dan Perancis muncul sebagai kekuatan baru.

2. a) 2. Saat ini setiap negara yang berdaulat mampu mengadakan perjanjian internasional. hal ini didasarkan
pada beberapa teori hukum yang mendeskripsikan hakikat mengikatnya suatu kontrak dalam (Huala,
Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional (Revisi) 2002) , yaitu sebagai berikut :
- Teori Kehendak (the will theory), yaitu kesepakatan yang akan mengikat ketika negara secara sengaja
mengehendaki atau melakukan suatu perjanjian yang diinginkan.dengan kehendak sendiri.
- Teori Persetujuan (the bargain theory), yaitu adanya persetujuan dari negara- negara pihak sehingga
pada teori ini kontrak bukanlah suatu kehendak dari para pihak.
- Teori kesetaraan (the equivalent theory), yaitu kesepakatan yang berisi tentang pemberian kesetaraan
atau kesamaan bagi para pihak.
- Teori kerugian (the injurious-reliance theory), yaitu kesepakatan yang mengikat diakibatkan oleh
pernyataan diri untuk mengandalkan pihak yang menerima janji dengan akibat adanya kerugian.
Dengan merujuk pada teori di atas dan Konvensi Wina 1969 terkait Perjanjian Internasional, maka cukup
memberi kejelasan dan pijajakn dasar tentang norma dalam perjanjian internasional. Setelah melihat
pemaparan di atas, maka di sini kedaulatan negara menjadi karakteristik tersendiri yang menjadi lebih
sensitif dan berujung pada sebutan “quacy of law” bagi hukum internasional. Jadi, negara akan terikat di
dalam sebuah perjanjian internasional jika negara dengan kehendaknya sendiri ikut berperan dan terikat
sebagai negara pihak. sehingga apabila telah menjadi bagian dari negara pihak maka secara otomatis akan
dibebankan suatu hak dan kewajiban sesuai dengan perjanjian internasional yang dibuat. Negara berhak
menentukan sendiri tindakan yanga akn diambilnya dan ini merupakan bentuk penghargaan bagi negara
atas kedaualatnya.
Menurut International Law Commision dalam (Situngkir 2018) terdapat dua kondisi yang menciptakan hak
bagi negara bukan peserta dari suatu ketentuan perjanjian internasional, yaitu sebagai berikut :
- Para pihak harus memiliki niatan sesuai dengan ketentuan hak untuk keadaan uang bersangkutan
dalam memberikan hak bagi negara pserta.
- Adanya persetujuan dari negara penerima.
Dalam jurnal (Situngkir 2018) disebutkan tindakan suatu negara terikat pada perjanjian internasional
apabila :
- Penandatanganan dijadikan sebagai bukti persetujuan dari negara bahwa telah terikat dengan
perjanjian yang dinyatakan melalui tanda tangan perwakilan.
- Pertukaran instrumen-instrumen menjadi suatu tanda bahwa adanya persetujuan yang terikat oleh
suatu perjanjian internasional. dengan pertukaran instrument tersebut maka secara hukum akan
menghasilkan efek yang mengikat. Dalam hal ini, kesepakatan dari negara-negara yang telah
mengadakan pertukaran instrument akan dinyatakan sebagai syarat mengikatnya perjanjian
internasional.
- Ratifikasi, penerimaan atau persetujuan menjadi suatu persetujuan terikatnya sebuah perjanjian dari
negara yang terikat di dalam suatu perjanjian internasional, ketika :
a. Perjanjian yang menentukan demikian,
b. Negara-negara yang bernegosiasi menyepakati untuk meratifikasi perjanjian,
c. Negara yang bernegosiasi sepakat bahwa perjanjian harus diratifikasi.
d. Penandatanganan suatu perjanjian telah dilakukan oleh wakil dari negara untuk subjek ratifikasi.
e. Kekuatan secara penuh dari setiap perwakilan selama negosiasi mampu meyakinkan niat negara
untuk menandatanagi perjanjian yang telah diratifikasi pacta sunt servanda dikatakan sebagai suatu
asas yang paling fundamental (Grotius). Pasalnya pacta sunt servanda ini merupakan norma dasar di
dalam sebuah hukum internasional yang secara umum mengikat suatu negara terhadap sebuah
perjanjian internasional akibat adanya suatu persetujuan dari suatu negara agar terikat dengan
perjanjian internasional. asas ini juga berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar kedaulaan dan
kemerdekaan negara-negara terlibat sebelum mereka dapat terikat terhadap peraturan, maka negara
harus terlebih dulu menyetujui peraturan tersebut.
Syarat agar suatu perjanjian mengikat negara-negara terkait harus dinyatakan oleh penerimaan atau
persetujuan (ratifikasi). Di dalam perjanjian internasional terdapat istilah "entry into force" dimana istilah
ini mengartikan bahwa suatu perjanjian secara resmi mulai berlaku. Setelah itu negara-negara akan
membuat perjanjian dengan mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian internasional melalui tandatangan
oleh perwakil negara yang ditunjuk. Setelah itu proses trakhir sebelum perjanjian disahkan dan
diberlakukan maka proses yang harus dilakukan dan dilalui adalah penyerahan ratifikasi kepada badan
atau lembaga khusus yang ditunjuk untuk menerima ratifikasi. Apabila seluruh syarat telah terpenuhi,
maka bisa dipastikan suatu perjanjian internasional yang dibuat sudah dapat diberlakukan.

b) UUD 1945 Pasal 11 Ayat 1 menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Perihal perjanjian dengan
negara lain atau perjanjian internasional kemudian lebih lanjut diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2000.
Sesuai UU Nomor 24 Tahun 2000, Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama
tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan
kewajiban di bidang hukum publik. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa kata
ratifikasi memiliki arti pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya pengesahaan UU,
perjanjian antar negara, dan persetujuan hukum internasional.
Indonesia dalam hubungannya dengan negara lain, sering kali terikat dalam suatu perjanjian di berbagai
bidang termasuk perdagangan yang didalamnya mencakup kerja sama perdagangan barang dan jasa
sektor energi. Perjanjian internasional dalam lingkup kerja sama dilakukan oleh Indonesia baik secara
bilateral, regional maupun multilateral.
Pada awal tahun 2019 sebagai contoh, Indonesia sedang mempersiapkan proses ratifikasi ASEAN
Framework Agreement on Services (AFAS) Paket 10. Setelah ditandatangani pada 11 November 2018,
negara-negara ASEAN termasuk Indonesia segera melakukan proses ratifikasi AFAS Paket 10. Kementerian
Perdagangan selaku focal point kerja sama ini menyatakan bahwa tujuan ratifikasi AFAS Paket 10 adalah
memberikan dasar hukum bagi Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan komitmen AFAS 10.
Sesuai UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Pasal 84, setiap perjanjian perdagangan
internasional disampaikan kepada Dewan Perwakilan (DPR) rakyat paling lama 90 (Sembilan puluh) hari
kerja setelah penandatanganan perjanjian. Suatu perjanjian internasional yang akan diratifikasi harus
dilengkapi dengan beberapa dokumen diantaranya adalah permohonan pengesahan ke Presiden RI
melalui Menteri Luar Negeri, naskah urgensi pengesahan, naskah terjemahan perjanjian tersebut, naskah
akademik pengesahan dan Rancangan Peraturan Presiden atau rancangan UU tentang pengesahan.
Ratifikasi suatu perjanjian internasional dapat dilakukan dengan UU atau Keputusan Presiden. Dalam
proses ratifikasi, DPR melakukan tinjauan utamanya sisi manfaat dari perjanjian internasional tersebut.

c) Reservasi adalah suatu tindakan untuk memungkinkan perjanjian multilateral memperoleh peserta yang
luas. Perumusan Reservasi (pasal 19 Konvensi wina). Suatu Negara pada waktu melakukan
penandatangan, ratifikasi, menerima, mengesahkan atau aksesi terhadap suatu perjanjian boleh
mengajukan reservasi kecuali jika : Reservasi itu dilarang oleh perjanjian. Perjanjian itu sendiri
menyatakan bahwa hanya reservasi-reservasi tertentu yang tidak termasuk reservasi yang dipersoalkan,
boleh diajukan dalam hal tidak termasuk di dalam sub paragraph (a) dan (b), maka reservasi itu
bertentangan dengan tujuan dan maksud perjanjian Pasal 20 Konvensi Wina 1969. Reservasi yg diizinkan
oleh perjanjian tidak memerlukan penerimaan oleh negara peserta lainnya. Jika penerapan perjanjian
secara keseluruhan sebagai syarat utama untuk terikat oleh perjanjian maka reservasi memerlukan
penerimaan seluruh peserta perjanjian. Jika perjanjian merupakan instrumen konstitusi organisasi
internasional maka reservasi memerlukan penerimaan dari organ kompeten organisasi tersebut. Reservasi
dapat dilakukan dengan tidak memerlukan persetujuan negara peserta lainnya Perlu persetujuan dari,
semua negara peserta organ yang kompeten dari organisasi internasional.

Ada beberapa perumusan Reservasi antara lain:


- Pasal 19 Konvensi Wina 1969
Suatu Negara pada waktu melakukan penandatangan, ratifikasi, menerima, mengesahkan atau aksesi
terhadap suatu perjanjian boleh mengajukan reservasi kecuali jika :Reservasi itu dilarang oleh perjanjian.
Perjanjian itu sendiri menyatakan bahwa hanya reservasi-reservasi tertentu yang tidak termasuk reservasi
yang dipersoalkan, boleh diajukan. Dalam hal tidak termasuk di dalam sub paragraph (a) dan (b), maka
reservasi itu bertentangan dengan tujuan dan maksud perjanjian.
- Pasal 20 Konvensi Wina 1969
Reservasi yg diizinkan oleh perjanjian tidak memerlukan penerimaan oleh negara peserta lainnya. Jika
penerapan perjanjian secara keseluruhan sebagai syarat utama untuk terikat oleh perjanjian maka
reservasi memerlukan penerimaan seluruh peserta perjanjian. Jika perjanjian merupakan instrumen
konstitusi organisasi internasional maka reservasi memerlukan penerimaan dari organ kompeten
organisasi tersebut.

3. a) Berikut adalah penjabaran subjek hukum internasional selain negara:


- Organisasi Internasional
Organisasi internasional adalah suatu organisasi yang dibentuk dengan perjanjian internasional oleh
dua negara atau lebih yang terstruktur dan memiliki suatu tujuan, kewenangan, asas, struktur
organisasi. Kedudukan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional sudah tidak
diragukan lagi. Organisasi internasional lahir sebagai subjek hukum internasional sejak dikeluarkannya
advisory opinion Mahkamah Internasional dalam Kasus Reparation for injured suffered in the service
of the unite nations 1949. Mahkamah Internasional dalam advisory opinion tahun 1949, menyatakan;
“. . . the organization is an international person (…) that it is a subjects of international law and
capable of prossessing international rights and duties, and that it has capacity to maintain its rights by
bringing international claim . . .”
Dengan demikian jelaslah bahwa organisasi internasional merupakan international person karena
merupakan subjek hukum internasional dan mempunyai legal personality yang artinya dapat memiliki
hak dan kewajiban dalam hukum internasional, dapat mengajukan klaim internasional dan juga
memiliki imunitas di wilayah negara anggotanya.
- Tahta Suci (Vatican)
Tahta Suci (Vatican) merupakan suatu contoh dari suatu subjek hukum internasional yang telah ada
sejak dahulu di samping negara. Semenjak penaklukannya oleh Italia, kedaulatan Tahta Suci sebagai
negara berakhir. Kemudian melalui Traktat Lateran, dibentuklah Negara Kota Vatikan. Isi dari Traktat
Lateran tersebut dipandang sebagai pengakuan Italia atas keberadaan Vatikan sebagai subjek hukum
internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya, tidak seluas tugas dan
wewenang negara, sebab hanya terbatas pada bidang kerohanian dan kemanusian.
- International Non Government Organization (INGO)
DW Bowett dalam bukunya hukum organisasi internasional mengatakan bahwa INGO sebagai
perserikatan-perserikatan privat internasional, dan lebih lanjut adalah perserikatan-perserikatan atau
perhimpunan-perhimpunan dari badan-badan non pemerintah, baik swasta, individu atau badan
hukum. Organisasi-organisasi ini bergerak di berbagai bidang diantaranya seperti layanan hukum,
keluarga berencana, psikiater, pekerja sosial, perlindungan lingkungan, perlindungan satwa langka,
dan lain-lain. Pasal 1 Konvensi yang ditetapkan di Starsbourg, menetapkan bahwa persyaratan bagi
INGO tersebut adalah: (1) have a non profit aim of international utility, (2) have been established by
an instrument governed by internal law of party,(3) carry on their activities with effect in at least two
status and, (4) have their statutory office in the territory of a party and the central management and
control in the territory of that party or of another party.
- Palang Merah Internasional (International Committee on The Red Cross)
Organisasi ini merupakan subjek hukum yang terbatas kedudukannya, namun melalui Konvensi
Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang kedudukannya telah diperkuat.
- Perusahaan Transnasional
Perusahaan Transnasional adalah perusahaan yang didirikan di suatu negara, tetapi beroperasi
diberbagai negara. Perusahaan tersebut pada dasarnya merupakan organisasi bisnis swasta yang
terdiri atas beberapa badan hukum yang terhubung oleh perusahaan induk dan dibedakan
berdasarkan ukuran dan penyebaran multinasionalnya.
- Individu (Natural Person)
Dalam Pasal 3 Draft Code of Crimes against the piece and Security of Mankind 1987 yang dikeluarkan
oleh International Law Comission menyatakan bahwa individu adalah person dalam Hukum
Internasional. Meskipun Individu merupakan subjek hukum intenasional, ada beberapa hal yang tidak
dapat dilakukan oleh individu seperti menguasai wilayah, tidak dapat membuat perjanjian
internasional. Tetapi seorang individu dapat melakukan kejahatan seperti perompakan, perang,
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kedaulatan asing dan dapat memiliki kekayaan yang dilindungi
oleh hukum internasional serta dapat menuntut kompensasi untuk tindakan-tindakan tertentu
misalnya mengenai kontrak dan delik.
- Organisasi Pembebasan/Bangsa yang memperjuangkan Haknya (National Liberation Organization/
Representative Organization)
Dalam sejarah, PBB lewat resolusi majelis umumnya pernah mengakui South West Africa People’s
(SWAPO) yang berjuang mendirikan Negara Afrika Barat atau Namimbia sebagai satu-satunnya
organisasi yang sah mewakili Rakyat Namimbia juga PLO sebagai wakil rakyat Palestina.
- Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa
Kaum belligerency pada awalnya muncul sebagai dari akibat masalah dalam negeri suatu negara
berdaulat, oleh karena itu penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan.
Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara
dengan akibat-akibat diluar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap
yang diambil adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang
berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah
negara tempat pemberontakan terjadi.
Terdapat beberapa kriteria-kriteria yang ditetapkan para sarjana terhadap belligerent yaitu:
a. Harus telah terorganisasi secara rapi dan teratur di bawah kepemimpinan yang jelas;
b. Menggunakan tanda pengenal yang jelas untuk menunjukkan identitasnya;
c. Harus menguasai sebagian wilayah secara efektif sehingga jelas bahwa wilayah tersebut telah
berada di bawah kekuasaannya;
d. Harus mendapatkan dukungan dari rakyat di wilayah yang telah didudukinya tersebut.
Lebih lanjut, Oppenheim-Lauterpacht juga mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi sebelum
suatu belligerency mendapatkan pengakuan, yaitu:
a) Perang sipil telah terjadi, kemudian berkembang menjadi perang terbuka;
b) Telah ada pendudukan atas wilayah-wilayah tertentu serta penyelenggaraan dan pengaturan atas
wilayah tersebut;
c) Pihak pemberontak tersebut berada di bawah pimpinan dan menaati hukum-hukum perang;
d) Terdapat negara ketiga yang telah menyatakan sikapnya terhadap perang sipil tersebut.

b) Dalam Pasal 3 Draft Code of Crimes against the piece and Security of Mankind 1987 yang dikeluarkan
oleh International Law Comission menyatakan bahwa individu adalah person dalam Hukum Internasional.
Meskipun Individu merupakan subjek hukum intenasional, ada beberapa hal yang tidak dapat dilakukan
oleh individu seperti menguasai wilayah, tidak dapat membuat perjanjian internasional. Tetapi seorang
individu dapat melakukan kejahatan seperti perompakan, perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan
kedaulatan asing dan dapat memiliki kekayaan yang dilindungi oleh hukum internasional serta dapat
menuntut kompensasi untuk tindakan-tindakan tertentu misalnya mengenai kontrak dan delik.
Dalam Danzig Railway Official’s Case, Mahkamah memutuskan bahwa apabila suatu perjanjian
internasional memberikan hak tertentu kepada individu, hak itu harus diakui dan mempunyai daya laku
dalam hukum internasional, artinya diakui oleh suatu badan peradilan internasional. Keputusan tersebut
memperkuat arah perkembangan hak kepada individu dalam perjanjian internasional.

c) Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang memberikan hak dan
membebani kewajiban serta tanggungjawab secara langsung kepada individu semakin bertambah pesat,
terutama setelah Perang Dunia II. Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-
konvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi individu
sebagai subyek hukum internasional yang mandiri.
Dasar hukum yang menyatakan individu sebagai subjek hukum internasional ialah :
1. Perjanjian Versailles 1919 pasdal 297 dan 304
2. Perjanjian Uppersilesia 1922
3. Keputusan Permanent Court of Justice 1928
4. Perjanjian London 1945 (inggris, Perancis, Rusia, dan USA)
5. Konvensi Genocide 1948.
4. a) Salah satu unsur esensial dari negara adalah wilayah tertentu dalam mana berlaku hukum negara itu.
Dalam batas-batas wilayah kekuasaan tertinggi berada dalam tangan negara. Inilah konsep “Kedaulatan
Territorial”, yang bahwa dalam wilayah itu, negara menjalankan yurisdiksi atas orang dan benda. Dalam
hukum internasional perolehan dan hilangnya wilayah negara akan menimbulkan dampak terhadap
kedaulatan negara atas wilayah itu. Oleh karena itu, hukum internasional tidak hanya mengatur perolehan
atau hilangnya wilayah negara itu, tetapi yang lebih penting adalah dampak hukum terhadap kedaulatan
negara dan penduduk yang tinggal di wilayah tersebut. Kedaulatan negara atas wilayahnya memiliki dua
aspek baik positif maupun negatif. Aspek positif wilayah negara dalam bentuk adanya kekuasaan tertinggi
atau kewenangan eksklusif dari negara di wilayahnya. Sebaliknya, di luar wilayahnya suatu negara tidak
lagi memiliki kekuasaan demikian karena kekuasaan itu berakhir dan kekuasaan suatu negara lain mulai.
Aspek negatif dari wilayah negara ditunjukkan dengan adanya kewajiban negara untuk melindungi hak
negara-negara lain di wilayahnya. Dalam prakteknya segketa kewilayahan dapat disebabkan oleh dua hal
yaitu bentuk klaim terhadap wilayah dari suatu negara, seperti misalnya dalam sengketa Arab – Israel;
atau dapat juga dalam bentuk klaim terhadap suatu bagian dari wilayah suatu negara yang berbatasan,
seperti misalnya dalam sengketa antara Indonesia dan Malaysia mengenai Pulau Sipadan dan Ligitan di
atas. Tuntutan terhadap wilayah atau atau bagian wilayah dari suatu negara dapat didasarkan pada
berbagai macam hal mulai dari bentuk klasik seperti okupasi atau preskripsi, sampai kepada bentuk paling
mutakhir seperti misalnya hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination), dengan dukungan
berbagai faktor yang bersifat politis maupun hukum seperti misalnya kelanjutan geografis (geographical
contiguity), tuntutan sejarah atau faktor ekonomi. Di samping itu, hukum internasional juga mengenal
adanya wilayah yang tidak berada di bawah kedaulatan negara maupun yang dikenal sebagai terra nulius.
Ada wilayah yang tidak dapat ditundukkan pada kedaulatan negara manapun yang disebut res comunis
seperti misalnya laut lepas, kawasan dasar laut samudra dalam (international seabed area) dan ruang
angkasa (outer space).
b) Kedaulatan negara merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk dijaga oleh suatu negara.
Sebagaimana diketahui dalam literatur ketatanegaraan, bahwa syarat berdirinya suatu negara adalah
adanya wilayah, rakyat dan pemerintahan yang berdaulat. Negara yang berdaulat diartikan sebagai negara
yang mempunyai kekuasaan tertinggi (supreme authority) yang berarti bebas dari kekuasaan negara lain,
bebas dalam arti seluas-luasnya baik ke dalam maupun ke luar. Jean Bodin dalam tulisannya menyatakan
pentingnya suatu kedaulatan bagi pelaksanaan pemerintahan dan sejak itu kedaulatan merupakan
masalah sentral dalam pembahasan perangkat negara modern dari hukum internasional.Teori kedaulatan
Hans Kelsen mengungkapkan bahwa kedaulatan adalah kualitas penting dari negara yang berarti negara
tersebut merupakan satu kekuasaan
tertinggi dan kekuasaan didefinisikan sebagai hak atau kekuatan untuk memaksa.
Hukum internasional hanya berlaku apabila diakui oleh negara yang berdaulat.
Pengakuan dunia internasional akan wilayah udara sebagai bagian dari kedaulatan negara memberikan
legitimasi yang kuat bagi Indonesia sebagai suatu negara yang luas. Wilayah udara adalah ruang udara
yang berada di atas wilayah daratan dan perairan suatu negara. Wilayah suatu negara biasanya terdiri dari
tiga dimensi, yaitu daratan, perairan, dan ruang udara. Namun tidak semua negara memiliki wilayah
perairan (laut) atau dikatakan sebagai negara dua dimensi, seperti Laos, Kamboja, Nepal, Kazakhstan,
Swiss, Austria, Irak, Congo, Nigeria, dan lain sebagainya, yang dalam istilah hukum internasional disebut
landlocked states. Sedangkan yang memiliki lengkap tiga dimensi, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia,
Filipina, India, Pakistan, Inggris, Belanda, Amerika Serikat, Kanada, Argentina, China, Korea, Jepang, dan
lain sebagainya. Bagian wilayah yang pasti dimiliki semua negara adalah wilayah udara, bagaimanapun
bentuk geografisnya.
Setelah menyadari bahwa wilayah udara memiliki nilai ekonomis dan strategis, maka negara-negara mulai
memikirkan instrumen hukum untuk melindungi kepentingannya sehingga lahirlah berbagai perjanjian
internasional di bidang hukum udara. Dua perjanjian internasional yang melegitimasi kepemilikan negara
atas ruang udara adalah Konvensi Paris 1919 dan konvensi Chicago 1944. Lahirnya dua perjanjian tersebut
didasarkan atas teori kepemilikan ruang udara (the air sovereignty theory).
Kedaulatan negara di ruang udara yang bersifat complete and exclusive adalah konsep hukum yang sudah
diakui sebagai sebuah rezim hukum internasional yang sudah mapan, namun dalam perkembangannya
konsep ini terdegradasi dengan lahirnya berbagai perjanjian internasional yang meliberalisasi
perdagangan jasa penerbangan. Kebijakan open sky policy yang membuka era perdagangan jasa
penerbangan untuk dimasuki oleh penyedia jasa penerbangan dari negara-negara lain secara bebas, telah
mengikis sifat tersebut. Itu artinya, kedaulatan negara atas sumber daya alam berupa ruang udara tidak
dapat lagi disebut complete and exclusive milik bangsa Indonesia, karena telah terbagi kepada negara-
negara lain.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pada masa kini kedaulatan negara
merupakan sisa dari kekuasaan yang dimiliki dalam batas- batas yang ditetapkan melalui hukum
internasional.

Anda mungkin juga menyukai