Anda di halaman 1dari 23

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.2 (2021.1)

Nama Mahasiswa : MUHAMMAD SATRIA BAGASKARA

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 041625235

Tanggal Lahir : 25/06/2000

Kode/Nama Mata Kuliah : HUKUM INTERNASIONAL

Kode/Nama Program Studi : ILMU HUKUM S1

Kode/Nama UPBJJ :

Hari/Tanggal UAS THE : MINGGU,4 JULI 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN


TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS
TERBUKA

Surat Pernyataan
Mahasiswa Kejujuran
Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : MUHAMMAD SATRIA BAGASKARA


NIM : 041625235
Kode/Nama Mata Kuliah : HUKUM INTERNASIONAL
Fakultas : UNIVERSITAS TERBUKA
Program Studi : ILMU HUKUM S1
UPBJJ-UT :

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE
pada laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan
soal ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi
akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
Minggu ,04 Juli 2021
Yang Membuat Pernyataan

Muhammad Satira Bagaskara


BUKU JAWABAN UJIAN

UNIVERSITAS TERBUKA
1.) A. Pada awal tahapan perkembangan, hukum internasional menggunakan istilah yang
berbeda. Istilah “Hukum Bangsa-Bangsa” (Law of Nations) dan “Hukum Antarnegara” (Interstate
Law) adalah dua istilah yang lebih dikenal dan dipakai untuk menggambarkan hukum yang
berlaku bagi bangsa-bangsa di dunia pada saat itu. Namun dalam perkembangan, dua istilah ini
menjadi tertinggal karena pembahasan mengenai subjek hukum internasional tidak hanya Negara
saja, tetapi Individu, Organisasi Internasional, Perusahaan Transnasional, Vatican, Belligerency
yang juga merupakan subjek hukum internasional.

Hukum Bangsa-bangsa ini, sudah terlihat dalam lingkungan kebudayaan zaman dahulu yang
mengatur hubungan antar raja atau bangsa. Perkembangan hukum internasional ini oleh pakar
hukum dibagi menjadi beberapa tahap. Mochtar Kusumaadmatja, membagi tahapan
Perkembangan Hukum Internasional menjadi 4 yaitu, masa klasik (kuno), masa modern, masa
konsolidasi (Konvensi Den Haag), dan masa sesudah perang dunia kedua. Sedangkan, Malcolm
N. Shaw dalam bukunya yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang berjudul Internasional
Law, membagi tahapan perkembangan hukum internasional menjadi 6 bagian, yaitu,
perkembangan awal, Abad Pertengahan dan Renaisans, para pendiri hukum internasional modern,
Positivisme dan Naturalism, Abad ke-19, dan Abad ke-20.

• Perkembangan Awal (Masa Kuno)

Perkembangan awal hukum internasional dapat kita ditelusuri dengan melihat hubungan politik
yang telah dilakukan oleh bangsa-bangsa sejak ribuan tahun yang lalu. Dijelaskan dalam buku
Malcolm N.Shaw bahwa sekitar tahun 2100 SM, misalnya, sebuah perjanjian resmi telah
ditandatangani antara para penguasa Lagash dan Umma, dua negara-kota yang terletak di
daerah yang dikenal oleh para sejarawan dengan nama Mesopotamia.

Perjanjian itu tertulis di atas sebuah balok batu dan menyebutkan tentang penentuan batas
yang harus dihormati oleh kedua pihak. Contoh lain perjanjian internasional lainnya yaitu,
perjanjian antara Rameses II dari Mesir dan raja kaum Het untuk menegakkan perdamaian dan
persaudaraan langgeng.

Dipenjuru lainnya, India Kuno juga memiliki kaidah dan lembaga hukum yang mengatur
hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja. Terdapat ketentuan yang mengatur
perjanjian, hak dan kewajiban raja, tetapi ketentuan yang cukup jelas berkaitan dengan hukum
yang mengatur perang.

Selain itu, terdapat perbedaan antara combatant dan noncombatant, ketentuan mengenai
perlakuan tawanan perang dan cara melakukan perang. Dalam lingkungan budaya Yahudi,
terdapat ketentuan mengenai perjanjian perlakuan terhadap orang asing dan cara melakukan
perang. Hal ini tertulis dalam Kitab Perjanjian Lama.

Yunani pun sudah mengenal perwaistan (arbitration) dan hubungan diplomatik. Salah satu
konsep Yunani yang mempengaruhi pemikiran Eropa dan dikembangkan oleh Romawi adalah
mengenai Konsep Hukum Alam. Ide ini dirumuskan oleh para filsuf Stoa pada abad ke-3 SM dan
teori ini menyatakan bahwa sekumpulan aturan yang bersifat universal.

Selain Eropa, Kekaisaran Byzantium dan dunia Islam pun, memberikan tanda-tanda adanya
kehidupan hukum internasional, seperti adanya praktek diplomasi dan adanya sumbangan
terpenting dalam hukum perang. Secara umum, aturan perang yang bersifat manusiawi pun
dikembangkan dan ‘kaum kitab’ (Yahudi dan Kristen) diperlakukan lebih baik daripada non-
mukmin, meskipun dalan posisi inferior terhadap umat Islam.

Hukum mengenai para diplomat dibentuk berdasarkan gagasan kesantunan dan keamanan
(aman), sementara aturan mengenai perjanjian internasional berkembang dari konsep sikap
penghormatan atas janji yang dibuat.

Dapat disimpulkan bahwa berbagai praktek-praktek hubungan politik yang telah dilakukan
menjadi tanda bahwa hukum internasional sudah hadir walaupun terbatas secara geografis dan
kultural. Praktek seperti diplomasi, penghormatan integritas wilayah masing-masing,
penghentian keadaan agresi, pembentukan aliansi pertahanan, perjanjian perdamaian dan
keadilan sosial telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan politik antar bangsa-bangsa.

Selain itu, munculnya Ide Hukum Alam juga menjadi salah satu konsep hadirnya hukum
internasional. Selain menjadi konsep fundamental dalam teori hukum, Hukum Alam sangat
penting untuk memahami hukum internasional serta menjadi pendahuluan yang mutlak bagi
pembahasan kontemporer tentang hak asasi manusia.

• Abad Pertengahan dan Renaisans

Abad pertengahan ditandai adanya otoritas Gereja yang terorganisir. Pada zaman Romawi,
Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar kerajaan bangsa tidak
mengalami perkembangan yang pesat. Walaupun demikian, terdapat perkembangan pesat
dalam bidang lainnya, seperti Hukum Maritim dan Hukum Komersial.

Dalam Hukum Maritim, munculnya Hukum Laut Rhodian Karya Bizatium yang berisikan
serangkaian kebiasaan yang berlaku umum terkait laut Atlantik dan pantai Mediterania.
Sedangkan dalam Hukum Komersial, munculnya Merchant Law yang dibentuk oleh Inggris
mengenai aturan bagi para pedagang asing dan berlaku universal.

Namun, dalam perjalanannya otoritas Gereja memudar dan mengalami masa Renaisans.
Renaisans mengubah wajah masyarakat Eropa dan memunculnya ciri pemikiran ilmiah,
humanistik dan individualis. Pada masa ini, penemuan mesin cetak (Abad 15) menjadi sarana
menyebarkan pengetahuan. Dengan menyebarnya pengetahuan maka bermunculan pula
landasan kehidupan internasional modern seperti, diplomasi, kenegarawanan, teori
keseimbangan kekuasaan dan ide tentang komunitas para negara.
• Abad Kesembilan Belas

Tidak hanya memunculkan berbagai pemikiran-pemikiran baru, namun membawakan berbagai


peristiwa-peristiwa penting lainnya yang berkaitan dalam pembangunan hukum internasional.
Berbagai konferensi Eropa diselenggarakan dan memberikan kontribusi besar bagi
pengembangan aturan mengenai pelaksanaan perang.

Berbagai peristiwa seperti Final Act Kongres Wina (1815) yang membahas kebebasan pelayaran
dalam perairan internasional dan mendirikan Komisi Sentral Rhine untuk mengatur pelaksanaan,
adanya Komisi Sungai Danube dan sungai Eropa lain mengenai perjanjian dan ketetapan
internasional, Konferensi Perdamaian (1856), Konvensi Jenewa (1864) tentang ‘Pemanusiawian’
konflik, Konferensi Den Haag 1899 dan 1907 membentuk Pengadilan Arbitrase Tetap dan
membahas perlakuan para tahanan dan kontrol peperangan.

Selain itu, hadir pula lembaga-lembaga internasional seperti, Komite Palang Merah Internasional
(The Internasional Committee of the Red Cross) (1863), Uni Telegraf Internasional (1865), Uni
Pos Universe (1874). Berbagai Karya tentang hukum internasional pun mulai banyak
bermunculan pada abad ini.

• Abad Kedua Puluh

Setelah Perang Dunia berakhir (28 Juli 1914-11 November 1918). Muncullah Perjanjian
Perdamaian 1919 dan terbentuklah Liga Bangsa-Bangsa. Liga ini tentu muncul sebagai wadah
untuk memelihara tatanan hubungan internasional, agar tidak terjadi kembali Perang Dunia yang
lainnya.

Namun nyatanya, Perang Dunia II (1939-1945) tidak dapat dihindari. Kegagalan Liga Bangsa-
Bangsa (Warisan terpenting dari sudut pandang hubungan internasional) tentu memberikan
motivasi bagi seluruh negara didunia untuk saling bersama-sama menjaga perdamaian. Melalui
Perserikatan Bangsa-Bangsa (1946), menjadi titik balik untuk memperbaiki kekurangan
pendahulunya, dan menjadi wadah yang bersifat universal.

Pada masa ini, terbentuk pula lembaga-lembaga seperti Mahkamah Tetap Internasional (1921),
lalu diganti menjadi Mahkamah Internasional (1946). Terbentuk pula Organisasi Buruh
Internasional yang berdiri sejak akhir Perang Dunia I hingga saat ini.

Indonesia mempunyai kontribusi yang signifikan dalam perumusan hukum internasional, salah
satunya menjadi pencetus dari Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut
tahun 1982 (UNCLOS). Konvensi itu, yang juga diratifikasi negara-negara maju seperti Amerika
Serikat (AS), menjadi dasar pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan.

Indonesia juga berperan dalam membentuk norma dekolonialisasi lewat inisiatif Konferensi
Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955. Yang terbaru, Indonesia menjadi inisiator untuk
penyusunan ASEAN Outlook on Indo-Pacific (Wawasan ASEAN atas Indo-Pasifik).
“Waktu Indonesia mengumumkan Deklarasi Djuanda, Indonesia diberi label pelanggar hukum
internasional karena tiba-tiba menyatakan negara berasaskan kepulauan. Tapi Pak Mochtar
(Mochtar Kusumaatmadja) datang dengan konsep hukumnya sampai akhirnya diterima
UNCLOS tahun 1982,” kata Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian
Luar Negeri, Damos Dumoli Agusman, di Jakarta, Kamis (3/10).

Menurut Damos, Indonesia dalam diplomasi untuk hukum internasional ingin menunjukkan
bahwa hukum menciptakan kekuatan, bukan sebaliknya, kekuatan yang menciptakan hukum.
Hal itu terbukti dari keberhasilan Mochtar Kusumaatmadja untuk menawarkan konsep negara
kepulauan.

Sebelumnya pada masa Belanda, laut Indonesia hanya berjarak tiga mil dari garis pantai. Tapi,
setelah berlakunya UNCLOS, maka batas laut ditambah menjadi 12 mil dari garis pantai.

“Orang berpikir hukum internasional lahir dari negara-negara Barat, di luar itu merasa
termarjinalisasi. Padahal perkembangan abad 20 terbalik, justru negara-negara Asia yang
sangat kontributif terhadap perkembangan hukum internasional,” kata Damos.

Indonesia Berkontribusi Signifikan dalam Perumusan Hukum Internasional

Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu, Damos Dumoli Agusman.

Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu, Damos Dumoli Agusman.

Jakarta, Beritasatu.com- Indonesia mempunyai kontribusi yang signifikan dalam perumusan


hukum internasional, salah satunya menjadi pencetus dari Konvensi Perserikatan Bangsa-
bangsa tentang Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS). Konvensi itu, yang juga diratifikasi negara-
negara maju seperti Amerika Serikat (AS), menjadi dasar pengakuan Indonesia sebagai negara
kepulauan.

Indonesia juga berperan dalam membentuk norma dekolonialisasi lewat inisiatif Konferensi
Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955. Yang terbaru, Indonesia menjadi inisiator untuk
penyusunan ASEAN Outlook on Indo-Pacific (Wawasan ASEAN atas Indo-Pasifik).

“Waktu Indonesia mengumumkan Deklarasi Djuanda, Indonesia diberi label pelanggar hukum
internasional karena tiba-tiba menyatakan negara berasaskan kepulauan. Tapi Pak Mochtar
(Mochtar Kusumaatmadja) datang dengan konsep hukumnya sampai akhirnya diterima
UNCLOS tahun 1982,” kata Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian
Luar Negeri, Damos Dumoli Agusman, di Jakarta, Kamis (3/10)

Menurut Damos, Indonesia dalam diplomasi untuk hukum internasional ingin menunjukkan
bahwa hukum menciptakan kekuatan, bukan sebaliknya, kekuatan yang menciptakan hukum.
Hal itu terbukti dari keberhasilan Mochtar Kusumaatmadja untuk menawarkan konsep negara
kepulauan.
Sebelumnya pada masa Belanda, laut Indonesia hanya berjarak tiga mil dari garis pantai. Tapi,
setelah berlakunya UNCLOS, maka batas laut ditambah menjadi 12 mil dari garis pantai.

“Orang berpikir hukum internasional lahir dari negara-negara Barat, di luar itu merasa
termarjinalisasi. Padahal perkembangan abad 20 terbalik, justru negara-negara Asia yang
sangat kontributif terhadap perkembangan hukum internasional,” kata Damos.

Damos mengatakan sebagai pihak yang aktif dalam perumusan dan perkembangan hukum
internasional, Indonesia akan menggelar konferensi internasional untuk mengundang para
pakar hukum internasional di Asia.

Konferensi yang akan diadakan pada 15-16 Oktober 2019 di Jakarta merupakan kerja sama
antara Kementerian Luar Negeri, Yayasan untuk Pengembangan Hukum Internasional
(Development of International Law/DILA) Korea Selatan, dan Universitas Indonesia (UI).

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dijadwalkan akan membuka konferensi internasional
tersebut dan menyampaikan sambutan kunci bertema “ASEAN Outlook on Indo-Pacific” yang
salah satu elemennya adalah hukum internasional.

Menurut Damos, partisipasi Kemlu dalam konferensi ini sangat relevan. Salah satunya karena
NKRI lahir dari hukum internasional seperti tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang
mencerminkan norma internasional, yaitu kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Selain itu,
posisi Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020
memberikan tanggung jawab untuk penegakan hukum internasional di tengah dinamika global
dan geopolitik saat ini.

“Indoensia harus memainkan peran untuk penegakan hukum internasional dalam penanganan
isu-isu strategis,” kata Damos.

B. Masa yang menjadi tonggak sejarah hukum internasional yaitu Perkembangan Awal (Masa
Kuno)

Perkembangan awal hukum internasional dapat kita ditelusuri dengan melihat hubungan politik
yang telah dilakukan oleh bangsa-bangsa sejak ribuan tahun yang lalu. Dijelaskan dalam buku
Malcolm N.Shaw bahwa sekitar tahun 2100 SM, misalnya, sebuah perjanjian resmi telah
ditandatangani antara para penguasa Lagash dan Umma, dua negara-kota yang terletak di
daerah yang dikenal oleh para sejarawan dengan nama Mesopotamia.

Perjanjian itu tertulis di atas sebuah balok batu dan menyebutkan tentang penentuan batas
yang harus dihormati oleh kedua pihak. Contoh lain perjanjian internasional lainnya yaitu,
perjanjian antara Rameses II dari Mesir dan raja kaum Het untuk menegakkan perdamaian dan
persaudaraan langgeng.
Dipenjuru lainnya, India Kuno juga memiliki kaidah dan lembaga hukum yang mengatur
hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja. Terdapat ketentuan yang mengatur
perjanjian, hak dan kewajiban raja, tetapi ketentuan yang cukup jelas berkaitan dengan hukum
yang mengatur perang.

Selain itu, terdapat perbedaan antara combatant dan noncombatant, ketentuan mengenai
perlakuan tawanan perang dan cara melakukan perang. Dalam lingkungan budaya Yahudi,
terdapat ketentuan mengenai perjanjian perlakuan terhadap orang asing dan cara melakukan
perang. Hal ini tertulis dalam Kitab Perjanjian Lama.

Yunani pun sudah mengenal perwaistan (arbitration) dan hubungan diplomatik. Salah satu
konsep Yunani yang mempengaruhi pemikiran Eropa dan dikembangkan oleh Romawi adalah
mengenai Konsep Hukum Alam. Ide ini dirumuskan oleh para filsuf Stoa pada abad ke-3 SM dan
teori ini menyatakan bahwa sekumpulan aturan yang bersifat universal.

Selain Eropa, Kekaisaran Byzantium dan dunia Islam pun, memberikan tanda-tanda adanya
kehidupan hukum internasional, seperti adanya praktek diplomasi dan adanya sumbangan
terpenting dalam hukum perang. Secara umum, aturan perang yang bersifat manusiawi pun
dikembangkan dan ‘kaum kitab’ (Yahudi dan Kristen) diperlakukan lebih baik daripada non-
mukmin, meskipun dalan posisi inferior terhadap umat Islam.

Hukum mengenai para diplomat dibentuk berdasarkan gagasan kesantunan dan keamanan
(aman), sementara aturan mengenai perjanjian internasional berkembang dari konsep sikap
penghormatan atas janji yang dibuat.

Dapat disimpulkan bahwa berbagai praktek-praktek hubungan politik yang telah dilakukan
menjadi tanda bahwa hukum internasional sudah hadir walaupun terbatas secara geografis dan
kultural. Praktek seperti diplomasi, penghormatan integritas wilayah masing-masing,
penghentian keadaan agresi, pembentukan aliansi pertahanan, perjanjian perdamaian dan
keadilan sosial telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan politik antar bangsa-bangsa.

Selain itu, munculnya Ide Hukum Alam juga menjadi salah satu konsep hadirnya hukum
internasional. Selain menjadi konsep fundamental dalam teori hukum, Hukum Alam sangat
penting untuk memahami hukum internasional serta menjadi pendahuluan yang mutlak bagi
pembahasan kontemporer tentang hak asasi manusia.

2.) A. Terikatnya negara dalam perjanjian internasional diakibatkan oleh tindakan negara dan isi
perjanjian internasional. Negara ketiga dapat terikat kepada isi perjanjian internasional apabila
norma yang diatur didalamnya merupakan bagian dari jus cogens.

Untuk membuat suatu perjanjian, diperlukan proses perundingan, penerimaan, dan otentikasi
naskah perjanjian. Setelah itu negara dapat menyatakan iktikadnya untuk terikat dengan suatu
perjanjian melalui penandatanganan, ratifikasi, dan aksesi.
Negara-negara sudah membuat perjanjian sejak zaman kuno, contohnya adalah perjanjian
antara negara-kota Lagash dan Umma pada tahun 2100 SM serta Perjanjian Kadesh antara
Kerajaan Mesir dengan Het. Terdapat berbagai jenis perjanjian, seperti perjanjian bilateral yang
melibatkan dua negara dan perjanjian multilateral yang diikuti oleh lebih dari dua negara. Untuk
membuat suatu perjanjian, diperlukan proses perundingan, penerimaan, dan otentikasi naskah
perjanjian. Setelah itu negara dapat menyatakan iktikadnya untuk terikat dengan suatu
perjanjian melalui penandatanganan, ratifikasi, dan aksesi. Negara-negara juga dapat membuat
pensyaratan, yaitu pernyataan sepihak yang bertujuan meniadakan atau mengubah dampak
hukum dari ketentuan tertentu dalam suatu perjanjian, asalkan pensyaratan tersebut
diperbolehkan oleh perjanjian yang bersangkutan dan juga tidak bertentangan dengan maksud
dan tujuan dari perjanjian tersebut.

B. ratifikasi adalah pengesahan suatu perjanjian internasional oleh negara yang


menandatangani perjanjian itu berdasarkan konstitusi negara yang bersangkutan sehingga
ratifikasi dianggap sebagai penyampaian pernyataan formal oleh suatu negara mengenai
persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional.

Perjanjian internasional harus diratifikasi karena perjanjian itu sangat penting sebab berkaitan
erat dengan kekuatan dengan persoalan hukum internasional dan juga merupakan persoalan
hukum nasional (Hukum Tata Negara).

C. Reservasi diatur dalam Pasal 19, dikatakan bahwa pada dasarnya setiap perjanjian dapat
dilakukan reservasi kecuali dalam ketentuan perjanjian tersebut tidak diperbolehkan, atau hanya
diperbolehkan reservasi terhadap ketentuan pasal-pasal tertentu.

Reservasi adalah suatu tindakan untuk memungkinkan perjanjian multilateral memperoleh


peserta yang luas. Adanya kedaulatan yang dimiliki Negara Ide dasar Reservasi. Untuk
memungkinkan perjanjian multilateral memperoleh peserta yang luas.Adanya kedaulatan yang
dimiliki Negara. Perumusan Reservasi (pasal 19 Konvensi wina). Suatu Negara pada waktu
melakukan penandatangan, ratifikasi, menerima, mengesahkan atau aksesi terhadap suatu
perjanjian boleh mengajukan reservasi kecuali jika :Reservasi itu dilarang oleh perjanjian
Perjanjian itu sendiri menyatakan bahwa hanya reservasi-reservasi tertentu yang tidak termasuk
reservasi yang dipersoalkan, boleh diajukanDalam hal tidak termasuk di dalam sub paragraph (a)
dan (b), maka reservasi itu bertentangan dengan tujuan dan maksud perjanjianPasal 20
Konvensi Wina 1969. reservasi yg diizinkan oleh perjanjian tidak memerlukan penerimaan oleh
negara peserta lainnyaJika penerapan perjanjian secara keseluruhan sebagai syarat utama untuk
terikat oleh perjanjian maka reservasi memerlukan penerimaan seluruh peserta perjanjianJika
perjanjian merupakan instrumen konstitusi organisasi internasional maka reservasi memerlukan
penerimaan dari organ kompeten organisasi tersebut. Reservasi dapat dilakukan dengan tidak
memerlukan persetujuan negara peserta lainnya Perlu persetujuan dari,
semua negara peserta organ yang kompeten dari organisasi internasional.

3.) A. Subjek Hukum Internasional adalah pemegang dan pendukung hak dan kewajiban hukum
internasional, termasuk memilih hak untuk mengadakan ataupun menjadi pihak atau peserta
pada suatu perjanjian internasional.

Sederhananya, subjek Hukum Internasional adalah negara, anggapan ini muncul karena keadaan
Hukum Internasional yang selalu menggambarkan hubungan antarnegara. Namun dalam
perkembangan Masyarakat Internasional, subjek Hukum Internasional tidaklah lagi hanya negara.

Menurut Malcolm N. Shaw, salah satu karakteristik yang membedakan hukum internasional
kontemporer adalah keragaman para peserta. Konsep dari non-state actors secara umum
dipahami sebagai entitas yang sejatinya bukanlah negara, seringkali mengarah pada angkatan
bersenjata, teroris, masyarayat sipil, kelompok agama, korporasi, dan organisasi
internasional.Berikut adalah penjabaran subjek hukum internasional selain negara;

Organisasi Internasional

Organisasi internasional adalah suatu organisasi yang dibentuk dengan perjanjian internasional
oleh dua negara atau lebih yang terstruktur dan memiliki suatu tujuan, kewenangan, asas,
struktur organisasi. Kedudukan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional
sudah tidak diragukan lagi.

Organisasi internasional lahir sebagai subjek hukum internasional sejak dikeluarkannya advisory
opinion Mahkamah Internasional dalam Kasus Reparation for injured suffered in the service of the
unite nations 1949. Mahkamah Internasional dalam advisory opinion tahun 1949, menyatakan;

“. . . the organization is an international person (…) that it is a subjects of international law and
capable of prossessing international rights and duties, and that it has capacity to maintain its
rights by bringing international claim . . .”

Dengan demikian jelaslah bahwa organisasi internasional merupakan international person


karena merupakan subjek hukum internasional dan mempunyai legal personality yang artinya
dapat memiliki hak dan kewajiban dalam hukum internasional, dapat mengajukan klaim
internasional dan juga memiliki imunitas di wilayah negara anggotanya.

Tahta Suci (Vatican)

Tahta Suci (Vatican) merupakan suatu contoh dari suatu subjek hukum internasional yang telah
ada sejak dahulu di samping negara. Semenjak penaklukannya oleh Italia, kedaulatan Tahta Suci
sebagai negara berakhir. Kemudian melalui Traktat Lateran, dibentuklah Negara Kota Vatikan.
Isi dari Traktat Lateran tersebut dipandang sebagai pengakuan Italia atas keberadaan Vatikan
sebagai subjek hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya,
tidak seluas tugas dan wewenang negara, sebab hanya terbatas pada bidang kerohanian dan
kemanusian.

International Non Government Organization (INGO)

DW Bowett dalam bukunya hukum organisasi internasional mengatakan bahwa INGO sebagai
perserikatan-perserikatan privat internasional, dan lebih lanjut adalah perserikatan-perserikatan
atau perhimpunan-perhimpunan dari badan-badan non pemerintah, baik swasta, individu atau
badan hukum. Organisasi-organisasi ini bergerak di berbagai bidang diantaranya seperti layanan
hukum, keluarga berencana, psikiater, pekerja sosial, perlindungan lingkungan, perlindungan
satwa langka, dan lain-lain.

Pasal 1 Konvensi yang ditetapkan di Starsbourg, menetapkan bahwa persyaratan bagi INGO
tersebut adalah: (1) have a non profit aim of international utility, (2) have been established by an
instrument governed by internal law of party,(3) carry on their activities with effect in at least
two status and, (4) have their statutory office in the territory of a party and the central
management and control in the territory of that party or of another party.

Palang Merah Internasional (International Committee on The Red Cross)

Palang merah internasional bergerak dalam bidang kemanusiaan, yang bertujuan untuk
memberikan pertolongan kepada korban akibat perang baik berskala domestik maupun
internasional. Pada awalnya ICRC pada awalnya merupakan organisasi dalam lingkup nasional
Swiss yang bergerak di bidang kemanusiaan.

Kehadiran ICRC lama kelamaan mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang
kemudian membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing wilayahnya yang berhimpun di
bawah naungan ICRC. Organisasi ini merupakan subjek hukum yang terbatas kedudukannya,
namun melalui Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang
kedudukannya telah diperkuat.

Perusahaan Transnasional

Perusahaan Transnasional adalah perusahaan yang didirikan di suatu negara, tetapi beroperasi
diberbagai negara. Perusahaan tersebut pada dasarnya merupakan organisasi bisnis swasta
yang terdiri atas beberapa badan hukum yang terhubung oleh perusahaan induk dan dibedakan
berdasarkan ukuran dan penyebaran multinasionalnya.

Individu (Natural Person)


Dalam Pasal 3 Draft Code of Crimes against the piece and Security of Mankind 1987 yang
dikeluarkan oleh International Law Comission menyatakan bahwa individu adalah person dalam
Hukum Internasional.

Meskipun Individu merupakan subjek hukum intenasional, ada beberapa hal yang tidak dapat
dilakukan oleh individu seperti menguasai wilayah, tidak dapat membuat perjanjian
internasional. Tetapi seorang individu dapat melakukan kejahatan seperti perompakan, perang,
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kedaulatan asing dan dapat memiliki kekayaan yang
dilindungi oleh hukum internasional serta dapat menuntut kompensasi untuk tindakan-tindakan
tertentu misalnya mengenai kontrak dan delik.

Dalam Danzig Railway Official’s Case, Mahkamah memutuskan bahwa apabila suatu perjanjian
internasional memberikan hak tertentu kepada individu, hak itu harus diakui dan mempunyai
daya laku dalam hukum internasional, artinya diakui oleh suatu badan peradilan internasional.
Keputusan tersebut memperkuat arah perkembangan hak kepada individu dalam perjanjian
internasional.

Organisasi Pembebasan/Bangsa yang memperjuangkan Haknya (National Liberation


Organization/ Representative Organization)

Tidak ada kriteria objektif untuk menentukan apakah suatu kelompok sudah berhak menyandang
status sebagai organisasi pembebasan atau bangsa yang memperjuangkan haknya atau belum.
Pertimbangan-pertimbangan politik masyarakat internasional lebih dominan dibandingkan aturan
hukum internasionalnya.

Dalam sejarah, PBB lewat resolusi majelis umumnya pernah mengakui South West Africa
People’s (SWAPO) yang berjuang mendirikan Negara Afrika Barat atau Namimbia sebagai satu-
satunnya organisasi yang sah mewakili Rakyat Namimbia juga PLO sebagai wakil rakyat
Palestina.

Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa

Kaum belligerency pada awalnya muncul sebagai dari akibat masalah dalam negeri suatu
negara berdaulat, oleh karena itu penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang
bersangkutan.

Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang
saudara dengan akibat-akibat diluar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain, maka
salah satu sikap yang diambil adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak
sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak
bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi.

Sebenarnya hukum internasional tidak mengatur mengenai masalah pemberontakan. Karena


masalah pemberontakan menurut urusan internal suatu negara, maka hukum yang diberlakukan
adalan hukum nasional dari negara itu sendiri. Hingga saat ini tidak ada hukum internasional
positif yang menetapkan secara baku pengaturan tentang belligerent.

Dalam hal diakui atau tidaknya suatu kaum pemberontak bersenjata sangat bergantung pada
pertimbangan politik dari negara-negara yang hendak memberikan pengakuan. Terdapat
beberapa kriteria-kriteria yang ditetapkan para sarjana terhadap belligerent yaitu:

1. Harus telah terorganisasi secara rapi dan teratur di bawah kepemimpinan yang jelas;

2. Menggunakan tanda pengenal yang jelas untuk menunjukkan identitasnya;

3. Harus menguasai sebagian wilayah secara efektif sehingga jelas bahwa wilayah tersebut
telah berada di bawah kekuasaannya;

4. Harus mendapatkan dukungan dari rakyat di wilayah yang telah didudukinya tersebut.

Lebih lanjut, Oppenheim-Lauterpacht juga mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi


sebelum suatu belligerency mendapatkan pengakuan, yaitu:

1. Perang sipil telah terjadi, kemudian berkembang menjadi perang terbuka;

2. Telah ada pendudukan atas wilayah-wilayah tertentu serta penyelenggaraan dan pengaturan
atas wilayah tersebut;

3. Pihak pemberontak tersebut berada di bawah pimpinan dan menaati hukum-hukum perang;

4. Terdapat negara ketiga yang telah menyatakan sikapnya terhadap perang sipil tersebut.

B. Individu merupakan subjek internasional yang utama berdasarkan pendapat dari Hans Kelsen
karena memiliki kapasitas aktif maupun pasif. Kapasitas aktif bearti ilmu hukum memberikan
peran terhadap individu sebagai aktor atau pelaku dari ketentuan normative yang dihasilkan dari
Hukum Internasional itu sendiri. Dalam kapasitas aktif tersebut, seorang individu dapat diminta
pertanggungjawabannya atas perbuatan atau tindakannya secara hukum. Kapasitas pasif bearti
individu atau kelompok individu merupakan sasaran atau target dari ketentuan keempat cabang
ilmu hukum tersebut, dan juga posisi individu sebagai korban dari pelanggaran ketentuan
normative yang ada.

Kebebasan bertanggung jawab bagi setiap individu telah di berikan oleh negara, dimana setiap
individu berhak menetukan nasibnya sendiri sesuai dengan konstitusi atau undang-undang yang
berlaku di negara tersebut. Perlindungan bagi kaum minoritas telah di atur di dalam UU No. 39
huruf (d) Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia : bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung
tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak
asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia. Hal tersebut menunjukan
bahwa setiap orang wajib mendapatkan perlindungan hukum oleh negara

C. Dasar hukum yang menyatakan individu sebagai subjek hukum internasional ialah :

1. Perjanjian Versailles 1919 pasdal 297 dan 304

2. Perjanjian Uppersilesia 1922

3. Keputusan Permanent Court of Justice 1928

4. Perjanjian London 1945 (inggris, Perancis, Rusia, dan USA)

5 Konvensi Genocide 1948.

4.) A. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara
mempunyai kedaulatan atas wilayahnya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ruang wilayah negara meliputi
ruang darat, ruang laut, dan ruang udara. Sebagai negara berdaulat, Indonesia memiliki
kedaulatan penuh dan utuh atas wilayah udara, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago
1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional, Pasal 1 disebutkan bahwa “every State has
complete and exclusive sovereignity over the airspace above its territory.” Pasal 5 Undang-
undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, menyebutkan negara Indonesia berdaulat
penuh dan eksklusif atas wilayah udara Indonesia.

B. Ruang udara mempunyai arti yang sangat penting bagi suatu negara, salah satunya dilihat
dari aspek integritas wilayah dan keamanan nasional, yang harus di dayagunakan sebaik-
baiknya. Sebagai bagian dari kedaulatan suatu negara, ruang udara mempunyai fungsi strategis
sebagai aset nasional yang sangat berharga termasuk didalamnya untuk kepentingan
pertahanan dan keamanan.

Udara merupakan salah satu sumber daya alam dan unsur lingkungan. Udara selain
mengandung sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan untuk
kemakmuran rakyat, udara juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain misalnya
kepentingan politik. Karakteristik sumber daya alam di udara terdiri dari: sumber daya energi
(surya dan angin), sumber daya gas, sumber daya ruang. Kekhasan wilayah udara Indonesia
sebagai negara kepulauan yang berada di antara Benua Asia-Australia, serta di dua Samudera
Pasifik-Hindia menyebabkan wilayah udara Indonesia menjadi penggerak sirkulasi udara global
dan pembentukan iklim dunia yang merupakan keunggulan strategis wilayah udara
Indonesia.Tiga aspek yang harus diperhatikan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan ruang udara
beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya, yakni: 1. Aspek keamanan dan keselamatan, 2. Aspek
pertahanan negara, dan 3. Aspek lingkungan hidup. Pertahanan dan keamanan negara adalah segala
upaya untuk mempertahankan kadaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap
bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Anda mungkin juga menyukai