Anda di halaman 1dari 15

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.2 (2021.1)

Nama Mahasiswa : Yusran Ruslan Usman


Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 042275549

Tanggal Lahir : 26 Juni 1989

Kode/Nama Mata Kuliah : ISIP4212 (Pengantar Ilmu Politik)

Kode/Nama Program Studi : 71 – Ilmu Pemerintahan

Kode/Nama UPBJJ : 77 - Denpasar

Hari/Tanggal UAS THE : Sabtu,10 Juli 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Yusran Ruslan Usman


NIM : 042275549
Kode/Nama Mata Kuliah : ISIP4212 (Pengantar Ilmu Politik)

Fakultas : FISHIP (Fakultas Ilmu sosial Hukum dan Politik)


Program Studi : Ilmu Pemerintahan
UPBJJ-UT : Denpasar

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian UAS
THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak melakukan
kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta tindakan tidak
terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran atas
pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.

Denpasar, 10 Juli 2021

Yang Membuat Pernyataan

Yusran Ruslan Usman


1. Kemukakan dengan menguraikan tentang dinamika sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) di
Indonesia, dan berikan contoh kasus pelanggaran HAM terberat di Indonesia pasca reformasi!

HAM adalah hak yang sangat dijungjung tinggi, dihormati dan di lindungi oleh Negara serta hukum
karena HAM tidak bisa di kurangi apalagi dihilangkan. Indonesia adalah Negara yang sangat menjungjung
tinggi akan nilai-nilai Hak Asasi Manusia, dibuktikan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia yang terdapat pada
Konstitusi yaitu UUD 1945.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM terhadap perkara
pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi harus diadili di Pengadilan Hak Asasi Manusia. Upaya
pembentukan pengadilan Hak Asasi Manusia ini, merupakan salah bukti bahwa Indonesia Negara yang adil
akan hukum, dan mencerminkan terhadap perilaku kekuasaan yang selama ini tidak terkontrol, sehingga
diharapkan terjadi perubahan perilaku Negara, khususnya kekuatan militer sebagai alat politik yang muncul
dalam bentuk politik kekerasan Negara.
Banyak sekali tragedi pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat yang terjadi pada saat zaman orde baru,
hingga transisi ke reformasi seakan tidak ada habisnya daan tak terselesaikan kasusnya. hingga saat ini belum
menemukan titik akhir yang pasti bagi korban dan keluarga korban. Seakan keadilan hanya berpihak pada
orang yang mempunyai uang dan kekuasaan.

Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia

Perlindungan HAM memiliki sejarah yang panjang. Sejak abad ke-13 perjuangan untuk mengukuhkan
jaminan perlindungan HAM telah dimulai. Namun usaha ini mengalami kemajuan pesat pada abad ke-20.
Kemajuan dalam usaha perlindungan HAM pada abad ke-20 diilhami oleh terjadinya dua kali perang dunia
yang ditandai dengan penistaan terhadap sejumlah hak dasar manusia, termasuk hak hidup. Tidak lama
kemudian, usaha ini telah menjelma menjadi suatu gerakan global. Bahkan belakangan, isu-isu HAM menjadi
kata kunci yang menentukan keberhasilan diplomasi suatu negara dalam pergaulan internasional.
Meski perlindungan hak asasi manusia telah menjadi gerakan global sejak keluarnya Deklarasi Universal
tentang Hak Asasi Manusia melalui Sidang Umum di Istana Chaillot, Paris 19 Desember 1948, namun
sinyalemen terjadinya pelanggaran HAM masih sering kita dengar. Sinyalemen tersebut tidak selamanya
benar, tetapi tidak jarang pula muncul karena perbedaan persepsi dalam memandang pelaksanaan
perlindungan HAM di suatu negara. Perbedaan tersebut dimungkinkan bukan saja karena setiap negara
memiliki sejarah perlindungan HAM yang berbeda, tetapi juga suatu negara dapat menganut prinsip yang
berbeda dengan negara lain.

Definisi HAM menurut Pasal 1 Angka 1 UU No. 39/1999 tentang HAM adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi negara, hukum, pemerintah, dan tiap orang, demi kehormatan, harkat,
dan martabat manusia, dengan demikian HAM merupakan hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak
awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara
yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan,
keturunan, jabatan, dan lain-lain.

Secara hukum, penggunaan istilah HAM di Indonesia diatur UUD 1945 dan UU No. 39/1999 tentang
HAM (dalam kepustakaan hukum digunakan hak dasar. Istilah ini sinonim dengan HAM). HAM berbeda
dengan hak-hak manusia (HAM). HAM dan HAM sering dianggap sama, padahal hakikat dan jangkauannya
berbeda. Pengertian HAM luas, menunjuk hak-hak yang mendapat pengakuan internasional yang dibela dan
dipertahankan internasional. HAM juga menjadi isu besar teori dan praktik hubungan internasional
(Meuwissen, 1984). Hirsch Ballin dan Couwenberg mengatakan, konotasi HAM terkait asas-asas ideal dan
politis sehingga bersifat dinamis. Sebaliknya HAM merupakan bagian integral UUD, bersifat yuridis, statis, dan
hanya terkait suatu negara. Sebagai contoh, di mana perkawinan sejenis di negara lain tak bisa dipaksakan di
Indonesia sebab tidak diatur UUD 1945. Isu HAM lain di luar negeri tidak mungkin dipaksakan
pemberlakuannya di Indonesia sepanjang tidak diatur UUD 1945. Dalam konteks domestik, HAM dianalogikan
dengan hak-hak biasa sehingga lebih luas dan selalu terkait aktivitas setiap orang.
Hak asasi manusia sejatinya menjadi begitu populer di berbagai penjuru dunia, bahkan yang sering
meneriakan akan Hak Asasi Manusia adalah negara-negara barat. Karena Hak Asasi Manusia merupakan hak
yang melekat pada diri manusia dan tidak bisa dikurangi sedikpun.
Pada abad ke 17 seorang filsuf inggris yang bernama John Locke yang merumuskan Hak Asasi Manusia
sebagai hak alam yang melekat pada manusia.

Maka pada saat beraakhirnya Perang Dunia II di buatlah Universal Declaration of Human Right oleh
Perserikatan Bangsa-bangsa.
Negara Indonesia merumuskan Hak Asasi Manusia pada saat sidang Konstitusi pada tahun 1956-1959 dan
dirumuskan di UUD 1945 yang mencakup dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan juga budaya.
Dalam waktu yang singkat saat akhir-akhir kependudukan Jepang di Indonesia, bangsa Indonesia secara diam-
siam memmbicarakan dan merumuskan Hak Asasi Manusia seacra mendalam. Karena pada saat itu
kesempatan negara Indonesia selagi Jepang sedang dalam kondisi kritis karena di bom bardir sekutu kota
Hirosima dan juga Nagasaki. Walaupun mempunyai waktu yang sedikit dan juga sangat terdesak tapi negara
Indonesia berhasil merumuskan UUD 1945.

Pembahasannya ;
Mengenai kebebasan “mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan”, seharusnya menelaah kembali UU yang
dibuat Orde Baru (UU Pes 1966). Orde Baru menghadapi masalah yang dulu tidak ada dan menginginkan
proses demokrasi dipercepat dan hak asasi manusia lebih diperhatikan.
Pada masa pemerintahan Orde Baru mengumbar janji tentang penegakan dan perlindungan HAM, beberapa
seminar tentang HAM diselenggarakan untuk meyakinkan itu. Pada tahun 1967 pemerintahan Orde Baru
merekomendasikan untuk dibentuknya pengadilan HAM, serta membentuk Komisi dan Pengadilan HAM
untuk kawasan Asia. Bahkan gagasan tersebut ditindak lanjuti dengan diadakannya seminar Nasional Hukum
II 1968 yang melahirkan sebuah rekomendasi untuk hak uji materil demi melindungi kebebasan dasar
manusia. Namun, setelah tahun 1970 masyarakat Indonesia seakan kembali dihadapkan pada situasi dan
keadaan dimana seolah-olah Hak Asasi Manusia tidak lahgi ditegakan.
Pada era Orde baru ada penolakan terhadap peran hak asai manusia dalam negara demokrasi.
Pendapat umum mengenai Hak Asasi Manusia banyak dipengaruhi oleh Declaration des droits de I’homme et
du citoyen yang dianggap sebagai sumber liberalisme dan individualisme, oleh karena itu dianggap
bertentangan dengan asas yang melekat pada citra negara kita yaituasas gotong royong dan asas
kekeluargaan. HAM Universal tersebut dinyatakan melalui beberapa pandangan diantaranya bahwa Hak Asasi
Mamnusia merupakan produk liberal yang tidak sesuai dengan nilai luhur bangsa Indonesia yang
tercermin dalam Pancasila. Dan isu HAM sering digunakan oleh negara barat untuk memojokan negara-
negara berkembang seperti halnya Indonesia.
Sikap akomodatif Indonesia terhadap penegakkan HAM ditunjukan dengan meratifikasi tiga konvensi
HAM internasional yaitu konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan
melalui “UU No. 7 Tahun 1984”, “Konvensi Anti Apartheid dalam Olahraga melalui UU No. 48 Tahun 1993”,
dan “Konvensi Hak Anak melalui Keppres No. 36 Tahun 1990”. Namun penengakan HAM pada kenyataannya
tidak sepenuhnya disesuaikan dengan pelaksanaan HAM oleh pemerintahan Indonesia. Masih banyak
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh aparatur negara.
Pada tahun 1993 berdirinya Komisi HAM Nasional sekeda untuk mengakomodir salah satu
rekomendasi masyaratk internasional, sekaligus untuk menghadapi Konferensi HAM Internasional di Wina.
Akhir masa pemerintahan Orde Baru, perilaku dan retorika pemerintahan dalam bidang mulai berubah.
Konsep pemikiran HAM mulai bergeser dari partikularisme ke arah universal, terbukti dari sikap yang lebih
kooperatif dan mulai diterimanya standar HAM internasional di Indonesia.
Pada tahun 1998 diharapkan oleh bangsa Indonesia sebagai titik balik dari ototritarianisme ke demokratisasi
yang ditandai dengan tumbang ya orde baru, Soeharto. Tahun 1998 dapat dianggap sebagai titik awal
kemungkinan lahirnya sebuah transisi menuju sistem pemerintahan yang demokratis. Sebuah harapan akan
“Indonesia baru” yang hidup
tetapi terpendam dakan sanari bangsa selama kurang lebih 32 tahun dibawah kekangan dan teror penguasa
otoriter nan zalim.
Dua tahun telah berlalu , dan harapan itu seakan pupus. Situasi politik tiidak berubah jua. Para politisi
mengaku dirinya sebagai tempat rakyat menitipkan amanat untuk “membidani” kelahiran Indonesia baru,
ternyata tak pernah serius membantu persalinannya, dan bahkan terperangkat dalam euforia yang
berkepanjangan. Sikop politk negara berbalik kembali miris dengan sikap masa lalunya: tuli, buta dan bisu.
Kita bisa bebas tapi tidak dipayungi hukum dan tidak juga didasari oleh landasar moral. Bahkan kita seakan
bisa membangun sistem, namun b ukan sesuatu yang bersifat transisional, apalagi melahirkan formasi baru
yang lebih baik.kuku tajam hiyam kekuasaan kembali melakukan teror, seraya menciptakn horor-horor baru
berupa kekerasan massa dan konflik kamonal. Sesuatu yang jelas bukanlah tanda-tanda transisi ke arah yang
semula diharapkan.
Rezim Orde Baru memang “seolah” hancur, namun pemerintah baru yang terbentuk setelah itu tetap masih
sikuasai oleh unsur-unsur rezim lama yang korup. Bahkan, aliansi strategis yang menjadi pilar rezim lama
masih dipertahankan sebagai pilar pemerintahan baru. Kejatuhan soeharto tidaklah berarti keruntuhan
kekuatan Orde Baru. B.J. Habibie selaku wakil presiden, dengan dasar konstitusi menggantikan kedudukan
Soeharto. Tidak ada perubahan yang signifikan terhadap kedudukan jabatan menteri, kepala daerah, dan lain-
lain. Bahkan perwakilan yang terdapat di MPR dan DPRRI pun sesuungguhnya masih didominasi kekuatan inti
Orde Baru, yakni Golongan Karya dan Militer.
Kejatuhan otoritarianisme tidak identik dengan kehancuran politik militer. Militer dianggap masih
diperlukan sebagai kekuatan penenru penguasa transisi. Sehingga jatuhnya otoritarianisme hanya berupa
habisnya masa kepemimpinan otorirarian. Menurut Robert P. Clack, militer hasil cetakan pemerintahan
otoritarian adalah sesuatau kekuatan yang berhasil mengorganisasi dirinya sebagai sebuah kekuatan politik
yang sangat mirip sebuah “partai politik besar dan berkuasa secara gratis tanpa legitimasi pemilu”.
Meluasnya euforia kebebasan dan lemahnya kontrol hukum telah memancing maraknya konflik yang sulit
dikelola. Konflik yang awalnya menghadapkan masyarakat dengan negara, bergeser menjadi konflik
masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Meledaknya kasus Ambon, Sulawesi Tengah, Aceh dan Irian
Jaya, serta berbagai pertikaian yang berdimensi ras, etnis dan agama, telah menyeret ke masalah tentang
rentannya sistem yang diyakini mampu mempertahankan integritas nasional saat ini, sehingga muncul
keinginan untuk menengok dan bernostalgia kembali dengan kenyamanan pada masa lalu.

Meningkatnya intensitas dan meluasnya amuk massa yang bermula dari persoalan kriminal murni ke arah
perang berlatar belakang agama, suku/etnis, bahkan perang antar kampung, dipicu oleh faktor-faktor:

a. Dominasi militer, serta mengdepankan upaya paksa ( Coercion) dan kekerasan (Violence)
terhadap hampir semua persoalan “kerawanan”;
b. pemusatan kekuasaan dan pengabaian perta serta masyarakat, setta eksistensi daerah;
c. Ketidak adilan struktur pembangunan dan distribusi hasil-hasilnya;
d. Runtuhnya kewibawaan institusi negara, seperti peradilan dan hukum;
e. Dominasi dan persaingan politik aliran, yang tumbuh dalam strategi defensif rezim Orde Baru;
f. Gagalnya sistem sosial dan sistem politik mengakomodasi perbedaan yang ada dalam suatu
konsesnsus yang murni.

Dinamika politik pasca Soeharto memang menunjukan perubahan yang dramatis, tuntutan kebebasan
berpolitik dari masyarakat menjadi tema besar, pada masa Orde Baru sam asekali tidak diberi ruang. Maka
lahirlah partai-partai politik baru, organisasi-organisasi baru yang mewakili kepentingan masyarakat yang
berkaitan dengan persoalan agama, politik, hukum dan ekonomi, ramainya gelombang demonstrasi,
dibebaskannya tahanan-tahanan politik, menjamurnya media massa baru serta meluasnya tuntutan
penyelesaian problem-problem masa lalu yang berkaitan dengan tindak pelanggaran HAM yang dilakkuakn oleh
negara secara sistematik dalam rangka mempertahankan kekuasaan.

Awal tahun baru 2001 di awali dengan isak tangis dengan rasa takut manusia akibat ledakan-ledakan bom di
beberapa gereja pada malam Natal 2004 Desember 2000. Meledaknya bom di sejumlah gereja di beberapa
wilayah Indonesia secara bersamaan yang bertepatan 2 hari menjelang idulfitri sungguh telah menyentak
perhatian public. Pelaku ledakan bertujuan membangkitkan sentimen agama untuk memicu konflik antar
pemeluk agama sehingga tercipta destabilisasi kondisi nasional.

Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid pada awal tahun 2001, presiden terduga terlibat dalam kasus
Buloggate dan Bruneigate Abdurrahman Wahid yang diduga dalam kasus ini menilai bahwa Panitia Khusus ini
ilegal inkonstitusional dan sarat muatan politik. Sedangkan DPR menanggapinya bahwasanya dirinya bertindak
legal karena tindakan itu dianggap sesuai dengan prosedur yang ada, yaitu melalui mekanisme hak angket,
dimana Pansus bertujuan: pertama, mengungkapkan fakta-fakta bahwa Sultan Brunei Darusalam memberikan
dana milik Bulog kepada presiden Abdurrahman Wahid untuk mencari kebenaran dan akuntabilitas public;
kedua, mewujudkan mekanisme check and balance agar tetap tercipta penyelenggaraan negara yang baik;
ketiga, pelaksanaan fungsi pengawasan DPR terhadap jalannya pemerintahan Negara.
Hasil dari pencarian kebenaran oleh Pansus diterima oleh DPR melalui mekanisme voting, di mana hasil kerja
Pansus menyimpulkan bahwa patut diduga presiden Abdurrahman Wahid berperan dalam mencairkan dan
menggunakan dana Yanatera Bulog, dan adanya inkonsistensi pernyataan Presiden tentang bantuan Sultan
Brunei yang menunjukkan bahwa presiden telah menyampaikan keterangan yang tidak sebenarnya kepada
masyarakat. Rapat paripurna DPR pada awal Februari 2001 memutuskan untuk memberikan memorandum 1
kepada presiden yang menyatakan bahwa presiden telah melanggar pasal 9 undang-undang Dasar 1945 dan
melanggar Tap MPR tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan korupsi kolusi dan nepotisme.
Disisi lain, Pansus Trisakti dan Semanggi yang seharusnya berjalan bersamaan dengan Pansus buloggate dan
bruneigate kurang mendapatkan perhatian, baik dari segi pemberitaan kepada masyarakat atau dari segi
keseriusan anggota dewan. sidang-sidang Pansus Trisakti Semanggi, I dan II seringkali hanya diikuti beberapa
orang anggota Pansus saja, tidak lebih dari 50% ditambah dengan publikasi yang minimal pers. Pemantauan dan
dorongan terhadap akses hanya datang dari keluarga korban, sedikit kalangan mahasiswa dan NGO yang peduli
terhadap penuntasan kasus ini. Sungguh berbeda jauh dengan Pansus buloggate dan bruneigate yang
mendapatkan perhatian dari kalangan politisi cendekiawan pejabat pemerintahan dan ditambah dengan aksi
dan mobilisasi massa atau mahasiswa dalam jumlah besar.

Kasus Trisakti dan Semanggi yang diharapkan dapat memberikan sebuah keputusan politik agar pelaku
pelanggaran HAM dan kasus Trisakti dan Semanggi diadili melalui pengadilan ad hoc justru sangat
mengecewakan, karena DPR menyimpulkan bahwa itu bukanlah pelanggaran HAM berat dan kasus tidak
ditemukan bukti telah terjadi pelanggaran HAM yang berat dalam kasus ini sehingga penyelesaian melalui
Peradilan Militer/umum. Keluarga begitu kecewa dan mengekspresikan dengan berbagai aksi dan di dukung
oleh Abdurrahman Wahid, karena keluarga korban telah memperjuangkan kasus ini ke Pengadilan HAM ad hoc,
bahwa korban Trisakti dan Semanggi merupakan pelanggaran berat HAM sehingga Komnas HAM harus segera
mengambil alih proses penyelesaian kasus tersebut dengan penyelidikan melalui pembentukan KPP HAM.
Di tengah konflik yang semakin meruncing antara pemerintahan dan DPR, pada 18 Februari 2001 konflik antar
warga terjadi di Kabupaten Sampit Kalimantan Tengah. Dalam konflik ini tercatat 351 orang meninggal dunia,
55.323 orang mengungsi, serta ratusan rumah bangunan rusak dan hancur. Terlihat jelas bahwa konflik itu
terabaikan oleh pemerintahan dan kalangan legislatif, sehingga sangat berdampak luas akhir bulan April 2001
DPR menggelar sidang paripurna untuk menilai kerja pemerintahan.
Setelah turunnya memorandum I jawaban presiden maupun langkah-langkahnya, dalam memberantas KKN
dengan melakukan penangkapan terhadap beberapa mantan pejabat Orde Baru dipandang oleh anggota DPR
bukan sebagai bukti kesungguhan pemerintah untuk memberantas KKN dan penegakan hukum. Tetapi lebih
merupakan sebuah langkah politis maka memorandum II pun dijatuhkan.

Pengangkatan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia pada 23 Juli 2001 merupakan
sebuah kenyataan yang baru. Megawati sendiri berjanji menjalankan pemerintahan Indonesia dengan
membangun kondisi dalam negeri yang kondusif dengan dukungan parlemen TNI Polri dan masyarakat
membangun ekonomi kerakyatan dan memperkuat integritas bangsa, pengangkatan Letjen AM Hendropriyono
sebagai kepala Badan Intelijen Negara, mengundang pertanyaan banyak pihak saat menjabat sebagai
komandan Korem 0403 Garuda Hitam, hendropriyono dianggap bertanggung jawab terhadap kasus Talangsari
Lampung pada tahun 1989 sebuah peristiwa pembantaian dan penangkapan sewenang-wenang terhadap
jamaah pengajian kelompok Warsidi.
Tindakan Hendropriyono dalam memfasilitasi terbentuknya gerakan islah nasional dalam kasus Talangsari, juga
dianggap sebagai upaya penolakan pengungkapan kasus ini. Apalagi saat ini Komnas HAM Tengah membentuk
KPP Talangsari yang akan mengusut akan memeriksa orang-orang yang dianggap bertanggung jawab kepada
peristiwa tersebut.
Penunjukan Hendropriyono memperlihatkan sikap pemerintahan Megawati yang tidak memiliki sense of Justice
seraya menunjukkan kurangnya perhatian pemerintahan terhadap hak asasi manusia dan hukum. Penunjukkan
ini juga memperlihatkan bukti adanya pelanggaran impunitas yang selama ini dinikmati para pelaku
pelanggaran HAM.
Selanjutnya penunjukan Jaksa Agung sangat menarik perhatian karena Megawati menunjuk M.A. Rahman,
menurut catatan kontras M.A. Rahman sendiri bermasalah dengan posisinya sebagai ketua tim penyidik
gabungan kasus pelanggaran berat HAM Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura yang sampai saat ini
ketiga kasus ini belum disidangkan sehingga semakin melemahnya harapan pabrik akan penetapan hukum
yang lebih baik.

Setelah pencabutan dwifungsi ABRI hanya diartikan dengan tuntutan keluaranya militer dari DPR dan MPR,
tetapi TNI tetap membandel dengan menolak upaya koreksi dan kontrol publik terhadap dirinya. Khususnya
berkaitan dengan pelanggaran HAM yang telah dilakukan pada masa-masa lalu, ini terlihat dari melakukan
blokade terhadap proses hukum kasus pelanggaran HAM yang banyak melibatkan anggota TNI, baik yang telah
atau sedang dilakukan. Jalur-jalur yang digunakan adalah dengan mencoba menempatkan orang pada proses
pencalonan anggota Komnas HAM, mempengaruhi proses hukum yang tengah dilakukan oleh Kejaksaan
dengan membackup Islah dalam kasus Tanjung Priok dan Talangsari Lampung, artinya TNI berusaha untuk
melakukan eliminasi terhadap tuntutan pengusutan pelanggaran HAM dalam rangka menjaga citranya dan
menjadikan lembaga tersebut sebagai basis impunitas dan perlindungan terhadap pelanggaran yang
dilakukannya.

Contoh kasus pelanggaran HAM terberat di Indonesia pasca reformasi!

Pada periode tertentu,beragam pelanggaran HAM yang terjadi' memperoleh liputan dan
dipublikasikan media massa, cenderung mendapat perhatian besar dari masyarakat dan, sebagai
konsekuensinya
kerap menuai kritik di tingkat lokal, nasional dan internasional, biasanya dilakukan oleh kalangan aparatur
negara dan militer.
a. Kasus yang terjadi di Nangroe Aceh Darusallam/NAD (pemberlakuan DOM serta konflik
bersenjata antara TNI/Polri dan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM menurut versi GAM dan
Gerakan Separatis Aceh atau GSA dalam versi TNI dan Polri),

b. dan Papua (gerakan separatis Organisasi Papua Me;deka-aiau OPM yang menginginkan
kemerdekaan) dapat dipakai sebagai contoh pernyataan tentang keterlibatan aparatur negara
dan militer.

c. Meledaknya kasus Ambon, Sulawesi Tengah, serta berbagai pertikaian yang berdimensi ras, etnis
dan agama, telah menyeret ke masalah tentang rentannya sistem yang diyakini mampu
mempertahankan integritas nasional saat ini, sehingga muncul keinginan untuk menengok dan
bernostalgia kembali dengan kenyamanan pada masa lalu.

d. Kasus Penghilangan Paksa Terhadap 14 Aktivis


Setelah berjalan hampir 5 tahun kasus ini sama sekali tidak mengalami kemajuan yang berarti
bahwa aktivis yang dihilangkan secara paksa yaitu aktivis yang mengganggu penguasa yang
sedang berkuasa di negeri ini. Dan juga menggaggu pemilik modal sehingga menjadi bumerang
bagi mereka dan terpaksa harus segera dilenyapkan hingga Agustus 2001 tercatat 1039 orang
korban penghilangan paksa dalam berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia 14 orang
diantaranya adalah aktivis Pro demokrasi yang belum kembali padahal para saksi korban yang
telah dikembalikan mengaku bertemu dengan mereka di tempat yang sama
Pengadilan Militer yang diajukan pada akhir tahun 1998 hanya mengadili 11 anggota Kopassus
tim mawar yang mengaku melakukan penculikan Karena terdorong hati nurani sedangkan Letjen
Prabowo Subianto Danjen Kopassus saat itu tu maka motif para pelaku sesungguhnya tidak
pernah terungkap persidangan main-main ini membuat keluarga korban semakin kecewa atas
penuh penuntasan kasus penghilangan paksa.

e. Kasus Poso
Memasuki tahun 2001 konflik di Poso belum juga berkurang, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi
pada tahun 1998 sampai 2000 masih membayang-bayangi Kabupaten Poso Sulawesi Tengah.
Tidak ada proses penyelesaian terhadap kerusuhan Poso I, II, III tampaknya akan terus
menimbulkan kerusuhan kerusuhan baru. Serangan atas serangan atau yang lebih sering disebut
serangan balasan sering dilakukan alasan terhadap penyerangan yang dilakukan. Ditegakkannya
hukum dan keadilan atas kasus kerusuhan yang terjadi, diharapkan dapat memutus lingkaran
konflik ini tidak juga dilakukan oleh pemerintahan maupun lembaga peradilan. Bahkan seringkali
penanganan aparat keamanan yang mengedepankan tindakan kekerasan terhadap aksi massa
kerusuhan bahkan tindakan kriminal sekalipun dapat menyebabkan timbulnya kerusuhan
kerusuhan baru selain aksi balas dendam, kerusuhan dan pembakaran juga terjadi akibat
penanganan aparat yang mengedepankan kekerasan dalam menangani peristiwa maupun tindak
kriminal dalam yang terjadi di masyarakat.

Laporan media massa cetak dan elektronik di Indonesia dan peran media massa dalam
mengemgkat pelanggaran-pelanggaran oleh militarystate apparatus memang cukup leluasa pada masa
sekarang, utamanya sejak rejim Orde Baru tumbang: Laporan Kontras pada tahun 2000 yang dikutip
Kompas, sebagai contoh, menyebutkan bahwa militer terlibat dalam 207 kasus pelanggaran dengan 13L
kasus di antaranya terkategori sebagai pelanggaran serius (Kompas Cyber Media,6 Oktober 2000). Hal itu
direspon secara positif dan dengan beragam kebijakan operasionalnya di lapang"n, militer Indonesia
kemudian mencoba membenahi hal ini. Terliput di media massa misalnya, bekal panduan HAM diberikan
kepada prajurit-prajurit yang diterjunkan ke suatu daerah konflik, paradigma TNI diubah ke paradigma yang
lebih santun
dan sikap militer ke kalangan sipil nampakryu jrgu melunak. Namun demikian, kecenderungan menurunnya
pelanggaran HAM yang dilakukan militer dan aparatur negara tidak serta merta menurunkan jumlah
pelanggaran HAM di Indonesia.

Berbagai tindak kekerasan terus berlangsung dan ironisnya ada yang membuat pernyataan
kalau terjadinya tindak kekerasan itu dapat dimaklumi. Perbedaan pendapat dan perbedaan keyakinan
dengan mudah dapat disulut menjadi ajang adu massa, adu kekuatary adu fisik dan tuntutan peniadaan.
Artinya jika aparatur negara dan militer berusaha bersikap dewasa dalam masalah HAM, sejumlah individu
dan kelompok justru berubah diri dengan "memanjakan" kekerasan, ketidaksantunannya dan
ketidakdewasaan berpikir dan sikapnya, dengan mengatasnamakan "keyakinan" .
Sebagai contoh :
Pelaku kejahatan yang tertangkap, dipukuli dan kemudian dibakar hidup - hidup,
contoh yang lain, Menunjukkan hak asasi untuk kehidupan begitu mudah dirampas oleh orang di luar
aparatur negara dan militer. Hal yang terjadi di Indonesia seperti itu nampaknya
memberi potret betapa mudahnya hak asasi "dikebumikan" oleh beragam aktor.

Kesimpulannya ;
Menurut Pendapat saya Pemahaman HAM :
a. Hak asasi merupakan hak dasar seluruh umat manusia tanpa ada perbedaan. Mengingat hak
dasar merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, maka pengertian Hak asasi manusia
adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia, bersifat
kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.

b. Setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa membedakan jenis
kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial, dan bahasa serta
status lain. Pengabaian atau perampasannya, mengakibatkan hilangnya harkat dan martabat
sebagai manusia, sehingga kurang dapat mengembangkan diri dan peranannya secara utuh.

c. Bangsa Indonesia menyadari bahwa hak asasi manusia bersifat historis dan dinamis yang
pelaksanaannya berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sepanjang periode Orde Lama dan Orde Baru, aspek-aspek penghormatan terhadap HAM sempat
dipinggirkan dalam gerak birokrasi. Dalam konteks ini, pembentukan kementerian urusan HAM dan
penguatan Komnas HAM pasca reformasi merupakan manifestasi dari upaya kolaboratif antara politik dan
hukum untuk membentuk sistem birokrasi Indonesia yang lebih humanis dan sesuai cita-cita Pancasila.
Masing-masing lembaga memperoleh legitimasi dari dinamika politik di ruang publik yang lebih demokratis,
sehingga menghasilkan produk-produk hukum pengatribusi wewenang kelembagaan yang lebih responsif.
Antara kementerian negara urusan HAM dan Komnas HAM kemudian menjalankan prinsip check and
balances dalam menjalankan perannya sebagai organ birokrasi Indonesia. Di satu sisi, kementerian negara
urusan HAM merupakan perpanjangan tangan eksekutif untuk mengurus urusan HAM. Sebagai penyeimbang,
Komnas HAM menjalankan peran sebagai state auxiliary bodies’ guna mengawasi agar di dalam kinerjanya,
pemerintah menghormati HAM secara penuh.

Kekerasan masih akan terus mewarnai kehidupan sosial-politik, jika “Kuasa kegelapan” kian mampu
mengorganisasikan kekuatannya serta mengeliminasi berbagai kendala penting untuk menciptakan suatu
prasyarat guna mendorong proses konsolidasi demokratisasi tidak dilakukan secara serius dan konsisten.
Penuntasan kasus kejahatan yang dilakukan pemerintah terhadap koban yang mengalami pelanggaran-
pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi pada masa lalu sampai sekarang tidaak adanya kemajuan
yang signifikan dalam menuntaskan pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa itu, baaiik
secara hukum (retributive justice) maupun pemulihan korban (restorative justice).

2. Merujuk pada berita politik diatas, kemukakan pendapat Anda terkait dinamika budaya politik yang terjadi.
Gunakan premis konseptual budaya politik menurut Almond!

Izin saya menanggapi terkait dinamika budaya politik yang terjadi

Masyarakat tumbuh dan berkembang sebagai kelompok individu yang mendukung kebudayaan hasil karya
dan warisan pendahulunya secara turun-temurun. Kompleksitas dari kebudayaan itu akan sangat tergantung
pada kompleksitas masyarakat yang mendukungnya. Pada masyarakat modern, kebudayaan yang mereka
dukung lebih kompleks bila dibandingkan dengan kebudayaan pada masyarakat sederhana.
Perilaku manusia dalam masyarakat, termasuk di dalamnya perilaku politik, sedikit banyak akan ditentukan
oleh pola orientasi yang dimiliki dan proses belajar yang dialami oleh seseorang dalam masyarakat. Dengan
demikian, bahwa untuk memahami perilaku politik perlu pula memahami kebudayaan politik masyarakatnya.

Salah satu wujud budaya akan tercermin dalam pola hubungan yang terjadi antara individu (anggota
kelompok) yang satu dengan yang lainnya, antara individu dengan kelompoknya, dan antara kelompok
dengan kelompok. Pola hubungan dalam sistem politik masyarakat tertentu itu dinamakan ―Budaya Politik.
Pengertian political culture (budaya politik) menurut Almond dan Verba, 1990:20). adalah bagaimana
seseorang memiliki orientasi, sikap, dan nilai-nilai politik yang tercermin dalam sikap dan perilaku politiknya.
Pengertian budaya politik menunjuk kepada suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem
politik dan aneka ragam bagiannya serta sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu Lebih
lanjut menurut Almond dan Verba, warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-
simbol dan lembaga-lembaga kenegaraan, perilaku tokoh-tokoh politik, keputusan alat kebijakan yang
dihasilkan oleh sistem politik, serta bagaimana seharusnya ia berperan dalam sistem politik. Dari sinilah akan
dapat dilihat pola orientasi dari tiap warga negara terhadap sistem politik sebagai dasar dalam penentuan
klasifikasi tipe kebudayaan politik.

Orientasi warga negara tersebut meliputi aspek kognitif, afektif, dan evaluatif yang ditujukan kepada
sistem politik secara umum, aspek-aspek input dan output, serta kepada sejumlah pribadi sebagai aktor
politik. Orientasi kognitif warga negara menunjuk kepada pengetahuan dan kepercayaan atas politik,
peranan, dan segala kewajibannya serta input dan output-nya. Orientasi ini lebih menunjuk kepada sejauh
mana pemahaman seseorang terhadap sistem politik maupun perilaku para aktor politik, kebijakan yang
diambil oleh tokoh politik, serta implikasinya terhadap kepentingan dirinya.
Sedangkan orientasi afektif menunjuk kepada perasaan terhadap sistem politik; peranan, para aktor, dan
penampilan. Dilihat dari aspek ini, maka seseorang dimungkinkan untuk memiliki perasaan subyektif tertentu
terhadap berbagai aspek dari sistem politik, sehingga ia dapat menerima ataupun menolak sistem politik itu
pada bagian tertentu maupun sistem politik secara keseluruhan.
Orientasi evaluatif menunjuk kepada keputusan dan pendapat warga negara tentang obyek-obyek politik
berdasarkan apa yang ia ketahui dan ia rasakan terhadap sistem politik maupun perilaku aktor-aktor
politiknya. Keputusan dan pendapat seseorang mengenai sistem politik ini ditentukan oleh kemampuannya
dalam menilai moralitas politik, pengetahuan, dan cara-cara mereka dalam membuat penilaian politik, serta
dalam menyampaikan pendapat.
Budaya Indonesia yang bersifat parokhial ~ kaula disatu pihak dan budaya politik partisipan di lain
pihak, disatu segi massa masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan tanggung jawab politiknya yang
mungkin disebabkan oleh isolasi dari hubungan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme,
ikatan primordial. Sedang di lain pihak kaum elitnya sungguh-sungguh merupakan partisipan yang aktif yang
kira-kira disebabkan oleh pengaruh pendidikan modern (barat), kadang-kadang bersifat sekuler dalam arti
relatif dapat membedakan faktor-faktor penyebab integrasi, seperti: agama, kesukuan, dan lain-lain.
Ciri-ciri budaya politik Indonesia yang parokhial ~ kaula dan kaula~ partisipan itu antara lain adalah masih
kukuhnya sikap paternalisme dan sifat patrimonial. Pertumbuhan dan perkembangan budaya politik ini ada
keselarasan dengan persepsi masyarakat terhadap objek politik yang menyandarkan atau menundukkan diri
pada output dari penguasa.

Budaya politik merupakan pegangan usaha penataan kehidupan politk yang diarahkan pada
pembangunan dan pengembangan tatanan politik berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945.Pembangunan politik ditujukan kepada pengembangan etika dan moral budaya politik dalam
mewujudkan kehidupan politik yang mantap dengan makin berperan dan berfungsinya supra struktur dan
infra struktur politik secara efektif, nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab; serta kesadaran dan peran
serta politik masyarakat yang terus menerus dilaksanakan. Sistem politik Indonesia dewasa ini sedang
mengalami proses demokratisasi yang membawa berbagai konsekuensi yang tidak hanya terhadap
dinamika kehidupan politik nasional, melainkan juga terhadap dinamika sistem-sistem lain yang
menunjang penyelenggaraan kehidupan kenegaraan. Pembangunan system politik yang demokratis tersebut
diarahkan agar mampu mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia dan makin mempererat
persatuan dan kesatuan Indonesia yang akan memberikan ruang yang semakin luas bagi perwujudan
keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.Keberhasilan pembangunan
politik yang demokratis tidak hanya dipengaruhi oleh situasi yang berkembang di dalam negeri, tetapi
dapat pula dipengaruhi oleh konstelasi politik internasional dewasa ini.

Di samping itu, keberhasilan pembangunan system politik yang demokratis perlu didukung pula oleh
penyelenggara negara yang profesional dan terbebas dari praktikpraktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
serta dapat memanfaatkan secara optimal berbagai bentuk media massa dan penyiaran serta berbagai
jaringan informasi di dalam dan di luar negeri.
Permasalahan pokok yang dihadapi oleh Indonesia saat ini di bidang politik dalam negeri adalah adanya
ketidakseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara (legislatif, eksekutif, dan
yudikatif); belum akomodatifnya konstitusi (UUD 1945) dan perundang-undangan yang ada terhadap
dinamika perubahan masyarakat; rentannya konflik, baik vertikal maupun horizontal; menguatnya gejala
disintegrasi bangsa yang sering kali mencari pembenaran dan dukungan dari pihak luar negeri tertentu; serta
merebaknya berbagai tindak kekerasan dan aksi massa yang sering kali memaksakan kehendak. Selain itu,
permasalahan lain yang muncul sebagai akibat dari warisan system politik pada masa lalu adalah
ketidaknetralan serta keberpihakan pegawai negeri sipil (PNS) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) terhadap kepentingan penguasa; lemahnya pengawasan
terhadap kinerja penyelenggara negara, sehingga menjadi penyebab meluasnya tindakan KKN; belum
terlaksananya prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance); Lemahnya
kelembagaan dan ketatalaksanaan penyelenggaraan negara, dan lemahnya kapasitas sumber daya manusia;
serta belum memadainya sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan pemerintahan umum dan
pembangunan.

Dinamika budaya politik yang terjadi. Masyarakat Indonesia dan elitnya pada penyelenggaraan
kekuasaan sering memakai kekuasaannya tanpa control atau kendali akibatnya,
aturan permainan dan hukum kerap tidak dijadikan koridor dalam pelaksanaan kenegaraan dan kehidupan
kemasyarakatan. Kepercayaan (trust) masyarakat menjadi sangat lemah terhadap hukum atau aturan,
budaya politik.

hal tersebut tentunya merupakan sebuah realitas yang tak terbantahkan dan wajar, namun dalam
sebuah kampanye yang dibangun diatas keutuhan/integritas bangsa yang tinggi sebagai dasar dari
penyelenggaraan pemilu, maka hal tersebut bertentangan dengan hakekat dasar pelaksanaan Pemilu yang
mengedepankan pada persatuan dan kebangsaan. Mengapa etika politik tersebut sangat penting, pendapat
menarik disampaikan Haryatmoko (2003) yang mengatakan ada 3 (tiga) alasan pentingnya etika politik, yaitu:
 betapa pun kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya tetap membutuhkan
legitimasi;
 etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan
jatuhnya korban; dan
 pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan
kesadaran
Kesimpulannya,;
Kondisi carut marut yang ada saat ini, mungkin dapat diatasi ketika bangsa Indonesia dapat melakukan
transformasi budaya politik bangsa yaitu menggantikan budaya politik lama yang masih sangat dipengaruhi
orientasi, sikap dan tingkah laku politik masyarakat kita yang berwawasan terbatas dengan budaya politik
sesuai landasan dan filosofi negara serta konstitusi kebangsaan kita dalam UUD 1945. Menguatnya
segmentasi nilai-nilai identitas tradisional masyarakat sesungguhnya menguat ketika tidak ada punishment
yang jelas dari mekanisme hukum atas pemanfaatan identitas tersebut untuk menciptakan kekuasaan melalui
politik efek domino yang ditimbulkan yang secara langsung mendapatkan kecaman tetapi pada efek lain
mendapatkan efek besar lain.
Hal tersebut harus dapat dilihat sebagai kejahatan dan upaya untuk menghancurkan komitmen
kebangsaan yang telah terbangun diatas kepercayaan yang rapuh.
etika dalam politik yang merupakan instrument dasar budaya politik sesungguhnya memungkinkan
terciptanya etika solidaritas. Etika bentuk seperti ini akan menjamin mengemukanya nilai-nilai bersama
ketimbang semangat kepentingan kesukuan atau primordialisme sebab dengan adanya etika politik yang baik
akan menciptakan trust atau kepercayaan dan persahabatan.
Demokrasi di Indonesia, tidak akan tercipta secara utuh langsung seperti yang terjadi di Eropah yang lebih
homogen ataupun di Amerika Serikat meskipun heterogenitasnya tinggi tetapi dilingkupi budaya,
kelengkapan, sistem dan kondisi yang memungkinkan dilakukannya sosialisasi politik secara baik dengan
tingkat pendidikan masyarakat yang lebih baik.
Kondisi tersebut tidak dimiliki bangsa Indonesia, sehingga iklim demokrasi yang dapat diciptakan dan diterima
oleh komunitas budaya yang ada harus melalui tahapan-tahapan yang sistematis dengan penyadaran kepada
seluruh identitas budaya terutama mengindonesiakan identitas budaya yang relative besar sehingga tidak
tumbuh sebagai budaya totaliter yang menghegemoni.

3. Berdasarkan pada kasus diatas, kemukakan argumen Anda terkait partisipasi politik dengan menggunakan
pendekatan politik kelompok dan hak-hak politik!!

Sejak pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia dilaksanakan secara langsung mulai
tahun 2005, Pilkada serentak tahun 2020 ini merupakan Pilkada gelombang keempat. Pilkada tahun 2020
akan diselenggarakan pada 270 daerah yang terdiri atas 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota. Perhelatan
demokrasi lima tahunan ini semula dijadwalkan akan diselenggarakan pada bulan September 2020 akan
tetapi kemudian ditunda menjadi tanggal 9 Desember 2020 dikarenakan Pandemi Covid-19. Rencana
penyelenggaraan Pilkada di tengah Pandemi Covid-19 membuahkan kontroversi, perdebatan, dan pro-
kontra yang berkepanjangan. Wacana yang berkembang terbelah antara Pilkada serentak tetap dilaksanakan
pada tahun 2020 atau ditunda sampai tahun 2021. Masing-masing wacana memiliki argumentasinya sendiri-
sendiri, antara lain alasan keberlangsungan periodisasi pemerintahan, kesehatan, keamanan, dan kualitas
demokrasi.

Pemilihan umum merupakan konsep dari demokrasi prosedural, serta cara yang paling kuat bagi
rakyat untuk berpartisipasi dalam demokrasi perwakilan modern. Indonesia yang menjalankan sistem pemilu
berguna untuk mengisi jabatan-jabatan seperti Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD,
Anggota DPRD Provinsi, Anggota DPRD Kabupaten, serta Anggota DPRD Kota. (Ardiles Mewoh dkk, 2015:8).
Teguh Prasetyo (2018:11) menjelaskan bahwa pemilu adalah suatu cara memilih wakil-wakilnya, oleh sebab
itu pemilu bukan merupakan tujuan yang mana tidak perlu menghalalkan segala cara.Kesan buruk yang
ditinggalkan pemilu selain dari adanya kecurangan adalah malpraktik pemilu dimana didefinisikan sebagai
kesalahan, tidak efisien, cacat tata kelola atau regulasi Pemilu (irregularitas) di berbagai tingkatan dan tahap
Pemilu serta faktor lainya (Ilham Yamin dkk, 2020:9).
Pemilu yang berasas langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil telah diupayakan oleh pihak
penyelenggara dalam hal ini KPU dan Bawaslu. Kedua lembaga ini memiliki tugas dan wewenangnya
masing-masing, namun dalam konteks pengawasan pemilu dari adanya kerawanan adalah tugas dan
wewenang Bawaslu atau Badan Pengawas Pemilu. Bagaimana pandemi Covid-19 ini memengaruhi pikiran
kita? Jajak pendapat berulang kali menunjukkan, pandemi memiliki efek buruk pada kesehatan mental kita.
Isolasi sosial menjauhkan kita secara fisik dengan sebagian orang. Isolasi, telah lama terbukti mendorong
depresi. Gelombang depresi diperburuk dengan kondisi resesi ekonomi.
Semakin banyak masyarakat kesulitan keuangan.
Situasi ini juga membawa kita dalam keadaan ketakutan dan kecemasan—kecemasan tentang tekanan
finansial, tentang kesepian, tentang kehidupan kita sendiri, dan orang-orang yang kita cintai.
Ketakutan semacam itu berpotensi memunculkan irasionalitas. Kita kesulitan untuk berfikir jernih, ketika
merasakan tekanan semakin kuat. Merasa tidak berdaya, membuat orang lebih rentan terhadap
perilaku irasional. Berkembang teori konspirasi, berita bohong (hoak), serta kabar-kabar tanpa berdasar yang
faktual. Konsekuensi psikologis ini dapat membuat kita gagal berperilaku sebagaimana mestinya. Kita
memiliki apa yang oleh para psikolog disebut "sistem kekebalan perilaku," yang membuat kita
berperilaku dengan cara yang, secara umum, membuat kita lebih kecil kemungkinannya untuk terserang
penyakit menular; pakai masker, cuci tangan, jaga jarak. Efek samping yang tidak menguntungkan adalah,
bahwa hal itu meningkatkan prasangka terhadap orang asing. Orang yang tidak kita kenal. Secara politis,
dikenal xenophobia atau ketidakpercayaan pada kelompok lain.
Namun, terlepas dari semua bahaya pandemi itu, tampaknya juga tindakan kebaikan yang mendorong
solidaritas sosial. Pada masa yang penuh gejolak, orang-orang saling membantu. Covid-19 juga telah
melahirkan fenomena yang tidak terjadi
dalam periode pandemi sebelumnya. Dalam ranah politik, salah satunya, ditandai dengan kecenderungan
munculnya model kepemimpinan populis yang antipengetahuan (Urbinati, 2020), serta
meningkatnya kontrol terhadap warga negara menggunakan teknologi digital (coronopticon) dengan alasan
virus tracing (The Economist, 2020). Covid-19 akan menjadi milestone baru perubahan
besar tatanan sosial, politik, dan ekonomi, meskipun bentuk akhir perubahan ini masih belum definitif
(Masudi & Winanti, 2020). Pilkada serentak 2020 dijadwalkan digelar pada 9 Desember 2020. Pemerintah dan
DPR bersama penyelenggara Pemilu sepakat untuk melaksanakan sesuai jadwal tersebut, meski banyak pihak
mendesak agar Pilkada 9 Desember ditunda, sampai suasana kondusif dan wabah sudah relatif terkendali.
Dalam situasi seperti ini dibutuhkan komitmen dari semua pihak untuk melaksanakan ketertiban
hukum, ketertiban aturan, dan ketertiban politik. Agar pilkada tetap berjalan baik dengan mematuhi
protokol kesehatan akan mempengaruhi keselamatan dan kesuksesan penyelenggaraan Pilkada ditengah
pandemi Covid-19. Bawaslu sebagai lembaga yang berfungsi melakukan pengawasan
harus berani melakukan penindakan kepada para paslon yang melanggar aturan sebagaimana yang sudah
diatur dalam PKPU Nomor 13 Nomor 2020 tersebut. Konsep suatu sistem politik harus memperhatikan
variabel budaya agar sistem tersebut sesuai dan mampu menggambarkan nilai-nilai dasar dan karakteristik
masyarakat tersebut. Budaya memainkan perannya dalam membentuk perilaku kolektif sebuah komunitas
politik. Budaya politik merupakan dimensi psikologi dari sistem politik, yaitu budaya politik bersumber
pada perilaku lahiriah dari manusia yang bersumber dari penalaran-penalaran yang sadar. Konsep budaya
politik terdiri atas sikap, keyakinan, nilai-nilai, dan keterampilan yang sering berlaku pada seluruh angota
masyarakat, termasuk kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Almond dan Verba (1965) mengartikan
budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik. Dengan
demikian, budaya politik dapat juga diartikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang
memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan
publik untuk masyarakat secara keseluruhan.
Berdasarkan sikap, nilai-nilai, dan kecakapan politik yang
dimiliki, budaya politik dalam sebuah masyarakat dapat digolongkan berdasarkan orientasi-orientasi warga
negaranya terhadap kehidupan politik dan pemerintahannya, yaitu:
a. Budaya polilik partisipan, yaitu, setiap warga negara yang melibatkan diri dalam kegiatan partai
politik,
b. sekurang-kurangnya dalam pemberian suara (voting) dan mencari informasi tentang kehidupan
politik.Budaya politik subjek, yaitu warga negara yang secara pasif patuh kepada pemerintah dari
undang-undang dengan tidak ikut pemilihan umum.
c. Budaya politik parokial, yaitu warga negara sama sekali tidak menyadari adanya pemerintahan dan
politik.
Harus diakui bahwa pandemi Covid-19 yang mewabah dihampir seluruh wilayah Indonesia telah menjadi
ancaman serius bagi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara serentak pada
tanggal 9 Desember 2020 yang akan datang. Di sinilah pentingnya bagi pemerintah dan penyelenggara Pemilu
untuk memastikan pemilihan dapat menyusun dan mengimplementasikan agar protokol kesehatan
pencegahan Covid-19 pada Pilkada seperti yang tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020
bisa terlaksana dengan baik dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pilkada. Kebijakan pemerintah dalam
memutus rantai penyebaran virus Covid-19 di tanah air tentu akan sangat berimbas pada upaya
pendidikan pemilih dan sosialisasi pelaksanaan Pilkada serentak 2020 yang dilakukan KPU.
Sejumlah kegiatan sosialisasi tidak hanya menjadi terbatas namun bentuk dan materinyapun akan
berubah demi meminimalisir penyebaran dan kemungkinan terburuk bahwa pelaksanaan pilkada menjadi
cluster baru penyebaran Covid- 19.

Konsep human security yang meliputi aspek sosial, psikologi, politik, ekonomi, budaya dan hukum
yang mendukung dan mengawal keselamatan serta kesejahteraan manusia menjadi hal yang amat penting,
sehingga penyelenggaraan Pilkada serentak ditengah pandemi Covid-19 betul-betul mengedepankan
keselamatan penyelenggara, para kontestan dan pemilih. Dalam praktiknya memang, sistem human security
dalam makna yang komprehensif dilaksanakan dalam sistem politik dan pemerintah yang demokratik, karena
sistem demokrasi ini lebih menjamin adanya kebebasan kepada rakyatnya untuk mendapatkan hakhaknya
dalam bidang politik, sosial, budaya, ekonomi dan hukum. Hak-hak dasar sebagai manusia seperti Economic
Security, Food Security, Health Security, Environmental Security, Personal Security, Community Security dan
Political Security, merupakan hak-hak yang patut didapatkan oleh setiap warga negara.
Pandemi COVID-19 telah membawa dampak yang signifikan terhadap agenda politik Pilkada serentak
2020 di 270 daerah. Isu-isu yang terkait dengan penyelenggaraan memang banyak lebih terfokus pada
protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Sementara hal-hal yang berpotensi menimbulkan malpraktek
dalam proses penyelenggaraannya menjadi terabaikan, padahal memegang teguh etika politik bagi para
kontestan menjadi amat penting, karena akan berpengaruh terhadap sebuah penyelenggaraan Pilkada yang
demokratis, berintegritas dan siapapun yang terpilih memiliki legitimasi politik yang kuat.

 Mendorong pemungutan suara lebih awal, yaitu mendorong konstituen untuk melakukan pemungutan suara
sebelum tanggal yang ditetapkan yaitu 15 April 2020, dengan metode mempersilahkan semua pemilih untuk
memberikan suara di tempat pemungutan suara manapun walaupun tempatnya berjauhan dengan daerah
tempat tinggal konstituen yaitu pemilihan sela pada tanggal 10 dan 11 April 2020. Tujuan dari strategi
tersebut yaitu untuk mengurangi jumlah konstituen pada pemilihan tanggal 15 April 2020.
 Memperbolehkan melakukan pemungutan suara di rumah yaitu dengan melalui pos untuk pasien karantina
atau isolasi mandiri. Akan tetapi konstituen dengan kategori tertentu yang dapat melaksanakan pemilihan di
rumah.
 Memastikan lingkungan sekitar aman dan higienis untuk tempat pemungutan suara. NEC memberlakukan
protokol kesehatan Covid-19 secara ketat yaitu tindakan pencegahan dan perlindungan, dari mulai
pembatasan antrian di luar Tempat Pemungutan Suara, pembatasan kerumunan di Tempat Pemungutan
Suara, perlengkapan pemilu yang higienis. Strategi protokol kesehatan yang ketat tidak hanya berlaku untuk
pemilih, akan tetapi berlaku untuk keseluruhan yaitu penyelenggara, pengawas, aparat keamanan, pemantau
pemilu, media massa.
 Melakukan komunikasi secara intensif dengan masyarakat melalui media elektronik maupun cetak untuk
menyampaikan pesan tata cara pelaksanaan pemungutan suara.

Kesimpulannya,;
Dalam hubungan dengan hal di atas, partisipasi politik dengan menggunakan pendekatan politik kelompok
dan hak-hak politik dapatlah dipahami bahwa kekuasaan mencakup dua aspek yaitu: aspek kewenangan dan
kemampuan. Oleh karena bila dihubungkan dengan konsep politik, maka kekuasaan politik melaksanakan 2
hal tadi yaitu mencakup kewenangan dan kemampuan untuk menyelenggarakan aktivitas politik,
Pada dasarnya aktivitas-aktivitas politik yang terjadi dalam masyarakat mempunyai latar belakang pemikiran
politik yang beraneka ragam. Aktivitas seperti itu masih mempunyai permasalahan di dalam menentukan
sikap terhadap nilai-nilai politik. Oleh karena itu kiranya menjadi penting adanya upaya untuk
menyeimbangkan kemajuan-kemajuan politik di sektor lembaga formal dan lembaga-lembaga non formal.
4. Berikan contoh dan uraikan tentang makna birokrasi dalam suatu Negara dengan menggunakan Teori Ideal
birokrasi menurut Weber

Penjelasan Menurut Pendapat Saya ;


Birokrasi menurut Weber terutama yang menyangkut
o Legitimasi sebagai dasar sistem otoritas,
o Delapan proposisi penyusunan sistem otoritas legal, dan
o Konsepsi Legitimasi bagi staf administrasi.

Max Weber
berpendapat bahwa birokrasi adalah suatu bentuk organisasi yang penerapannya
berhubungan dengan tujuan yang hendak dicapai. Birokrasi ini dimaksudkan sebagai suatu
sistem otoritas yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai macam peraturan untuk
mengorganisir pekerjaan yang dilakukan oleh banyak orang.

Demokrasi berasal dari kata Yunani kuno, demos (rakyat) dan kratos ataukratein
yangberartikekuasaan/berkuasa, demokrasi diartikan sebagai “rakyat berkuasa” atau government or rule by
the people. Demokrasi dikelompokkan menjadi 2 aliran yaitu demokrasi konstitusional dan kelompok yang
menamakan dirikomunisme. Perkembangan kedua aliran ini bermulai di Eropa dan menyebar ke Asia,
Amerika Latin dan Afrika setelah Perang Dunia II.
Indonesia merupakan contoh pendukung demokrasi konstitusional yang dituangkan dalam Penjelasan Sistem
Pemerintahan Negara yang berdasarkanhukum(rechsstaat) dan pemerintah yang berdasarkan system
konstitusi. Berdasarkantigaistilahrechsstaat, SistemKonstitusional dan Sistem Konstitusi disimpulkan bahwa
demokrasi yang menjadi dasardari UUD 1945 adalah demokrasi konstitusional.

Sejak bergulirnya era reformasi, berbagai isu ataupun pemikiran dilontarkan para pakar berkaitan
dengan bagaimana mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance), di antaranya dilakukan
melalui reformasi birokrasi. Upaya tersebut secara bertahap dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah (Provinsi dan Kabupaten/ Kota). Secara empiris birokrasi identik dengan aparatur
pemerintah yang mempunyai tiga dimensi yaitu organisasi, sumber daya manusia, dan manajemen. Dalam
pemerintahan, dimensi itu dikenal kelembagaan, kepegawaian dan ketatalaksanaan, yang merupakan unsur-
unsur administrasi negara; kiranya dimensi tersebut dapat ditambah dengan kultur mind set.Konsep birokrasi
Max Weber yang legal rasional, diaktualisasikan di Indonesia dengan berbagai kekurangan dan kelebihan
seperti terlihat dari perilaku birokrasi. Perilaku birokrasi timbul manakala terjadi interaksi antara karakteristik
individu dengan karakteristik birokrasi; apalagi dengan berbagai isu yang berkembang dan penegakan hukum
saat ini yang berkaitan dengan patologi birokrasi.
Secara gradual di Indonesia dilakukan reformasi birokrasi dalam dimensi kelembagaan, sumberdaya aparatur
dan ketatalaksanaan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Apalagi dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025
menetapkan bahwa: "Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk
meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di
pusat maupun di daerah".

Dalam rangka reformasi birokrasi tersebut, pemerintah pusat meregulasi perundang-undangan yang dikenal
pilar reformasi birokrasi yaitu:

 UU Pelayanan Publik;
 UU Administrasi Pemerintahan;
 UU Etika Penyelengara Negara;
 UU Kepegawaian Negara;
 UU Kementerian Negara;
 UU Tata Hubungan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
 UU Badan Layanan Umum/Nirlaba;
 UU Sistem Pengawasan Nasional;
 UU Akuntabilitas Penyelenggara Negara.
Teori Weber tentang birokrasi
Weber mengemukakan bahwa birokrasi rasional semakin penting, yang memiliki seperangkat ciri ketetapan,
kesinambungan, disiplin kekuasaan, keajegan (reliabilitas) yang menjadikan secara teknis merupakan bentuk
organisasi yang paling memuaskan, baik bagi pemegang otoritas maupun bagi semua kelompok kepentingan
lain.
Contoh dan uraikan tentang makna birokrasi dalam suatu Negara dengan menggunakan Teori Ideal
birokrasi menurut Weber Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance),
Secara gradual, di Indonesia reformasi birokrasi dilakukan dalam dimensi kelembagaan, sumberdaya
aparatur, ketatalaksanaan, dan maka pemerintahan Indonesia baik pusat maupun daerah, perlu segera
melakukan reformasi birokrasi yang tidak hanya pada tataran komitmen saja tetapi juga dilandingkan dalam
tataran kehidupan nyata. Hal ini diharapkan akan dapat mengurangi patologi birokrasi seperti terjadinya mal-
administrasi yang mengarah pada korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Konsep birokrasi Max Weber yang legal rasional, diaktualisasikan di Indonesia dengan berbagai kekurangan
dan kelebihan seperti terlihat dari perilaku birokrasi. Perilaku birokrasi timbul manakala terjadi interaksi
antara karakteristik individu dengan karakteristik birokrasi; apalagi dengan berbagai isu yang berkembang dan
penegakan hukum saat ini yang berkaitan dengan patologi birokrasi.
Secara gradual, di Indonesia reformasi birokrasi dilakukan dalam dimensi kelembagaan, sumberdaya
aparatur, ketatalaksanaan, dan kultur/ mind set. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,
hendaknya melakukan reformasi birokrasi melalui organisasi pembelajaran yang konsisten dan berkelanjutan,
dengan memperhatikan critical success factors.

Pendapat Weber tentang “birokrasi rasional” berusaha memisahkan antara kantor dan si pemegang
jabatan, kondisi yang tepat untuk pengangkatan dan kenaikan pangkat, hubungan otoritas yang disusun
secara sistematik antara kedudukan, hak dan kewajiban yang diatur dengan tegas dan lain-lain (Lance Castles,
7; 1986). Istilah lain pada bidang pemerintahan yang berasal dari zaman Yunani kuno dan berkaitan dengan
birokrasi antara lain, demokrasi, aristokrasi, teokrasi, monarki, dan lain-lain.
Selanjutnya analog dengan kata turunan “democracy” maka “bureau cracy” dapat diturunkan menjadi
“birokrat” artinya orang atau pejabat yang duduk dalam lembaga birokrasi; birokratisme yang artinya
pelayanan birokrasi yang berbelit-belit dan birokratisasi yang artinya segala sesuatunya diatur oleh birokrat.
Dalam bahasa sehari-hari birokrasi diartikan dalam konotasi yang tidak menyenangkan (red tape), kekakuan
dan birokratis (pengurusan yang berbelit-belit). Pengertian yang demikian bukan terjadi begitu saja tetapi
melalui proses yang cukup panjang dan dialami oleh banyak orang yang pernah berurusan dengan pejabat
(birokrasi).

Dari pengalaman masyarakat yang berurusan dengan pejabat, mereka sering dibuat kecewa, tidak
cepat melayani, minta balas jasa, dan sebagainya sehingga sudah tidak asing lagi jika kita berurusan dengan
birokrasi dalam benak kita adalah urusan akan menjadi berbelit-belit. Ini adalah pengertian yang sudah
memasyarakat yang dipahami oleh orang awam pada umumnya, namun, dilihat dari pengertian birokrasi
yang sebenarnya adalah tidak benar. Birokrasi terjadi karena adanya organisasi negara, kemudian negara
berkewajiban melayani kepentingan masyarakat sebaik-baiknya. Namun, dalam proses pelayanan itulah
sering disalahgunakan oleh para pejabat, yaitu : dengan tidak melayani sebagaimana mestinya, tidak sesuai
dengan ketentuan yang ada dan melanggar undang-undang atau peraturan yang berlaku.
Dengan demikian, birokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan atau pengaturan yang dilakukan dari meja
ke meja secara terpisah. Maksud dilakukannya peraturan dan pengambilan keputusan secara terpisah-pisah
itu adalah untuk menghindarkan terjadinya subjektivitas keputusan dan pengawasan pada satu tangan.
Demikian pula dalam hal pengangkatan pejabatnya tidak didasarkan kehendak penguasa, tetapi didasarkan
persyaratan-persyaratan yang objektif, seperti pendidikan, keahlian, pengalaman, dan senioritas.

Contoh nya.
Lembaga – Lembaga kenegaraan atau parlemen, pada pemerintahan, rumah sakit, sekolah, militer dll.

Anda mungkin juga menyukai