Petunjuk
1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.
1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan
aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Kupang, 24 Desember 2022
SetelahKemerdekaan
Diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Konstitusi Republik
Indonesia Serikat Konstitusi RIS juga mengatur mengenai hukum adat antara lain tentang
hakim adat dan hakim agama, tentang pengadilan adat, dan tentang aturan hukum adat
yang menjadi dasar hukuman. Dalam Undang-Undang Dasar Sementara UUDS, juga
terdapat penjelasan mengenai dasar berlakunya hukum adat. Pasal tersebut menjelaskan
bahwa, segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara
hukuman menyebut aturan-aturan Undang-Undang dan aturan-aturan hukum adat yang
dijadikan dasar hukuman itu. Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara MPRS,
memberikan pengakuan badi hukum adat, yaitu:
a. Asas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan (aluan Negara dan berlandaskan
hukum adat.
b. Dalam usaha homogenitas di bidang hukum supaya diperhatikan kenyataan yang hidup
dalam masyarakat.
c. Dalam penyempurnaan Undang-Undang (Hukum Perkawinan dan faktor agama, adat,
dll.
Kemudian juga, tentang Undang-undang Pokok Agraria UUPA, juga berdasarkan pada
azas hukum adat. Undang- undang tersebut juga mengakui keberadaan hukum adat, dalam
penyusunan Undang -undang seperti pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat. UUPA
menyatakan: Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme )ndonesia serta dengan peraturan-
peraturan yang tercantum dalam Undangundang ini dan dengan peraturan perundangan
lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama. Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman memberikan
pengakuan bahwa, (hukum yang dipakai oleh kekuasaan kehakiman adalah hukum yang
berdasarkan Pancasila, yakni yang sidatnya berakar pada kepribadian bangsa. Seterusnya,
menjelaskan bahwa berlakunya hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Peraturan
perundang-undangan tersebut dengan nyata menyebutkan keberadaan dalam keberlakuan
hukum adat dalam masyarakat )ndonesia. Setelah amandemen ke-dua Undang-Undang
Dasar menjadi dasar pengakuan hukum adat dalam konstitusi Negara )ndonesia, yaitu:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat berserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik )ndonesia, yang diatur dalam undang-
undang.
B. Ya, karena Hukum adat adalah aturan tidak tertulis
yang hidup di dalam masyarakat adat suatu daerah dan akan tetap hidup selama masyarakatnya
masih memenuhi hukum adat yang telah diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang sebelum
mereka. Oleh karena itu, keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional
tidak dapat dipungkiri walaupun hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas adalah
hukum yang tidak sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam masyarakat. Hukum Adat
adalah hukum yang benar- benar hidup dalam kesadaran hati nurani warga masyarakat yang
tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat-istiadatnya dan pola sosial budayanya
yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Era sekarang memang dapat disebut sebagai
era kebangkitan masyarakat adat yang ditandai dengan lahirnya berbagai kebijaksanaan maupun
keputusan. Namun yang tak kalah penting adalah perlu pengkajian dan pengembangan lebih jauh
dengan implikasinya dalam penyusunan hukum nasional dan upaya penegakan hukum yang berlaku
di Indonesia.
2. A. Menurut saya hukum waris adat tidak mengenal “Legitieme Portie” tetapi meletakan
kerukunan pada proses pembagian serta dengan memperhatikan keadaan istimewa tiap ahli
warisnya. Hukum waris menurut BW mengenal hak tiap ahli waris atas bagian tertentu dari
harta peninggalan bagian warisan menurut ketentuan undang-undang (Wettelijk Erfdaeel atau
“Legitieme Portie” Pasal 913-929).
B. Perlindungan hukum hak waris anak angkat ialah melalui proses dari pada pemberian
warisan tersebut dilakukan sewaktu pewaris masih hidup dan disaksikan oleh beberapa orang
saksi, diantaranya : dua orang dari pihak keluarga pewaris, Pemekel (Kepala Dusun), seorang
pemuka agama atau lebih. Dan apabila pewaris meninggal dunia tanpa meninggalkan wasiat
apapun, maka pembagian harta warisan untuk para ahli waris dan anak angkatnya dilakukan
sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku, dimana bagian untuk anak laki-laki 2
bagian (sepelembah) dan bagian untuk anak perempuam 1 bagian (sepersonan).
Kedudukan anak angkat tersebut dalam hukum waris adat sasak disejajarkan dengan anak
angkat karena hal tersebut merupakan suatu ketentuan yang dijalankan secara turun temurun
dan merupakan awig-awig yang tidak tertulis. Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan
bahwa hak mewaris anak angkat menurut Hukum Waris Adat Sasak diperlakukan sama
dengan anak kandungnya.
Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana dimaksud pada poin
(1) adalah :
a. Informasi yang dapat membahayakan negara;
b. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak
sehat;
c. Informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi;
d. Informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasi
. KEWAJIBAN BADAN PUBLIK
a. Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang
berada di bawah kewenangannya kpd Pengguna Informasi, selain informasi yang dikecualikan
sesuai dengan ketentuan.
b. Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik yang akurat, benar, dan tidak
menyesatkan.
c. Badan Publik harus membangun mengembangkan Sistem Informasi dan Dokumentasi untuk
mengelola Informasi Publik secara baik dan efisien, sehingga dapat di akses dengan mudah.
d. Badan Publik wajib membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil
untuk memenuhi hak setiap orang atas Informasi Publik. Pertimbangan itu antara lain memuat
pertimbangan Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, dan / atau Pertahanan Keamanan Nasional.
e. Badan Publik dapat memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan non-elektronik
dalam mewujudkan point 1 s/d 4.
Hukum Perdata mengatur tentang hak keperdataan . Dalam hukum perdata setiap manusia
pribadi mempunyai hak yang sama , setiap manusia pribadi wenang untuk berhak , karena dalam
hukum sanksi hanya berlaku dan diterapkan pada kewajiban bukan pada hak .
Hak perdata merupakan hak asasi yang melekat pada diri pribadi setiap orang. Hak perdata adalah
identitas manusia pribadi yang tidak dapat hilang atau lenyap. Identitas ini baru hilang atau lenyap
apabila yang bersangkutan meninggal dunia. Contoh hak perdata ialah hak hidup, hak memiliki, hak
waris, hak atas nama, hak atas tempat tinggal.
B. Keberadaan tanah ulayat di Minangkabau terjadi seiring dengan proses lahirnya sebuah nagari.
Dalam tambo (sejarah) adat Minangkabau dijelaskan bahwa “dek maso bajalan juo, aia batambah
susuik juo, daratan batambah laweh, mako mulailah baliau sarato urang banyak, mancancang jo
malatiah, manarah jo manaruko, dibuek taratak jo dusun, sabalun bakoto jo banagari, dibuek rumah
jo tango, dibuek sawah jo ladang, sawah satampang baniah, makan urang tigo luhak, padi itulah nan
bakambang sampai kini nangko” (karena waktu berjalan terus, air semakin surut, daratan bertambah
luas, maka mulailah beliau nenek moyang orang Minangkabau dan orang banyak membuka areal
permukiman yang baru, dibuat kampung dan dusun, sebelum didirikan koto dan nagari dibuat
rumah-rumah, dibuat sawah dan ladang, itulah yang berkembang sampai sekarang). Dalam
perkembangan selanjutnya anak dan kemenakan bertambah jumlahnya. Untuk mengatasi jumlah
warga masyarakat yang semakin banyak maka oleh dua orang pemimpin Minangkabau yaitu Datuak
Ketumangguangan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang diperluaslah daerah permukiman
masyarakat Minangkabau ketiga arah yang disebut “luhak” yaitu ke timur Luhak Tanah Datar, ke
barat Luhak Agam dan ke utara Luhak Limo Puluah Koto. Mengingat pertambahan penduduk yang
selalu meningkat sedangkan tanah berada dalam jumlah yang terbatas dan tetap, maka pada waktu
itu nenek moyang orang Minangkabau mencoba memikirkan suatu cara yang terbaik agar tanah
ulayat tersebut dapat tetap utuh. Akhirnya diperoleh suatu kesepakatan bahwa tanah ulayat tidak
boleh dipindah tangankan kepada orang lain dan pewarisannya diturunkan kepada kemenakan
menurut kekerabatan matrilineal atau menurut garis ketururunan ibu, sebagaimana fatwa adat
Minangkabau menyatakan bahwa “biriak-biriak tabang ka samak, tibo di samak turun ka halaman,
hinggok ditanah bato, dari niniak turun ka mamak, dari mamak ka kamanakan, pusako tatap baitu
juo” (birik-birik terbang ke semak, dari semak turun ke halaman, dari nenek turun ke
mamak(paman), dari mamak (paman) turun ke kemenakan, harta pusaka tetap begitu juga). Selain
itu anak kemenakan dan anak nagari hanya diperbolehkan menikmati hasil dari tanah ulayat tersebut
dan tidak boleh memindah tangan kepada pihak lain untuk selamanya, sebagaimana digariskan dalam
hukum adat Minangkabau “aianyo buliah diminum, buahnyo buliah dimakan, nan tanah tatap
tingga” (airnya boleh diminum, buahnya boleh dimakan, namun tanah tetap tinggal utuh).
B. Keberadaan peradilan adat di Gampong dipandang oleh masyarakat sebagai alternatif awal
dan memiliki potensi positif ditengah semakin banyaknya masalah berupa pelanggaran ringan
yang bisa diatasi oleh masyarakat tanpa harus pergi ke apparat penegak hukum. Adanya
peradilan adat tidak hanya meringankan beban tugas pengadilan dan mengurangi akumulasi
kasus, namun juga membantu warga negara mengakses perlindungan hak mereka. Terdapat 2
model penyelesaian sengketa yang lazim diberlakukan masyarakat di gampong-gampong di
Aceh sampai dengan saat ini, model pertama adalah model penyelesaian sengketa yang
sederhana dengan keterlibatan Geuchik yang sangat aktif untuk menyelesaikan sengketa
diantara masyarakat, model kedua adalah pelibatan unsur Tuha Peut Gampong secara
keseluruhan untuk menyelesaikan sengketa dan pola penyelesaian juga dilakukan dengan
model persidangan formil dan merujuk kepada pedoman peradilan adat yang diterbitkan oleh
Majelis Adat Aceh. Negara harus berpikir untuk menerapkan system hukum adat ini secara
menyeluruh, tidak hanya di Aceh, namun juga di daerah-daerah lain di Indonesia. Sehingga
upaya mewujudkan pluralism hukum yang Kuat dalam Sistem Hukum Indonesia dapat
terwujud.