Anda di halaman 1dari 6

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2022/23.1 (2022.2)

Nama Mahasiswa : NURMIAH

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 045176392

Tanggal Lahir : 15 JUNI 2003

Kode/Nama Mata Kuliah : ISIP4130 / PENGANTAR ILMU HUKUM / PTHI

Kode/Nama Program Studi : 311 / ILMU HUKUM

Kode/Nama UPBJJ : 50 / SAMARINDA

Hari/Tanggal UAS THE : SELASA, 27 DESEMBER 2022

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN


RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : NURMIAH


NIM : 045176392
Kode/Nama Mata Kuliah : ISIP4130 / PENGANTAR ILMU HUKUM / PTHI
Fakultas : FHISIP
Program Studi : ILMU HUKUM
UPBJJ-UT : 50 / SAMARINDA

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Selasa, 27 Desember 2022

Yang Membuat Pernyataan

( NURMIAH )
1. Bagaimana analisis saudara terhadap RKUHP ini bila dikaitkan dengan Tujuan Hukum menurut
Lili Rasjidi.
Jawaban :

Tujuan utama dari hukum adalah mencapai ketertiban dalam masyarakat. Menurut Lili
Rasjidi tujuan hukum itu ada dua, tujuan tradisional dan tujuan modern. Tujuan tradisional hukum
adalah ketertiban dan keadilan. Sedangkan tujuan modern hukum adalah sarana pembaharuan
masyarakat.
Menurut Lili Rasjidi, sebelum timbulnya ketertiban, sebenarnya harus ada sesuatu kepastian
hubungan antar individu yang dikonkritkan dengan norma hukum terlebih dahulu. John Austin tidak
menghendaki perubahan hukum itu secara radikal (revolusi) sebab akan menimbulkan kegoncangan
ketertiban/chaos. Artinya yang lama sudah dilebur, yang baru belum terbentuk sehingga hukum
menjadi tidak berwibawa. Tetapi menurut Lili Rasjidi, seharusnyalah pakar hukum berfungsi
menciptakan ukum dan hukum harus terus dijalankan walaupun suasana pembaharuan.
Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian besar rakyat atau
bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari
proses penerapan hukum untuk menciptakan kesejahteraan yang diimpikan tersebut. Berdasarkan
orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan-pengaturan penciptaan
kesejahteraan negara. Salah satu evaluasi yang dilakukan tersebut diantaranya adalah rancangan
RKUHP tersebut. Hal itu dilakukan untuk menata ulang bangunan sistem hukum pidana nasional dan
agar kita dapat memiliki KUHP sendiri yang mencerminkan bangsa kita. Karna sejatinya sejarah
hukum pidana yang berlaku di Indonesia bermula dari Code Napoleon Perancis tahun 1810. Prancis
kemudian menjajah Belanda dan memberlakukan KUHP. Kolononisasi kemudian berlaku di Belanda.
Setelahnya Belanda KUHP pada tahun 1881 dan dibawa ke Indonesia.

2. a. Bagaimana analisis Saudara mengenai keberlakuan Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis
di Indonesia.
Jawaban :

Hukum tertulis (State law = written law), adalah hukum yang dicantumkan dalam pelbagai
peraturan perundangan, sedangkan hukum tak tertulis (Unstaturery law = unwritten law), hukum
yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati
seperti suatu peraturan perundangan (disebut juga hukum kebiasaan).
Hukum tertulis sekarang sudah menjadi padanan bagi hukum perundang- undangan serta
menjadi tanda ciri dari hukum modern yang harus mengatur serta melayani kehidupan modern.
Kehidupan yang makin kompleks, bidang-bidang yang makin beraneka ragam, serta perkembangan
masyarakat dunia yang menjadi suatu masyarakat yang terorganisir (organized society), hubungan
antar manusia yang makin kompleks pula, memang tidak bisa lagi hanya mengandalkan pada
pengaturan tradisi, kebiasaan, kepercayaan atau budaya ingatan.
Penggunaan hukum tertulis telah menjadi hal yang sangat umum, tetapi ia tidak sekaligus
bisa disamakan dengan meningkatnya kualitas keadilan, tetapi hanya menyangkut bentuk saja. Di
samping itu, penggunaan hukum tertulis juga tidak serta- merta menghilangkan bekerjanya "hukum"
yang tidak tertulis begitu saja, seperti tradisi, kebiasaan atau praktek-praktek tertentu.
Oleh karena itu, sesungguhnya bisa dibicarakan tentang berjalannya dua bentuk tatanan
secara berdampingan, yaitu bentuk yang tertulis dan tidak tertulis. Kebiasaan dan lain-lain itu bisa
bekerja secara diam-diam, di bawah permukaan hukum tertulis yang bersifat resmi. Pendekatan
sosiologis tersebut dimungkinkan untuk mengamati kejadian tersebut.
Peranan hukum tidak tertulis adalah untuk melengkapi hukum yang tertulis, khususnya
dalam pertimbangan putusan hakim yang sangatlah dibutuhkan. Dengan kata lain, penerapan
hukum tertulis (asas legalitas) semata-mata akan banyak mencederai rasa keadilan masyarakat,
terutama masyarakat kecil dan miskin. Oleh karenanyalah hukum tidak tertulis ini juga masih
digunakan untuk pertimbangan lebih lanjut. Perbedaan antara hukum tertulis dengan hukum tidak
tertulis dapat dilihat sebagai berikut :
a. Hukum tertulis
(1) Bersifat statis, tidak mengikuti perkembangan dan perubahan dalam masyarakat.
(2) Lebih menjamin kepastian hukum tentang isi dan berlakunya hukum.
(3) Dikeluarkan oleh instansi resmi, yaitu pemerintah yang berwenang dan pembentukannya
secara prosedur.
b. Hukum tidak tertulis
(1) Bersifat dinamis atau luwes dan mampu mengikuti perkembangan dan perubahan dalam
masyarakat.
(2) Tidak menjamin kepastian hukum tentang isi dan berlakunya hukum.
(3) Lahir dan terbentuk dari kesadaran warga masyarakat sebagai kaidah-kaidah yang bernilai
positif.

Bahkan dalam UUD NKRI Tahun 1945 juga telah dengan jelas mengatur mengenai
pengakuan dan eksistensi masyarakat Hukum Adat (salah satu hukum tidak tertulis yang berlaku di
Indonesia) dalam Pasal 18b, Pasal 28i Ayat (3) dan Pasal 32 Ayat (1) dan (2). Menandakan bahwa
biarpun sudah melewati proses justifikasi oleh pemerintah, tidak mengubah kekuatan maupun
pengaruh hukum adat itu untuk tetap diakui oleh masyarakat. Sifat fleksibel dan bertujuan untuk
kesejahteraan masyarakat hukum adatnya tersebutlah yang menjadikan hukum adat dapat
mengambil tindakan menghukum / mengadili masyarakat adatnya tanpa adanya hukum tertulis
dari pemerintah. Pada intinya adalah hukum tertulis maupun tidak tertulis ini ada dan berlaku untuk
saling melengkapi atau menjadi bahan pertimbangan lebih lanjut dalam mangambil tindakan hukum
di pengadilan.

2. b. Bagaimana analisis Saudara tentang Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Jawaban :

Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi :
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Dalam ayat tersebut menandung makna bahwa masyarakat yang masih mengenal hukum
tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, membutuhkan hakim yang
merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu,
hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sehingga hakim dapat
memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Undang-undang tersebut memberikan arahan bahwa hakim harus memahami nilai-nilai adat
budaya yang ada dalam masyarakat agar mampu memberikan putusan yang adil. Sebab, seorang
hakim yang ideal dan profesional haruslah mempunyai skill attitude, integritas dan knowledge.
Sementara hakim harus paham nilai yang ada dalam masyrakat merupakan bagian dan knowledge
yang harus dimiliki seorang hakim. Di indonesia, yang terdiri dan beberapa ras, suku, adat, budaya
tentunya membuat hakim harus mempunyai knowledge yang luas. Sehingga nantinya hakim dapat
memberi putusan yang mengandung keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi masyarakat.
3. Bagaimana analisis Saudara tentang penerapan aliran Positivisme Hukum di Indonesia beserta
ciri-cirinya.
Jawaban :

Aliran Hukum Positif atau Positivisme Hukum merupakan salah satu aliran dalam filsafat
hukum. Aliran ini memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara
hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen). Positivisme
Hukum sangat mengagungkan hukum yang tertulis dan menganggap bahwa tidak ada norma hukum
di luar hukum positif. Bagi aliran ini, semua persoalan dalam masyarakat harus diatur dalam hukum
tertulis. Sikap penganut aliran ini dilatarbelakangi oleh penghargaan yang berlebihan terhadap
kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis, mereka menganggap kekuasaan itu adalah sumber
hukum dan kekuasaan adalah hukum. Ada dua corak dalam Positivisme Hukum, yaitu :
A. Aliran Hukum Positif Analitis (Analytical Jurisprudence) yang dipelopori oleh John Austin
menyatakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa negara. Hakikat hukum terletak pada
unsur perintah itu. Austin memandang hukum sebagai suatu sistem yang tetap, logis dan tertutup.
Austin berpandangan bahwa hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan
adil atau sebaliknya. Aliran hukum positif analitis ini sudah banyak diterapkan dan terjadi di
Indonesia, kebanyakan terjadi dalam hubungan senior junior. Austin membedakan hukum menjadi
dua jenis, yaitu hukum dari Tuhan untuk manusia dan hukum yang dibuat oleh manusia. Hukum
yang dibuat oleh manusia kemudian dibedakan lagi menjadi :
1. Hukum yang sebenarnya (hukum positif), yaitu hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum
yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan
kepadanya. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur, yaitu perintah (command), sanksi
(sanction), kewajiban (duty) dan kedaulatan (sovereignty)
2. Hukum yang tidak sebenarnya, adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak
memenuhi persyaratan sebagai hukum contohnya peraturan dari suatu organisasi olahraga.

B. Aliran Hukum Murni (Reine Rechtslehre) yang dipelopori oleh Hans Kelsen berpendapat
bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis seperti sosiologis, politis, historis
dan etis. Hukumn adalah suatu sollenkategorie atau kategori keharusan/ideal, bukan seinskategorie
atau kategori faktual. Meskipun hukum itu sollenkategori. namun yang digunakan adalah hukum
positif (ius constitutum), bukan hukum yang dicita-citakan (ius constituentur).
Kelsen berpendapat bahwa hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan isi (materia).
sehingga keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. Hukum bisa saja tidak adil, namun hukum
tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa la juga berpendapat bahwa hukum positif pada
kenyataannya dapat saja menjadi tidak efektif lagi. Hal ini bisa disebabkan karena kepentingan
masyarakat yang diatur sudah tidak ada, sehingga penguasa tidak akan memaksakan penerapannya.

Adapun ciri-ciri aliran positivisme adalah :


▪ Menolak keras gagasan atau pemikiran yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan yang
sebelumnya tidak dilakukan eksperimen atau penelitian sama sekali
▪ Tidak mempercayai berbagai hal yang erat kaitannya dengan tahayul dan mitos mitos yang
sudah lama berkembang
▪ Menggunakan berbagai metode ilmiah yang diperuntukkan untuk mengumpulkan dan
membuktikan suatu data yang diperlukan.
▪ Menempatkan metode anual sebagai syarat mutlak untuk menentukan kebenaran suatu hal
▪ Dalam prosesnya lebih menitik beratkan pada penggunaan logika dan pemikiran dasar lainnya
▪ Indera merupakan salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mengumpulkan data
dalam hal ini
▪ Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknolog yang ada, sains dan budaya dibedakan
menjadi dua hal yang tidak berhubungan satu sama lain.
4. Berikanlah analisis Saudara mengenai perbedaan pengaturan pekerja outsourcing di dalam UU
Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja (Omnibuslaw).
Jawaban :
UU Cipta Kerja mengubah istilah outsourcing dari penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain menjadi alih daya. Dalam UU Cipta Kerja, tidak ada lagi batasan
terhadap jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing. UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
mengubah sebagian ketentuan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, salah satunya
terkait ketentuan outsourcing. Selama ini outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan diartikan sebagai
penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain. Penyerahan sebagian pekerjaan itu
dilakukan melalui 2 mekanisme yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh. Tapi, UU Cipta Kerja mengubah ketentuan outsourcing dengan menghapus Pasal 64
dan Pasal 65 serta mengubah Pasal 66 UU Ketenagakerjaan Outsourcing dalam UU Cipta Kerja
dikenal dengan istilah alih daya, PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih
Daya, Waktu Kerja dan Waktu istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK)
menyebutkan perusahaan alin daya adalah badan usaha berbentuk badan hukum yang memenuhi
syarat untuk melaksanakan pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian yang disepakati dengan
perusahaan pemberi pekerjaan. Intinya, perusahaan alih daya bertanggung jawab penuh terhadap
semua yang timbul akibat hubungan kerja.

Berikut ini perbedaan ketentuan mengenai perbedaan pengaturan pekerja alih daya
(outsourcing) pada era UU Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja (Omnibuslaw):

UU No. 13/2003 UU No. 11/2020 & PP 35/2021


B to B Agreement (PKS) diatur dalam UU B to B Agreement (PKS) tidak diatur lagi dalam UU Cipta
Ketenagakerjaan Kerja
Jenis pekerjaan dibatasi hanya 5 jenis
Jenis pekerjaan tidak dibatasi
pekerjaan
Terdapat ketentuan tentang “Core dan
Ketentuan tentang “Core dan Non Core” ditiadakan
Non Core”
Ketentuan jangka waktu PKWT rigid Jenis Pekerjaan tidak dibatasi/Ketentuan jangka waktu
maksimal 3 tahun termasuk PKWT lebih fleksibel, namun dibatasi maksimal 5 tahun,
perpanjangannya dan tidak ada khususnya PKWT yang didasarkan untuk jangka waktu dan
ketentuan uang kompensasi adanya ketentuan tentang uang Kompensasi
Ketentuan tentang “TUPE” belum diatur Ketentuan tentang “TUPE” diatur secara tegas
oleh Undang-Undang dalam Undang-Undang Cipta Kerja
Resiko Hukum Ketenagakerjaan
Resiko Hukum Ketenagakerjaan menjadi tanggung jawab
ditanggung bersama Perusahaan Alih
Perusahaan Alih Daya
Daya & Pemberi Kerja.

Perbedaan Ketentuan Alih Daya (outsourcing) lainnya yang terjadi di Era UU


Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja adalah :
1) Perjanjian Karjasama B to B dengan mengacu pada BUKU III BAB 7-A Bagian VI KUH Perdata
2) Permenaker No. 23 tahun 2021 mencabut 9 Peraturan Menteri Katanagakerjaan, diantaranya:
▪ Kepmenakertrans No. 220/MEN/X/2004
▪ Permenakertrans No. 19 tahun 2012
▪ Permenakertrans No. 27 tahun 2014
▪ Parmenakertrans No. 11 tahun 2019
3) Parjanjian Pemborongan & Panyediaan Pekerjaan (PASAL 64 & 65) dihapus.
4) Perlindungan pekerja pada Perusahaan Alih Daya dengan memasukkan TUPE dalam Pasal 66 UU
Cipta Kerja (MK No. 27/PUU-IX/2011

Anda mungkin juga menyukai