Anda di halaman 1dari 11

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2022/23.1 (2022.2)

Nama Mahasiswa : Rianto Pakpahan

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 041537123

Tanggal Lahir : 09 Mei 1998

Kode/Nama Mata Kuliah : ISIP4130 / Pengantar Ilmu Hukum

Kode/Nama Program Studi : 311 / Ilmu Hukum

Kode/Nama UPBJJ : 12 / Medan

Hari/Tanggal UAS THE : Selasa / 27 Desember 2022

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN


RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Rianto Pakpahan


NIM : 041537123
Kode/Nama Mata Kuliah : ISIP4130/ Pengantar lmu Hukum
Fakultas : FHISIP
Program Studi : 311 / Ilmu Hukum
UPBJJ-UT : 12 / Medan

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Sibolga, 27 Desember 2022

Yang Membuat Pernyataan

Rianto Pakpahan
1. Pertanyaan :

Bagaimana analisis saudara terhadap RKUHP ini bila dikaitkan dengan Tujuan Hukum
menurut Lili Rasjid.

Jawab :

Menurut analisis saya terhadap RKUHP ini bila dikaitkan dengan Tujuan Hukum menurut Lili
Rasjid berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik kesimpulannya
adalah tidak dapat dipungkiri bahwa faktor kemiskinan adalah menjadi faktor yang dominan
menyebabkan munculnya gelandangan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Secara umum
dalam hukum positif Indonesia
kegiatan pergelandangan dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana pelanggaran
(overtredingen ) di bidang ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 505
KUHP. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas DPR
memuat pasal soal gelandangan yang bisa dipidana menjelaskan, pasal ini harus dilihat dengan
perspektif lain, yakni bahwa negara harus bertanggung jawab melindungi warganya agar tidak
jadi gelandangan dengan pemerintah memberi insentif terhadap gelandangan tersebut. Pasal
432RKUHP ini disusun terkait bagaimana menjaga ketertiban umum. Redaksional dalam
RKUHP itu meletakkan tanggung jawab pada gelandangan, bukannya negara dengan alasan
hukum tidak bisa berdiri sendiri, makanya negara sebagai negara hukum, agar hukum dipatuhi
dengan seorang gelandangan, maka orang yang menjadi gelandangan juga harus jadi subjek.

Aturan mengenai pemidanaan terhadap gelandangan tersebut dalam Pasal 432RKUHP


diketahui bertentangan dengan Pancasila serta UUD 1945. Dalam hal ini, gelandangan yang
dipidana bukanlah tindakan bijak dari pemerintah yang dapat mencerminkan ketidakadilan
terhadap warga negaranya. Tetapi, sudah menjadi tugas pemerintah menerapkan aturan
mengenai gelandangan tetapi tidak dengan jalan dipidana melainkan dengan jalan diarahkan
dan dibina. Karena gelandangan itu sendiri merupakan bentuk dari gagalnya pemerintah dalam
menjalankan amanat UUD 1945.3.

Secara substansi, ketentuan hukum pidana bagi gelandangan tetap diperlukan dalam rangka
menanggulangi permasalahan gelandangan di Indonesia. Faktanya,dengan adanya ketentuan
sanksi pidana tersebut belum sesuai dengan fungsi hukum sebagai sarana untuk mengarahkan
dan membina masyarakat ( law as atool of social engineering ). Ketentuan Pasal 432 RKUHP
tersebut bertujuan agar dapat mempengaruhi pola perilaku masyarakat dan membuat
masyarakat itu tidak memilih untuk melakukan kegiatan sebagai gelandangan.
Diperlukan peran pemerintah yang bersungguh-sungguh dalam mengatasi masalah kemiskinan
di Indonesia, jangan hanya dijadikan kiasan semata
sementara permasalahan kemiskinan lah yang mendominasi maraknya gelandangan diIndone
sia. Sebaiknya pemerintah melakukan peninjauan kembali mengenai pemidanaan terhadap
gelandangan yang diatur dalam Pasal 505 KUHP, dimana penerapan aturan tersebut dalam
faktanya tidak efektif dan jumlah gelandangan di Indonesia terutama di kota-kota besar di
Indonesia terbilang masih banyak. Begitu juga dengan Pasal 432 RKUHP karena pada dasarnya
aturan
tersebut belum mencerminkan keadilan dan bertentangan dengan landasan filosofis Negara
Republik Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945 dimana dampaknya dapat menimbulkan
kriminalisasi bagi masyarakat miskin, seperti pengamen dan disabilitas terlantar.

2. Pertanyaan:

a. Bagaimana analisis Saudara mengenai keberlakuan Hukum Tertulis dan Hukum


Tidak Tertulis di Indonesia.

Jawab :

Menurut analisis saya mengenai keberlakuan Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis di
Indonesia adalah Berdasarkan bentuknya, hukum terbagi menjadi dua, yakni hukum tertulis
dan tidak tertulis:

Hukum tertulis ialah hukum yang dicantumkan atau ditulis dalam perundang-undangan.
Contohnya :

Hukum tertulis yang sudah dikodifikasikan adalah hukum tertulis yang penyusunannya secara
sistematis, lengkap, teratur, dan telah dibukukan sehingga tidak perlu adanya peraturan
pelaksanaan.

Contohnya

▪ KUHP

▪ KUHPdt

▪ KUHD

Hukum perdata tertulis dalam KUH Perdata, hukum pidana dituliskan dalam KUHPidana.
Hukum tertulis yang dikodifikasikan maksudnya yaitu hukum tata Negara yang sudah
dubukukan pada lembaran Negara dan sudah diumumkan/ di undangkan. Jika hukum tersebut
dikodifikasikan maka kelebihannya yaitu adanya kepastian hukum, adanya kekuasaan hukum
dan adanya penyederhanaan hukum. Sedangkan Kekurangannya yaitu bergeraknya hukum
menjadi lambat tidak mampu dengan cepat mengikuti hal-hal yang terus bergerak maju. Untuk
Hukum yang tidak dikodifikasi sebaliknya.

Hukum tidak tertulis merupakan kebalikan dari Hukum Tertulis. Hukum tidak tertulis yaitu
hukum yang tidak dituangkan/ dicantumkan dalam peraturan Perundang-undangan. Hukum
tidak tertulis merupakan hukum yang hidup/ berjalan dan tumbuh dalam kehidupan
masyarakat/ adat atau dalam praktik ketatanegaraan/ konversi.

Contoh Hukum Tidak Tertulis:

Hukum Adat yang tidak ditulis/ tidak dicantumkan dalam perundang-undangan namun
peraturannya sudah tertanam dan dipatuhi oleh daerah tertentu/ adat tertentu sehingga menjadi
sebuah pedoman dalan tata pelaksanaan kehidupan bermasyarakat.Hukum tidak tertulis
merupakan hukum yang dianggap tidak bisa konsisten, dikarenakan hukum tidak tertulis
peraturannya dapat berubah sewaktu-waktu sesuai keadaan dan kepentingan yang
menghendakinya.

Perbedaan antara Hukum tertulis dengan hukum tidak tertulis

Hukum tertulis

▪ Aturannya pasti (tertulis)

▪ Mengikat semua orang

▪ Memiliki alat penegak aturan

▪ Dibuat oleh penguasa

▪ Bersifat memaksa

▪ Sangsinya berat

Hukum tidak tertulis

▪ Kadang aturannya tidak tertulis dan tidak pasti

▪ Ada atau tidaknya alat penegak hukum yang tidak pasti

▪ Dibuat oleh masyarakat

▪ Bersifat tidak terlalu memaksa

▪ Sangsinya ringan.
Jika hukum tertulis diformulasikan oleh penguasa atau pemerintah, maka hukum tidak tertulis
dibuat oleh masyarakat. Hukum tidak tertulis atau ongeschreven recht merupakan hukum
kebiasaan yang berlaku sehari-hari di suatu kelompok atau lingkungan tertentu. Di Indonesia,
yang termasuk hukum tidak tertulis adalah hukum adat yang tentu akan berbeda di setiap
wilayah. Hukum tidak tertulis merupakan bentuk hukum tertua sehingga kebiasaan bukanlah
merupakan sumber hukum, tapi merupakan suatu bentuk dari hukum positif. Selain itu, hukum
tidak tertulis merupakan hukum hidup atau berjalan dan tumbuh dalam kehidupan masyarakat
atau adat.

Dalam hukum tidak tertulis, terdapat hukum yang benar-benar tidak tertulis dan ada pula yang
tidak tertulis namun tercatat. Artinya, hukum tersebut dicatat oleh pejabat-pejabat tertentu,
seperti catatan hakim atau kepala adat, atau oleh para sarjana atas dasar penelitian. Ciri dari
hukum tidak tertulis ini biasanya merupakan aturan yang tidak pasti bahkan alat penegak
hukum ini tidak pasti, bisa ada atau tidak. Jenis hukum ini juga tidak bersifat terlalu memaksa,
serta sanksi yang didapat cenderung ringan atau berupa saksi secara tidak langsung dari
masyarakat.

b. Bagaimana analisis Saudara tentang Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.

Jawab :

Menurut analisis saya tentang Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman adalah Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan dan
kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut,
terutama antara aspek kepastian hukum dan keadilan biasanya saling bertentangan. Selain itu,
putusan hakim selayaknya mengandung beberapa aspek. Pertama, putusan hakim merupakan
gambaran proses kehidupan sosial sebagai bagian dari proses kontrol sosial. Kedua, putusan
hakim merupakan penjelmaan dari hukum yang berlaku dan pada intinya berguna untuk setiap
orang maupun kelompok dan juga Negara. Ketiga, putusan hakim merupakan gambaran
keseimbangan antara ketentuan hukum dengan kenyataan di lapangan. Keempat, putusan
hakim merupakan gambaran kesadaran yang ideal antara hukum dan perubahan sosial. Kelima,
putusan hakim harus bermanfaat bagi setiap orang yang berperkara Keenam, putusan hakim
merupakan tidak menimbulkan konflik baru bagi para pihak yang berperkara dan masyarakat.

Dalam hal memutus perkara, hakim harus merujuk pada undang-undang yang berlaku. Tetapi,
dalam konteks Indonesia hakim bukanlah corong undang-undang. Hakim adalah corong
kepatutan, keadilan, kepentingan umum, dan ketertiban umum. Dalam konteks inilah, rumusan
keharusan hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat harus diperhatikan.
Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan ketentuan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dimaksudkan
agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Selain itu, undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum. Kebiasaan dalam masyarakat
juga merupakan sumber hukum. Dengan demikian, hakim bisa menggunakan kebiasaan
sebagai rujukan. Meskipun Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengharuskan hakim
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tak selamanya hakim tunduk pada
keharusan itu. Bahkan, kadangkala hakim dapat menabrak nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat untuk tujuan memberikan keadilan. Misalnya, putusan MA No. 1048K/Pdt/2012
yang menegaskan hukum adat setempat yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan
laki-laki tidak bisa dipertahankan lagi.

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 Pasal 27 ayat (1) menyebutkan,
hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, Rumusan ini tidak mengalami perubahan dalam
UU No. 35 Tahun 1999. Begitu juga pada Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan :

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa
pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang
hidup di kalangan rakyat. Untuk itu, hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk
mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Sehingga hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan
rasa keadilan masyarakat.
3. Aliran postivisme hukum sangat mengagungkan hukum yang tertulis dan menganggap
bahwa tidak ada norma hukum di luar hukum positif.

Pertanyaan :

Bagaimana analisis Saudara tentang penerapan aliran Positivisme Hukum di Indonesia


beserta ciri-cirinya.

Jawab :

Menurut analisis saya tentang penerapan aliran Positivisme Hukum di Indonesia beserta ciri-
cirinya adalah Positivisme Hukum di Indonesia sebenarnya telah berubah dari wujud aslinya,
dimana pembangunan dan pembentukan hukum di Indonesia berlansung dibawah konsep
negara hukum yang berlandaskan Pancasila. Dengan UUD 1945 sebagai dasar negara yang
didalamnya termuat cita negara hukum Pancasila, maka dengan sendirinya Positivisme hukum
di Indonesia adalah positivism hukum yang tidak memandang hukum sebagai perintah
penguasa berdaulat atau hukum dipisahkan dari moral dan agama.

Corak negara hukum Indonesia itu tentulah sekaligus menjadi karakter dari positivisme hukum
Indonesia. Pada tahap ini perlu menjadi pemikiran mendalam, apakah benar positivisme hukum
Indonesia sudah saatnya ditinggalkan dan beralih paradigm hukum baru ke teori hukum
progresif. Atas dasar ini pengalaman Amerika misalnya , ketiga hukum tidak mampu
menyelesaikan masalah masyarakatnya sehingga memerlukan paradigma hukum baru. Namun
apa yang terjadi di Amerika belum tentu menjadi otomatis di Indonesia , jika dalam kenyataan
di Indonesia banyak konflik yang belum terselesaikan, namun akar masalahnya belum tentu
sebagai ketidak-berdayaan hukum. Dalam hal ini benar adanya, bahwa kosmologi Indonesia
dalam penyelesaian konflik berbeda dengan kosmologi bangsa Amerika yang serba “lawyer
centered” . Indonesia memiliki versi rule of law yang berbasis pada kumunalisme dan memiliki
nilai-nilai seperti kekeluargaan, musyawarah, gotong royong. Tradisi positivisme hukum
Indonesia sepertinya sudah hidup dalam nuansa kosmologi Indonesia yang demikian, sehingga
persoalannya bagaimana menguatkan posotivisme hukum tersebut dalam tahap aksiologi-nya.
Pada tahap aksiologi inilah sebenarnya positivisme hukum di Indonesia berkembang dalam
ranah yang cenderung inkonsisten.

Kosmologi bangsa Indonesia yang tidak hidup dalam tradisi “lawyer centered”, sepertinya akan
menjadi masalah yang berkepanjangan, sekalipun teori positivisme hukum diganti dengan teori
hukum progresif sekalipun. Bisa dibayangkan bagaimana rumitnya apabila hukum selalu
dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri. Dengan demikian,
positivisme hukum yang diterapkan di Indonesia yang tumbuh di bawah konsepsi hukum tool
social of engineering sesungguhnya sudah memberikan jawaban bagi hukum sebagai
penyelesai konflik atau pemasalahan yang dihadapi masyarakat. Jika demikian halnya, maka
persoalan postivisme hukum di Indonesia adalah belum didukung suatu tradisi pembentukan
hukum yang memadai. Terlalu banyak atau acap kali pembentukan hukum positif di Indonesia
dibentuk atas kepentingan sesaat dan temporer, pembentukan hukum Indonesia lebih
cenderung dibangun di atas kepentingan-kepentingan politik dan asing. Bahkan tidak sedikit
hukum Indonesia dibentuk dengan tidak sempurna dan mengandung sejumlah kekurangan dan
kelemahan juridis dan sebagainya. Pembentukan-pembentukan hukum positif yang demikian
tentu secara tidak lansung akan berpengaruh pada penegakkannya, dimana penegakkan hukum
seperti hakim dan Jaksa pada ketiadaan ukuran yang jelas dalam menerapkan peraturan
perundang-undangan. Inilah yang kemudian dipahami sebagai hukum jauh dari rasa keadilan
masyarakat dan disisi lain hukum tampak tidak berkepastian.

Atas dasar pemikiran yang demikian itu, Soekanto dengan tegas mengatakan bahwa pemisahan
secara ketat antara segi normatif dengan segi perilaku dari gejala kemasyarakatan akan
menyesatkan, sebab akan terjadi dikotomi antara pendekatan yuridis dengan pendekatan
sosiologis terhadap hukum. Hal ini tidak perlu terjadi apabila disadari bahwa kedua segi
tersebut merupakan bagian dari kesatuan. Jadi, persoalan pokoknya bukanlah kembali pada
segi normatifnya, namun bagaimana menyerasikan kedua segi tersebut sekaligus dengan
sekalian pendekatan-pendekatannya.

Bagaimanapun juga, ternyata pendekatan holistik sebagaimana ditawarkan oleh hukum


progresif bukan berarti mengecilkan arti peraturan tertulis sebagai salah satu bentuk kepastian
hukum. Hal ini memberikan keyakinan kepada kita, bahwa masalah positivisme hukum di
Indonesia bukanlah masalah positivisme hukum itu sendiri, melainkan adalah berkaitan dengan
perlakuan dan prilaku yang berkembang terhadap positivisme hukum itu sendiri.
4. Pada Bidang hubungan industrial ketenegakerjaan (Hukum Ketenagakerjaan) dikenal
dengan adanya pekerja outsourcing.

Pertanyaan :

Berikanlah analisis Saudara mengenai perbedaan pengaturan pekerja outsourcing di


dalam UU Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja (Omnibuslaw).

Jawab :

Menurut analisis saya mengenai perbedaan pengaturan pekerja outsourcing di dalam UU


Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja (Omnibuslaw) adalah UU Cipta Kerja mengubah
istilah outsourcing dari penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
menjadi alih daya. Dalam UU Cipta Kerja, tidak ada lagi batasan terhadap jenis pekerjaan yang
bisa di-outsourcing. UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengubah sebagian ketentuan
UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, salah satunya terkait ketentuan outsourcing.
Selama ini outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan diartikan sebagai penyerahan sebagian
pekerjaan kepada perusahaan lain. Penyerahan sebagian pekerjaan itu dilakukan melalui 2
mekanisme yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.

Tapi, UU Cipta Kerja mengubah ketentuan outsourcing dengan menghapus Pasal 64 dan Pasal
65 serta mengubah Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Outsourcing dalam UU Cipta Kerja dikenal
dengan istilah alih daya. PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih
Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK)
menyebutkan perusahaan alih daya adalah badan usaha berbentuk badan hukum yang
memenuhi syarat untuk melaksanakan pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian yang
disepakati dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

Kasubdit Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kementerian Ketenagakerjaan,


Reytman Aruan, menerangkan UU Cipta Kerja mengatur hak dan kewajiban perusahaan alih
daya dengan pekerjanya. Intinya, perusahaan alih daya bertanggung jawab penuh terhadap
semua yang timbul akibat hubungan kerja.

Pelindungan buruh, upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang muncul
dilaksanakan sesuai peraturan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya. Berbagai hal
itu diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Selain
itu, hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan buruh yang dipekerjakan didasarkan
pada PKWT atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). PKWT atau PKWTT ini
harus dibuat secara tertulis, tidak boleh lisan.
Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan buruh berdasarkan PKWT, perjanjian kerja
itu harus mencantumkan syarat pengalihan pelindungan hak-hak bagi buruh ketika terjadi
pergantian perusahaan alih daya sepanjang obyek pekerjaannya tetap ada. Hal ini sesuai dengan
amanat putusan MK No.27/PUU-IX/2011 terkait uji materi terhadap Pasal 59, Pasal 64, Pasal
65, dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.

Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan mengatur batasan jenis kegiatan yang dapat


dikerjakan oleh buruh outsourcing. Misalnya, tidak boleh melaksanakan kegiatan pokok atau
berhubungan langsung dengan proses produksi; buruh outsourcing hanya mengerjakan
kegiatan penunjang atau tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Tapi, dalam UU
Cipta Kerja menghapus batasan tersebut.

perusahaan alih daya dapat mengerjakan jenis pekerjaan apapun yang diberikan perusahaan
pemberi pekerjaan (pengguna jasa perusahaan alih daya, red). (Saat ini, red) Tidak ada batasan
jenis pekerjaan yang boleh diberikan kepada perusahaan alih daya.

UU Cipta Kerja menghapus perbedaan pengaturan mengenai perjanjian pemborongan atau


penyedia jasa pekerja. Pelindungan buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.

Yang penting buruh yang diperjakan berdasarkan PKWT, dalam perjanjian kerja itu harus
mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi buruh bila terjadi pergantian perusahaan
alih daya dan sepanjang obyek pekerjannya tetap ada.

Mengingat ketentuan tentang perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyedia jasa pekerja
dalam UU Ketenagakerjaan sudah dihapus UU Cipta Kerja, peraturan perundang-undangan
yang masih memuat ketentuan tersebut semestinya tidak berlaku. UU Cipta Kerja juga
menghapus ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang memungkinkan buruh outsourcing
beralih hubungan kerjanya ke perusahaan pemberi pekerjaan (menjadi pekerja tetap/PKWTT)
jika syarat pelaksanaan outsourcing tidak terpenuhi.

Sekarang tidak ada lagi pembatasan kegiatan usaha utama dan penunjang. Pekerja alih daya
bisa dilibatkan untuk pekerjaan inti (utama) atau produksi perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai