Anda di halaman 1dari 9

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2022/23.1 (2022.2)

Nama Mahasiswa : ARIF RAHMAN HAKIM

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 041023619

Tanggal Lahir : 18 JUNI 1987

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4204 / HUKUM ADAT

Kode/Nama Program Studi : 311 / ILMU HUKUM

Kode/Nama UPBJJ : 78 / MATARAM

Hari/Tanggal UAS THE : SABTU / 24 DESEMBER 2022

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN


RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : ARIF RAHMAN HAKIM


NIM : 041023619
Kode/Nama Mata Kuliah : 311 / HUKUM ADAT
Fakultas : FHISIP
Program Studi : 311 / ILMU HUKUM
UPBJJ-UT : 78 / MATARAN

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran atas
pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Praya, 24 Desember 2022

Yang Membuat Pernyataan

ARIF RAHMAN HAKIM


NIM 041023619
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

a. Silakan anda analisis mengenai proses terbentuknya hukum adat sehingga hukum adat dapat diakui
sebagai sumber hukum!

Menurut analisis saya, secara garis besar, hukum adat adalah hukum kebiasaan yang artinya aturan dibuat
dari tingkah laku masyarakat yang tumbuh dan berkembang sehingga menjadi sebuah hukum yang ditaati
secara tidak tertulis.
Hukum adat diakui oleh negara sebagai hukum yang sah. Setelah Indonesia merdeka, dibuatlah beberapa

aturan yang dimuat dalam UUD 1945, salah satunya mengenai hukum adat.
Seperti salah satu dasar hukum berikut ini, yaitu pasal 18B ayat 2 UUD Tahun 1945:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”
Sedangkan menurut para pakar hukum, pengertian hukum adat adalah

1. Menurut Prof. Mr. B. Terhaar Bzn


“Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala
adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal dengan teori “Keputusan” artinya bahwa

untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap
penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan
putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.”

2. Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven:


Profesor luar negeri ini menyampaikan teorinya, bahwa: “Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah
laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.”

3. Menurut Dr. Sukanto, S.H.


Ahli ini menyatakan bahwa “Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan,
tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum”

Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa secara umum hukum adat adalah hukum tidak terrtulis. Kendati
demikian, masyarakat adat tetap meyakini bahwa ada hukum yang mengikat pada lingkungannya sehingga
harus ditaati dan akan mendapatkan sanksi apabila dilanggar.
Menurut Van Vollenhoven dalam bukunya Adatrecht, jilid 2, halaman 398 menulis : bahwa dalam
pembentukan hukum adat ini tidak perlu menggunakan teori, melainkan dapat di teliti lansung dalam
kenyataan seperti :
• Tindakkan dan tingkah laku
• Ketertiban-ketertiban
• Ada kepentingan-kepentingan dalam masyarakat
• Hubungan yang harmonis (kosmis)
• Mengutamakan sangsi
• Lingkungan wilayah

Penjelasan:
Proses Pembentukan Hukum Adat adalah proses bagaiman bisa muncul dan berkembang sebuah praturan
yang di anut oleh sekelompok masyarakat yang kebanyakan hukum tersebut tidak tertulis namun masyarakat
tersebut bisa tunduk dan patuh terhadap peraturan tersebut. Hukum adat juga lahir dan dipelihara oleh
putusan-putusan para warga masyarakat hukum terutama keputusan kepala rakyat yang membantu
pelaksanaan perbuatan hukum itu atau dalam hal bertentangan keperntingan dan keputusan para hakim
mengadili sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, senafas, seirama, dengan
kesadaran tersebut diterima atau ditoleransi.

b. Silakan anda analisis, apakah hukum adat dapat memenuhi unsur dalam cita hukum!
Jawab :
Menurut analisis saya, hukum adat dapat memenuhi unsur dalam cita hukum karena Hukum adat adalah
aturan tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat suatu daerah dan akan tetap hidup selama
masyarakatnya masih memenuhi hukum adat yang telah diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang
sebelum mereka. Oleh karena itu, keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional
tidak dapat dipungkiri walaupun hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas adalah hukum yang
tidak sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam masyarakat.
Hukum Adat adalah hukum yang benarbenar hidup dalam kesadaran hati nurani warga masyarakat yang
tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat-istiadatnya dan pola sosial budayanya yang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Era sekarang memang dapat disebut sebagai era
kebangkitan masyarakat adat yang ditandai dengan lahirnya berbagai kebijaksanaan maupun keputusan.
Namun yang tak kalah penting adalah perlu pengkajian dan pengembangan lebih jauh dengan implikasinya
dalam penyusunan hukum nasional dan upaya penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.
2. Pertanyaan :
a. Menurut analisis Anda, apakah dalam hukum waris adat mengenal legitime portie?
Jawab :
Menurut analisis saya, Hukum waris adat tidak mengenal adanya legitieme portie (bagian mutlak) seperti
yang diatur dalam BW dan seperti batasan yang ada dalam hukum waris islam yaitu bagiannya 1/3 (satu per
tiga) dari harta kekayaan pewaris. Esensi dari hukum waris adat adalah merupakan proses penerusan,
peralihan/pengoperan harta.
Hukum waris adat tidak mengenal azas “legitieme portie” atau bagian mutlak sebagaimana hukum waris
barat dimana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan
sebagaimana diatur dalam pasal 913 BW.

b. Menurut analisis Anda, bagaimana perlindungan hukum hak waris anak angkat menurut hukum
adat Sasak?
Jawab :
Menurut analisis saya, bahwa hak mewaris anak angkat di dalam pewarisan menurut hukum adat Sasak
adalah sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Keadaan ini tidak berubah apabila setelah diadakan
pengangkatan anak dilahirkan anak kandung.
Dalam hukum Adat Sasak perlindungan hak waris anak angkat apabila pewaris meninggal dunia tanpa
meninggalkan wasiat apapun, maka pembagian harta warisan untuk para ahli waris dan anak angkatnya
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku.

3. Pertanyaan :
a. Menurut analisis Anda, apa maksud dari perbedaan kewenangan dan kewajiban dalam bidang
hukum perdata dan kewenangan dan kewajiban dalam hukum publik?
Jawab :
Menurut analisis saya, maksud dari perbedaan kewenangan dan kewajiban dalam bidang hukum perdata dan
kewenangan dan kewajiban dalam hukum publik adalah pembedaan pengaturan ranah hukum untuk tiap-tiap
Tindakan Pemerintah ini juga berpengaruh kepada kompetensi Peradilan untuk mengadili gugatan terhadap
Tindakan-Tindakan Pemerintah. Apabila tindakan itu lebih condong kepada karakter atau sifat hukum
keperdataan maka ia akan menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum. Sedangkan apabila tindakan itu
lebih condong kepada karakter atau sifat hukum administrasi maka ia akan menjadi kompetensi absolut
Peradilan Tata Usaha Negara.
b. Menurut analisis Anda, apakah hak dalam tanah ulayat di Provinsi Sumatera Barat dapat
diberikan kepastian hukum?
Jawab :
Menurut analisis saya, Kepastian hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang tanah ulayat telah ada baik di Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah. Antara
peraturan satu dengan yang lain masih menganggap tanah ulayat terutama di Sumatera Barat merupakan
obyek investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi wilayah Sumatera Barat. Eksistensi tanah
ulayat di Sumatera Barat makin diragukan untuk masa yang akan datang, dan akan hilang secara perlahan-
lahan atas nama investasi.

4. Pertanyaan :
a. Menurut analisis saudara, apakah penyelesaian perkara pidana dapat diselesaikan melalui hukum
adat dan kaitkan dengan pendekatan konsep restorative justice?
Jawab :
Menurut analisis saya, penyelesaian perkara pidana dapat diselesaikan melalui hukum adat karena Hukum
pidana adat diakui sebagai sumber hukum dalam memutus perkara pidana oleh hakim. Di samping itu,
lembaga adat yang menjatuhkan pidana adat itu diakui dalam sistem peradilan Indonesia sehingga bila sebuah
kasus selesai di lembaga adat, maka kasus itu sudah dianggap selesai. Penyelesaian perkara pidana melalui
hukum adat merupakan proses penyelesaian perkara diluar peradilan yang terdiri dari dari pertama, sistem
mediasi dengan pendekatan konsensus melalui musyawarah. Semua tindak pidana dapat dilakukan restorative
justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia.

b. Menurut analisis saudara, apakah proses penyelesaian sengketa secara adat di tingkat desa (Gampong) di
Aceh telah memberikan kepastian hukum?
Jawab :
Menurut analisis saya, proses penyelesaian sengketa secara adat di tingkat desa (Gampong) di Aceh telah
memberikan kepastian hukum berdasarkan dalam Peraturan Perundang-Undangan, gampong sebagai entitas
adat diberikan kewenangan dalam penyelesaian sengketa dan perselisihan yang terjadi wilayah gampong
masing-masing. Namun, kewenangan tersebut dibatasi dalam 18 hal. Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 9
Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Istiadat Gampong, ada 18 jenis sengketa/perselisihan
yang dapat diselesaikan secara adat, yang meliputi:
1. Perselisihan dalam rumah tangga;
2. Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
3. Perselisihan antar warga;
4. Khalwat meusum;
5. Perselisihan tentang hak milik;
6. Pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
7. Perselisihan harta sehareukat;
8. Pencurian ringan;
9. Pencurian ternak peliharaan;
10. Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
11. Persengketaan di laut;
12. Persengketaan di pasar;
13. Penganiayaan ringan;
14. Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
15. Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
16. Pencemaran lingkungan (skala ringan);
17. Ancam-mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
18. Perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.
ULASAN:
Gampong sebagai struktur pemerintahan yang paling rendah telah diberikan otonomi dalam melaksanakan
roda pemerintahannya. Tidak hanya kekuasaan di bidang eksekutif gampong, tapi juga dalam menjalankan
kekuasaan di bidang yudikatif, misalnya melaksanakan Peradilan Adat dalam menyelesaikan sengketa atau
perselisihan yang terjadi di gampong.
Kewenangan ini bersifat absolut. Lembaga hukum seperti kepolisian (Perkara Pidana) tidak bisa
menindaklanjuti perkara yang di dalamnya diatur kewenangan gampong dalam mekanisme peyelesaiannya.
Meskipun demikian, keputusan gampong ini tidak bersifat akhir dan mengikat (final and binding). Para Pihak
tetap bisa melakukan upaya hukum lain untuk mencari keadilan dan kepastian hukum apabila tidak sepakat
dengan keputusan Peradilan Adat.
Kewenangan yang bersifat atributif (kewenangan berdasarkan Undang-Undang), selain menguatkan
eksistensi gampong sebagai komunitas masyarakat adat, di lain sisi, juga membantu penegak hukum dalam
meyelesaikan persoalan hukum masyarakat. Karena sumber daya penegak hukum yang terbatas dan
masyarakat yang kesulitan mengakses lembaga hukum, berimbas pada lambatnya penyelesaian perkara.
Para pencari keadilan juga belum sepenuhnya puas atas putusan lembaga hukum formal. Hal ini ini berbeda
dengan penyelesaian perkara di tingkat gampong, di mana para pihak bisa sangat mudah dan bebas
melakukan pembuktian. Mekanisme peradilan adat memakai prinsip musyawarah untuk perdamaian, berbeda
dengan lembaga peradilan yang dibatasi oleh aturan formil.
Peradilan Adat ini sesusai dengan azas pengadilan sederhana dan cepat, di mana nilai partispatif
menjadi spirit dalam penyelesaian sengketa.
Keuchik dan aparatur gampong lainnya harus mampu mengakomodir semua kepentingan para pihak dan
menerapkan prinsip win-win solution dalam pengambilan keputusan.
Mekanisme yang digunakan sangat mudah. Dari tahapan menerima laporan, musyawarah, dan pengambilan
putusan, diatur dengan sangat sederhana dan cepat.
Dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penyelesaian
Sengketa/Perselisihan Adat dan Istiada Proses penyelesaian sengketa dibagi menjadi 12 bagian:
1. Penerimaan laporan/ pengaduan;
2. Perlindungan para pihak;
3. Koordinasi dan gelar perkara (pernbahasan perkara) di tingkat perangkat Gampong atau nama lain;
4. Pemanggilan pelapor, korban dan pelaku serta penelusuran duduk perkara;
5. Pemeriksaan para pihak, saksi-saksi dan barang bukti serta tempat kejadian;
6. Penentuan keputusan penyelesaian kasus;
7. Mediasi dan lobi para pihak;
8. Sidang adat dan rapat pengambilan keputusan;
9. Penyampaian atau pengumuman keputusan;
10. Penandatanganan lembar berita acara penyelesaian peradilan adat (oleh para pihak, para saksi, anggota
majelis peradilan adat);
11. Pelaksanaan putusan dan pemulihan; dan
12. Pengajuan ke tingkat mukim atau ke polisi.
Waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian suatu sengketa atau perselisiahan tidak lebih dari 9 hari.
Apabila dalam batas waktu yang sudah ditentukan keuchik sebagai kepala gampong tidak menindak lanjuti
perkara, maka para pihak berperkara diperbolehkan untuk memempuh jalur hukum formal.
Keputusan Bersama Gubernur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Ketua Majelis Adat Aceh Nomor:
189/677 / 2011, 1054/MAA/X11/2011, B/ 121/1/2012 tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong
dan Mukim atau Nama Lain di Aceh dalam salah satu putusannya menyebutkan, “Penyelenggaraan Peradilan
Adat Gampong dan Mukim atau Nama Lain di Aceh dalam memberikan putusan dilarang menjatuhkan
sanksi badan, seperti pidana penjara, memandikan dengan air yang kotor, mencukur rambut,
menggunting pakaian dan bentuk-bentuk lain yang bertentangan dengan nilai-nilai yang Islami”.
Hal ini menjadi penting dan sebagai bentuk penegasan bahwa persekusi tidak diperbolehkan dalam
penanganan suatu perkara.
Persekusi, selain bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, juga bertentangan dengan nilai-nilai agama
dan adat-istiadat, karena memberikan stigma atau vonis apalagi melakukan pengeroyokan kepada pelaku
sebelum diperiksa dan diputus bersalah. Hal itu merupakan bentuk pelecehan terhadap institusi adat dan
agama.
Sudah saatnya pemerintah kabupaten/kota dan provinsi memberikan perhatian lebih dalam penguatan secara
yuridis kepada perangkat gampong, karena Kewenangan yudikatif gampong akhirnya ditentukan juga oleh
kualiatas SDM yang ada di gampong.

Anda mungkin juga menyukai