Anda di halaman 1dari 12

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.1 (2021.2)

Nama Mahasiswa : I PUTU EKA WISNAWA

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 042296083

Tanggal Lahir : 24 Februari 1993

Kode/Nama Mata Kuliah : ISIP4131/SISTEM HUKUM INDONESIA

Kode/Nama Program Studi : 311/ILMU HUKUM

Kode/Nama UPBJJ : 77/DENPASAR

Hari/Tanggal UAS THE : 28 Desember 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : I PUTU EKA WISNAWA


NIM : 042296083
Kode/Nama Mata Kuliah : ISIP4131/SISTEM HUKUM INDONESIA
Fakultas : FHISIP
Program Studi : 311/ILMU HUKUM
UPBJJ-UT : 77/DENPASAR

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Denpasar, 28 Desember 2021

Yang Membuat Pernyataan

I PUTU EKA WISNAWA


BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

1.1. Hukum Adat adalah seluruh peraturan, yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan, dan yang dalam
pelaksanaan diterapkan serta merta dan mengikat, artinya Hukum Adat yang berlaku itu, hanyalah
yang dikenal dari keputusan-keputusan fungsionaris hukum dalam masyarakat itu. Masyarakat
sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya tidak terlepas dari nilai-nilai yang menjadi tolok ukur
pelaksanaan sebuah kegiatan dalam kelompok masyarakat, melalui aturan-aturan yang disepakati
bersama sesuai dengan kondisi lingkungan setempat, melalui nilai perilaku dalam masyarakat dapat
diatur dan akan mendapatkan sanksi ketika aturan tersebut dilanggar. Hukum Adat sebagai hukum
yang berasal dari akar masyarakat Indonesia tidak pernah mengenal kodifikasi, hukum adat lebih
banyak dikenal sebagai hukum tidak tertulis. Hal ini dikarenakan hukum adat diliputi oleh semangat
kekeluargaan, di mana seseorang tunduk dan mengabdi pada aturan masyarakat secara keseluruhan.
Bahwa kepentingan masyarakat lebih diutamakan dari pada kepentingan individu. Jika dibandingkan
dengan hukum barat, jelas perbedaannya. Hukum barat mengutamakan kepentingan individual, di
mana penyelenggaraan hukum berpusat pada individu, sementara hukum adat mengenal individu
sebagai subjek yang bertujuan untuk mengabdi pada kepentingan masyarakat. Dalam perilaku hidup
masyarakat Indonesia dikenal dengan konsep “gotong royong”, merupakan contoh bahwa
kepentingan umum selalu didahulukan dari kepentingan individu. Pada hukum barat tujuan utamanya
adalah menjaga kepentingan perseorangan, kepentingan masyarakat menjadi pertimbangan jika
terjadi pelanggaran atas kepentingan masyarakat. hukum adat berakar pada adat istiadat masyarakat
Indonesia, sebagai cerminan nilai-nilai dasar budaya masyarakat Indonesia, dan hal ini diakui dalam
UUD 1945. Walaupun terdapat berbagai perbedaan pendapat terhadap hal ini, secara umum bahwa
apa yang tertulis dalam UUD 1945 tersebut merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadap
eksistensi hukum adat. Hukum Adat berdasar pada alam pikiran dan budaya bangsa Indonesia yang
berbeda dengan cara berpikir sistem hukum barat. Untuk dapat memahami sistem Hukum Adat harus
memahami cara berpikir masyarakat Indonesia. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya
bahwa sifat hukum adat adalah sederhana, kontan, dan konkret. Menurut Hukum Adat, semua
hubungan-hubungan hukum adalah bersifat konkret atau nyata dapat dilihat dalam jual beli tanah di
mana persetujuan dan penyerahan hak sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah. Selain itu menurut
Snouck Hurgronje, hukum adat pun dijalankan sebagaiman adanya tanpa mengenal bentuk-bentuk
pemisahan. Dengan kata lain, hukum adat diliputi semangat kekeluargaan, individu tunduk dan
mengabdi pada dominasi aturan masyarakat secara keseluruhan. Corak demikian mengindikasikan
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

bahwa kepentingan masyarakat lebih utama daripada kepentingan individu. Dari sudut pandang
sejarah dan budaya,masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agraris dan hingga saat ini
walaupun industrialisasi sudah menjadi tuntutan dari masyarakat di era modernisasi, namun sebagian
besar dari masyarakat Indonesia masih mempertahankan hukum adat sebagai hukum yang berlaku
dalam kehidupan sehari-hari.
1.2. Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan
pemakaian istilah hukum adat. Setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana
dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Tatanan hukum asli yang telah berlaku di
berbagai daerah, yang sekarang dikenal dengan nama Indonesia menunjukkan hukum bersumberkan
pada masyarakat asli, baik berupa keputusan penguasa maupun hukum yang berlaku dalam
lingkungan masyarakat setempat. Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup di dalam
masyarakat adat suatu daerah dan akan tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi hukum
adat yang telah diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang sebelum mereka. Oleh karena itu,
keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional tidak dapat dipungkiri
walaupun hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas adalah hukum yang tidak sah.
Hukum Adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani warga masyarakat
yang tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat-istiadatnya dan pola sosial
budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Van Vollenhoven dalam penelitian
pustakanya pernah menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat asli yang hidup di Indonesia, sejak
ratusan tahun sebelum kedatangan bangsa Belanda, telah memiliki dan hidup dalam tata hukumnya
sendiri. Tata hukum masyarakat asli tersebut dikenal dengan sebutan hukum adat. Hukum adat
sebagai hukum yang berasal dari akar masyarakat Indonesia tidak pernah mengenal kodifikasi.
Kenyataan membuktikan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang pluralis, beserta
dengan keragaman aturan dan pengaturan mengenai berbagai hukum yang ada di dalamnya. Sejak
permulaan kemerdekaan tahun 1945, Bung Karno telah berusaha merumuskan pengakuan hukum
terhadap masyarakat adat. Sebuah terobosan brilian dilakukan oleh perancang Undang-undang Dasar
1945 (UUD 1945) versi sebelum amandemen. Tonggak kedua pengakuan hukum terhadap masyarakat
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

adat dirumuskan 15 tahun kemudian saat Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Undangundang Pokok Agraria (UUPA) diundangkan. UUPA mengakui keberadaan masyarakat hukum
adat dan hak ulayat. Sejak tahun 1998, pengaturan mengenai masyarakat adat dapat ditemui dalam
sejumlah undang-undang, yakni Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah
(Pasal 93 beserta penjelasannya), Undang-undang Nomor 39 tentang Hak-hak Asasi manusia (Pasal 6),
dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Pasal 67). Jejak ketiga undang-undang tersebut
sedang didikuti oleh sejumlah RUU yang sampai saat ini sedang dalam proses penyusunan dan
pembahasan. Lebih nyata lagi dalam UUD 1945 versi amandemen secara tegas mengakui keberadaan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisonalnya.

2.1. Rancangan undang-undang (RUU) kumulatif terbuka adalah RUU di luar program legislasi nasional
(prolegnas), yang dapat diajukan oleh DPR atau presiden dalam keadaan tertentu. Undang-undang
yang dapat dibahas melalui jalur kumulatif terbuka hanya mencakup RUU tentang pengesahan
perjanjian internasional, akibat putusan Mahkamah Konstitusi, tentang anggaran pendapatan dan
belanja negara, tentang pembentukan daerah provinsi dan kabupaten/kota, dan tentang penetapan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang.
2.2. RUU tidak terencana yang masuk melalui RUU Kumulatif, yang dimaksudkan dalam soal 2 adalah RUU
MD3 (undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD), RUU KPK dan RUU Perkawinan. Ketiga RUU
tersebut masuk melalui RUU kumulatif terbuka.

3.1. Faktor yang paling dominan dan berpengaruh dengan timbulnya akibat dalam kasus tersebut dengan
menggunakan:
a. Teori individualisir (Birkmeyer)
Mengadakan pembatasan antara syarat dengan sebab secara pandangan khusus yaitu secara
konkrit mengenai perkara tertentu saja. Caranya mencari sebab adalah setelah akibatnya timbul
(post factum) yaitu dengan mencari keadaan yang nyata (in concreto), dari rangkaian perbuatan-
perbuatan dipilih satu perbuatan yang dapat dianggap sebagai sebab dari akibat. Menurut
Birkmayer dari rangkaian faktor-faktor yang diterima sebagai sebab, maka dicari faktor yang
dipandang paling berpengaruh atas terjadinya akibat yang bersangkutan. Syarat yang harus
dianggap sebagai sebab atas terjadinya akibat adalah syarat yang paling besar pengaruhnya
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

terhadap timbulnya akibat itu. Pada contoh kasus poda soal 3 faktor yang paling dominan dan
berpengaruh dengan timbulnya akibat dalam kasus tersebut sesuai dengan teori individuaisir
adalah kejadian dimana truk box dengan kecepatan tinggi menggilas sepeda bersama dua orang
pengendaranya yang sedang jatuh dijalan. Di sini hal yang khusus diatur menurut pandangan
individual, yaitu hanya ada satu syarat sebagai musabab timbulnya akibat. Dalam tataran praktik
harus dilihat pembuktiannya, diamana pada kasus tersebut dalam pembuktian forensic tentu
akan terbukti kematian memang dari lindasan truck box tersebut atau tidak. Karena kejadian
tersebut yang menyebabkan luka parah pada korban.
b. Teori adequat subjektif (Von Kries)
Sebab dari suatu kejadian adalah tindakan yang dalam keadaan normal dapat menimbulkan
akibat atau kejadian yang dilarang. Keadaan yang normal dimaksud adalah bila pelaku
mengetahui atau seharusnya mengetahui keadaan saat itu, yang memungkinkan timbulnya suatu
akibat. Dalam kasus pada soal ini, menurut menurut saya sopir tentu sudah menyadari bahwa jika
mendahului kendaraan lain dan berhenti tepat didepannya dalam keadaan hujan maka besar
kemungkinan pengendara dibelakang akan menabrak. Dan seadaninya sopir mau sedikit bersabar
dengan tetap berada dibekang pengendara becak dan sepeda sampai titik pemberhentian
tentunya kecelakaan tersebut tidak akan terjadi. Sehinga dapat disimpulkan sesuai dengan teori
adequat subjektif faktor yang paling dominan dan berpengaruh dengan timbulnya akibat dalam
kasus tersebut adalah kejadian dimana sopir mendahului becak dan sepeda tersebut dan seketika
menghentikan kendaraannya itu persis di depan sepeda yang sedang berjalan tersebut sehingga
terjadilah kecelakaan pertama yang menjadi penyebab kecelakaan berikutnya.
3.2. Teori conditio sine qua non dapat dikatakan sebagai dasar dari ajaran kausalitas, karena berbagai teori
yang muncul kemudian merupakan penyempurnaan atau setidaknya masih berkaitan dengan teori
yang dikemukakannya. Teori ini tidak membedakan antara syarat dan sebab yang menjadi inti dari
lahirnya berbagai macam teori dalam kausalitas. Rangkaian syarat yang turut menimbulkan akibat
harus dipandang sama dan tidak dapat dihilangkan dari rangkaian proses terjadinya akibat. Rangkaian
syarat itulah yang memungkinkan terjadinya akibat, karenanya penghapusan satu syarat dari
rangkaian tersebut akan menggoyahkan rangkaian syarat secara keseluruhan sehingga akibat tidak
terjadi. Konsekuensi teori ini adalah bahwa kita dapat merunut tiada henti ke masa lalu. Kelemahan
teori ini adalah tidak membedakan antara faktor syarat dengan faktor penyebab, yang dapat
menimbulkan ketidakadilan, yang pada akhirnya dapat bertentangan dengan asas tiada pidana tanpa
kesalahan. Berbagai faktor yang merupakan dasar dari akibat itu tidak sama. Oleh karena itu lebih
mudah jika dicari syarat-syarat yang terpenting. Dengan tidak adanya pembedaan antara syarat dan
sebab maka teori Von Buri hanya benar secara teoritis. Teori conditio sine qua non tidaklah sesuai
dengan praktek, karena dalam pergaulan masyarakat justru diadakan pembedaan antara syarat dan
musabab. Dapat dikatakan, bahwa apa yang dipandang sebagai sebab oleh teori conditio sine qua non
itu untuk praktek terlampau luas.

4.1. Alat bukti dapat berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat atau tulisan, petunjuk, keterangan
para pihak dan data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca atau didengar. Sedangkan barang bukti
ini berupa barang yang digunakan untuk melakukan, membantu tindakan pelanggaran etika. Dalam
kasus pada soal 4 alat bukti dan barang bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan
KORAN dan AMAN yakni:
a. Alat bukti
• Surat keterangan hasil visum
• Keterangan saksi
b. Barang bukti
• 1 buah Balok kayu
• 1 buah Laptop merk acer
• 1 buah handphone merk samsung
4.2. Istilah Dalam pasal 183 KUHAP dijelaskan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah
melakukannya”. Berkaitan dengan pemenuhan minimal dua alat bukti, hukum positif tidak
memberikan kewajiban salah satu alat bukti yang digunakan harus merupakan keterangan saksi.
Sepanjang Hakim telah mendapatkan keyakinan bahwa benar terjadi suatu tindak pidana dan
terdakwa yang bersalah disertai dengan minimal dua alat bukti, dimana pada kasus pada soal 4
sudah memenuhi minimal dua alat bukti tersebut. Kendati Pasal 185 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 185
ayat (3) KUHAP menyatakan:
a. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah
terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
b. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu
alat bukti yang sah lainnya.
Dapat dipahami bahwa keterangan satu orang saksi jika disertai dengan suatu alat bukti yang sah
lainnya sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan, ketentuan tersebut tidak dapat diartikan setidak-tidaknya harus ada satu orang saksi
untuk memenuhi minimal dua alat bukti dalam Pasal 183 KUHAP. Karena Pasal 185 di atas
merupakan penegasan minimal dua alat bukti. Sehingga dapat disimpulkan kekuatan pembuktian
keterangan saksi tidak berpengaruh untuk membuktikan kesalahan KORAN dan AMAN.

Anda mungkin juga menyukai