Anda di halaman 1dari 9

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2022/23.1 (2022.2)

Nama Mahasiswa : INTAN KUSUMA WARDANI


Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 043862247

Tanggal Lahir : 05 FEBRUARI 1995

Kode/Nama Mata Kuliah : ISIP4130/Pengantar Ilmu Hukum

Kode/NamaProgram Studi : 50/ S1 ILMU ADMINISTRASI NEGARA

Kode/Nama UPBJJ : 71/ SURABAYA

Hari/Tanggal UAS THE : SABTU/24 DESEMBER 2022

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN


RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : INTAN KUSUMA WARDANI


NIM : 04382247
Kode/Nama Mata Kuliah : ISIP4130/Pengantar Ilmu Hukum
Fakultas : Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi : 50/ S1 ILMU ADMINISTRASI NEGARA
UPBJJ-UT : 71/ SURABAYA

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.

Ponorogo, 27 Desember 2022

Yang Membuat Pernyataan

Intan Kusuma Wardani


BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

1. Pertanyaan : Bagaimana analisis saudara terhadap RKUHP ini bila dikaitkan dengan Tujuan
Hukum menurut Lili Rasjidi.
Jawab :
1. Menurut pandangan saya pribadi tujuan hukum secara luas adalah untuk mencapai ketertiban
dalam masyarakat. Ketertiban yang merupakan tujuan tradisional hukum harus didahulukan
karena tujuan lain akan bisa terpenuhi jika ketertiban telah terwujud sempurna.Mewujudkan
ketertiban, harus ada kepastian hubungan antar individu yang dinyatakan dengan norma
hukum. Menurut Lili, sebelum mewujudkan ketertiban, harus ada kepastian hubungan antar
individu yang dinyatakan dengan norma hukum. Salah satu fungsi hukum yang paling penting
adalah untuk menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi dalam masyarakat. Selain itu, hukum
juga berfungsi untuk mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik atau
positif. Menurut analisis saya terhadap RKUHP ini bila dikaitkan dengan Tujuan Hukum
menurut Lili Rasjid berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik
kesimpulannya adalah tidak dapat dipungkiri bahwa faktor kemiskinan adalah menjadi faktor
yang dominan menyebabkan munculnya gelandangan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Secara umum dalam hukum positif Indonesia.
Kegiatan pergelandangan dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana pelanggaran
(overtredingen) di bidang ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 505
KUHP. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas DPR
memuat pasal soal gelandangan yang bisa dipidana menjelaskan, pasal ini harus dilihat dengan
perspektif lain, yakni bahwa negara harus bertanggung jawab melindungi warganya agar tidak
jadi gelandangan dengan pemerintah memberi insentif terhadap gelandangan tersebut. Pasal
432 RKUHP ini disusun terkait bagaimana menjaga ketertiban umum. Aturan mengenai
pemidanaan terhadap gelandangan tersebut dalam Pasal 432 RKUHP diketahui bertentangan
dengan Pancasila serta UUD 1945. Dalam hal ini, gelandangan yang dipidana bukanlah
tindakan bijak dari pemerintah yang dapat mencerminkan ketidakadilan terhadap warga
negaranya. Tetapi, sudah menjadi tugas pemerintah menerapkan aturan mengenai
gelandangan tetapi tidak dengan jalan dipidana melainkan dengan jalan diarahkan dan dibina.
Karena gelandangan itu sendiri merupakan bentuk dari gagalnya pemerintah dalam
menjalankan amanat UUD 1945.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Secara substansi, ketentuan hukum pidana bagi gelandangan tetap diperlukan dalam rangka
menanggulangi permasalahan gelandangan di Indonesia. Faktanya,dengan adanya ketentuan
sanksi pidana tersebut belum sesuai dengan fungsi hukum sebagai sarana untuk mengarahkan
dan membina masyarakat ( law as atool of social engineering ).
Ketentuan Pasal 432 RKUHP tersebut bertujuan agar dapat mempengaruhi pola perilaku
masyarakat dan membuat masyarakat itu tidak memilih untuk melakukan kegiatan sebagai
gelandangan. Diperlukan peran pemerintah yang bersungguh - sungguh dalam mengatasi
masalah kemiskinan. Karena kemiskinan adalah masalah yang banyak serta mendominasi di
Indonesia sebab pemerintah kurang mempperhatikan permasalahan tersebut. Hal yang
dilakukan adalah sebaiknya pemerintah melakukan peninjauan kembali mengenai pemidanaan
terhadap gelandangan yang diatur dalam Pasal 505 KUHP, dimana penerapan aturan tersebut
dalam faktanya tidak efektif dan jumlah gelandangan di Indonesia terutama di kota-kota besar
di Indonesia terbilang masih banyak. Begitu juga dengan Pasal 432 RKUHP karena pada
dasarnya“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Dasarnya aturan
tersebut belum mencerminkan keadilan dan bertentangan dengan landasan filosofis Negara
Republik Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945 dimana dampaknya dapat menimbulkan
kriminalisasi bagi masyarakat miskin, seperti pengamen dan disabilitas terlantar

2. Hukum senantiasa mengalami perkembangan, tidak hanya dalam isinya, melainkan juga dalam bertambahnya
jenis-jenis yang ada. Perubahan, perkembangan dan pertumbuhan tersebut pada gilirannya menyebabkan, bahwa
sistematik dan penggolongan hukum itu harus ditata kembali agar susunan rasional dari hukum itu tetap
terpelihara. Prof Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa apabila kita ingin membuat suatu penggolongan besar,
maka kita bisa melakukannya dalam bentuk hukum tertulis di satu pihak dan hukum tidak tertulis di lain pihak.
a. Bagaimana analisis Saudara mengenai keberlakuan Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis di
Indonesia.
b. Bagaimana analisis Saudara tentang Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Jawab :
a) Pemberlakuan hukum tertulis dan tidak tertulis di Indonesia
Hukum tertulis : Hukum yang dicantumkan pada berbagai perundangan, hukum tertulis
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
aturannya pasti, mengikat semua orang, bersifat memaksa, sanksinya berat. contohnya
KUHP,KUHPt, KUHPD.
Hukum perdata tertulis dalam KUH Perdata, hukum pidana dituliskan dalam KUHPidana.
Hukum tertulis yang dikodifikasikan maksudnya yaitu hukum tata Negara yang sudah
dubukukan pada lembaran Negara dan sudah diumumkan/ di undangkan. Jika hukum
tersebut dikodifikasikan maka kelebihannya yaitu adanya kepastian hukum,
adanya kekuasaan hukum dan adanya penyederhanaan hukum. Sedangkan
Kekurangannya yaitu bergeraknya hukum menjadi lambat tidak mampu dengan cepat
mengikuti hal-hal yang terus bergerak maju. Untuk Hukum yang tidak dikodifikasi
sebaliknya.
Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan) : Hukum yang masih hidup dalam keyakinan
masyarakat, tapi tidak tertulis, namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan
perundangan. Hukum tidak tertulis aturannya terkadang tidak tertulis dan tidak pasti,
aturannyandibuat oleh masyarakat, berseifat tidak terlalu memaksa, sanksinya berupa
sanksi sosial.
Dalam hukum tidak tertulis, terdapat hukum yang benar-benar tidak tertulis dan ada pula
yang tidak tertulis namun tercatat. Artinya, hukum tersebut dicatat oleh pejabat-pejabat
tertentu, seperti catatan hakim atau kepala adat, atau oleh para sarjana atas dasar
penelitian. Ciri dari hukum tidak tertulis ini biasanya merupakan aturan yang tidak pasti
bahkan alat penegak hukum ini tidak pasti, bisa ada atau tidak. Jenis hukum ini juga
tidak bersifat terlalu memaksa, serta sanksi yang didapat cenderung ringan atau berupa
saksi secara tidak langsung dari masyarakat.
b) Menurut pandangan saya tentang Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman adalah Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian,
keadilan dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan
ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian hukum dan keadilan biasanya
saling bertentangan. Selain itu, putusan hakim selayaknya mengandung beberapa
aspek. Pertama, putusan hakim merupakan gambaran proses kehidupan sosial sebagai
bagian dari proses kontrol sosial. Kedua, putusan hakim merupakan penjelmaan dari
hukum yang berlaku dan pada intinya berguna untuk setiap orang maupun kelompok dan
juga Negara. Ketiga, putusan hakim merupakan gambaran keseimbangan antara
ketentuan hukum dengan kenyataan di lapangan. Keempat, putusan hakim merupakan
c) BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

d)
gambaran kesadaran yang ideal antara hukum dan perubahan sosial. Kelima, putusan
hakim harus bermanfaat bagi setiap orang yang berperkara Keenam, putusan hakim
merupakan tidak menimbulkan konflik baru bagi para pihak yang berperkara dan
masyarakat. Dalam hal memutus perkara, hakim harus merujuk pada undang-undang
yang berlaku. Tetapi, dalam konteks Indonesia hakim bukanlah corong undang-undang.
Hakim adalah corong kepatutan, keadilan, kepentingan umum, dan ketertiban umum.
Dalam konteks inilah, rumusan keharusan hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat harus diperhatikan. Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan ketentuan memperhatikan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum
dan rasa keadilan masyarakat.
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 Pasal 27 ayat (1)
menyebutkan, hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, Rumusan ini tidak
mengalami perubahan dalam UU No. 35 Tahun 1999. Begitu juga pada Undang-Undang
No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan :
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
3. Bagaimana analisis Saudara tentang penerapan aliran Positivisme Hukum di Indonesia beserta ciri-cirinya.
Jawab :
Menurut analisis saya tentang penerapan aliran Positivisme Hukum di Indonesia beserta ciri-
cirinya adalah Positivisme Hukum di Indonesia sebenarnya telah berubah dari wujud aslinya,
dimana pembangunan dan pembentukan hukum di Indonesia berlansung dibawah konsep
negara hukum yang berlandaskan Pancasila. Dengan UUD 1945 sebagai dasar negara yang
didalamnya termuat cita negara hukum Pancasila, maka dengan sendirinya Positivisme hukum
di Indonesia adalah positivism hukum yang tidak memandang hukum sebagai perintah
penguasa berdaulat atau hukum dipisahkan dari moral dan agama. Corak negara hukum
Indonesia itu tentulah sekaligus menjadi karakter dari positivisme hukum Indonesia. Pada tahap
ini perlu menjadi pemikiran mendalam, apakah benar positivisme hukum Indonesia sudah
saatnya ditinggalkan dan beralih paradigma hukum baru ke teori hukum progresif. Indonesia
memiliki versi rule of law yang berbasis pada kumunalisme dan memiliki nilai-nilai seperti
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
kekeluargaan, musyawarah, gotong royong. Tradisi positivisme hukum Indonesia sepertinya
sudah hidup dalam nuansa kosmologi Indonesia yang demikian, sehingga persoalannya
bagaimana menguatkan posotivisme hukum tersebut dalam tahap aksiologi-nya. Pada tahap
aksiologi inilah sebenarnya positivisme hukum di Indonesia berkembang dalam ranah yang
cenderung inkonsisten. Kosmologi bangsa Indonesia yang tidak hidup dalam tradisi “lawyer
centered”, sepertinya akan menjadi masalah yang berkepanjangan, sekalipun teori positivisme
hukum diganti dengan teori hukum progresif sekalipun. Bisa dibayangkan bagaimana rumitnya
apabila hukum selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri.
Dengan demikian, positivisme hukum yang diterapkan di Indonesia yang tumbuh di bawah
konsepsi hukum tool social of engineering sesungguhnya sudah memberikan jawaban bagi
hukum sebagai penyelesai konflik atau pemasalahan yang dihadapi masyarakat. Jika demikian
halnya, maka persoalan postivisme hukum di Indonesia adalah belum didukung suatu tradisi
pembentukan hukum yang memadai. Terlalu banyak atau acap kali pembentukan hukum positif
di Indonesia dibentuk atas kepentingan sesaat dan temporer, pembentukan hukum Indonesia
lebih cenderung dibangun di atas kepentingan-kepentingan politik dan asing. Bahkan tidak
sedikit hukum Indonesia dibentuk dengan tidak sempurna dan mengandung sejumlah
kekurangan dan kelemahan juridis dan sebagainya. Pembentukan-pembentukan hukum positif
yang demikian tentu secara tidak lansung akan berpengaruh pada penegakkannya, dimana
penegakkan hukum seperti hakim dan Jaksa pada ketiadaan ukuran yang jelas dalam
menerapkan peraturan perundang-undangan. Inilah yang kemudian dipahami sebagai hukum
jauh dari rasa keadilan masyarakat dan disisi lain hukum tampak tidak berkepastian.
Bagaimanapun juga, ternyata pendekatan holistik sebagaimana ditawarkan oleh hukum
progresif bukan berarti mengecilkan arti peraturan tertulis sebagai salah satu bentuk kepastian
hukum. Hal ini memberikan keyakinan kepada kita, bahwa masalah positivisme hukum di
Indonesia bukanlah masalah positivisme hukum itu sendiri, melainkan adalah berkaitan dengan
perlakuan dan prilaku yang berkembang terhadap positivisme hukum itu sendiri.
4. Berikanlah analisis Saudara mengenai perbedaan pengaturan pekerja outsourcing di dalam UU Ketenagakerjaan
dengan UU Cipta Kerja (Omnibuslaw).
Jawab :
Menurut pandangan saya mengenai perbedaan pengaturan pekerja outsourcing di dalam UU
Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja (Omnibuslaw) adalah UU Cipta Kerja mengubah
istilah outsourcing dari penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
menjadi alih daya. Dalam UU Cipta Kerja, tidak ada lagi batasan terhadap jenis pekerjaan yang
bisa di-outsourcing. Penerapan outsourcing banyak diterapkan atau dilakukan dengan sengaja
oleh perusahaan penerima jasa pekerja untuk menekan biaya pekerja/buruh dengan
perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh dari apa yang sewajarnya diberikan sehingga
hal ini dapat merugikan para pekerja/buruh outsourcing. Pelaksanaan yang demikian tentu
menimbulkan keresahan bagi para pekerja. Praktek outsourcing secara eksplisit didalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak mengenal istilah
outsourcing. Apalagi sekarang ini sudah disahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja yang mengubah sebagian ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang salah satunya terkait ketentuan pekerja outsourcing .
Akan tetapi perlu dilihat dengan pengaturan tersebut apakah telah memberikan perlindungan
hukum yang cukup terhadap pekerja outsourcing UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
mengubah sebagian ketentuan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, salah satunya
terkait ketentuan outsourcing. Selama ini outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan diartikan
sebagai penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain. Penyerahan sebagian
pekerjaan itu dilakukan melalui 2 mekanisme yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh. UU Cipta Kerja mengubah ketentuan outsourcing dengan
menghapus Pasal 64 dan Pasal 65 serta mengubah Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.
Outsourcing dalam UU Cipta Kerja dikenal dengan istilah alih daya. PP No.35 Tahun
2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan
Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK) menyebutkan perusahaan alih daya adalah
badan usaha berbentuk badan hukum yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pekerjaan
tertentu berdasarkan perjanjian yang disepakati dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
Pelindungan buruh, upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang muncul
dilaksanakan sesuai peraturan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya. Berbagai
hal itu diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Selain itu, hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan buruh yang dipekerjakan
didasarkan pada PKWT atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Dalam hal
perusahaan alih daya mempekerjakan buruh berdasarkan PKWT, perjanjian kerja itu harus
mencantumkan syarat pengalihan pelindungan hak-hak bagi buruh ketika terjadi pergantian
perusahaan alih daya sepanjang obyek pekerjaannya tetap ada. Dalam UU Ketenagakerjaan
mengatur batasan jenis kegiatan yang dapat dikerjakan oleh buruh outsourcing. Misalnya, tidak
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
boleh melaksanakan kegiatan pokok atau berhubungan langsung dengan proses produksi;
buruh outsourcing hanya mengerjakan kegiatan penunjang atau tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi. Tapi, dalam UU Cipta Kerja menghapus batasan tersebut.
UU Cipta Kerja menghapus perbedaan pengaturan mengenai perjanjian pemborongan atau
penyedia jasa pekerja. Pelindungan buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya. Mengingat ketentuan
tentang perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyedia jasa pekerja dalam UU
Ketenagakerjaan sudah dihapus UU Cipta Kerja, peraturan perundang-undangan yang masih
memuat ketentuan tersebut semestinya tidak berlaku. UU Cipta Kerja juga menghapus
ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang memungkinkan buruh outsourcing beralih
hubungan kerjanya ke perusahaan pemberi pekerjaan (menjadi pekerja tetap/PKWTT) jika
syarat pelaksanaan outsourcing tidak terpenuhi.

Sumber :
Pendapat Pribadi di dukung :
Anri Darmawan .2021. PENGATURAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DAN UNDANG-

UNDANG CIPTA KERJA


https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-bedanya-outsourcing-di-uu-ketenagakerjaan-dan-uu-
cipta-kerja-lt60657d8d20b58/
https://disnakertrans.ntbprov.go.id/perbedaan-uu-ketenagakerjaan-dengan-ruu-omnibus-law-
cipta-kerja/
https://portalpurwokerto.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-1156021613/rkhup-ini-bila-dikaitkan-
dengan-tujuan-hukum-menurut-lili-rasjidi-simak-dua-tujuan-hukum-lili-rasjidi?page=3
https://rechtsvinding.bphn.go.id/artikel/1.%20Erlina%20Maria.pdf
https://bantuanhukum-sbm.com/artikel-macam-macam-hukum
https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=259:ilmu-
hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern&catid=108&Itemid=161

Anda mungkin juga menyukai