Petunjuk
1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.
1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Jambi, 20 Desember 2022
Althur Firmansyah
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
Pertanyaan :
1. Bagaimana analisis saudara terhadap RKUHP ini bila dikaitkan dengan Tujuan Hukum
berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik kesimpulannya adalah tidak dapat
dipungkiri bahwa faktor kemiskinan adalah menjadi faktor yang dominan menyebabkan munculnya
gelandangan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Secara umum dalam hukum positif Indonesia
kegiatan pergelandangan dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana pelanggaran (overtredingen ) di bidang
ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 505 KUHP. Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas DPR memuat pasal soal gelandangan yang bisa dipidana
menjelaskan, pasal ini harus dilihat dengan perspektif lain, yakni bahwa negara harus bertanggung jawab
melindungi warganya agar tidak jadi gelandangan dengan pemerintah memberi insentif terhadap gelandangan
tersebut. Pasal 432RKUHP ini disusun terkait bagaimana menjaga ketertiban umum. Redaksional dalam
RKUHP itu meletakkan tanggung jawab pada gelandangan, bukannya negara dengan alasan hukum tidak bisa
berdiri sendiri, makanya negara sebagai negara hukum, agar hukum dipatuhi dengan seorang gelandangan,
maka orang yang menjadi gelandangan juga harus jadi subjek.
Aturan mengenai pemidanaan terhadap gelandangan tersebut dalam Pasal 432RKUHP diketahui bertentangan
dengan Pancasila serta UUD 1945. Dalam hal ini, gelandangan yang dipidana bukanlah tindakan bijak dari
pemerintah yang dapat mencerminkan ketidakadilan terhadap warga negaranya. Tetapi, sudah menjadi tugas
pemerintah menerapkan aturan mengenai gelandangan tetapi tidak dengan jalan dipidana melainkan dengan
jalan diarahkan dan dibina. Karena gelandangan itu sendiri merupakan bentuk dari gagalnya pemerintah
dalam menjalankan amanat UUD 1945.3.
Secara substansi, ketentuan hukum pidana bagi gelandangan tetap diperlukan dalam rangka menanggulangi
permasalahan gelandangan di Indonesia. Faktanya,dengan adanya ketentuan sanksi pidana tersebut belum
sesuai dengan fungsi hukum sebagai sarana untuk mengarahkan dan membina masyarakat ( law as atool of
social engineering ). Ketentuan Pasal 432 RKUHP tersebut bertujuan agar dapat mempengaruhi pola perilaku
masyarakat dan membuat masyarakat itu tidak memilih untuk melakukan kegiatan sebagai gelandangan.
Diperlukan peran pemerintah yang bersungguh-sungguh dalam mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia,
jangan hanya dijadikan kiasan semata
sementara permasalahan kemiskinan lah yang mendominasi maraknya gelandangan diIndonesia. Sebaiknya
pemerintah melakukan peninjauan kembali mengenai pemidanaan terhadap gelandangan yang diatur dalam
Pasal 505 KUHP, dimana penerapan aturan tersebut dalam faktanya tidak efektif dan jumlah gelandangan di
Indonesia terutama di kota-kota besar di Indonesia terbilang masih banyak. Begitu juga dengan Pasal 432
RKUHP karena pada dasarnya aturan
tersebut belum mencerminkan keadilan dan bertentangan dengan landasan filosofis Negara Republik
Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945 dimana dampaknya dapat menimbulkan kriminalisasi bagi
masyarakat miskin, seperti pengamen dan disabilitas terlantar.
2. Pertanyaan:
a. Bagaimana analisis Saudara mengenai keberlakuan Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis di
Indonesia.
Jawab :
Menurut analisis saya mengenai keberlakuan Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis di Indonesia adalah
Berdasarkan bentuknya, hukum terbagi menjadi dua, yakni hukum tertulis dan tidak tertulis:
Hukum tertulis ialah hukum yang dicantumkan atau ditulis dalam perundang-undangan. Contohnya :
Hukum tertulis yang sudah dikodifikasikan adalah hukum tertulis yang penyusunannya secara sistematis,
lengkap, teratur, dan telah dibukukan sehingga tidak perlu adanya peraturan pelaksanaan.
Contohnya
KUHP
KUHPdt
KUHD
Hukum perdata tertulis dalam KUH Perdata, hukum pidana dituliskan dalam KUHPidana. Hukum tertulis
yang dikodifikasikan maksudnya yaitu hukum tata Negara yang sudah dubukukan pada lembaran Negara dan
sudah diumumkan/ di undangkan. Jika hukum tersebut dikodifikasikan maka kelebihannya yaitu adanya
kepastian hukum, adanya kekuasaan hukum dan adanya penyederhanaan hukum. Sedangkan Kekurangannya
yaitu bergeraknya hukum menjadi lambat tidak mampu dengan cepat mengikuti hal-hal yang terus bergerak
maju. Untuk Hukum yang tidak dikodifikasi sebaliknya.
Hukum tidak tertulis merupakan kebalikan dari Hukum Tertulis. Hukum tidak tertulis yaitu hukum yang
tidak dituangkan/ dicantumkan dalam peraturan Perundang-undangan. Hukum tidak tertulis merupakan
hukum yang hidup/ berjalan dan tumbuh dalam kehidupan masyarakat/ adat atau dalam praktik
ketatanegaraan/ konversi.
Contoh Hukum Tidak Tertulis:
Hukum Adat yang tidak ditulis/ tidak dicantumkan dalam perundang-undangan namun peraturannya sudah
tertanam dan dipatuhi oleh daerah tertentu/ adat tertentu sehingga menjadi sebuah pedoman dalan tata
pelaksanaan kehidupan bermasyarakat.Hukum tidak tertulis merupakan hukum yang dianggap tidak
bisa konsisten, dikarenakan hukum tidak tertulis peraturannya dapat berubah sewaktu-waktu sesuai keadaan
dan kepentingan yang menghendakinya.
Perbedaan antara Hukum tertulis dengan hukum tidak tertulis
Hukum tertulis
Aturannya pasti (tertulis)
Bersifat memaksa
Sangsinya berat
Sangsinya ringan.
Jika hukum tertulis diformulasikan oleh penguasa atau pemerintah, maka hukum tidak tertulis dibuat oleh
masyarakat. Hukum tidak tertulis atau ongeschreven recht merupakan hukum kebiasaan yang berlaku sehari-
hari di suatu kelompok atau lingkungan tertentu. Di Indonesia, yang termasuk hukum tidak tertulis adalah
hukum adat yang tentu akan berbeda di setiap wilayah. Hukum tidak tertulis merupakan bentuk hukum tertua
sehingga kebiasaan bukanlah merupakan sumber hukum, tapi merupakan suatu bentuk dari hukum positif.
Selain itu, hukum tidak tertulis merupakan hukum hidup atau berjalan dan tumbuh dalam kehidupan
masyarakat atau adat.
Dalam hukum tidak tertulis, terdapat hukum yang benar-benar tidak tertulis dan ada pula yang tidak tertulis
namun tercatat. Artinya, hukum tersebut dicatat oleh pejabat-pejabat tertentu, seperti catatan hakim atau
kepala adat, atau oleh para sarjana atas dasar penelitian. Ciri dari hukum tidak tertulis ini biasanya merupakan
aturan yang tidak pasti bahkan alat penegak hukum ini tidak pasti, bisa ada atau tidak. Jenis hukum ini juga
tidak bersifat terlalu memaksa, serta sanksi yang didapat cenderung ringan atau berupa saksi secara tidak
langsung dari masyarakat.
b. Bagaimana analisis Saudara tentang Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Jawab :
Menurut analisis saya tentang Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Dalam implementasinya
tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian hukum dan keadilan
biasanya saling bertentangan. Selain itu, putusan hakim selayaknya mengandung beberapa aspek. Pertama,
putusan hakim merupakan gambaran proses kehidupan sosial sebagai bagian dari proses kontrol sosial.
Kedua, putusan hakim merupakan penjelmaan dari hukum yang berlaku dan pada intinya berguna untuk
setiap orang maupun kelompok dan juga Negara. Ketiga, putusan hakim merupakan gambaran keseimbangan
antara ketentuan hukum dengan kenyataan di lapangan. Keempat, putusan hakim merupakan gambaran
kesadaran yang ideal antara hukum dan perubahan sosial. Kelima, putusan hakim harus bermanfaat bagi
setiap orang yang berperkara Keenam, putusan hakim merupakan tidak menimbulkan konflik baru bagi para
pihak yang berperkara dan masyarakat.
Dalam hal memutus perkara, hakim harus merujuk pada undang-undang yang berlaku. Tetapi, dalam konteks
Indonesia hakim bukanlah corong undang-undang. Hakim adalah corong kepatutan, keadilan, kepentingan
umum, dan ketertiban umum. Dalam konteks inilah, rumusan keharusan hakim memperhatikan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat harus diperhatikan. Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan ketentuan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Selain itu, undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum. Kebiasaan dalam masyarakat juga merupakan
sumber hukum. Dengan demikian, hakim bisa menggunakan kebiasaan sebagai rujukan. Meskipun Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman mengharuskan hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat, tak selamanya hakim tunduk pada keharusan itu. Bahkan, kadangkala hakim dapat menabrak
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat untuk tujuan memberikan keadilan. Misalnya, putusan MA No.
1048K/Pdt/2012 yang menegaskan hukum adat setempat yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan
laki-laki tidak bisa dipertahankan lagi.
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 Pasal 27 ayat (1) menyebutkan, hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib mengali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat, Rumusan ini tidak mengalami perubahan dalam UU No. 35 Tahun 1999. Begitu juga pada
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan :
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.”
Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan
peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat.
Untuk itu, hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sehingga hakim dapat
memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
3. Aliran postivisme hukum sangat mengagungkan hukum yang tertulis dan menganggap bahwa tidak
ada norma hukum di luar hukum positif.
Pertanyaan :
Bagaimana analisis Saudara tentang penerapan aliran Positivisme Hukum di Indonesia beserta ciri-
cirinya.
Jawab :
Menurut analisis saya tentang penerapan aliran Positivisme Hukum di Indonesia beserta ciri-cirinya adalah
Positivisme Hukum di Indonesia sebenarnya telah berubah dari wujud aslinya, dimana pembangunan dan
pembentukan hukum di Indonesia berlansung dibawah konsep negara hukum yang berlandaskan Pancasila.
Dengan UUD 1945 sebagai dasar negara yang didalamnya termuat cita negara hukum Pancasila, maka
dengan sendirinya Positivisme hukum di Indonesia adalah positivism hukum yang tidak memandang hukum
sebagai perintah penguasa berdaulat atau hukum dipisahkan dari moral dan agama.
Corak negara hukum Indonesia itu tentulah sekaligus menjadi karakter dari positivisme hukum Indonesia.
Pada tahap ini perlu menjadi pemikiran mendalam, apakah benar positivisme hukum Indonesia sudah saatnya
ditinggalkan dan beralih paradigm hukum baru ke teori hukum progresif. Atas dasar ini pengalaman Amerika
misalnya , ketiga hukum tidak mampu menyelesaikan masalah masyarakatnya sehingga memerlukan
paradigma hukum baru. Namun apa yang terjadi di Amerika belum tentu menjadi otomatis di Indonesia , jika
dalam kenyataan di Indonesia banyak konflik yang belum terselesaikan, namun akar masalahnya belum tentu
sebagai ketidak-berdayaan hukum. Dalam hal ini benar adanya, bahwa kosmologi Indonesia dalam
penyelesaian konflik berbeda dengan kosmologi bangsa Amerika yang serba “lawyer centered” . Indonesia
memiliki versi rule of law yang berbasis pada kumunalisme dan memiliki nilai-nilai seperti kekeluargaan,
musyawarah, gotong royong. Tradisi positivisme hukum Indonesia sepertinya sudah hidup dalam nuansa
kosmologi Indonesia yang demikian, sehingga persoalannya bagaimana menguatkan posotivisme hukum
tersebut dalam tahap aksiologi-nya. Pada tahap aksiologi inilah sebenarnya positivisme hukum di Indonesia
berkembang dalam ranah yang cenderung inkonsisten.
Kosmologi bangsa Indonesia yang tidak hidup dalam tradisi “lawyer centered”, sepertinya akan menjadi
masalah yang berkepanjangan, sekalipun teori positivisme hukum diganti dengan teori hukum progresif
sekalipun. Bisa dibayangkan bagaimana rumitnya apabila hukum selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar
narasi tekstual hukum itu sendiri. Dengan demikian, positivisme hukum yang diterapkan di Indonesia yang
tumbuh di bawah konsepsi hukum tool social of engineering sesungguhnya sudah memberikan jawaban bagi
hukum sebagai penyelesai konflik atau pemasalahan yang dihadapi masyarakat. Jika demikian halnya, maka
persoalan postivisme hukum di Indonesia adalah belum didukung suatu tradisi pembentukan hukum yang
memadai. Terlalu banyak atau acap kali pembentukan hukum positif di Indonesia dibentuk atas kepentingan
sesaat dan temporer, pembentukan hukum Indonesia lebih cenderung dibangun di atas kepentingan-
kepentingan politik dan asing. Bahkan tidak sedikit hukum Indonesia dibentuk dengan tidak sempurna dan
mengandung sejumlah kekurangan dan kelemahan juridis dan sebagainya. Pembentukan-pembentukan
hukum positif yang demikian tentu secara tidak lansung akan berpengaruh pada penegakkannya, dimana
penegakkan hukum seperti hakim dan Jaksa pada ketiadaan ukuran yang jelas dalam menerapkan peraturan
perundang-undangan. Inilah yang kemudian dipahami sebagai hukum jauh dari rasa keadilan masyarakat dan
disisi lain hukum tampak tidak berkepastian.
Atas dasar pemikiran yang demikian itu, Soekanto dengan tegas mengatakan bahwa pemisahan secara ketat
antara segi normatif dengan segi perilaku dari gejala kemasyarakatan akan menyesatkan, sebab akan terjadi
dikotomi antara pendekatan yuridis dengan pendekatan sosiologis terhadap hukum. Hal ini tidak perlu terjadi
apabila disadari bahwa kedua segi tersebut merupakan bagian dari kesatuan. Jadi, persoalan pokoknya
bukanlah kembali pada segi normatifnya, namun bagaimana menyerasikan kedua segi tersebut sekaligus
dengan sekalian pendekatan-pendekatannya.
Bagaimanapun juga, ternyata pendekatan holistik sebagaimana ditawarkan oleh hukum progresif bukan
berarti mengecilkan arti peraturan tertulis sebagai salah satu bentuk kepastian hukum. Hal ini memberikan
keyakinan kepada kita, bahwa masalah positivisme hukum di Indonesia bukanlah masalah positivisme hukum
itu sendiri, melainkan adalah berkaitan dengan perlakuan dan prilaku yang berkembang terhadap positivisme
hukum itu sendiri.