Anda di halaman 1dari 11

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.1 (2020.2)

Nama Mahasiswa : ………………………………………………………………………………………..

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : ………………………………………………………………………………………..

Tanggal Lahir : ………………………………………………………………………………………..

Kode/Nama Mata Kuliah : ………………………………………………………………………………………..

Kode/Nama Program Studi : ………………………………………………………………………………………..

Kode/Nama UPBJJ : ………………………………………………………………………………………..

Hari/Tanggal UAS THE : …………………………………………………………………………………………

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Surat Pernyataan
Mahasiswa
Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama Mahasiswa : ……………………………………………………………………………

NIM : ……………………………………………………………………………

Kode/Nama Mata Kuliah : ……………………………………………………………………………

Fakultas : ……………………………………………………………………………

Program Studi : ……………………………………………………………………………

UPBJJ-UT : ……………………………………………………………………………

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada
laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal
ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan
aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan
tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik
yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.

……., ………………………

Yang Membuat Pernyataan

Nama Mahasiswa
1. Jawaban
a. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, merupakan anugerah Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum, Pemerintah, maupun setiap orang, demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Asal-usul gagasan mengenai hak
asasi manusia bersumber dari teori hak kodrati (natural rights theory). Teori kodrati mengenai
hak itu bermula dari teori hukum kodrati (natural law theory), yang terakhir ini dapat dirunut
kembali sampai jauh ke belakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman
modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas. Hugo de Groot seorang
ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “Bapak Hukum Internasional”, atau yang lebih
dikenal dengan nama Latinnya, Grotius, mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati
Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran
sekuler yang rasional.
Hak asasi manusia pada masa damai dan masa perang pada dasarnya tidak ada perbedaan.
Karena hak asasi merupakan hak yang sifatnya kodrati yang tidak dapat dibatasi atau dikurangi.
Sehingga hak asasi manusia harus tetap diijunjung dan dilindungi oleh negara. Deskipun dalam
keadaan perang, hak asasi manusia juga tetap dilindungi. Sebagai salah 1 bentuk perlindungan
hak asasi dari negara kepada warga negaranya, Indonesia telah mengundangkan Undang
Undang Nomor 26 tahun 2000, tentang Pengadlan Hak Asasi Manusia. Sedangkan pada jaman
masyarakat kuno, belum dikenal tentang adanya hak asasi yang bersifat universal.
b. Karel Vasak, seorang ahli hukum dari Prancis, menggunakan istilah generasi untuk menunjuk
pada substansi dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun waktu tertentu.
Kategori generasi tersebut berdasarkan pada slogan Revolusi Prancis, yakni kebebasan,
persamaan dan persaudaraaan. Ketiga generasi tersebut antara lain:
- Generasi Pertama. Kebebasan, sering dirujuk mewakili hak-hak di bidang sipil dan politik.
Hak-hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan
absolutisme negara dan kekuatan-kekuatan social lainnya sebagaimana yang muncul dalam
revolusi hak yang bergelora di Amerika Serikat dan Prancis pada abad ke-17 dan ke-18.
Karenan itu lah hak-hak generasi pertama dikatakan sebagai hak-hak klasik. Hak-hak
tersebut menghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri (kedaulatan individu).
Pemenuhan hak-hak yang dikelompokkan dalam generasi pertama ini sangat tergantung
pada absen atau minusnya tindakan negara terhadap hak-hak tersebut. Sehingga negara
tidak boleh untuk berperan aktif (posiitif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan
pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut. Hak-hak di bidang sipil dan politik
antara lain adalah:
 Hak hidup;
 Keutuhan jasmani
 Hak suaka dari penindasan
 Penyelenggaraan peradilan
 Privasi
 Perlindungan terhadap hak milik
 Kebebasan beragama
 Berkumpul dengan damai dan berserikat
 Partisipasi politik
 Persamaan di muka hukum
 Perlindungan yang efektif terhadap diskriminasi.
Menurut pendapat saya, penentuan bentuk dan jenis hak asasi yang dijelaskan dalam
generasi pertama masih relevan dengan keadaan saat ini karena hal-hal seperti tersebut di
atas merupakan bagian dari hak asasi yang wajib dilindungi dan dijunjung tinggil oleh setiap
orang dan negara. Saya mengambil contoh dari hal kebebasan beragama yang terjadi di
Indonesia. Hal ini sebenarnya sudah dijamin dalam undang-undang, sebagaimana tertuang
pada Pasal 29 Ayat (2), yakni “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk
memeluk agama”. Namun seperti yang kita lihat saat ini, masih terlalu banyak kasus terjadi,
dimana kaum mayoritas di banyak tempat yang secara semena-mena melarang pemeluk
agama lain untuk beribadah. Bahkan ada pula yang sampai membakar tempat ibadah serta
melakukan pembunuhan.
- Generasi kedua. Persamaan dirujuk untuk mewakili hak-hak dibidang sosial, budaya dan
ekonomi. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap
kebutuhan dasar setiap orang, mulai makan sampai pada Kesehatan. Dengan demikian
negara dituntut untuk bertindak lebih aktif, agar hak-hak tersebut dapat tersedia. Karena itu
hak-hak generasi kedua dirumuskan dalam Bahasa positif (right to) dan bukan dalam bahasa
negative (freedom from). Hak-hak yang dikelompokkan dalam generasi kedua adalah;
 Pekerjaan dan kondisi yang memadai
 Membentuk serikat pekerja
 Jaminan sosial dan standar hidup yan gmemadai termasuk pangan, sandang dan papan
 Kesehatan
 Pendidikan
 Bagian dari kehidupan budaya.
Menurut pendapat saya hak-hak yang dikelompokkan dalam generasi kedua juga masih
relevan dengan keadaan pada masa sekarang ini. Sebagain contoh dari aspek Kesehatan dan
pendidikan yang tidak boleh terabaikan dari setiap manusia. Karena kedua hal ini seyogya
nya merupakan kebutuhan hak yang harusnya bisa terpenuhi atau tersedia. Meskipun kita
tidak bisa menyangkali bahwa masih banyak juga warga negara yang belum bisa merasakan
kebutuhan hak atas Kesehatan dan Pendidikan oleh karena tidak adanya biaya serta kurang
nya fasilitas yang tersedia di daerah-daerah pelosok .
- Generasi ketiga. Persaudaraan, diwakili oleh tuntutan atas hak solidaritas atau hak Bersama.
Hak-hak in muncul dari tuntutan gigihnnegara-negara berkembang atau dunia ketiga atas
tatanan internasional yang adil. Dari tuntutan tersebut, negara-negara berkembang
menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang konsudif
bagi terjaminnya hak-hak berupa:
 Hak atas pembangunan
 Hak atas perdamaian
 Hak atas sumber daya alam sendiri
 Hak atas lingkungan hidup yang baik
 Hak atas warisan budaya sendiri
Menurut pendapat saya hak-hak tersebut masih cukup relevan dengan keadaan di masa
sekarang ini. Namun jika melihat di masa saat ini, khususnya di Indonesia, pembangunan,
perdamaian seumber daya alam, lingkungan yang baik serta warisan budaya sendiri sudah
cukup diperhatikan dan dilindungi oleh negara. Sehingga saya berpendapat bahwa hak-hak
tersebut cukup terpenuhi dan hamper tidak ada kejadian yang melanggar ha katas aspek-
aspek tersebut di atas.

2. Jawaban
Menurut pendapat saya, masih diterapkannya hukuman mati terhadap kejahatan tertentu di
Indonesia bukan merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM, melainkan bentuk ketegasan dari
negara dalam menegakkan hukum yang berkeadilan demi melindungi warga negaranya. Sebagai
contoh, saya mengambil kasus tentang peredaran narkoba yang mana sudah ada pelakunya yang
divonis hukuman mati dan sudah eksekusi. dengan menerapkan hukuman mati terhadap pengedar
narkoba karena bangsa Indonesia ingin tetap melindung keberlangsungan hidup rakyatnya dari
pengaruh penyalahgunaan narkoba yang dampaknya sangat berbahaya bagi generasi penerus. Oleh
sebab itu, tanpa mengesampingkan hak asasi manusia yang sepenuhnya telah dijunjung selama ini,
bangsa Indonesia juga melindungi hak asasi manusia rakyatnya dengan melakukan Tindakan yang
tegas bagi para pelaku criminal pengedar narkoba yang telah menghancurkan masa depan rakyatnya.

3. Jawaban
a. Pilihlah satu dari dua kasus tersebut (cari sumber berita di internet atau website KOMNAS
HAM-jangan lupa dicantumkan dalam jawaban)
YLBHI: Penggusuran Paksa Petani Kulon Progo Langgar HAM!
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam aksi penggusuran paksa
aparat terhadap warga yang berdiam di sejumlah desa di Kabupaten Kulon  Progo, Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Ketua YLBHI Asfinawati, kepada Suara.com,  Rabu (6/12/2017), mengatakan sejak Senin
(27/11) pekan lalu hingga Senin (4/12) awal minggu ini, PT Angkasar Pura (AP) 1
melakukan aksi pengosongan lahan dan rumah petani di Kulon Progo.
Land clearing  tersebut, dilakukan demi mega proyek pembangunan Bandara Internasional
Yogyakarta Baru (New Yogyakarta International Airport/NYIA).
”Penggusuran paksa terhadap kaum tani yang tak mau menjual lahan garapannya untuk
mega proyek itu adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kami meminta
penggusuran itu dihentikan,” tegas Asfinawati.
Ia mengatakan, aparat gabungan dan dan PT AP 1 secara sadar atau tidak, telah
memungkiri sejumlah hak-hak dasar rakyat.
Ia mengatakan, penggusuran atas dasar PT AP 1 sudah mendapatkan izin lingkungan per
17 Oktober 2017 itu bisa diperdebatkan.
Pasalnya, kata dia, studi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang mendasari
terbitnya perizinan tersebut cacat hukum nan akut.
”Cacat hukum paling mencolok adalah, aspek pelingkupannya, yakni tidak terpenuhinya
kesesuaian lokasi rencana usaha dan atau kegiatan dengan rencana tata ruang sesuai
ketentuan peraturan perundangan,” jelasnya.
Itu belum ditambah mengenai deskripsi zona  lingkungan hidup kawasan itu, yang
prinsipnya  daerah rawan bencana alam tsunami.
Status Kulon Progo sebagai daerah rawan tsunami itu termaktub dalam Pasal 46 ayat 9
huruf d Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali.
Pasal 51 huruf g Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2010 tentang RTRW DIY juga
menyebutkan, Kulon Progo sebagai kawasan rawan tsunami.
Bahkan, Pasal 39 ayat 7 huruf a Perda Kabupaten Kulon Progo Nomor 1 Tahun 2012
Tentang RTRW  pun lebih detail menyatakan bahwa kawasan rawan tsunami salah satunya
meliputi Kecamatan Temon.
Karenanya, secara ilmiah, NYIA Kulon Progo tak bisa dibangun. Kalau dipaksakan, hal itu
justru membahayakan pengguna transportasi udara.
Sementara secara prosedural, proses studi amdal itu tidak dilakukan pada tahapan yang
semestinya. Ada tahapan yang “dilompati” oleh PT AP1. Sebab, amdal itu tak disusun
terlebih dulu sebagai prasyarat penerbitan Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor
68/KEP/2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Bandara Untuk Pengembangan
Bandara Baru di DIY.
”PT AP 1 justru ’melompat’ jauh ke tahapan groundbreaking (peletakan batu pertama
pembangunan) dan bahkan sudah masuk ke tahapan kontruksi (mobilisasi alat). Padahal,
amdalnya belum dibuat saat itu,” tukasnya.
Selanjutnya, Asfin mengatakan mega proyek yang mengorbankan hak hidup warga Kulon
Progo tersebut tak sesuai dengan Peraturan Pemerintah  Nomor 26 tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Proyek itu juga tak sesuai Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2012 tentang Rencana Tata
Ruang Pulau Jawa-Bali), hingga Peraturan Daerah DIY  Nomor 2 tahun 2010 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY tahun 2009-2029.
”Dalam semua peraturan itu, tidak ada satu pun klausul yang ’mewasiatkan’
pembangunan bandar udara baru di Kulon Progo. Yang ada ialah pengembangan dan
pemantapan fungsi bandara Adi Sucipto yang terpadu/satu kesatuan sistem dengan
bandara Adi Sumarmo, di Kabupaten Boyolali,” ungkapnya.
”Karenanya, kami mengecam pengosongan paksa lahan warga tersebut. Apalagi, upaya itu
dilakukan secara represif, yakni menggunakan alat berat, memobilisasi aparat negara,
disertai pemutusan akses aliran listrik dan kekerasan lainnya,” ungkapnya lagi.
”Kami juga meminta Presiden Joko Widodo dan pemerintah setempat, serta PT AP1 untuk
menghentikan seluruh tahapan pengadaan tanah untuk pembangunan Bandara
Yogyakarta Baru dan mengembalikan hak-hak warga seperti kondisi semula,” terangnya.
Untuk diketahui, selain YLBHI, 15 LBH di bawah naungannya juga memunyai sikap sama.
Lima belas LBH itu antara lain ialah LBH Jakarta, LBH Bandung, LBH Semarang, dan LBH
Yogyakarta.
Selain itu, LBH Surabaya, LBH Aceh, LBH Medan, LBH Padang, LBH Pekanbaru, LBH
Palembang, LBH Bandar Lampung, LBH Makasar, LBH Manado , LBH Bali, dan LBH Papua
juga menolak penggusuran warga Kulon Progo dan menolak pembangunan bandara.
Sumber: https://www.suara.com/news/2017/12/06/102552/ylbhi-penggusuran-paksa-petani-
kulon-progo-langgar-ham?page=all
Pelanggaran HAM yang terjadi yaitu Penggusuran paksa terhadap kaum tani yang tak mau
menjual lahan garapannya untuk mega proyek pembangunan Bandara Internasional
Yogyakarta Baru (New Yogyakarta International Airport/NYIA). Pada saat pembangunan fisik
bandara mulai dilakukan, bangunan yang merupakan rumah-rumah warga sudah mulai di
robohkan. Meskipun warga penolak bandara tidak mau menyerahkan lahannya, pemerintah yang
telah mengantongi izin tetap melakukan pengosongan lahan. Pengosongan lahan diwarnai
dengan kericuhan karena warga penolak berusaha menghalangi petugas yang akan melakukan
pengosongan lahan. Penggusuran paksa itu adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) melanggar Pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM : ”Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab
Pemerintah”. Dan melanggar Undang-undang RI nomor 11 tahun 2005 tentang pengesahan
international covenant on economic, social and cultural rights (kovenan internasional tentang
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya) Pasal 1 yaitu :
(1) Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut
mereka dapat secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar
kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.
(2) Semua bangsa, uuntuk tujuan-tujuan mereka sendiri, dapat secara bebas mengelolakekayaan
dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari
kerjasama ekonomi internasional berdasarkan asas saling menguntungkan dan hukum
internasional. Dalam hal apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu bangsa
atas sumber-sumber penghidupannya sendiri. 
(3) Negara Pihak dalam Kovenan ini, termasuk mereka yang bertanggung jawab atas
penyelenggaraan Wilayah Tanpa Pemerintahan dan Wilayah Perwalian, harus memajukan
perwujudan hak untuk menentukan nasib sendiri, dan harus menghormati hak tersebut
sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

b. Upaya yang dapat dilakukan oleh korban dugaan pelanggaran HAM berdasarkan hukum HAM
nasional dan internasional adalah:
(1) Upaya yang dapat dilakukan oleh korban dugaan pelanggaran HAM berdasarkan hukum
HAM nasional
Jaminan perlindungan bagi perorangan dan masyarakat untuk melakukan upaya hukum guna
membela dan melindungi hak-hak asasi manusia di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 100 menyatakan: Setiap orang,
kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau
Lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan dan
pemajuan hak asasi manusia. Pasal 101: Setiap orang, kelompok, organisas politik, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau Lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak
menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas HAM
atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan
hak asasi manusia. Upaya hukum dapat dilakukan oleh perorangan maupun masyarakat
melalui mekanisme pengaduan dan pelaporan kepada lembaga-lembaga yang diberikan
wewenang oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia, seperti Komisi Nasional HAM,
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Perlindungan Anak, Komisi Nasional
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan Lembaga-
Lembaga lainnya yang memiliki kompetensi untuk membantu upaya perlindungan hak-hak
asas manusia.

(2) Upaya yang dapat dilakukan oleh korban dugaan pelanggaran HAM berdasarkan hukum
HAM internasional

Mekanisme Pelaporan HAM Internasional


Dalam hal terjadi pelanggaran HAM Internasional, PBB telah mengakomodir mekanisme
pelaporan yang dibedakan menjadi 2 (dua) mekanisme sebagai berikut:
 a.    Mekanisme berdasarkan Perjanjian HAM internasional (The Treaty Based Mechanism)
Treaty Based Mechanism adalah mekanisme pengaduan yang dibentuk berdasarkan
perjanjian atau konvensi HAM Internasional. Perjanjian internasional ini hanya berlaku
dan mengikat bagi negara yang telah menandatangani dan meratifikasi perjanjian terkait.
Contohnya, pengajuan laporan kepada Human Rights Comittee (“HRC”) yang
pembentukannya didasarkan pada International Convenant on Civil and Political
Rights (“ICCPR”) 1976 yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
 
b.    Mekanisme berdasarkan Piagam PBB (The Charter Based Mechanism)
Charter Based Mechanism  adalah prosedur penegakan HAM yang tidak dibentuk oleh
konvensi-konvensi HAM akan tetapi berdasarkan Piagam PBB sebagaimana dimandatkan
dalam Pasal 55 dan Pasal 56 Piagam PBB (antara lain tentang tujuan PBB memajukan
pemecahan masalah-masalah internasional dan penghormatan HAM seantero jagad serta
kebebasan-kebebasan dasar bagi semua), serta mandat yang dimiliki oleh Dewan
Ekonomi dan Sosial (“ECOSOC”) yang antara lain adalah “.... Mendorong penghormatan
universal dan diterapkannya hak asasi dan kebebasan dasar manusia.”
 
Mekanisme pelaporan ini dapat dilakukan seluruh negara anggota, orang, kelompok
masyarakat atau organisasi non-pemerintahan apabila mempunyai pengetahuan langsung
atau tidak langsung mengenai dugaan pelanggaran, meskipun tidak mendatangani dan
meratifikasi perjanjian HAM internasional.
Berdasarkan 2 (dua) mekanisme di atas, jika negara yang Anda maksud tidak meratifikasi
perjanjian internasional di bidang HAM, maka negara tersebut hanya dapat melakukan
pelaporan dengan mekanisme kedua, yaitu berdasarkan Piagam PBB (The Charter Based
Mechanism).
  Pada pembahasan ini kami akan menjelaskan mengenai mekanisme pelaporan HAM
berdasarkan Piagam PBB. Mekanisme pelaporan berdasarkan Piagam PBB dilakukan
melalui Dewan Hak Asasi Manusia (dahulu Komisi Hak Asasi Manusia) dan subdivisi-
subdivisi di bawah Dewan, serta dua mekanisme yang dibentuk menurut Prosedur
1235 dan Prosedur 1503 sebagai berikut:
 
Mekanisme Pelaporan HAM Berdasarkan Piagam PBB
a) Dewan HAM PBB
Dewan HAM adalah badan PBB yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum
60/251 tertanggal 15 Maret 2006 sebagai bagian pembaruan untuk memperkuat
kegiatan perlindungan HAM PBB. Mekanisme pelaporan sekaligus kepada Dewan
HAM PBB dapat dilakukan melalui Prosedur Khusus, Kelompok Kerja, dan Sub Dewan
tentang Pemajuan dan Perlindungan HAM.
 -     Prosedur Khusus
Tugas kerja dari prosedur khusus adalah sebagai mekanisme pencarian fakta dan
investigasi, mengadakan kunjungan ke negara yang tertentu, dan menjalankan
misi pencarian fakta dengan menerima laporan langsung dari masyarakat umum.
Laporan investigasi disampaikan kepada Dewan HAM yang kemudian akan
digunakan sebagai dasar perdebatan politik dan resolusi. 
-      Kelompok Kerja
Kelompok kerja terbuka untuk partisipasi semua negara dan organisasi non
pemerintah. Kegiatan kelompok kerja bercirikan perdebatan, diskusi, serta
pembuatan rekomendasi atas dugaan pelanggaran HAM, yang hasilnya akan
disampaikan kepada Dewan HAM. 
-      Sub Dewan tentang Pemajuan dan Perlindungan HAM
Subkomisi tersebut mempunyai mandat untuk melakukan penelitian, membuat
rekomendasi, berpartisipasi dalam pembuatan konvensi dan mekanisme-
mekanisme HAM, menerima laporan, dan memeriksa dugaan pelanggaran HAM.
 
b) Prosedur 1235 dan Prosedur 1503
ECOSOC memberikan kewenangan dalam bidang HAM kepada Dewan HAM PBB
dengan mengadopsi dua prosedur yaitu melalui Resolusi 1235 (XLII) tertanggal 6 Juni
1967 dan Resolusi 1503 (XLVIII) tertanggal 27 Mei 1970. Melalui Prosedur 1235,
Dewan HAM diberikan kuasa untuk melakukan pemeriksaan keterangan yang relevan
terkait pelanggaran HAM yang diterima dari perseorangan, organisasi non
pemerintah, dan negara sebagaimana dimuat dalam surat pengaduan yang didaftar
oleh Sekretaris Jendral, kemudian melakukan studi terhadap pola pelanggaran HAM
tersebut. Pada dasarnya Prosedur 1235 bukanlah prosedur pengaduan individual.
Dalam hal pelaporan diajukan oleh individual, maka Dewan HAM akan mengarahkan
informasi pelanggaran HAM pada survei umum negara yang bersangkutan.
 Sementara, Prosedur 1503 disusun sebagai prosedur pengaduan individual. Dewan
HAM diberi kewenangan untuk mempelajari secara konfidensial komunikasi
individual. Komunikasi dari korban, dan organisasi non pemerintah yang telah
melewati pengujian dan diterima oleh Sekretaris Jenderal. Philip Alston, sebagaimana
dikutip oleh Pranoto Iskandar dalam bukunya Hukum HAM Internasional Sebuah
Pengantar  (hal. 345) menyebut Prosedur 1503 sebagai “petition-
information” bukan “petition-redress”, dikarenakan ketiadaan ganti rugi kepada pihak
korban. Dengan kata lain, prosedur ini hanya bersifat informatif kepada masyarakat
internasional bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara
tertentu. Oleh karenanya, sanksi yang paling dimungkinkan adalah sebatas timbulnya
rasa malu “shaming”  bagi negara pelanggar, sebab pelanggaran akan dibahas dalam
diskusi yang berifat terbuka.
 
Berdasarkan penjelasan di atas, maka negara yang tidak meratifikasi sebuah Perjanjian
Internasional dalam bidang HAM tetap dapat melakukan pelaporan khusus HAM di PBB melalui
mekanisme Piagam PBB (The Charter Based Mechanism) yaitu melalui Dewan HAM PBB, Prosedur
1235 maupun Prosedur 1503.

4. JAWABAN UJIAN THE NOMOR 4


a. Yang menjadi latar belakang mengapa pemerintah merasa perlu memberikan pengaturan khusus
atas hak perempuan adalah untuk memberi perlindungan khusus pada perempuan yang rentan
untuk mendapat perlakuan diskriminatif dan melanggar hak asasi serta melakukan perlindungan
dan pemenuhan terhadap hak-hak perempuan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan
masalah kekerasan terhadap perempuan serta penghapusan segala bentuk tindak kekerasan yang
dilakukan terhadap perempuan. Hak asasi perempuan, adalah hak yang dimiliki oleh seorang
perempuan, baik karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan. Dalam
khasanah hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum
tentang hak asasi manusia. Pengaturan mengenai pengakuan atas hak seorang perempuan
terdapat dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia. Sistem hukum tentang hak
asasi manusia yang dimaksud adalah sistem hukum hak asasi manusia baik yang terdapat dalam
ranah internasional maupun nasional. Perempuan sebagai suatu kelompok dalam masyarakat di
dalam suatu negara, merupakan kelompok yang juga wajib mendapatkan jaminan atas hak-hak
yang dimilikinya secara asasi. Dalam Pasal 2 DUHAM dimuat bahwa hak dan kebebasan perlu
dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi. Oleh karena perempuan sebagai bagian dari
kelompok masyarakat yang juga harus dilindungi hak asasinya, maka pelanggaran terhadap hak
asasi perempuan harus juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM.

b. Hak-hak yang dimiliki ketika anak berada dalam penjara yaitu berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menetapkan hak-hak anak sebagai
berikut:
(1) Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umumnya;
(2) Dipisahkan dari orang dewasa;
(3) Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
(4) Melakukan kegiatan rekresional;
(5) Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta
merendahkan derajat dan martabatnya;
(6) Tidak dijatuhi pidana mati dan pidana seumur hidup;
(7) Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang
paling singkat;
(8) Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang
yang tertutup untuk umum;
(9) Tidak dipublikasikan identitasnya;
(10)Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
(11)Memperoleh advokasi sosial;
(12)Memperoleh kehidupan pribadi;
(13)Memperoleh aksesbilitas, terutama bagi anak cacat;
(14)Memperoleh pendidikan;
(15)Memperoleh pelayanan kesehatan; dan
(16)Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi hak anak tersebut adalah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak diubah dengan UU Nomor 35
tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara dan Pemerintah adalah :
Pasal 21
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi
setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan
bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.
Pasal 22
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan
prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Pasal 23
(1) Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum
bertanggung jawab terhadap anak.
(2) Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
Pasal 24
Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan
pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.

Yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi hak anak tersebut adalah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pemerintah
diwajibkan untuk membuat 6 materi dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan 2 materi dalam
bentuk Peraturan Presiden. Namun sampai saat ini peraturan pendukung masih belum semua
tersedia. Pemerintah baru merampungkan dua materi Peraturan Pemerintah (PP tentang Diversi dan
Penanganan Anak yang Belum Berumur Dua Belas (12) Tahun) dan Peraturan Presiden tentang
Pelatihan Apgakum. Namun salah satu permasalahan yang memprihatinkan adalah soal minimnya
jumlah institusi baru pengganti tempat penangkapan, penahanan anak. UU SPPA telah mendorong
lahirnya empat lembaga yakni LPKA, LPKS, RPKA dan LPAS sebagai pengganti tempat penahanan,
pembinaan dan Lapas anak. Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) adalah lembaga atau tempat
Anak menjalani masa pidananya sedangkan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) adalah
tempat sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung.

Anda mungkin juga menyukai