Anda di halaman 1dari 8

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.1 (2021.2)

Nama Mahasiswa : MOHAMAD FITRIAN TRI SANTOSO…………………..

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 041771349...........................................................……..

Tanggal Lahir : 04 Juni 1994............................................................…..

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4312/Hukum Perlindungan Konsumen …..

Kode/Nama Program Studi : Ilmu Hukum...................................................................

Kode/Nama UPBJJ : 49/Banjarmasin……………...........................................

Hari/Tanggal UAS THE : Selasa / 28 Desember 2021...........................................

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : MOHAMAD FITRIAN TRI SANTOSO..........................


NIM : 041771349...................................................................
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4312/Hukum Perlindungan Konsumen…..
Fakultas : FHISIP..........................................................................
Program Studi : Ilmu Hukum..................................................................
UPBJJ-UT : Banjarmasin..................................................................

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.

Amuntai , 28 Desember 2021

Yang Membuat Pernyataan

MOHAMAD FITRIAN TRI SANTOSO


BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

1. Bagian A.
Menurut Az. Nasution (2011 : 37) Hukum konsumen adalah keseluruhan asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara
penyedia dan penggunannya, dalam kehidupan masyarakat.
Istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pasal 1 Angka (2) UUPK menyatakan bahwa
konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri pribadi, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.
Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan
melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang
dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.
Maka apabila diinterpretasikan warga negara sebagai konsumen dalam kasus diatas maka sebagai
warga negara kita berhak untuk mendapat pelayanan yang layak dari negara, seperti ketersediaannya
masker, hand sanitizer, dan bahan pokok lainnya dengan harga yang terjangkau yang disesuaikan
dengan kondisi pandemi.
Kemudian bila dikaitkan dengan hukum perlindungan konsumen maka negara harus melindungi
seluruh warganya.

Bagian B.
Interpretasi dari kasus tersebut, hal-hal yang berkaitan dengan beberapa aspek yang berhubungan
dengan hukum perlindungan konsumen yaitu dari segi asas-asas, perlindungan konsumen dalam
hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa).
Dari segi asas, hukum perlindungan konsumen dalam hal ini UU No.8/1999 menganut asas manfaat,
keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.
Tentunya sebagai warga negara kita berhak untuk mendapat manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan dan keselamatan serta kepastian hukum. dalam kondisi pandemi seperti sekarang peran negara
dalam mewujudkan seluruh asas tersebut sangatlah mutlak. Tanpa campur tangan dari negara tentunya kita
sebagai warga negara akan terancam keselamatannya. Untuk itu dalam penanganan pandemi seperti
sekarang pemerintah menganut asas “Salus populi suprema lex esto”, keselamatan rakyat merupakan
hukum tertinggi. Jadi dalam menjalankan roda pemerintahan dalam konsisi pandemi seperti sekarang
keselamatan rakyat menjadi aspek utama, tentunya dengan mempertimbangan asas-asas lainnya.
Dari segi hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa), kita sebagai
warga negara tentunya wajib mendapat perlindungan dari negara. Seperti halnya saat kita membeli bahan
pokok harus mendapat harga yang sesuai serta jaminan produk tersebut aman untuk dimakan atau
diminum. Kemudian ketersediaan masker dalam kondisi saat ini haruslah dapat dirasakan oleh seluruh
warga negara karena merupakan alat pelindung diri yang sangat penting Dalam bidang jasa misalnya kita
mendapat pelayanan di Rumah Sakit, maka tentunya pelayanan tersebut haruslah aman dari berbagai
kemungkinan kita tertular dari penyakit lain. Contoh-contoh tersebut merupakan aspek-aspek yang terkait
dengan hukum perlindungan konsumen pada saat sekarang ini.

Bagian C.
Menurut saya pemerintah sudah berusaha dan sudah tepat dalam penanganannya. Namun dalam
perjalanannya memang perlu dilakukan perbaikan guna mencapai tujuan hilangnya virus tersebut.
Hak-hak konsumen dalam kaitan dengan perlindungan konsumen atas peredaran produk kesehatan
adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam memperoleh atau menggunakan
produk kesehatan tersebut. Konsumen produk kesehatan memiliki hak atas informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang serta konsumen juga berhak untuk didengarkan
pendapatnya atas pemakaian produk kesehatan.
Selain mengadakan penyuluhan, pemerintah juga menyediakan bahan pokok pangan yg dibagikan
gratis kepada warganya.

2. Bagian A.
Menurut ketentuan KUHPerdata Pasal 1338 persetujuan harus didasari oleh itikad baik. Artinya dalam
menjalankan kewajibannya antara pelaku usaha dan konsumen dalam hal ini Rumah Sakit, dokter,
paramedis dan penjual alkes haruslah dimulai dari itikad yang baik. Itikad baik disini adalah semua yang
dilakukan oleh pihak pelaku usaha harus mengedepankan pelayanan yang baik bukan sekedar mencari
keuntungan. Dalam dunia usaha tentunya keuntungan menjadi faktor utama namun bukan sesuatu yang
mutlak, ada sesuatu yang lebih diabndingkan hal tersebut yaitu itikad baik sesuai asas kebermanfaatan.
Hak-hak konsumen dalam kondisi pandemi seperti sekarang tidaklah boleh terabaikan apapun alasannya.
Dalam pasal 4 UU No.8/1999 diatur mengenai hak konsumen, yang berujung pada konsumen harus
mendapatkan semua hak tersebut terlebih dalam kondisi pendemi seperti sekarang sebagai konsumen, kita
warga negara saat ini sangat rentan terhadap hilangnya hak-hak tersebut.
Jadi diperlukan itikad baik oleh pelaku usaha dalam hal ini Rumah Sakit, dokter, paramedis dan penjual
alkes untuk memenuhi hak-hak tersebut.
Bagian B.
Dalam hal regulasi yang dibuat oleh pemerintah terkait dengan penanganan pandemi Covid 19 sering
tidak memperhatikan aspek perlindungan konsumen sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
UUPK. Seperti halnya kewajiban Polymerase chair reaction (PCR) Covid 19 untuk pelaku perjalanan
yang mengalami perubahan beberapa kali dalam satu miinggu. Awalnya seluruh penerbangan wajib
tes PCR, lalu berubah hanya untuk wilayah Jawa-Bali, dan sekarang tidak wajib PCR. Ini tentunya
bertentangan dengan UUPK, dalam pasal 3 huruf d dijelaskan perlindungan konsumen bertujuan
untuk menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapat informasi.
Dengan seringnya terjadi perubahan dalam regulasi terkait penanganan covid 19 maka unsur kepastian
hukum dari UUPK menjadi terabaikan.
Hal ini terjadi karena memang situasi pandemi covid19 tidak bisa diprediksi dan sangat dinamis.
Karena virusnya sendiri terus melakukan mutasi dan semakin cepat menyebar. Ini tentunya harus
disikapi pemerintah dengan melakukan perubahan regulasi yang cepat untuk menghindari jatuhnya
korban yang lebih masif.

Bagian C.
Dalam ketentuan Pasal 5 UU No.36/2009 tentang Kesehatan dijelaskan bahwa :
a. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang
Kesehatan

b. Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau

c. Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan
kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Dalam kondisi pandemi seperti sekarang seringkali hak-hak tersebut terabaikan. Seperti contoh
banyaknya kasus rumah sakit yang tidak bisa memberikan layanan kesehatan bagi pasien non-covid. Ini
terjadi pada saat terjadi lonjakan kasus yang sangat besar sehingga berimbas jumlah tempat tidur yang
terisi penuh dan tenaga medis yang terfokus pada pasien covid. Hal ini diperparah dengan banyaknya
tenaga medis yang terserang virus covid 19. Belum lagi obat-obatan yang sangat langka dan mahal.
Tentunya dalam hal mendapatkan layanan kesehatan merupakan hak semua orang tanpa terkecuali
namun dengan adanya pandemi covid 19 ini membuat banyak orang mengalami imbasnya yaitu tidak
mendapat akses atas sumber daya di bidang kesehatan serta memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman dan bermutu.
3. Bagian A.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) memiliki fungsi dan tugas yang ditetapkan dalam
pasal 33 dan 34 UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam beberapa fungsi dan tugas ini
BPKN dalam hal pengelolaan data terkait covid , BPKN memiliki kewenangan untuk mengumpulkan
data pribadi, termasuk lokasi tracing yang ditampilkan hanya informasi mengenai lokasi tanpa membuka
identitas pribadi pasien. Data identitas pribadi pasien covid 19 merupakan ranah privasi bagi konsumen
sehingga wajib untuk dilindungi. Dalam kaitannya dengan UU No.36/2009 tentang Kesehatan,
dinyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh fasilitas kesehatan yang menjamin keamanan,
keselamatan dan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Berkaca dari kasus ini menurut saya apa yang dilakukan oleh BPKN dalam hal melindungi data pasien
covid 19 telah baik karena data yang ditampilkan hanya berupa lokasi yang pernah disinggahi oleh
pasien covid 19 tanpa membuka identitas pasien tersebut, baik berupa nama, tanggal lahir, alamat, jenis
kelamin dan seterusnya.

Bagian B.
Dalam pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 ditegaskan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi”. Kemudian dalam UU No.11/2008 tentang ITE pada pasal 26 ayat (1) “ kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media
elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang tersebut”.
Jadi data pribadi merupakan hak dari orang yang bersangkutan tanpa bisa di akses oleh orang lain kecuali
dengan persetujuan orang tersebut. Menanggapi hal ini maka perlindungan data pribadi sangat penting
tanpa harus di intervensi oleh pihak manapun. BPKN dalam menjalankan fungsinya tidak boleh di
intervensi pihak manapun baik itu pelaku usaha maupun orang pribadi. Pasal 4 UU No.8/1999
menegaskan konsumen berhak atas kenyaman, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa. Kemudian dalam Pasal 7 UU yang sama, pelaku usaha memiliki kewajiban untuk beritikad
baik dalam menjalankan usahanya. BPKN dalam hal ini memberi pelayanan jasa kepada konsumen
berupa perlindungan data pribadi tidak boleh di intervensi karena hak dari konsumen adalah keamanan
dan kenyamanan. Lalu pelaku usaha tidak boleh melakukan intervensi karena pelaku usaha ketika
melakukan intervensi berarti tidak beritikad baik sehingga melanggar kewajiban sebagaimana di atur
dalam pasal 7 UU tersebut.
Bagian C.
Dalam UU No.8/1999 dan PP No.4/2019 tentang BPKN dijelaskan bahwa tugas dan fungsi yang
diatur dalam pasal 3 PP No.4/2019 yaitu “ BPKN mempunyai fungsi memberi saran dan
pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen”.
Artinya BPKN hanya sebagai badan yang bertugas untuk meberi saran dan pertimbangan terkait
perlindungan konsumen bukan sebagai badan yang bertugas secara langsung dalam upaya
membantu konsumen yang hak-haknya dilanggar oleh pelaku usaha.
Terkait dengan lembaga yang bertugas secara langsung dalam hal membantu konsumen yang
hak-haknya dilanggar oleh pelaku usaha itu di amanatkan kepada Lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat yang diatur dalam pasal 44 UU No.8/1999. Karena dalam pasal
44 ayat (3) salah satu tugas dari lembaga tersebut adalah membantu konsumen dalam
meperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pnegaduan dari konsumen.

4.Bagian A.
Karena putusan BPSK masih dimungkinkan untuk diajukan keberatan ke pengadilan negeri oleh pihak
yang tidak puas. Padahal prinsip dasarnya putusan BPSK bersifat final dan mengikat, karena BPSK
dibentuk untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang nilai tuntutannya kecil. Pasal 54 ayat (3) UUPK,
dan Pasal 42 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan PerdaganganNomor 350/MPP/Kep/12/2001
dengan jelas menyebutkan, putusan majelis BPSK adalah final dan mengikat, dan tidak dimungkinkan lagi
untuk mengajukan upaya banding, tetapi dalam Pasal 56 ayat (2) UUPK, masih membuka peluang untuk
mengajukan “keberatan” kepada pengadilan negeri, setelah putusan BPSK diberitahukan.
Dalam konteks sengketa konsumen, kehadiran BPSK yang dibentuk pemerintah, semestinya bisa menjadi
bagian dari upaya perlindungan konsumen ketika sengketa dengan pelaku usaha. Pemerintah sebagai
institusi pembentuk BPSK rasanya kurang serius dalam pengembangan BPSK sehingga benar-benar bisa
menjadi optimal. Kesan umum yang nampak baik pemerintah pusat maupun daerah lebih sibuk mengejar
dan melayani investor dari pada memikirkan kepentingan publik termasuk hak-hak konsumen.
Bagian B.
Menurut analisis saya peluang terjadinya masalah adalah munculnya kemungkinan diajukannya keberatan
terhadap putusan BPSK antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa. Secara karena adanya
ketentuan memungkinkan mengajukan keberatan atas putusan BPSK ke Pengadilan Negeri, kemudian jika
belum menerima lagi putusan PN bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung keduanya adalah sama
“menganulir sifat final dan mengikat” dari putusan BPS, ini menunjukan adanya kontradiksi antara pasal
dalam UUPK, sehingga dapat dikatakan bahwa putusan BPSK tidak ada gunanya. Bukankah dengan tetap
diberikan peluang untuk mengajukan upaya hukum keberatan dan kasasi ini akan menambah lama waktu
penyelesaian sengketa konsumen dan pelaku usaha. Padahal penyelesaian melalui jalur non litigasi ini
salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi penumpukan perkara dan mempercepat penyelesaian
perkara sebagaimana prinsip beracara yang dikenal dengan peradilan yang sederhana, murah dan cepat.

Bagian C.
Pada prinsipnya, konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen, dalam hal ini yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(“BPSK”) atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa
konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak
yang bersengketa. Meski demikian, penyelesaian sengketa tersebut juga dapat dilakukan secara damai tanpa
melalui pengadilan atau BPSK.
Dari ketentuan di atas, maka terdapat 2 jalur penyelesaian yang dapat dipilih konsumen, yakni penyelesaian di
luar pengadilan melalui BPSK dan melalui pengadilan, dalam hal ini melalui badan peradilan. Namun, tak
menutup kemungkinan jika kedua belah pihak memilih penyelesaian secara damai tanpa melalui pengadilan
ataupun BPSK.
Jika menilik bunyi Pasal 45 UU Perlindungan Konsumen, ditegaskan bahwa pemilihan jalur penyelesaian
sengketa konsumen, baik melalui pengadilan atau di luar pengadilan, dilakukan berdasarkan pilihan sukarela
para pihak yang bersengketa. Kemudian, Pasal 4 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Nomor 350/MPP/KEP/12/2001 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (“Kepmendag 350/2001”) menegaskan:
Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan.
Sehingga, jika memilih penyelesaian sengketa di BPSK, akan dilakukan dengan cara mediasi, konsiliasi, atau
arbitrase atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak.
BPSK berwenang untuk meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran UU Perlindungan Konsumen, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan BPSK

Anda mungkin juga menyukai