Anda di halaman 1dari 12

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU) UAS

TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.1 (2021.2)

Nama Mahasiswa : Kevin Erlangga

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 043108093

Tanggal Lahir : 25-09-2021

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4211/Hukum Agraria

Kode/Nama Program Studi : 311/Ilmu hukum

Kode/Nama UPBJJ : 79/Kupang

Hari/Tanggal UAS THE : Minggu/19-desember-2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS
TERBUKA
Surat Pernyataan
Mahasiswa Kejujuran
Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Kevin Erlangga


NIM : 043108093
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4211/Hukum Agraria
Fakultas : FHISIP
Program Studi : Ilmu Hukum
UPBJJ-UT : Kupang

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran atas
pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Waingapu, 19 desember 2021

Yang Membuat Pernyataan

Kevin Erlangga
Nim : 043108093
LEMBAR JAWABAN

1. A.
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia harus dapat diperoleh setiap pemohon informasi
publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, serta cara sederhana.
Pasal 4 ayat (1) dan (2) PerKBPN Nomor 6 Tahun 2013 mengenai penyelenggaraan informasi
publik di lingkungan Badan Pertanahan Nasional
serta para penyelenggara yang bertanggung jawab berbunyi hal berikut.
a. Pelayanan inforrnasi publik diselenggarakan pada setiap tingkatan di lingkungan Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia meliputi
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia;
Kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional; dan
Kantor pertanahan.
b. Penyelenggara pelayanan informasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
Tim pertimbangan pelayanan informasi;
Penanggung jawab;
PPID;
Pejabat informasi;
Petugas informasi;
Staf informasi publik; dan
Petugas meja inform.asi.
Berdasarkan PerKBPN Nomor 6 Tahun 2013 mengenai tim pertimbangan pelayanan informasi
(Pasal 5), tim pertimbangan pelayanan informasi diketuai olch kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik indonesia (ayat (1)) dan tim tersebut ditetapkan melalui keputusan kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia (ayat (2)) serta tanggung jawabnya adalah memutuskan
pengujian konsekuensi informasi publik yang harus dikecualikan dan mengembangkan kapasitas
pejabat fungsional datilatau petugas informasi dalam rangka peningkatan kualitas layanan
informasi publik (ayat (3)). Penanggung jawab di Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
dijabat oleh sekretaris utama (Pasal 6 ayat (1)). Penanggung jawab di kantor wilayah Badan
Pertanahan Nasional dijabat oleh kepala kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional (Pasal 6 ayat
(2)). Penanggung jawab di kantor pertanahan dijabat oleh kepala kantor pertanahan (Pasal 6 ayat
(3)). Penanggung jawab mempunyai tugas (Pasal 6 ayat (4)) berikut.
l. Mengoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi pelaksanaan peraturan im.
Mengoordinasikan pengembangan sistem pengelolaan dan pelayanan informasi publik.
Memberikan tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh pemohon informasi publik.
Membuat laporan layanan informasi publik kepada kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia secara periodik dan berjenjang.
Adapun PPID di Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berdasarkan Pasal 7 PerKBPN
Nomor 6 Tahun 2013 sebagai berikut.
l. PPID di Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dijabat oleh
kepala Pusat Data dan Informasi Pertanahan.
2. PPID di kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional dijabat oleh kepala
bagian tata usaha.
3• PPID di kantor pertanahan dijabat oleh kepala subbagian tata usaha.
4. PPID bertugas sebagai berikut.
a• Mengoordinasikan penyimpanan dan pendokumentasian informasi
publik.
b• Mengoordinasikan tugas-tugas pejabat informasi, petugas informasi,
serta staf informasi publik dan petugas meja informasi.
Pada dasarnya, sistem informasi pertanahan (SIP) berawal dari
pengembangan sistem infonnasi geografis (SIG = geographic information system) pada bidang
pertanahan. SIG dapat didefinisikan sebagai sistem informasi berbasis komputer yang digunakan
untuk memproses data spasial yang bergeoreferensi (berupa detail, fakta, kondisi, dan sebagainya)
yang disimpan dalam suatu basis data dan berhubungan dengan semua persoalan serta keadaan
dunia nyata (real world).
Arah kebijaksanaan pertanahan yang berlandaskan falsafah negara Pancasila dan UUD 1945 dalam
pelaksanaan operasionalnya telah
digariskan dalam UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1960), Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1962.
Oleh sebab itu, pengelolaan bidang keagrariaan atau pertanahan oleh pemerintah harus merupakan
sarana perjuangan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia
dalam upaya pengembangan pembangunan seperti yang diamanatkan dalam konstitusi, khususnya
pembangunan dalam bidang pertanahan.
Menurut Drs. H.A.G. Sunendar,22 sistem informasi pertanahan (SIP) adalah suatu sistem
pengadaan dan pelayanan secara sistematis tentang data yang berkaitan dengan tanah dari suatu
wilayah sebagai basis dari kegiatankegiatan hukum, administrasi, ekonomi, perencanaan, dan
pengelolaan pembangunan yang dilaksanakan oleh BPN sesuai dengan Keppres Nomor 26 Tahun
1988. Berdasarkan keppres tersebut, BPN bertugas membantu presiden dalam mengelola dan
mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan UUPA maupun peraturan perudang-
undangan lain, yang meliputi pengaturan, penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, pengurusan
hak atas tanah, pengukuran, pendaftaran tanah, dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah
pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh presiden.

B.
YA, dalam usaha memecahkan masalah berbagai factor perlu di jadikan bahan pertimbangan. Di
samping itu, tumpeng tindih kegiatan beberapa instansi untuk mengumpulkan dan
mendistribusikan data pertanahan dan pengukuran meninjukan ketidak efesienan dan
ketidakterpaduan pengelolaan informasi pertanahan, hal ini memicuh konflik kepentingan
pertanahan. Oleh karena itu, di perlukan sistim informasi pertanahan yang terpadu sehingga di
harapkan keterbukaan ataupun ketertutupan informasi pertanahan, baik mengenai mekanisme,
prosedur, persyaratan pengurusan, maupun proses penyelesaian dan pelayanannya, dapat terwujud
dengan baik seirama dengan derap Langkah pembangunan seperti, diamanatkan dalam konstitusi.
Definisi ini menyatakan bahwa sistim informasi pertanahan adalah alat bentuk yang digunakan
untuk kegiatan pengambilan keputusan berkaitan dengan aspek hukum, administrative, dan
ekonomi untuk membantu perencanaan pembangunan suatu wilayah. Sistim informasi pertanahan
terdiri atas basis data yang bergeoreferensi serta mempunyai prosedur dan teknis yang secara
sistemati di gunakan untuk mengumpulkan, memperbarui, memproses, dan mendistribusikan data
pertanahan serta mempunyai fasilitas untuk menghubungkan data (spasial dan tekstual) yang ada,
baik dalam SIP itu sendiri maupun dengan sistim lain yang ada kaitannya dengan data pertanahan.
Secara singkat, SIP adalah sistim pengadaan dan pelayanan data/informasi pertanahan pada suatu
wilayah.
Sebagaimana sistem informasi geografis (SIG), sistem informasi pertanahan (SIP) mempersoalkan
hal berikut.
Data spasial memiliki acuan lokasi (sistem informasi tertentu) dan disimpan dalam basis data.
Basis data tersebut dilengkapi dengan prosedur dan teknik yang digunakan untuk pengelolaan data.
Pengelolaan data yang dimaksud adalah pengadaan secara sistematis, memperbarui (up-dating),
memproses, serta mendistribusikannya.
Basis data yang dapat dihubungkan dengan data pertanahan terkait lainnya (misalnya data
topografi, data pertanian, dan sebagainya).
Tujuan sistem informasi pertanahan (SIP) adalah meningkatkan efisiensi penggunaan data yang
sudah dikurnpulkan dan mengurangi duplikasi data.
Pengoperasian sistem informasi pertanahan (SIP) tergantung dari struktur organisasi/instansi yang
berurusan dengan persoalan tanah (nasional, provinsi, dan lokal), tetapi yang jelas adalah
pelaksanaannya harus selalu ertahap. Faktor lain yang menentukan berjalan atau tidaknya sistem
formasi pertanahan (SIP) sebagai berikut.24
1.Tahap pembangunan suatu negara, dukungan masyarakat, dan perangkat organisasi (termasuk
subsistemnya). Di Indonesia, organisasi yang dimaksud adalah BPN, Direktorat PBB.
2. Dinamika masyarakat, terutama dalam hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi suatu
negara (misalnya dalam konteks banyaknya 41, transaksi yang berhubungan dengan tanah).
3. Adanya proyek SIP berskala besar sehingga permasalahan pengadaan teknologi komputer
(perangkat keras dan lunak yang relatif mahal) dapat
diatasi.
4. Kesiapan sumber daya manusia (SDM) dalam menerima teknologi modern; teknologi informasi,
komputer, dan pemrosesan data elektronik.
5.Adanya keinginan dari instansi terkait untuk melakukan data sharing.

Untuk memahami pengertian sistem informasi pertanahan, dapat dilihat da•i beberapa isu masalah
sistem informasi pertanahan di Indonesia beserta akibat yang ditimbulkan oleh masalah tersebut
sebagai berikut.
1.Pertumbuhanikemajuan yang luar biasa dalam bidang komputer.
2.Sumber daya manusia (SDM) yang mampu menangani sistem informasi pertanahan (SIP) relatif
tidak banyak.
3.Biaya pengadaan perangkat keras dan lunak relatif mahal.
4.Kepemilikan data masih kurang jelas, terutama untuk tujuan berbagi pakai (data sharing).
5.Integrasi dan standardisasi data (horizon dan vertikal) belum ada.
6.Kesepakatan untuk menerapkan unit dasar spasial sistem informasi pertanahan (SIP) belum ada,
terutama karena SIP seharusnya tidak hanya dipakai untuk keperluan BPN, tetapi juga untuk PBB,
PDAM, PLN, Telkom, Gas, dan lain-lain.
7.Struktur organisasi untuk pengoperasian sistem informasi pertanahan jelas.

Yang harus diperhatikan adalah sistem informasi pertanahan (SIP) memerlukan dukungan
administrasi, teknis, dan politis.
Menurut Falmer,25 sistem informasi yang berkaitan dengan tanah terdiri atas berikut ini.
1.Informasi lingkungan yang menekankan suatu zona lingkungan yang berasosiasi dengan suatu
fenomena fisik, kimia, dan bioti.
2.Informasi infrastruktur yang menekankan pada struktur fasilitas pelyanan diantaranya Gedung,
transportasi, dan komunikasi
3. informasi sosial ekonomi di antaranya berupa data statistic dan sensus
2.
1. Syarat Materiil Syarat materil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut antara
lain sebagai berikut: Pertama, pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Maksudnya
adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan
dibelinya.
11 Untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang
dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak guna
bangunan, atau hak pakai. Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, yang dapat mempunyai
hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang
ditetapkan oleh pemerintah.
12 Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan asing di samping kewarganegaraan
Indonesianya atau kepada badan hukum yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka jual
beli tersebut batal karena hukum dan tanah jatuh pada negara. Kedua, penjual berhak menjual
kembali tanah yang bersangkutan. Yang berhak menjual suatu bidang tanah tertentu saja si
pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang
tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, bila
pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu
bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.
13 Ketiga, tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang dalam
sengketa. Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah ditentukan dalam
Undang-Undang Pokok Agraria yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pakai. Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan
orang yang berhak atas tanah yang dijualnya. Pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi
pemilik hak atas tanah atau tanah, yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau
merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut tidak sah.
Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal demi hukum. Artinya sejak
semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.
14 Penjual berhak dan berwenang menjual hak atas tanah. Yang berhak menjual adalah orang
yang namanya tercantum dalam sertifikat atau selain sertifikat. Seseorang berwenang menjual
tanahnya kalau dia sudah dewasa. Kalau penjualnya dalam pengampuan, maka dia diwakili
oleh pengampunya. Kalau penjualnya diwakili oleh orang lain sebagai penerima kuasa, maka
penerima kuasa menunjukkan surat kuasa notaril.

2. Syarat Formil Dalam rangka pendaftaran peralihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan
akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat pembuat akta tanah yang selanjutnya disebut
PPAT. Syarat jual beli harus dibuktikan dengan akta PPAT ditegaskan dalam Pasal 37 Ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas
satuan rumah susun melalui jual beli, tukarmenukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut
ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.15 Syarat formal dalam jual beli hak
atas tanah tidak mutlak harus dibuktikan dengan akta PPAT, Kepala kantor pertanahan
kabupaten/kota dapat mendaftarkan peralihan haknya meskipun tidak dibuktikan dengan akta
PPAT. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 37 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997. Dalam peraturan tersebut menyebutkan Z£W ^ ou l- v ö-åö-vöµ ê- P]uv yang
ditentukan oleh menteri, kepala pertanahan dapat mendaftarkan pemindahan hak atas bidang
tanah hak milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan
dengan akta yang dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut kepala kantor pertanahan tersebut
kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftarkan Atas dasar ketentuan Pasal 37
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menuntujukkan bahwa untuk kepentingan
pendaftaran peralihan hak kepada kantor pertanahan kabupaten/kota, jual beli hak atas tanah
harus dibuktikan dengan akta PPAT. Dalam keadaan tertentu, Kepala kantor pertanahan
kabupaten/kota dapat mendaftarkan peralihan hak atas tanah bidang tanah hak milik, para
pihaknya (penjual dan pembeli) perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan
akta yang dibuat oleh PPAT, tetapi kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftarkan
peralihak hak yang bersangkutan.17 Keharusan akta jual beli dibuat oleh PPAT tidak hanya
pada hak atas tanah yang telah terdaftar (telah bersertifikat) atau hak milik atas satuan rumah
susun, namun juga pada hak atas tanah yang belum terdaftar (belum bersertifikat) di kantor
pertanahan kabupaten/kota. Kalau jual beli hak atas tanah belum terdaftar (belum bersertifikat)
dan tujuan tidak untuk didaftarkan ke kantor pertanahan kabupaten/kota, maka jual belinya
dapat dibuat dengan akta di bawah tangan (bukan oleh PPAT). Dalam praktiknya, jual beli hak
atas tanah ini dibuat dengan akta dibawah tangan oleh para pihak yang disaksikan oleh kepala
desa atau kepala kelurahan setempat di atas kertas meterainya secukupnya. Dengan telah
dibuatnya akta jual beli ini, maka pada saat itu telah terjadi pemindahan hak dari pemegang
hak sebagai penjual kepada pihak lain sebagai pembeli. Jual beli tanah yang belum terdaftar
(belum bersertifikat dan tujuannya untuk didaftarkan ke kantor pertanahan kabupaten/kota
melalui pendaftaran tanah secara sporadis, maka jual belinya harus dibuat dengan akta PPAT.
Sejak berlaku efektif Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tanggal 8 Oktober 1997,
jual beli hak atas tanah yang belum terdaftar (belum bersertifikat) yang tidak dibuat dengan
akta PPAT, maka permohonan pendaftaran tanah dalam pendaftaran tanah secara sporadis
ditolak oleh kepala kantor pertanahan kabupaten/kota, maka dilakukan jual beli ulang oleh
penjual dan pembeli yang dibuat dengan akta PPAT.18 Sebelum akta jual beli dibuat PPAT,
maka disyaratkan bagi para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada
PPAT yaitu jika tanahnya sudah bersertifikat, sertifikat tanahnya yang asli dan tanda bukti
pembayaran biaya pendaftarannya. Jika tanahnya belum bersertifikat, surat keterangan bahwa
tanah tersebut belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan penguatan oleh
Kepala Desa dan Camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual
dan pembelinya yang diperlukan untuk persertifikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual
beli. Setelah akta dibuat, selambat-lambatnya 7 hari sejak akta tersebut ditandatangani, PPAT
menyerahkan akta tersebut kepada kantor pendaftaran tanah untuk pendaftaran pemindahan
haknya.19 Mengenai fungsi PPAT dalam jual beli, Mahkamah Agung dalam putusannya
Nomor 1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa Pasal 199 Peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun
1961 secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut
bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli tanah.20 Orang yang
melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh
sertifikat, biarpun jual belinya sah menurut hukum. Tata usaha PPAT bersifat tertutup untuk
umum, pembuktian mengenai berpindahnya hak tersebut berlakunya terbatas pada para pihak
yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan para ahli warisnya. Dalam
yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 123/K/Sip/1971, pendaftaran tanah hanyalah
perbuatan administrasi belaka, artinya bahwa pendaftaran tanah bukan merupakan syarat bagi
sahnya atau menentukan saat berpindahnya hak atas tanah dalam jual beli.

B. Tidak Boleh,Karena Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 menyebutkan bahwa
peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta
yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembuatan akta jual beli hak atas tanah tersebut, pihak 6 misalnya Adrian Sutedi, Peralihan Hak
Atas Tanah Dan Pendaftaranya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 11. 7 Ibid., hlm. 76. 8 Boedi
Harsono, op.cit., hlm. 211. 5 penjual dan pembeli harus menghadap PPAT, atau masing-masing
pihak dapat diwakili oleh seorang kuasa berdasarkan surat kuasa yang sah untuk melakukan
perbuatan hukum tersebut.9 Pihak pembeli harus memenuhi syarat subyek dari tanah yang akan
dibelinya itu. Demikian pula pihak penjual, harus pula memenuhi syarat yaitu berwenang
memindahkan hak atas tanah tersebut. Pembuatan akta jual beli hak atas tanah harus dihadiri oleh
para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-
kurangnya dua orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan
hukum itu.10 Apabila peralihan hak atas tanah karena jual beli dilakukan dihadapan PPAT, maka
akan mempunyai alat bukti yang kuat atas peralihan hak atas tanah yang bersangkutan, karena akta
PPAT adalah merupakan akta otentik. Meskipun administrasi PPAT sifatnya tertutup, tetapi PPAT
wajib menyampaikan akta yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan setempat untuk didaftar.
Hal ini bertujuan agar diketahui oleh umum, sehingga setiap orang dianggap mengetahuinya.

Setiap pembuatan akta di hadapan PPAT, harus disampaikan kepada Kantor Pertanahan dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak ditandatanganinya akta oleh PPAT yang bersangkutan untuk
didaftar. Bagaimana apabila masyarakat melakukan perbuatan hukum berupa jual beli hak atas
tanah yang hanya dibuktikan dengan selembar kwitansi saja atas transaksi jual beli hak atas tanah
dari penjual kepada pembeli, tanpa adanya akta jual beli yang dibuat di hadapan PPAT. Tentunya
perbuatan hukum ini akan sangat merugikan bagi pihak pembeli, karena pihak pembeli tidak ada
kepastian hukum terhadap peralihan hak atas tanah yang dibelinya, yang notabene telah membayar
sejumlah uang kepada pihak pembeli. Secara normatif sertipikat yang sudah dibelinya belum ada
bukti peralihan hak atas tanah yang bersangkutan dan sertipikat masih atas nama pihak penjual,
meskipun telah diserahkan kepada pihak pembeli. Mungkin dengan bukti pembelian berupa
selembar kwitansi ini dalam jangka waktu pendek masih belum mempunyai dampak hukum bagi
pembeli, 9 Ibid., hlm. 425-426. 10 Adian Sutedi, op.cit., hlm. 80-81. 11 Ibid., hlm. 53. 6 karena
apabila pembeli ingin melakukan perbuatan hukum terhadap hak atas tanahnya masih bisa
menghubungi pihak penjual, tetapi dalam jangka waktu panjang akan berpotensi menimbulkan
sengketa di kemudian hari. Hal tersebut di atas ternyata masih banyak terjadi di masyarakat
Indonesia, baik di kota maupun di desa-desa. Kejadian tersebut di atas berdasarkan pra penelitian,
penulis menemukan beberapa kasus mengenai jual beli hak atas tanah yang dilakukan secara di
bawah tangan. Jual beli hak atas tanah tersebut hanya menggunakan selembar kuitansi sebagai
bukti atas pembayaran hak atas tanah yang bersangkutan.

3. A.
-Lemahnya Keinginan Elite Politik dan Kapasitas Pemerintah Lokal
Dapat dikatakan, kebijakan landreform di masa Orde Baru mengambang dan kabur. Sikap ini
dapat dimaknai sebagai sebuah sikap untuk mengambil keuntungan secara politis dalam
perebutan penguasaan lahan ketika berhadapan dengan petani dan masyarakat. Dalam konteks
otonomi daerah, di mana pemerintahan daerah semakin diperkuat, namun aspek landreform
secara umum masih menjadi kewenangan dari pusat. Lebih ironisnya, pemerintah lokal yang
lebih berpihak kepada investor swasta, cenderung menjadi makelar untuk penyediaan tanah
bagi mereka. Kebijakan landreform jelas bukan merupakan ide yang menguntungkan untuk
meraih investor, retribusi, dan pendapatan daerah.
Satu peristiwa penting yang patut dicatat pada kurun waktu tahun 2004 ini adalah dirintisnya
pembentukan komisi khusus guna menangani konflik agraria oleh Komnas HAM dengan nama
Komnas untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA), termasuk nanti di dalamnya
peradilan khusus (land claim court). Pembentukan lembaga ini bertolak dari kenyataan
besarnya permasalahan konflik agraria di Indonesia, dimana sepanjang tahun 1999 saja
Komnas HAM telah menerima pengaduan 520 kasus, dan ini merupakan nomor tiga terbanyak
dibandingkan bidang lain (KPA, 2004). Keberadaan Komnas HAM terbatas karena meskipun
dapat menerima permasalahan berkenaan dengan kekerasan, penyiksaan, dan diskriminasi,
namun tidak menyinggung tentang sengketa tanahnya. Hal ini merupakan indikasi semakin
baiknya kesadaran dan dukungan dari golongan elit dalam memperjuangkan permasalahan
reforma agraria secara luas. Namun demikian, melihat lambatnya perkembangan yang terjadi,
maka aroma pesimisme dari dukungan elit politik sangat terasa.

- Ketiadaan Organisasi Masyarakat Tani yang Kuat dan Terintegrasi


Jika ditelusuri perkembangan keberadaan kelembagaan (atau adakalanya disebut organisasi)
dalam masyarakat pertanian dan pedesaan, terlihat bahwa kelembagaan umumnya dibentuk
dari atas, dan lebih sebagai wadah untuk distribusi bantuan dari pemerintah sekaligus untuk
memudahkan pengontrolannya (Syahyuti, 2003). Ribuan kelompok tani yang dibuat serta
ditambah ribuan lagi koperasi, umumnya bukan berasal dari ide dan kebutuhan masyarakat
setempat. Jenis kelembagaan seperti ini tentu bukan merupakan wadah perjuangan yang
representatif untuk mengimplementasikan landrefrom, karena selain kondisi individualnya
yang lemah, juga tidak terstruktur dan terintegrasi satu sama lain. Secara umum,
mengintroduksikan wacana landreform kepada masyarakat petani yang berada pada level
sedikit di atas garis batas subsistensi merupakan ide yang mahal dan mewah. Inilah salah satu
tantangan dalam implementasi reforma agraria, yaitu untuk mendapatkan dukungan yang luas
dan kokoh dari masyarakat. Kendala lain adalah karena adanya pemahaman pada masyarakat,
bahwa segala bentuk ketimpangan dan ketidakadilan dalam struktur penguasaan agraria saat ini
dianggap merupakan sesuatu yang natural, semata-mata karena mekanisme pasar, bukan
merupakan kesalahan skenario politik kalangan elit negara. Segala permasalahan yang dialami
dalam berusahatani tidak pernah dirasakan karena buruknya struktur dan sistem penguasaan
tanah, namun menimpakannya kepada masalah harga pupuk yang tinggi, rendahnya harga jual
produk, ketiadaan air irigasi, dan lain-lain.

- Miskinnya Ketersediaan Data Pertanahan dan Keagrariaan


Permasalahan elit, data, dan anggaran akan lebih banyak ditemukan dalam level makro,
sedangkan permasalahan organisasi masyarakat lebih banyak dipelajari pada level mikro.
Khusus untuk objek “keorganisasian masyarakat”, sebagaimana metode yang diterapkan
Cohen (1978) dalam penelitian sosiologi tentang agraria, akan difokuskan kepada hubungan
antar kelompok dan kelas sosial, serta sikap terhadap perubahan. Kesadaran, pengetahuan,
sikap dan keinginan terhadap ide reforma agraria dapat ditangkap melalui kuesioner persepsi;
sedangkan eksistensi kelembagaan masyarakat pada level mikro dapat dipahami melalui
pengamatan, wawancara mendalam, dan diskusi grup.

- Ketersediaan dan Alokasi Anggaran yang Kecil


Pelaksanaan landreform secara serentak dan menyeluruh akan menuntut biaya yang sangat
besar, mulai dari persiapannya, pembentukan organisasi pelaksana, implementasi, sampai
dengan pengawasan pasca redistribusi. Landreform di berbagai negara dunia ketiga yang
dilaksanakan pada era tahun 1960-an dimungkinkan karena sesuai dengan konstelasi politik
dunia saat itu, dimana setelah Perang Dunia II landreform dianggap salah satu kebijakan yang
sangat penting untuk pembangunan, mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial. Saat itu
negara-negara besar dan lembaga donor mendukungnya (Bahari, 2004). Namun, setelah era
tersebut, landreform tampaknya tidak lagi menjadi prioritas. Lembaga donor lebih tertarik
untuk mengimplementasikan program industrialisasi di negara-negara berkembang
dibandingkan landreform. Kebijakan ini dipilih karena risikonya lebih kecil, dan tidak
menimbulkan gejolak politik yang mahal. Bersamaan dengan itu, lahirnya revolusi hijau,
semakin mengaburkan perhatian kepada landreform. Dengan teknologi baru, terutama
introduksi varietasvarietas unggul (high yield variety), maka kemajuan ekonomi pedesaan telah
tercapai. Pada kurun selanjutnya, penemuan baru tentang rekayasa genetika (genetic modified
organism) dan rekayasa sosial melalui sistem agribisnis dipercaya sebagai jawaban untuk
meningkatkan produksi pertanian dan sekaligus kesejahteraan petani.

B.
Kebijakan dan Pelaksanaan Land Reform di Era Kepemimpinan Jokowi-JK
Berdasarkan indeks GINI = 0,58% yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, menunjukkan
bahwa 58% tanah di Indonesia dimiliki oleh 1% penduduk. Betapa tidak meratanya
kepemilikan tanah ini.
Selain itu, stagnansi dari Reforma Agraria, telah menjadi suatu penyakit kronis yang
perlu segera ditangani. Dalam dokumen Visi-Misi Resmi Joko Widodo - Jusuf Kalla semangat
untuk mencapai Indonesia Kerja & Indonesia Sejahtera salah satunya yang mendorong Land
Reform dengan memberikan kepemilikan tanah .
Dengan program tersebut, dapat kita lihat bahwa pada tanggal 7 April 2016 lalu,
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang mengeluarkan Peraturan
Menteri ATR No. 18 Tahun 2016 sebagai pelaksana dari UUPA Pasal 7 Tentang Pembatasan
Kepemilikan Tanah.
Di dalam aturan tersebut mengatur pemilik tanah pertanian yang berdomisili di luar
kecamatan dimana tanah berada dalam waktu 6 bulan tidak mengatur kepemilikannya kepada
orang lain, maka hak atas tanahnya dihapus dan tanahnya dikuasai langsung oleh Negara .
Implementasi Program Land Reform dalam Pemerintahan Jokowi - Jusuf Kalla terkait
dengan ini memang belum terlihat nyata, namun sangat dianjurkan jika hal ini tidak disarankan
dengan nyata karena di Indonesia banyak pemilik modal yang berinvestasi di tanah , baik tanah
pertanian ataupun tanah selain itu.
Dengan demikian perlu pertimbangan yang matang pada saat akan berinvestasi tanah,
dan perlu juga solusi terbaik jika sudah ada uangnya dalam kepemilikan tanah, agar tidak ada
penyesalan di belakang hari.

4. A.
Atas dasar ketentuan UUPA diterbitkan peraturan perundangan landreform yaitu Undang-
undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang bertujuan
untuk mengadakan penataan penguasaan tanah dan meningkatkan pendapatan serta
kesejahteraan rakyat khususnya para petani kecil secara adil dan merata, sehingga terbuka
kesempatan untuk mengembangkan diri mencapai kemakmuran sebagai bagian dari
pembangunan Nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila Landreform merupakan salah satu sarana untuk memperbaiki kehidupan rakyat tani
dan oleh karena itu tujuan utama yang hendak dicapai adalah meliputi tujuan ekonomi, tujuan
sosial politis dan mental psikologis.7 Tujuan ekonomis yang akan dicapai adalah memperbaiki
keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik serta memberi isi fungsi sosial
pada hak milik, serta memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian untuk
mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat. Sedangkan tujuan politis tersebut adalah
mengakhiri sistem tuan tanah (tanah partikelir) dan mengakhiri pemilikan tanah yang luas
(kelebihan maksimum) serta mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan
rakyat tani berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian yang adil. Adapun tujuan mental
psikologis yaitu meningkatkan kegairahan kerja bagi petani penggarap dengan jalan
memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah, serta memperbaiki hubungan kerja
antara pemilik tanah dengan penggarap. Untuk melaksanakan tujuan tersebut pemerintah telah
melaksanakan Landreform dalam arti yang sempit salah satunya yaitu kegiatan proyek
redistribusi tanah. Redistribusi tanah adalah pembagian tanah-tanah yang dikuasai oleh negara
dan telah ditegaskan menjadi objek landreform yang diberikan kepada para petani penggarap
yang telah memenuhi syarat ketentuan Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961. Dengan
tujuan untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan cara mengadakan pembagian
tanah yang adil.

B.
Tidak bisa di jadikan hak milik karena harus mempunyai bukti yang kuat dalam penanganan
tanah pertanian.

Anda mungkin juga menyukai