Anda di halaman 1dari 4

NAMA : INOKY AKBAR D.

F
NIM : 041570686
TUGAS : HKUM4202 PERDATA
JAWABAN

1. Seperti yang dijelaskan dalam Pancasila, negara Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas ketuhanan YME. Oleh karena itu, pernikahan berdasarkan hukum
agama pun dinilai menjadi hal yang sangat penting dan wajib dilaksanakan.

Tata cara pelaksanaannya disesuaikan dengan hukum agama masing-masing.


Misalnya, untuk yang beragama Islam, setiap pasangan harus melakukan prosesi akad
nikah. Untuk melangsungkan akad nikah ada rukun nikah, yaitu:
a. Calon pengantin laki-laki
b. Calon pengantin perempuan,
c. Wali nikah untuk calon pengantin perempuan, bisa ayah atau wali lainnya bila
ayah mempelai berhalangan atau sudah meninggal dunia,
d. Dua orang saksi pernikahan (laki-laki),
e. Ijab dan Qobul.
Pernikahan yang dianggap sah dan resmi di Indonesia adalah pernikahan yang
dilegalkan baik secara agama maupun secara sipil (negara). Ketika pasangan telah
melakukan kedua hal ini, maka mereka akan mendapatkan bukti dokumen yang
dikeluarkan oleh negara.
Bukti dokumen yang diberikan negara untuk pasangan beragama Islam adalah buku
nikah. Adapun bukti dokumen yang diberikan negara untuk pasangan beragama non-
Islam adalah akta pernikahan.
Kedua hal ini sangat penting untuk dimiliki oleh setiap pasangan yang baru saja
menikah. Dengan adanya buku nikah atau akta pernikahan yang disahkan oleh Kantor
Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil, maka negara pun ikut mengakui
adanya pernikahan dari pasangan tersebut. Ini bisa mencegah fitnah serta kepastian
posisi dari pasangan suami istri di hadapan hukum.
Selain itu, buku nikah dan akta pernikahan juga dapat memastikan pasangan suami
istri untuk mendapatkan haknya, menjamin kesejahteraan anak-anaknya kelak, dan
bahan kesaksian agar tidak ada pihak yang dirugikan apabila terjadi perceraian

2. Mahkamah Konstitusi (“MK”) melalui putusan No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17


Februari 2012 memutus bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (“UU Perkawinan”) bertentangan dengan UUD 1945 bila tidak dibaca:
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya.

Tujuan dari MK adalah untuk menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak
mendapat perlindungan hukum. Menurut pertimbangan MK, hukum harus memberi
perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang
dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan
meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan.
MK No. 46/PUU-VIII/2010 tidak menyebut soal akta kelahiran anak luar kawin
maupun akibat hukum putusan tersebut terhadap akta kelahiran anak luar kawin.
Implikasi putusan MK ini berkaitan dengan status hukum dan pembuktian asal usul
anak luar kawin. Hubungannya dengan akta kelahiran adalah karena pembuktian asal-
usul anak hanya dapat dilakukan dengan akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh
pejabat berwenang sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU
Perkawinan. Lebih lanjut, simak artikel Akta Kelahiran Untuk Anak Hasil Kawin Siri
dan Akta Kelahiran Untuk Anak Luar Kawin.
Mengenai konsekuensi hukum dengan dikeluarkannya suatu akta kelahiran terhadap
anak luar kawin ialah di dalam akta kelahiran anak tersebut hanya tercantum nama
ibunya. Karena pada saat pembuatan akta kelahiran, status sang anak masih sebagai
anak luar kawin yang hanya diakui memiliki hubungan darah dan hubungan perdata
dengan ibu dan keluarga ibunya saja.
Dalam akta kelahiran anak luar kawin tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak
dengan tercantum nama, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan
tanggal kelahiran ibu (menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak).
Demikian ketentuan Pasal 55 ayat (2) huruf a PP No. 37 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Dengan adanya putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, hubungan antara anak luar
kawin dengan bapaknya adalah hubungan darah dalam arti biologis yang dikukuhkan
berdasarkan proses hukum. Putusan MK membuka kemungkinan hukum bagi
ditemukannya subyek hukum yang harus bertanggungjawab terhadap anak luar kawin
untuk bertindak sebagai bapaknya melalui mekanisme hukum dengan menggunakan
pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan/atau hukum.
Dengan kata lain, setidaknya ada dua cara untuk dapat menjadikan sang anak luar
kawin memiliki hubungan darah dan juga hubungan perdata dengan ayah biologisnya
dan keluarga ayahnya, yaitu;
a. Pengakuan oleh sang ayah biologis; atau
b. Pengesahan oleh sang ayah biologis terhadap anak luar kawin tersebut.

3. Menurut Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 pada asasnya seorang pria hanya boleh
memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Ini artinya
bahwa dalam suatu perkawinan seorang suami hanya boleh mempunyai seorang isteri, begitu
juga sebaliknya seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami, selanjutnya pada
penjelasan pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa undang-undang ini
menganut asas monogami. Akan tetapi sekalipun demikian asas yang dianut oleh Undang-
undang perkawinan sebenarnya bukan asas monogami mutlak tetapi adalah monogami yang
tidak bersifat mutlak, karena pada bagian lain dari Undang-undang ini dinyatakan bahwa
seorang suami boleh beristeri lebih dari seorang perempuan apabila dikehendaki oleh pihak-
pihak yang bersangkutan (istri pertama memberi izin) dan juga mendapat izin dari Pengadilan
(Pasal 3 (2), 4, dan 5 UU No. 1 Tahun 1974). Jika izin dari pengadilan Agama tidak diperoleh,
maka menurut ketentuan pasa1 44 PP No. 9 Tahun 1975 Pegawai Pencatat dilarang untuk
melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang. Akan
tetapi dalam kenyataannya seringkali terjadi perkawinan poligami yang dicatatkan di KUA,
padahal perkawinan tersebut tanpa persetujuan istri pertama dan juga tidak ada izin dari
pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri pertama. Padahal secara administrasi
pencatatan perkawinan poligami dapat dilakukan setelah memenuhi syarat-syarat yang
diantaranya adalah adanya izin pengadilan yang dilampirkan ketika melakukan pemberitahuan
kehendak nikah ke KUA yang mewilayahi tempat pernikahan dicatatkan (pasal 6 angka 2 huruf
d PP No. 9 Tahun 1975. Dengan demikian jika perkawinan poligami dicatatkan di KUA,
sedangkan izin istri pertama dan izin dari pengadilan agama tidak ada, maka pihak yang
berkepentingan dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan tersebut ke Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat tinggal termohon atau ke tempat perkawinan tersebut
dilakukan. Menurut peraturan perundang-undangan perkawinan pemeriksaan perkara
permohonan pembatalan perkawinan poligami sama dengan pemeriksaan gugatan perceraian,
akan tetapi dalam hal memutuskan apakah perkawinan tersebut dapat dibatalkan karena semata
tidak ada putusan tentang izin dari pengadilan masih diperdebatkan, ada yang berpendapat
bahwa ukuran terakhir dari kriteria bisa dibatalkan atau tidak bisa dibatalkan sebuah
perkawinan bukanlah bergantung dari undang-undang sendiri, tetapi bergantung kepada hukum
agamanya misalnya bagi orang islam ukuran terakhir dapat batal atau tidaknya perkawinan
poligaminya berada pada hukum Islam, sementara itu ada juga yang berpendapat bahwa
perkawinan poligami dapat dibatalkan jika tidak ada ijin istri dan ijin dari pengadilan semata
karena itu makalah ini mencoba melihat praktek pembatalan perkawinan di pengadilan agama
dengan melihat beberapa putusan.

Anda mungkin juga menyukai