Anda di halaman 1dari 5

JAWABAN NO 1

Kita tidak dapat memungkiri, bahwa dalam suatu ekosistem lingkungan akan terdapat banyak
interaksi berupa hubungan timbal balik antar makhluk hidup ataupun makhluk hidup dengan
lingkungannya. Bukan tanpa masalah, adanya interaksi tersebut belakangan menjadi
perhatian terutama antar makhluk hidup itu sendiri (manusia, hewan dan tumbuhan). Fokus
bahasan ini adalah mengenai isu kesehatan yang pada akhirnya memicu
penyakit zoonosis yang terangkat ke permukaan setelah adanya SARS, MERS, Ebola H5N1,
H1N1 hingga NCov-2019/ SARS-Cov-2 menyerang masyarakat global.[9] Sadarkah kita
bahwa banyaknya kemunculan penyakit tersebut disebabkan oleh virus yang bermutasi ketika
kita banyak melakukan kontak fisik dengan hewan?
Centers for Disease Control and Prevention mengakui bahwa kesehatan manusia
berhubungan dengan kesehatan hewan dan lingkungan.[10] Bahkan dunia mengalami
peningkatan ancaman penyakit menular baru atau dikenal dengan emerging infectious
diseases (EID) yang 70 %  bersifat zoonosis atau menular dari hewan ke manusia.[11] Tak
dapat dibiarkan berlalu begitu saja tanpa ada penanganan, seharusnya  Pemerintah dibantu
masyarakat harus mengambil sikap untuk mencegah semakin berkembangnya penyakit yang
bersifat zoonosis tersebut.
Oleh karena itu, untuk menangani hal tersebut diperlukan suatu pendekatan dimana interaksi
dalam lingkungan dapat terjaga walaupun manusia melakukan kontak dengan hewan
sekalipun. Pendekatan tersebut disebut dengan One Heath. Pendekatan ini melibatkan
pendekatan kolaboratif, multisektor,dan transdisipliner yang wilayah cakupannya dari tingkat
lokal, regional, nasional hingga global bertujuan mencapai hasil kesehatan yang optimal
mengenai hubungan antara manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan yang sama.[12] Dapat
disimpulkan bahwa konsep ini mengajarkan arti berbagi lingkungan dengan tidak merugikan
satu sama lain.
            One health  adalah suatu konsep yang mengakui bahwa kesehatan manusia
dipengaruhi pula oleh kesehatan hewan dan lingkungan.[13] One Health Approach bukanlah
suatu hal yang baru melainkan keberadaannya menjadi lebih penting beberapa tahun terakhir.
Hal ini karena banyak faktor yang telah mengubah interaksi antara manusia, hewan,
tumbuhan dan lingkungan, antara lain [14]:
 Populasi manusia tumbuh dan berkembang ke daerah-daerah geografis baru. Alhasil,
lebih banyak orang hidup berdampingan dengan binatang liar, binatang peliharaan dan
ternak. Hewan memainkan peran penting dalam kehidupan kita, baik untuk makanan, serat,
penghidupan, perjalanan, olahraga, pendidikan, atau persahabatan. Karena seringnya kontak
dengan binatang dan lingkungannya, lebih banyak kesempatan bagi penyakit untuk ditularkan
melalui hewan dan manusia.
 Bumi telah mengalami perubahan iklim dan penggunaan lahan, seperti penggundulan
hutan dan praktek pertanian yang intensif. Gangguan terhadap kondisi lingkungan dan habitat
dapat memberikan kesempatan baru bagi berbagai penyakit untuk ditularkan ke binatang.
 Pergerakan manusia, binatang, dan produk-produk hewani telah meningkat dari
perjalanan dan perdagangan internasional. Akibatnya, penyakit dapat menyebar dengan cepat
melintasi perbatasan dan ke seluruh dunia. Perubahan ini mengakibatkan meluasnya penyakit
zoonosis, yang dapat menyebar di antara binatang dan manusia.
Menurut Para Pakar dunia, Implementasi One Health Approach  adalah solusi dalam yang
digunakan dalam menjawab ancaman zoonosis.[15] Konsep ini merupakan startegi dalam
memperluas kolaborasi interdisipliner untuk membangun sinergitas pemajuan upaya
kesehatan yang diwujudkan melalui mempercepat penemuan penelitian biomedis,
meingkatkan upaya kesehatan masyarakat, memperluas basis pengetahuan ilmiah serta
meningkatkan pendidikan dan perawatan klinis.[16] Maka ke depan dibutuhkan sinergitas
yang tinggi antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan, masyarakat sebagai pendukung
kebijakan dibantu berbagai profesi dan ahli dari dokter, ahli gizi, perawat, sampai ahli
ekologi untuk menjamin kesehatan manusia, hewan dan lingkungan.
Law Enforcement
Dalam hal penegakan hukum, mari kita tinjau dari awal munculnya virus tersebut di
Indonesia. Pemerintah RI berdasarkan Pasal 154 UU Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan, wajib mengumumkan wilayah yang menjadi sumber penularan penyakit ke
masyarakat. Ini berarti pemerintah wajib mengungkapkan jenis dan persebaran penyakit yang
berpotensi menular atau menyebar dalam waktu yang singkat serta menyebutkan daerah yang
menjadi sumber penularan. Namun, faktanya pemerintah lamban dalam menyebarkan
informasi terkait kasus pertama Covid–19 yakni pengumuman secara resmi baru disampaikan
setelah sepekan sejak dinyatakannya dua pasien positif virus SARS-Cov-2 dan tidak adanya
pemberitahuan domisili dua pasien tersebut.[17] Hal ini membuktikan bahwa pemerintah
terlihat ragu dalam menghadapi pandemi global ketika sebelumnya terlalu jumawa dalam
mengantisipasi datangnya virus tersebut ke Indonesia.
Tetapi dalam membahas suatu permasalahan, kita tidak bisa berlarut-larut membahas hal
yang sudah terjadi dan terlanjur menyimpang. Maka lebih baik memperbaiki ke depan,
pemerintah harus mempersiapkan skenario lebih lanjut dalam penanganan Covid-19 terutama
untuk mengatisipasi lonjakan jumlah infeksi yang sudah di prediksi, bahwa disini hukum juga
harus ditegakan baik ketika penanganan dan dapat turut mencegah jika wabah serupa terjadi
di depan (futuristik). Dalam penegakan hukum yang harus dilakukan mari kita lihat beberapa
hal diantaranya :

 Dasar konstitusional atas Jaminan Kesehatan


Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, yang belakangan telah dijamin haknya
secara konstitusional. Sesungguhnya jaminan konstitusi terhadap hak atas kesehatan telah ada
sejak masa Konstitusi Republik Serikat (RIS) 1949 “Penguasa senantiasa berusaha dengan
sunguh-sungguh memajukan kebersihan umum dan kesehatan rakyat”. Setelah bentuk negara
serikat kembali ke bentuk negara kesatuan dan berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara
1950 (UUDS), ketentuan Pasal 40 Konstitusi RIS di adopsi ke dalam Pasal 42 UUDS.[18]
Sejalan dengan itu, Konstitusi World Health Organization (WHO) 1948 telah menegaskan
pula bahwa “memperoleh derajat kesehatan yang setinggitingginya adalah suatu hak asasi
bagi setiap orang” (the enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the
fundamental rights of every human being). Istilah yang digunakan bukan “human rights”,
tetapi “fundamental rights”, yang kalau kita terjemahkan langsung ke Bahasa Indonesia
menjadi “Hak hak Dasar”.[19]
Kemudian pada tahun 2000, melalui Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945,
kesehatan ditegaskan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam Pasal 28H ayat (1)
dinyatakan, bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.” Masuknya ketentuan tersebut ke dalam Undang-Undang Dasar 1945,
menggambarkan perubahan paradigma yang luar biasa. Kesehatan dipandang tidak lagi
sekedar urusan pribadi yang terkait dengan nasib atau karunia Tuhan yang tidak ada
hubungannya dengan tanggung jawab negara, melainkan suatu hak hukum (legal rights) yang
tentunya dijamin oleh negara.[20]
 Tindak Lanjut one health Approach
Untuk menindaklanjuti antisipasi kedaruratan penyakit zoonosis, selain telah ada serangkaian
regulasi yang mengatur upaya perlindungan dan pencegahan penyakit menular juga perlu ada
Pedoman Koordinasi Pendekatan One Health, yang nantinya mengkoordinasikan peran antar
kementerian terkait dalam penanganan penyakit misalnya mengkoordinasikan Kementerian
Kesehatan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.  Upaya ini diharapkan dapat
mendukung keberadaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 yang menetapkan wabah
penyakit sebagai salah satu bencana non-alam yang perlu dikelola potensi ancamannya.
 Kebijakan Social Distancing
Adanya Social Distancing sejauh ini sangat efektif dalam menghambat penyebaran
virus/penyakit, yakni dengan mencegah orang sakit melakukan kontak dekat dengan orang-
orang untuk mencegah penularan.[21] Namun melihat fenomena sekarang, nyatanya social
distancing masih berbentuk imbauan yang jika tidak dibantu diviral–kan di media sosial akan
lebih sedikit mayarakat yang mengetahuinya. Maka dari itu, sebaiknya kebijakan social
distancing harus dimuat dalam dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang
tentang upaya penanganan wabah Covid-19, yang salah satunya mengatur social
distancing adalah kewajiban, jika perlu terdapat penegasan berupa sanksi sesuai hukum
positif, agar masyarakat tidak hanya sadar akan pentingnya social distancing tetapi juga
menerapkan praktiknya. Hal ini dirasa perlu untuk melakukan pembatasan hak individual
dalam melakukan social distancing karena kondisi yang terjadi adalah kegentingan yang
mengancam kesehatan publik.
 Perlindungan bagi Tenaga Kesehatan sebagai Garda Depan
Berkenaan dengan social distancing, sebenarnya kita juga turut membantu tenaga kesehatan
yang berdiri di garda depan dalam mencegah bertambahnya jumlah infeksi. Selain itu,
pemerintah pula perlu menjamin perlindungan dan keselamatan kerja bagi tenaga medis
dalam upaya penanganan Covid-19. Tuntutan perlindungan tenaga kesehatan bergulir setelah
ada tujuh dokter meninggal karena positif terinfeksi, kelelahan hingga serangan jantung.
[22] Maka dari itu, harus ada pengaturan jam kerja, penambahan jumlah rumah sakit rujukan,
pemenuhan kebutuhan primer setiap tenaga kesehatan, penyediaan Alat Pelindung Diri
(APD), kemudian penentuan skala prioritas pemberian APD harus diutamakan ketimbang
pemberian insentif (meskipun ini juga perlu). Jangan sampai garda depan kekurangan senjata
dalam menangani pandemik, terlebih belum ada vaksin.
Kepastian hukum merupakan instrumen penting dalam menjamin keselamatan tenaga
kesehatan sehingga pemerintah tidak dapat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap
penugasan tenaga kesehatan. Terlebih jika melihat peraturan perundang-undangan mengenai
tenaga kesehatan nampaknya belum ada yang mengatur penjaminan kepastian hukum bagi
tenaga kesehatan sekalipun sudah ada Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan. Maka dari itu Pemerintah perlu menerbitkan peraturan pelaksanaan dan petunjuk
teknis UU Tenaga kesehatan dan  undang-undang lainnya yang mengatur tentang
perlindungan hukum dan keselamatan kerja bagi Tenaga kesehatan. [23] Sejalan dengan hal
tersebut, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto, menyatakan bahwa
jumlah dokter spesialis paru terbatas, hal ini harus diupayakan oleh pemerintah dengan
mengadakan kebijakan lebih lanjut agar jumlah kasus infeksi tidak
membuat kewalahan tenaga kesehatan, hal ini dilakukan untuk memutus mata rantai
penyebaran virus seperti dengan melakukan pengadaan karantina parsial [24] dan social
distancing.
 Menatap kebijakan Lockdown oleh Pemerintah Pusat
Kewenangan lockdown berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan merupakan wewenang absolut Pemerintah Pusat. Dalam Pasal 1
Angka 1 dinyatakan bahwa  “kekarantinaan kesehatan dilakukan untuk mencegah dan
menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyrakat  yang
berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan  masyarakat.” Maka dari itu jika ada
pemerintah daerah yang merasa daerahnya memiliki situasi kedaruratan dan hendak
melakukan lockdown, tentunya hal ini inkonstitusional dan perlu adanya konsul dari kepala
daerah dengan pemerintah pusat sebelum mengambil kebijakan terkait.  
Menimbang keadaan darurat maka penyebaran virus corona yang  saat ini telah meninfeksi
893 orang (per 26 Maret 2020) maka virus ini [25] dapat dikategorikan sebagai penyebaran
penyakit menular yang dapat memicu kedaruratan kesehatan masyarakat, sehingga
pelaksanaan karantina nasional sebetulnya dapat dilakukan apalagi dengan kewenangan yang
sudah jelas dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan.
Namun sejauh ini pemerintah pusat belum mengeluarkan kebijakan lockdown, walaupun
jumlah infeksi sudah meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi
selama lockdown dilakukan. Penurunan ekonomi, kegagalan bisnis hingga banyaknya PHK
oleh perusahaan menjadi pertimbangan utama.[26] Belum lagi pemerintah harus dapat
memenuhi kebutuhan dasar penduduk selama aktivitas lockdown atau karantina nasional
ketika diberlakukan. Pertanyaannya pun muncul, bahwa apakah pemerintah sanggup untuk
memenuhi kebutuhan primer warga negaranya ketika lockdown terjadi?

Jawaban no 2

Presiden Joko Widodo pada 9 Februari 2021 telah menandatangani Peraturan Presiden


(Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun
2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan
Pandemi COVID-19. Peraturan ini dapat diakses pada laman jdih.setkab.go.id. Perpres ini
berisi perubahan mengenai beberapa ketentuan terkait pengadaan vaksin dan pelaksanaan
Vaksinasi COVID-19 yang perlu disesuaikan dengan kebutuhan pelaksanaan pengadaan
vaksin, cakupan keadaan kahar (force majeure), kejadian ikutan pasca pelaksanaan vaksinasi,
dan pembayaran uang di muka atau uang muka untuk penyediaan vaksin. Dalam Pasal I
perpres tersebut dijabarkan sejumlah pasal yang terdapat perubahan atau penambahan.
Seperti misalnya perubahan pada Pasal 4 ayat (2) tentang kerja sama dengan lembaga/badan
internasional untuk pelaksanaan pengadaan vaksin yang meliputi: a)  kerja sama dalam
rangka penelitian dan pengembangan Vaksin COVID- 19; dan/atau b) kerja sama untuk
penyediaan Vaksin COVID-19 dan tidak termasuk peralatan pendukung untuk Vaksinasi
COVID- 19. Perubahan selanjutnya terdapat pada Pasal 11 ayat (1) yang bunyinya menjadi,
“Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure) sebagaimana tercantum dalam kontrak atau
kerja sama dan/atau kegagalan pemberian persetujuan penggunaan pada masa darurat
(emergency use authorization) atau penerbitan Nomor lzin Edar (NIE) Vaksin COVID-19,
pelaksanaan kontrak atau kerja sama dalam pengadaan Vaksin COVID- 19 dapat dihentikan.”
Force majeure yang dimaksud adalah keadaan yang terjadi di luar kehendak para pihak dalam
kontrak atau kerja sama dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban yang
ditentukan dalam kontrak atau kerja sama menjadi tidak dapat dipenuhi, meliputi keseluruhan
proses pengadaan vaksin, termasuk penyerahan vaksin. Selanjutnya, di antara Pasal 11 dan
Pasal 12 disisipkan dua pasal yaitu Pasal 11A dan Pasal 11B. Pada Pasal 11A ayat (1)
disebutkan, dalam hal pengadaan vaksin dilakukan melalui penugasan kepada BUMN,
penunjukan langsung kepada badan usaha penyedia, atau kerja sama lembaga/badan
internasional yang penyedianya mempersyaratkan adanya pengambilalihan tanggung jawab
hukum, Pemerintah mengambil alih tanggung jawab hukum penyedia vaksin meliputi
keamanan, (safety), mutu (quality), dan khasiat (efficacy)/imunogenisitas. “Pengambilalihan
tanggung jawab hukum oleh Pemerintah terhadap penyedia Vaksin COVID-19 sebagaimana
dimaksud dilakukan sepanjang proses produksi dan distribusi telah memenuhi cara
pembuatan obat yang baik dan/atau cara distribusi obat yang baik,” ditegaskan dalam Pasal
11 ayat (2). Pengambilalihan tanggung jawab hukum tersebut dituangkan dalam
perjanjian/kontrak. Sementara pada Pasal 11B disebutkan bahwa ketentuan mengenai
pengadaan vaksin, baik melalui penugasan kepada BUMN PT Bio Farma Persero,
penunjukan langsung badan usaha penyedia, dan kerja sama dengan badan/lembaga
internasional, akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga (K/L) terkait. Lebih lanjut di antara Pasal
13 dan Pasal 14 juga disisipkan dua pasal, yaitu Pasal 13A dan Pasal 13B yang mengatur
terkait sasaran penerima vaksin dan sanksi bagi yang tidak mengikuti vaksinasi. Pasal 13A
ayat (1) menyebutkan pendataan dan penetapan sasaran penerima Vaksin COVID-19
dilakukan oleh Kemenkes. “Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima
Vaksin COVID-19 berdasarkan pendataan sebagaimana dimaksud wajib mengikuti Vaksinasi
COVID-19,” bunyi Pasal 13A ayat (2). Kewajiban tersebut dikecualikan bagi sasaran
penerima vaksin yang tidak memenuhi kriteria penerima Vaksin COVID-19 sesuai dengan
indikasi Vaksin COVID-19 yang tersedia. “Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai
sasaran penerima Vaksin COVID- 19 yang tidak mengikuti Vaksinasi COVID- 19
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif, berupa: a.
penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial; b. penundaan atau
penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau c. denda,” bunyi ketentuan Pasal
13A ayat (4) Perpres 14/2021. Pengenaan sanksi administratif dimaksud dilakukan oleh
kementerian, lembaga, pemerintah daerah (pemda), atau badan sesuai dengan
kewenangannya. Penambahan selanjutnya adalah Pasal 15A dan Pasal 15B yang mengatur
tentang biaya pengobatan dan perawatan yang akan ditanggung Pemerintah jika terdapat
kejadian ikutan pasca Vaksinasi COVID-19, serta kompensasi yang akan diberikan
Pemerintah jika kasus tersebut menimbulkan kecacatan atau meninggal dunia. Pada Pasal
15A ayat (1) disebutkan, dalam rangka pemantauan kejadian ikutan pasca Vaksinasi COVID-
19 dilakukan pencatatan dan pelaporan serta investigasi. Berdasarkan hasil pencatatan dan
pelaporan serta investigasi, dijelaskan pada Pasal 15A ayat (3), dilakukan kajian etiologi
lapangan oleh Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi dan kajian kausalitas oleh Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. “Terhadap kasus kejadian ikutan pasca Vaksinasi COVID-
19 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengobatan dan perawatan sesuai dengan
indikasi medis dan protokol pengobatan, maka biaya pengobatan dan perawatan dilaksanakan
dengan ketentuan: a) untuk peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional yang aktif,
ditanggung melalui mekanisme Jaminan Kesehatan Nasional, dan b) untuk peserta Program
Jaminan Kesehatan Nasional yang nonaktif dan selain peserta Program Jaminan Kesehatan
Nasional didanai melalui mekanisme pendanaan lain yang bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang keuangan negara,” ketentuan Pasal 15A ayat (4). Ketentuan
lain disebutkan dalam Pasal 15B ayat (1) yang berbunyi, “Dalam hal terdapat kasus kejadian
ikutan pasca vaksinasi yang dipengaruhi oleh produk Vaksin COVID-19 berdasarkan hasil
kajian kausalitas sebagaimana dimaksud dalam pasal 15A ayat (3) dan kasus tersebut
menimbulkan kecacatan atau meninggal, diberikan kompensasi oleh Pemerintah.” Ketentuan
lebih lanjut mengenai kriteria, bentuk, dan nilai besaran untuk kompensasi tersebut
ditetapkan oleh Menkes setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. “Peraturan
Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” demikian tertuang di bagian akhir
peraturan yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H.
Laoly pada 10 Februari 2021.

Anda mungkin juga menyukai