Anda di halaman 1dari 5

Nama : Hanifah Ayyasy

Nim : 11000119120072
Kelas : Hukum dan Masyarakat – J
Dosen Pengampu : Dyah Wijaningsih
Hari Ujian : Rabu, 16 Desember 2020

Ujian Akhir Semester Hukum dan Masyarakat

Judul Artikel : Pidana Mati Pelaku Korpsi di Tengah Pandemi Covid-19

Dalam hal ini penulis menganalisis artikel mengenai “Pidana Mati Pelaku Korupsi di
Tengah Pandemi Covid-19” dengan menggunakan pendekatan hukum normatif yaitu melalui
perundang- undangan. Pendakatan ini digunakan untuk menganalisis tentang penerapan
hukuman mati dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan.

Fakta Hukum
Fakta hukum yang dapat diambil dari artikel tersebut yaitu bahwa Juliari P Batubara
merupakan Menteri Sosial yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap terkait pengadaan
bantuan sosial Covid-19. Setelah melakukan pemeriksaan, KPK menetapkan lima orang
tersangka, yakni Juliari, dua pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kementerian Sosial Matheus
Joko Santoso dan Adi Wahyono, serta dua pihak swasta yaitu Ardian dan Harry Sidabuke
sebagai tersangka. Juliari P Batubara menyerahkan diri ke KPK dan akhirnya ditahan setelah
diperiksa.
Kasus ini berawal dari pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako
senilai Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak yang dilaksanakan dalam dua periode. Sehingga
Juliari Batubara menerima total suap senilai Rp 17 Miliar dari fee pengadaan bansos sembako
untuk masyarakat yang terdampak Covid-19 di Jabodetabek. Atas perbuatannya tersebut, Juliari
disangka Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Kourpsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Dasar Hukum
Tindak pidana korupsi merupakan suatu perbuatan yang dapat merugikan keuangan
negara, perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional sehingga harus
diberantas. Dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keadaan tertentu yang dimaksud dalam pasal 2 tersebut
dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 bahwa yang dimaksud Keadaan Tertentu ialah apabila dana yang
dikorupsi tersebut merupakan dana yang digunakan untuk menanggulangi keadaan bahaya,
bencana alam nasional, kerusuhan sosial yang meluas, krisis ekonomi moneter, dan
penanggulangan tindak pidana korupsi.

KPK menjerat dengan menggunakan Pasal 12 huruf a dan huruf b UU Nomor 20 Tahun
2001 dimana pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana.
Pasal ini merupakan pasal suap-menyuap yang diancam dengan hukuman pidana antara 1 sampai
20 tahun penjara. Sedangkan pasal 2 UU Tipikor, tidak termasuk suap, gratifikasi dan kategori
korupsi lainnya yang tidak merugikan keuangan negara.

Teori Hukum Menurut Lawrence. M Friedmann


Lawrence. M Friedmann mengemukakan bahwa sikap-sikap dan nilai-nilai yang
berhubungan dengan hukum, bersama-sama dengan sikap-sikap dan nilai-nilai yang terkait
dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaganya baik secara positif
maupun negatif. Menurut ia efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga
unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the
law) dan budaya hukum (legal culture).
a. Struktur hukum (Struktur of law)
Struktur hukum merupakan pranata hukum yang menopang sistem hukum itu sendiri,
yang terdiri atas bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum, perangkat hukum, dan proses
serta kinerja mereka. Seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian, Mahkamah Agung, dan
sebagainya.
Bentuk kasus tersebut merupakan kasus tindak pidana korupsi, sehingga lembaga yang
menanganinya yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, Kejaksaan, Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang saling bersinergi
untuk untuk penyelidikan, pemeriksaan dan pengawasan atas kasus korupsi tersebut.
b. Substansi hukum (Substance of the law)
Substansi hukumnya berupa segi output dalam sistem hukum atau peraturan
perundang-undangannya. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa Juliari P Batubara
atas perbuatannya disangka Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Kourpsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
c. Budaya hukum (Legal culture)
Nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan
tempat sistem hukum di tengah kultur bangsa sebagai keseluruhan. Budaya hukum juga
mencakup perspektif, sudut pandang, ide atau kesadaran dalam masyarakat.
Dalam hal ini opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak baik
kepemimpinaan dalam hal ini presiden, pejabat penyelenggara Negara, aparatur negara,
maupun dari aparat penegak hukum harus memberi contoh untuk tidak melanggar aturan
hukum seperti melakukan tindak pidana korupsi, maka budaya hukum akan dapat
membantu mengurangi tindak pidana korupsi. Akibat perilaku hukum aparat penegak
hukum yang kurang baik, tidak resisten terhadap suap, maupun KKN menyebabkan banyak
perkara tindak pidana korupsi yang tidak dapat dijerat oleh hukum. Oleh karena itu
diperlukan sanksi pidana yang tegas yang dapat membuat jera pelaku tindak pidana korupsi
seperti adanya hukuman mati, sehingga membuat pelaku tindak pidana korupsi merasa
takut. Dengan sanksi yang tegas dan konsisten pula membuat pejabat negara, aparat
penegak hukum maupun masyarakat sadar bahwa korupsi merupakan tindakan yang sangat
merugikan bagi negara. Sehingga dapat mematahkan stigma yang mengatakan bahwa
korupsi merupakan suatu kebiasaan bukan sebuah kejahatan.

Analisis
Tindak pidana korupsi tidak lagi dapat dikategorikan sebagai kejahatan biasa melainkan
telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Oleh karena itu dalam
penanganannya pun juga menggunakan cara-cara yang luar biasa. Berbagai peraturan perundang-
undangan yang yang telah diupayakan untuk memberantas korupsi yaitu Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Menurut Pasal 2 Ayat 2 UU
Nomor 31 Tahun 1999 dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Artinya bahwa apabila dana
yang dikorupsi merpakan dana merupakan dana yang digunakan untuk menanggulangi keadaan
bahaya, bencana alam nasional, kerusuhan sosial yang meluas, krisis ekonomi moneter, dan
penanggulangan tindak pidana korupsi maka dapat dikenai hukuman pidana mati.
Sama seperti pada kasus korupsi terhadap dana bantuan sosial pada pandemi Covid-19
yang terjadi ini, bahwa sebenarnya Juliari P Batubara dapat dikenai hukuman pidana mati,
namun pada kenyataannya ia hanya disangka dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau
Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Kourpsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1
KUHP.
Pandemi Covid-19 memberikan dampak pada masyarakat dalam segala bidang, adanya
bantuan dana sosial yang diberikan pemerintah bertujuan untuk mengurangi beban masyarakat
akibat pandemi ini. Dana bantuan yang awalnya diberikan sepenuhya untuk masyarat, malah
dimanfaatkan untuk pendapatan pribadi oleh Juliari P Batubara yang pada saat itu menjabat
sebagai Menteri Sosial. Sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat
tehadap pemerintahan.
Dengan hal tersebut, hukuman pidana mati terhadap koruptor yang telah merugikan
negara dan masyarakat seharusnya di konsistenkan. Jika dikaitkan dengan pasal dan Kepres yang
telah dijelaskan sebelumnya maka pelaku Penyalahgunaan dana Penanggulangan Covid -19
dapat diancam dengan pidana mati karena termasuk di dalam kategori Korupsi yang dilakukan
dalam keadaan tertentu lebih jelasnya Bencana Nasional. Peraturan yang mengaturnya sudah ada
namun belum pernah ditegakkan secara konsisten.
Di Indonesia mengena pengenaan hukuman pidana mati bagi koruptor masih menjadi
pro dan kontra di tengah para praktisi hukum dan para penegak hukum itu sendiri. KPK sendiri
menjerat menggunakan Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No.20 Tahun 2001 dimana baik si
pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana. Pasal ini
merupakan pasal suap-menyuap yang diancam dengan hukuman pidana antara 1 sampai 20 tahun
penjara.
Namun yang menjadi sebuah catatan penting kategori korupsi sebagaimana yang
dimaksud yang dapat dihukum mati adalah yang merugikan keuangan negara  sebagaimana yang
dimakasud di dalam pasal 2 UU Tipikor, tidak termasuk suap, gratifikasi dan kategori korupsi
lain nya yang tidak merugikan keuangan negara.
Kesimpulan
Tindak Pidana Korupsi merupakan suatu tindak pidana yang masih marak terjadi di
Indonesia. Tindak pidana ini tidak hanya terjadi dalam lingkup swasta saja tetapi juga sudah
masuk ke elemen pemerintahan. Pejabat pemerintah yang telah diberikankepercayaan oleh rakyat
tetapi malah berbalik menghianati rakyat.
Hal tersebut telah tercermin salah satunya dalam kasus Korupsi Dana Bantuan Sosial
dlam Pandemi Covid-19 oleh Menteri Sosial, Juliari P Batubara yang telah disangka Pasal 12
huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Kourpsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Pemerintah dan apparat penegak hukum harus membuat sebuah gebrakan agar dapat
meminimalisir tindak pidana korupsi yang terjadi di Indoensia. Hukuman pidana mati dirasa
memiliki efek jera terhadap pelaku, namun belum pernah diterapkan di Indonesia.

Saran/ Rekomendasi
Dalam artikel tersebut telah dijelaskan mengenai dasar hukum yang bagi tindak pidana
korupsi, tetapi belum disertakan pandangan dari penulis mengenai adanya kasus yang telah
dibahas dalam artikel tersebu.

Sumber Artikel:

Online: Hotmata Siboro, “Pidana Mati Pelaku Korpsi di Tengah Pandemi Covid-19”, 15
Desember 2020. Halaman 1-2.

Anda mungkin juga menyukai