Anda di halaman 1dari 11

Hukum Pidana Khusus

Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dana Bansos


Bencana Covid-19 Perspektif Keadilan Dan Kemanusiaan.

Dosen Pengampu :

HAMZAH HATRIK, Dr, S.H., M.H

Disusun oleh :

GERRY PRAKASA

B1A018053

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BENGKULU
BAB I
PENDAHULUAN

Korupsi merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum
yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi
mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, dan
sosial-budaya. Berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan, namun tidak
mampu memberantas kejahatan korupsi, bahkan semakin lama semakin
meningkat baik dari kuantitas maupun dari segi kualitas pelakunya.
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra
ordinary crime). Konsekwensi logis bahwa korupsi merupakan extra ordinary
crime, diperlukan penanggulangan dari aspek yuridis yang luar biasa, dan
perangkat hukum yang luar biasa pula. Cara-cara konvensional terbukti sampai
saat ini belum mampu memberantas tindak pidana korupsi, bahkan
kecenderungannya semakin hari semakin canggih, baik dari modus operandinya
maupun dari jumlah kekayaan negara yang dikorupsi. Korupsi tidak hanya
dilakukan oleh pejabat pemerintahan, akan tetapi dilakukan oleh pengusaha dan
pihak-pihak yang terkait baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dapat dirumuskan sebagai berikut: “suatu perbuatan secara
melawan hukum yang bermaksud memperkaya diri sendiri atau orang lain secara
langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan perekonomian
negara, atau patut disangka bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara”.Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkap
karena para pelakunya menggunakan peralatan yang canggih, dan biasanya
dilakukan oleh orang-orang yang cerdik pandai, terorganisasi dan dilakukan oleh
lebih dari satu orang. Oleh karena itu kejahatan ini sering disebut dengan white
collar crime atau kejahatan kerah putih.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dana Bansos Bencana
Covid-19 Perspektif Keadilan Dan Kemanusiaan.

Korupsi adalah sebuah perbuatan melawan dan melanggar hukum. Hal ini
dapat dilihat dalam definisi korupsi yang diatur dalam sebagaimana diubah UU.
No 20 Tahun 2001 perubahan atas UU.No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1) yakni, Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Semakin banyak pelaku korupsi yang terjadi baik ditataran pusat maupun
daerah mengindikasikan bahwa suatu ketertiban hukum tengah terjadi yang
memiliki dampak lain seperti terhambatnya pembangunan. Maka menjadi sebuah
koreksi terhadap penegakan hukum atas korupsi. Dari hal ini dapat ditarik suatu
pemahaman bahwa dalam masifnya dan muncul pelaku korupsi baru salah satunya
disebabkan kurang efektif atau berfungsinya hukum dalam menciptakan keadilan
dan ketertiban hukum dalam proses penegakan hukum terhadap koruptor di
Indonesia. Hal ini senada dengan hasil kajian studi Indonesia Corruption Watch
(ICW) (2014: 22), Masyarakat masih menganggap vonis terhadap pelaku korupsi
belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Masih dianggap belum proporsional.
Salah satu alasannya karena vonis yang diberikan majelis hakim masih relatif
rendah, dan diantara putusan perkara yng kurang lebih sejenis seringkali terjadi
disparitas. Akibatnya, hukuman terhadap koruptor menjadi inkonsisten.
Masyarakat atau publik menginginkan hukum di Indonesia terhadap koruptor di
Indonesia di hukum mati. Survei Indonesia Survey Center (ISC) mendapatkan,
publik menginginkan hukuman mati sebagai sanksi yang dapat memberi efek jera.
"Yang cukup mengejutkan adalah hukuman mati ternyata dipilih oleh masyarakat
sebagai cara yang paling efektif dalam menghukum para koruptor di negeri ini
(49,2%), lalu penjara seumur hidup (24,6%), dan Pemiskinan koruptor (11,3%).
Sebenarnya, dalam UU tentang Pemberantasan Korupsi No. 20 tahun 2001
hukuman mati bagi koruptor telah disebutkan namun dibatasi dalam keadaan
tertentu yakni dalam Pasal 2 ayat (2) “Dalam hal tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana
mati dapat dijatuhkan.” Adapun dalam penjelasan, yang dimaksud keadaan
tertentu adalah Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah dalam ketentuan
ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila
tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai
dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional,
sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam
keadaan krisis ekonomi dan moneter. Munculnya keinginan publik agar koruptor
di Indonesia dihukum mati bukan tanpa pertentangan dari publik. Inilah yang
penulis sebut ruang kedua yakni pihak yang mengatakan bahwa hukuman mati
baik untuk koruptor maupun untuk tindak pidana lainnya melanggar HAM dan
Konstitusi UUDNRI Tahun 1945. Akan tetapi di sisi lain banyak pihak yang tidak
setuju dengan hukuman mati bagi koruptor sebab dalam Pasal 28 A-J Undang-
Undang Dasar 1945 mengatakan bahwa kita harus menjunjung tinggi Hak-hak
Asasi Manusia (HAM).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mendalami soal tuntutan


pidana mati dalam kasus dugaan korupsi terkait penyaluran Bantuan Sosial
(bansos) Covid-19 yang menjerat Menteri Sosial Juliari Batubara.
Juliari ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan suap bansos
penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
dan Bekasi (Jabodetabek). Ia diduga menerima suap sebesar Rp 17 miliar dari
perusahaan rekanan yang menggarap proyek pengadaan dan penyaluran bansos.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan pihaknya akan mendalami soal penerapan
pidana mati dalam kasus tersebut.
"Kita juga paham pandemi Covid-19 ini telah dinyatakan oleh pemerintah
sebagai bencana nonalam. Sehingga kami tidak berhenti sampai di sini," ujar Firli
dalam konferensi pers secara daring pada Minggu (6/12/2020). "Tentu kami akan
bekerja berdasarkan saksi dan bukti-bukti apakah bisa masuk Pasal 2 UU Nomor
31 Tahun 1999 tersebut," tutur dia. Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur soal
kemungkinan penerapan pidana mati terhadap kasus korupsi dalam keadaan
tertentu. Frasa keadaan tertentu dalam pasal tersebut dimaksudkan sebagai
pemberatan bagi pelaku korupsi yang dilakukan dalam keadaan bahaya sesuai
undang-undang yang berlaku, saat bencana alam nasional dan sebagai
pengulangan tindak pidana korupsi. Kemudian, korupsi yang dilakukan saat
negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Adapun, Presiden Joko
Widodo telah menetapkan masa pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional
nonalam melalui penerbitan Keppres Nomor 12 tahun 2020. Baca juga: Korupsi
Bansos Covid-19: Mensos Juliari Diduga Terima Rp 17 Miliar hingga Bukti Uang
dalam Koper Terkait pidana mati, Firli pernah mengingatkan bahwa pejabat yang
mengkorupsi anggaran bencana dapat dikenakan ancamanhukuman mati.
Peringatan itu ia lontarkan dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR
di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada 29 April. "Bagi yang melakukan
korupsi dalam suasana bencana tidak ada pilihan lain, yaitu menegakkan hukum
tuntutan pidana mati," kata Firli. Firli menuturkan, keselamatan rakyat merupakan
hukum tertinggi. Jenderal polisi bintang tiga itu menyatakan, KPK akan bertindak
tegas dan keras terhadap pelaku tindak pidana korupsi, khususnya dalam situasi
wabah Covid-19.

"KPK tetap akan bertindak tegas dan sangat keras kepada para pelaku korupsi,
terutama dalam keadaan penggunaan anggaran penanganan bencana," ucapnya.
"Kenapa? Karena salus populi suprema lex esto, keselamatan masyarakat
merupakan hukum tertinggi," ujar Firli. Kendati sudah diperingatkan, tetap saja
korupsi dalam pengadaan bansos Covid-19 terjadi. Pidana mati tidak tepat Secara
terpisah, peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum UGM Zaenur
Rohman menilai wacana penerapan pidana mati dalam kasus dugaan suap yang
menjerat Juliari Batubara tidak pada tempatnya. Ia mengatakan, UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang mengatur soal ancaman hukuman
mati. Namun, kasus yang melibatkan politisi PDI-P itu, menurut Zaenur, tidak
termasuk dalam bentuk pidana korupsi yang dimaksud pada Pasal 2 ayat (2)
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Baca juga: Mensos Juliari Batubara:
Kader PDI-P Lulusan Kampus AS, namun Terjerat Dugaan Suap Bansos Zaenur
menuturkan, pidana korupsi yang dapat disangkakan dengan Pasal 2 ayat (2) UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ialah pidana yang merugikan keuangan
negara secara langsung seperti penggelembungan anggaran, penggelapan uang
negara, dan sejenisnya. Pasal hukuman mati tak bisa disangkakan lantaran dalam
dalam kasus Juliari Batubara tergolong kasus suap dan tidak menimbulkan
kerugian negara secara langsung. Oleh sebab itu, ia menyarankan KPK
memaksimalkan penggunaan Pasal 11 dan 12 UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang lebih relevan dalam menangani kasus suap.
Zaenur menyarankan KPK menerapkan ancaman hukuman maksimal,
yakni seumur hidup, terhadap Juliari. Kemudian, penerapan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). “Itu untuk
mengetahui ke mana saja aliran dana suap tersebut. Apakah ada pihak lain.
Apalagi Mensos adalah kader parpol,” kata Zaenur. “Seringkali hasil korupsinya
bisa mengalir sampai jauh. Harus didekati dengan TPPU. KPK juga harus
menuntut pencabutan hak politik, karena yang bersangkutan politisi. Tujuannya
supaya ada efek jera dan tak segera menduduki jabatan politik bila terbukti
bersalah,” ucapnya.

B. Pro-kontra ancaman vonis mati untuk terduga pelaku korupsi


anggaran pandemi

KPK menjerat Mensos Juliari Batubara dengan Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a dan
b UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pasal tentang suap itu memuat ancaman
hukuman penjara antara satu hingga 20 tahun.
Adapun ancaman hukuman mati tertera di pasal 2 ayat (2). Aturannya, setiap
orang yang dalam keadaan tertentu memperkaya diri sendiri atau orang lain
sehingga merugikan keuangan negara dapat dijatuhi pidana mati.
Bekas hakim Tipikor, Asep Iwan Iriawan, menganggap wajar KPK menggunakan
pasal suap pada awal pengusutan kasus dana bansos Covid-19 ini.

Namun dalam proses pengembangan perkara, kata Asep, KPK harus menjerat
Juliari dan pelaku lain dengan pasal 2 ayat (2). Alasannya, perkara ini memenuhi
klausul adanya kerugian negara dan dilakukan dalam kondisi bahaya, bencana
alam nasional atau krisis ekonomi.

"Sekarang kan sedang pandemi, jadi yang dirugikan bukan hanya negara dalam
konteks struktur tapi masyarakat," kata Asep via telepon, Senin (07/12).

"Orang-orang depresi sampai ada yang mati karena pandemi. Negara


mengeluarkan uang untuk menanggulangi ini. Ketika diselewengkan, kerugiannya
justru lebih parah.

"Negara pasti rugi kalau dia ambil Rp10.000 dari setiap paket bansos. Ini nampak
dan sederhana sekali untuk dibuktikan. Bencana ini cakupannya dunia dan
Indonesia juga sedang mengalami resesi," ujar Asep.

Bagaimana buktikan tersangka koruptor rugikan keuangan negara?

Harus ada hitung-hitungan yang rinci oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
kata Kurnia Ramadhana, peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW).

Kurnia berkata, proses itu biasanya terjadi dalam tahap penyidikan. Prosesnya
sangat panjang, kata dia.

"Pada kasus korupsi e-KTP ada mark-up (penggelembungan harga) dan fee (upah)
tertentu yang membuat kualitas barang dan jasa menurun. Kualitas yang tidak
sama dengan itu menimbulkan kerugian negara,

Mengapa belum pernah ada koruptor dana bencana yang divonis mati?

Dua faktor yang disebut Asep Iriawan adalah penafsiran pasal dan keberanian
penegak hukum.

Namun menurutnya, dari penyidik, jaksa hingga hakim tak perlu ragu-ragu dalam
menghukum para pelaku dalam kasus bansos Covid-19.Asep khawatir
kepercayaan publik pada KPK dan pengadilan akan semakin luntur jika hukuman
berat tak dijatuhkan kepada pelaku kasus ini.

"Mungkin karena nilai kerugian kasus-kasus sebelumnya kecil dan cakupan


bencananya lokal. Kalau sekarang diputus seperti itu, di mana rasa keadilannya?

"Pandemi ini dari urusan depresi sampai mati. Presiden dan KPK juga sudah
ingatkan berkali-kali. Kalau tidak ada hukuman maksimal, rakyat pasti akan masa
bodoh pada penegakan hukum," ujar Asep. Sepanjang 2004 hingga 2018,
setidaknya telah terjadi 11 kasus dana bantuan bencana. Tak satu pun pelaku
dijatuhi hukuman mati. Terkait tsunami Aceh tahun 2004 misalnya, Sekjen
Kementerian Luar Negeri kala itu, Sudjadnan Parnohadiningrat, dihukum penjara
2 tahun 6 bulan. Sudjanan divonis merugikan negara hingga Rp11 miliar karena
menyelewengkan dana perhelatan Tsunami Summit, konferensi internasional yang
membahas tanggap darurat, rekonstruksi dan mitigasi bencana.

Sementara pada bencana gempa dan tsunami Nias tahun 2005, Binahati
Banedictus Baeha yang kala itu menjabat bupati, divonis bersalah. Korupsinya
merugikan negara Rp3,7 miliar.Hukuman mati pada kasus bansos Covid-19,
menurut Asep, dapat diterapkan jika KPK segera membawa perkara ini ke meja
hijau.

"Supaya hakim merasakan nuansanya. Beberapa hakim juga meninggal karena


Covid-19. Kalau penanganannya lama, nuansa pandemi sudah tidak ada. Nanti
larinya ke pasal suap lagi," kata Asep.

Tapi kenapa vonis mati ini ditentang?

Merujuk pengalaman di negara lain, peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menyebut


hukuman mati terbukti tidak menimbulkan efek jera. Kurnia berkata, negara yang
menerapkan hukuman mati meraih skor rendah dalam indeks persepsi korupsinya.
Contoh yang dia sebut adalah China dan Iran, yang peringkatnya bahkan berada di
bawah Indonesia.

Menurut Kurnia, opsi yang lebih baik adalah pidana penjara dan perampasan aset
pelaku. Sayangnya, kata dia, dua jenis hukuman ini tidak diterapkan secara
maksimal. "Pidana penjara kami kritik karena rata-rata hukuman yang dijatuhkan
pada semester pertama 2020 hanya 3 tahun penjara. Tidak mungkin ada efek jera
jika hukumannya segitu. "Kerugian negara dan uang pengganti yang diputus
hakim juga jauh dari maksimal. Selama Januari-Juni lalu, kerugian negara sekitar
Rp35 triliun, tapi uang penggantinya hanya Rp2,3 triliun," ujar Kurnia.

Apa tanggapan KPK?

Ketua KPK, Firli Bahuri, berkata pihaknya akan mencari peluang menjerat Juliari
serta para pelaku lain dengan pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang memuat ancaman
hukuman mati.

Sebelum munculnya kasus bansos, Firli berkata bahwa "korupsi pada situasi
bencana Covid-19 termasuk kejahatan berat". Para pelakunya, kata dia, dapat
diancam hukuman mati. Juni lalu, Menko Polhukam, Mahfud MD, juga berkata
agar anggaran negara untuk pandemi ini tidak diselewengkan.

"Jika ada pihak yang terbukti melakukan penyalahgunaan anggaran bencana,


maka bisa dihukum mati," kata Mahfud. Presiden Jokowi juga pernah bertutur
perihal ini. "Penerapan aturan hukuman mati untuk koruptor dapat diterapkan
apabila ada kehendak yang kuat dari masyarakat," katanya, Desember 2019.
BAB III
KESIMPULAN

Aturannya, setiap orang yang dalam keadaan tertentu memperkaya diri


sendiri atau orang lain sehingga merugikan keuangan negara dapat dijatuhi pidana
mati. Bekas hakim Tipikor, Asep Iwan Iriawan, menganggap wajar KPK
menggunakan pasal suap pada awal pengusutan kasus dana bansos Covid-19 ini.
Namun dalam proses pengembangan perkara, kata Asep, KPK harus menjerat
Juliari dan pelaku lain dengan pasal 2 ayat (2).

Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dana Bansos Bencana
Covid-19 Perspektif Keadilan Dan Kemanusiaan, harus dilakukan karena harus
membuat efek jera bagi para pelaku atau yang berniat ingin melakukan korupsi,
karena ada dasarnya rakyat sangat membutuhkan dan bantuan untuk kehidupann
dan kebutuhan mereka ditengah pandemi seperti ini, apalagi bagi mereka yang
tidk berkerja lagi atau karena di PHK atau bangkrut. Kasus korupsi terhadap
BANSOS harus dihukum seberat beratnya karena telah merampas salah satu hak
rakyat dan tidak berlaku adil dan juga telah bertindak ketidakmanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan


Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. Burhan Bungin,
Metodologi Penelitian Sosial, Format- format Kuantitatif-kualitatif, Surabaya:
Airlangga University Press, 2001. Djoko Prakoso, Masalah Pidana Mati (Soal
Jawab). Jakarta: Bina Aksara, 1987. Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta:
Sinar Grafika, 2009.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201207091312-12-578758/korupsi-
bansos-corona-dan-ancaman-hukuman-mati-dari-kpk

https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-011080185/bansos-covid-19-tak-
berkualitas-aktivis-hukuman-mati-bagi-koruptor-gak-bikin-minyaknya-jadi-bagus

Anda mungkin juga menyukai