Anda di halaman 1dari 3

Dilema Hukuman Mati Juliari

Korupsi. Ia adalah sebuah tindak kriminal “mencuri” uang negara atau lembaga tempat ia
berada, biasanya dilakukan oleh seseorang/ kelompok untuk keuntungan pribadinya. Korupsi
adalah sebuah tindakan kriminal bidang ekonomi yang ada sejak zaman dahulu, semenjak
adanya uang di dunia ribuan tahun silam. Korupsi adalah sebuah tindakan yang berpangkal dari
adanya ketidakjujuran dan kecurangan akibat rasa rakus dan egois manusia. Hingga kini
korupsi selalu berevolusi, seiring dengan perkembangan teknologi dan seiring dengan semakin
pintar manusia modern.

Korupsi terjadi diseluruh dunia, tak kenal tempat dan tak mengenal orang. Mulai dari
megapolitan hingga dusun pelosok sudah menjalar nilai-nilai korupsi. Baik pemimpin negara
hingga antek-antek kampung sudah banyak yang mencicipi rasanya uang haram hasil korupsi.
Di Indonesia, budaya korupsi sudah ada sejak zaman kerajaan hingga sekarang, dan kini telah
menjadi bagian hidup nusantara. Lalu, muncul satu kasus korupsi “tergila dan tak
berperikemanusiaan” oleh seorang menteri yang ditangkap 5 Desember 2020. Awal Kasus ini
dimulai dari Februari 2020.

Februari 2020 adalah awal munculnya petaka bagi Indonesia. Saat itu, dunia sedang dihebohkan
dengan munculnya sebuah virus yang mempunyai nama resmi SARS-COV-2 atau yang sering
kita sebut virus covid-19. Virus baru ini ditemukan di Wuhan, Tiongkok dan sampai saat ini
telah menyebar ke seluruh dunia. Gawatnya, belum ada obat untuk melawan virus yang bisa
menyebabkan kematian ini. Pemerintah Indonesia dari awal sudah congkak menyatakan bahwa
wabah virus ini tidak akan sampai ke Indonesia, walaupun pada akhirnya pemerintah harus
menelan omongannya sendiri sebagai ganjaran kesombongannya. Hampir setahun virus covid-
19 bermukim di Indonesia. Tak hanya penyakit, ia juga membawa musibah bagi ekonomi
Indonesia. Perusahaan terpaksa tutup atau mengurangi pegawainya secara masif, banyak juga
yang terpaksa gulung tikar. UMKM banyak yang lumpuh total, terpaksa gulung tikar juga karena
tidak ada pembeli yang datang. Hingga musisi, seniman dan aktor terpaksa beralih profesi
karena tak lagi mendapat panggung.

Akhirnya, demi membantu meringankan beban ekonomi masyarakat karena sudah tak mampu
berdiri sendiri, maka pemerintah membuat program pemberian bantuan sosial (bansos) kepada
masyarakat. Pemerintah pusat dan daerah bekerja sama dalam program ini dengan bentuk yang
beragam. beragam. Pemerintah daerah banyak memberikan bantuan berupa uang tunai
maupun sembako, sedangkan Pemerintah pusat memberikan bantuan tunai langsung (BLT)
sebanyak Rp 600.000,00 kepada masyarakat terdampak covid-19 maupun pemberian sembako
kepada masyarakat dengan total nilai Rp 300.000,00.
Berbagai peringatan akan munculnya korupsi sudah disampaikan kepada pengelola dana
bansos yaitu Kementerian Sosial. Baik dari KPK, Presiden hingga dari kalangan politisi juga
masyarakat sudah menyampaikan peringatannya. Pada akhirnya, apa yang telah diprediksi
benar-benar terjadi. 5 Desember 2020, Menteri Sosial ( sekarang eks Menteri Sosial) Juliari
Peter Batubara ditangkap KPK atas dugaan korupsi dana bansos. Rakyat dibuat geram dan
terpaksa menahan sabar atas kasus korupsi ini. Disaat negara sedang sibuk berperang melawan
wabah virus, disaat masyarakat sedang kesusahan untuk mencari sesuap nasi, Juliari malah
mengambil kesempatan untuk mengkorupsi dana bantuan bagi masyarakat terdampak wabah
covid-19.

Kasus korupsi terhadap dana bansos covid-19 oleh eks menteri sosial, Juliari batubara
menyebabkan berbagai pertentangan terhadap hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya.
Tindakan Juliari mencari kesempatan dalam kesempitan ini rencana akan diberi ganjaran
hukuman mati. Sebagian pihak mendukung hukuman mati bagi Juliari atas dasar korupsi yang
dilakukannya sangatlah tak bermoral karena dilakukan saat Indonesia sedang menghadapi
sebuah bencana skala nasional. Disisi lain, banyak juga pihak yang tak setuju atas ide ini dengan
dasar kemanusiaan. Lalu, apakah hukuman yang tepat bagi Juliari?

Jika kita lihat dari sisi hukum, maka hukuman mati bagi kasus korupsi ini sangatlah sah. Jika kita
melihat UU No 31 tahun 1999 pasal 2 ayat (2), “ Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.
Keadaan tertentu disini adalah disaat negara sedang mengalami bencana alam nasional, sebagai
pengulangan tindak pidana korupsi atau saat negara sedang mengalami krisis ekonomi dan
moneter. Memang wabah penyakit ini bukanlah bencana alam melainkan bencana non-alam.
Tetapi, jika kita melihat dari perspektif luas dampak bencana, maka wabah virus covid-19 ini
masuk dalam kategori bencana nasional. Bahkan sebenarnya melebihi karena wabah ini benar-
benar mencakup seluruh nasional, sedangkan bencana-bencana alam lainnya yang
dikategorikan nasional hanyalah berdampak secara regional saja. Jadi, menurut pandangan
penulis pasal 2 ayat (2) ini UU No 31 tahun 1999 sangat bisa dijatuhkan kepada Juliari Batubara.

Tetapi, ada juga pihak yang menolak adanya hukuman mati ini, seperti KOMNAS HAM ( Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia ) dan berbagai kalangan masyarakat lainnya. Kemanusiaan menjadi
alasan utama mereka menolak hukuman mati ini. UUD RI 1945 pasal 28A menjelaskan bahwa
setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan kehidupannya. Hak hidup
manusia adalah hak asasi yang tak bisa diganggu gugat, sehingga adanya “membunuh demi
hukum” sangatlah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Tetapi, merujuk pada UUD RI 1945 pasal 28 J ayat 3 menegaskan, bahwa dalam melaksanakan
hak dan kebebasan kita, haruslah berpatokan pada batas-batas hukum. Ini bukanlah
pembatasan terhadap hak kita, tetapi sebagai penghormatan bagi hak dan kebebasan orang lain
juga untuk kemaslahatan masyarakat. Jadi, pasal 28 J ayat 3 menjadi penegas bahwa tak bisa
kita semena-mena bertindak untuk melaksanakan pasal 28 A tadi. Berarti, dalam UUD RI 1945
secara tersirat juga memperbolehkan adanya hukuman mati dengan dasar bahwa kita
menggangu hak-hak orang lain dan merugikan masyarakat juga negara. Dan tindakan korupsi
yang dilakukan oleh Juliari Batubara sangatlah merugikan masyarakat juga mengganggu hak-
hak rakyat lainnya.

Tetapi, hukuman mati hanyalah sebagai langkah akhir dalam sebuah tindak pidana. Ia tidak
memberikan efek jera dan tak pula memberikan rasa ketakutan kepada calon-calon koruptor
lainnya. Bisa kita lihat di Tiongkok sebagai salah satu negara yang melakukan hukuman mati
bagi pelaku tindak pidana korupsi. Tidak ada penurunan kasus korupsi setelah dilakukannya
hukuman mati. Malah sekarang peringkat Tiongkok dalam bersihnya negara dari tindak pidana
korupsi lebih rendah dibanding Indonesia.

Jadi, walaupun telah diperbolehkan oleh hukum, tak ada manfaat yang benar-benar terasa dari
hukuman mati itu. Lihat saja dalam hukuman mati terhadap Freddy Budiman, salah satu bandar
narkoba besar di Indonesia. Sekarang, bukan malah berkurang malahan kasus penyebaran dan
pemakaian narkoba makin meningkat tiap harinya. Ingat bahwa hukuman mati adalah tindakan
terakhir yang diambil, bukan memberikan efek jera pada pelaku. Jika pandangan tentang
hukuman mati ini akan terus berjalan, maka hukuman mati akan menjadi seremonial untuk
menghabiskan peluru saja.

Kembali ke pertanyaan awal. Jadi, apa hukuman yang harus diberikan kepada Juliari Batubara?
Simple, jalankan hukum yang ada secara optimal. Jika hukuman yang ada dijatuhkan sesuai
undang-undang, itu akan menimbulkan efek jera yang serius juga akan menimbulkan ketakutan
dan keraguan bagi calon-calon pelaku baru. Hilangkan pandangan “hukuman bisa dibeli”, sama
ratakan pelaku korupsi dengan yang lainnya dan bagi penegak keadilan jangan takut untuk
bertindak. Ditambah dengan pengembalian seluruh uang atau aset hasil korupsi ke pemerintah.
Keempat langkah ini cukup untuk memberi hukuman yang pantas kepada Juliari, juga para
koruptor lainnya.

Terakhir, perlukah hukuman mati bagi Juliari? Tidak sama sekali. Sedikit mengambil kata-kata
gaul sekarang, hukuman mati itu unfaedah.

Anda mungkin juga menyukai