Bab I Pendahuluan
1. Latar Belakang
2. Masalah Pokok
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
“ Indonesia tengah berada di pusat gejolak besar yang disebut reformasi. Untuk
mengoptimalkan reformasi, seyogianya kita memiliki kejernihan dan ketajaman
konsep serta visi mengenai reformasi tersebut. Dewasa ini KKN ( Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme) sudah menjadi semacam trade mark reformasi. Untuk
kebutuhan praktis dan jangka dekat itu baik-baik saja, tetapi tidak untuk tujuan
dan cita-cita reformasi sebenarnya. Kita membutuhkan suatu landasan filosofis
atau semacam weltenschaung, yang dapat memberikan kekayaan spiritual kepada
reformasi kita.”
Usaha-usaha pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia secara yuridis
sudah dimulai sejak tahun 1957 dengan dikeluarkannya peraturan pemberantasan
korupsi; Peraturan Penguasa Militer Angkatan Darat dan Laut Republik Indonesia
Nomor Prt/PM/06/1957 “sebagai dampak ketidakmampuan KUHP dalam
menanggulangi meluasnya korupsi”. 3/
________________
2/Satjipto Rahadjo, “Kultur POLRI Yang Mandiri Dalam Era Masyarakat Indonesia Modern”, Bandung hal.20
3/BPKP, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Jakarta, hal 117
__________________
6/www.bpk.go.id
BAB II
Kerangka Teori dan Konsepsional
Di Indonesia secara yuridis upaya pemberantasan korupsi sudah ada sejak tahun
1957 dalam bentuk peraturan penguasa militer – Angkatan darat dan Laut RI,
Nomor : PRT/PM/06/1957. Peraturan Penguasa Militer tersebut dibuat karena
Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ) dianggap tidak mampu
menanggulangi meluasnya korupsi.
Pada masa itu, korupsi telah dianggap sebagai suatu penyakit masyarakat yang
menggerogoti kesejahteraan rakyat, menghambat pelaksanaan pembangunan,
merugikan perekonomian dan mengabaikan moral. Peraturan penguasa militer
dapat dikatakan sebagai upaya awal dari pemerintah dalam menanggulangi
korupsi, namun dalam perjalanannya korupsi bukannya menjadi surut namun
malah menjadi semakin meluas sehingga dikeluarkan Tap MPR RI Nomor :
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan sebagai tindak lanjutnya, keluarnya Undang-
Undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan
bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kemudian Undang-Undang No. 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
_____________________
/8 Materi Seminar Nasional “ Sinergi Pemberantasan Korupsi : Peran dan Tantangan PPATK” Selasa 4 April 2006.
a. Pelanggaran dalam batas maksimum pemberian kredit oleh bank (BMPK)
misalnya : Dilakukan rekayasa agar kredit yang disalurkan kepada suatu
grup perusahaan-perusahaan, terlihat tidak melebihi dari ketentuan batas
kredit yang ditentukan.
b. Penyimpangan dalam perencanaan, modusnya : Kegiatan pembangunan
dengan menggunakan dana APBN dan atau APBD dimulai dengan
penetapan program yang dijabarkan dalam proyek-proyek, dimana
pembuatan owner’s estimate ( Perkiraan Harga ) yang akan dijadikan
dasar dalam menyusun Daftar Usulan Proyek ( DUP ) dan menjadi bagian
dari bestek seharusnya dibuat atas dasar investigasi dan study kelayakan
yang memadai tetapi hal itu tidak dilakukan, justru terkadang item
pekerjaan ( Bill Of Quantity ) dan harga dalam owner’s estimate di mark-
up sehingga harganya jauh dari tingkat kewajaran. Kegiatan selanjutnya
setelah DUP disetujui menjadi Daftar Isian Proyek ( DIP ), Engineer
Estimate tersebut seharusnya segera dimuthakhirkan oleh pimpinan
proyek menjadi owner’s estimate ( Harga Perkiraan Sendiri ). Namun
ketika melakukan pemuthakhiran kegiatan perbandingan harga dengan
kontrak sejenis dan harga pasar tidak dilakukan, sehingga secara formal
tampak nilainya cukup wajar. Proses berikutnya ketika pelelangan / tender
dilakukan, rincian dari owner’s estimate tersebut dibocorkan kepada
rekanan yang dikehendaki oleh pengelola proyek.
c. Penyimpangan Tata Niaga, modusnya : Melakukan pengaturan tata niaga
untuk pengadaan dan distribusinya selanjutnya melakukan manipulasi
data-data.
d. Tukar guling ( Ruitslag ), modusnya : Merekayasa prosedur pelelangan
sedemikian rupa sehingga developer yang ditunjuk sesuai dengan yang
dikehendaki oleh pejabat Ruitslag selanjutnya Panitia Penaksir / Penilai
Inter Departemen yang seharusnya bekerja independent, ternyata berkolusi
agar asset dinilai serendah-rendahnya, dan sebaliknya menilai asset
pengganti dengan nilai yang setinggi-tingginya.
Agar kelihatan wajar, oknum tersebut merekayasa Nilai Jual Obyek Pajak
( NJOP ) dan harga pasar yang akan dilepas dengan nilai yang serendah-
rendahnya, dan dilain pihak menaikkan nilai asset pengganti sangat tinggi
dan tidak wajar.
e. Pengaturan Kewajiban Pajak, modusnya : Pemeriksa pajak yang
memeriksa wajib pajak berkolusi dengan wajib pajak sehingga pajak yang
dibayarkan jauh dibawah kewajibannya, untuk bantuannya tersebut
petugas pajak mendapat imbalan yang diambil dari kekurangan kewajiban
penyetoran.
f. Pengaturan perkara pada tingkat penyidikan, penuntutan dan atau
peradilan, modusnya : Berupa “Suap” ataupun “Gratifikasi” ( Pemberian
dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya ),
Di negara lain, kualitas bankir ditingkatkan melalui proses pengujian kepatutan dan
kelayakan ( fit and proper test) maupun pendidikan berjenjang. Para pelaku kejahatan
maupun pejabat yang bertanggung jawab penyebab krisis dihukum berat sebagai
contoh di KOREA SELATAN telah menghukum dua mantan PRESIDEN, mantan
PANGAB dan JENDERAL BINTANG 4, beserta kerabatnya karena terlibat KKN. Di
negara lain, bankir bermasalah dikenakan hukuman penjara atau dilarang menjadi
pengurus ataupun pemilik pengendali bank.
Biasanya, nasabah yang baik pindah dari satu ke bank lain adalah karena pelayanan
banknya yang lama kurang baik dan produknya yang terbatas. Karena tidak bankable
ditempat lain, nasabah yang diumumkan namanya dalam Laporan Pemeriksaan BPK
(Badan Pemeriksa Keuangan) itu justru berusaha memperbaiki citranya dengan
semakin melunasi hutangnya kepada bank-bank negara tersebut. Dalam hal yang
terakhir ini, bank sentral serta bank-bank negara (BUMN) seyogyanya berterimakasih
kepada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang secara tidak langsung berfungsi
sebagai penagih hutang ( debt collector ).
Alasan kedua pihak yang mengkritisi Laporan Audit BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan) adalah bahwa disclosures akan menghambat ekspansi kredit oleh bank-
bank BUMN. Padahal, hambatan terbesar dari ekspansi kredit BUMN adalah karena
struktur portepelnya yang kurang likuid, seperti yang disebut diatas. Sementara itu,
sebagaimana disebut diatas, Laporan BPPN mencerminkan bahwa cukup besar porsi
kredit bank-bank negara dimasa lalu yang diberikan berdasarkan KKN (Korupsi,
Kolusi, Nepotisme) dan bukan berdasarkan analisis kredit berdasarkan kemampuan,
karakter, kolateral maupun kesediaan modal pemohon kredit. Cukup besar pula porsi
kredit bank-bank negara tersebut digunakan untuk menambah kapasitas terpasang,
yang selain tidak produktif juga hanya menyumbang pada pengingkatan kredit
bermasalah ( NPL ) dengan biaya yang digelembungkan atau di mark up. Sebagian
dari kredit bank negara masa Orde Baru digunakan oleh penerimanya untuk pelarian
modal ataupun melakukan ekspansi usahanya di luar negeri. Sebagai contoh skandal
L/C fiktif di Bank BNI tahun 2003 adalah merupakan tindak pidana korupsi dan
bukan kegiatan pemberian kredit perbankan yang umum.
Pengkritik Laporan Pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) itu pun tidak
faham struktur BUMN di Indonesia yang sangat berbeda dengan di negara-negara
lain yang lebih maju dan teratur. Di negara lain, modal BUMN memang merupakan
uang negara yang dipisahkan dari kerugiaannya tidak lagi merupakan kewajiban
kontijensi negara.
Pengurusnya pun akuntabel dan bertanggung jawab penuh kepada prestasi kerja
perusahaan yang diurusnya. Sebaliknya, walaupun BUMN di Indonesia sudah ‘go
public’, Pemerintah masih tetap memiliki ‘golden share‘ dalam perusahaan itu.
Artinya, Pemerintah Indonesia masih memiliki kekuasaan yang dominan dalam
menentukan pengurus maupun arah kebijakan perusahaan itu. Dengan demikian,
segala kerugiaannya adalah merupakan kewajiban kontijensi Pemerintah. Sebagai
contoh Bank BNI yang sudah ‘go public’ jauh sebelum krisis tahun 1997-1998.
Pengurusnya masih ditunjuk oleh Pemerintah dan pemberian kreditnya pun tidak
berbeda dengan sebelum ‘go public’, dimana kental dengan nuansa KKN. Setelah
krisis tahun 1997-1998 masih juga terjadi skandal L/C fiktif pada tahun 2003 yang
menjadi beban rakyat. Belum ada satu pun pengurus BUMN pada era krisis dan masa
skandal sesudahnya yang sudah masuk penjara sesuai dengan Undang-Undang
Perbankan Tahun 1992.
Tanpa adanya perbaikan sistem hukum dan sistem akuntansi itu, tidak mungkin kita
dapat meningkatkan efisiensi perekonomian dan badan usaha nasional. Peningkatan
efisiensi seperti ini akan memungkinkan perekonomian dan badan usaha nasional kita
mampu berperan dalam era globalisasi dan dapat bersaing di pasar nasional maupun
pasar dunia. Hal ini dapat di lihat dari prestasi kantor cabang bank-bank nasional kita
diluar negeri. Hampir seluruhnya merupakan proyek rugi, menghamburkan asset
bangsa karena hanya mengandalkan penempatan dana dari Kantor Pusatnya di
Indonesia. Hampir semua kredit yang diberikan oleh kantor-kantor cabang di luar
negeri itu menjadi bermasalah dan cukup besar yang diberikan kepada nasabah-
nasabah di Indonesia atas dasar KKN yang dalam istilah sekarang dapat disebut
sebagai ‘money laundering’. Kita bercita-cita membuat Bank BNI, misalnya, atau
bank milik nasional lainnya setidaknya dapat menyamai Development Bank of
Singapore (DBS ) yang mampu bersaing di pasar regional dan internasional. Kita juga
ingin melihat perusahaan penerbangan kita mampu bersaing dengan Silk Air jika
belum mampu menyaingi Singapore Airlines. Untuk merubah citra, tidak cukup
hanya dengan sekedar merubah logo yang banyak membuang uang. Citra hanya
dirubah melalui peningkatan kualitas pelayanan, ekspansi dan perolehan keuntungan
usaha.
3. Peran BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dalam rangka pemberantasan korupsi dan
program reformasi yang dilakukan oleh BPK dalam sistem politik yang beralih dari
sistem otoriter orde baru ke sistem demokrasi, serta peralihan sistem pemerintahan
sentralistis orde baru ke otonomi daerah yang luas dewasa ini.
Berikut ini disampaikan ulasan mengenai peran dan program reformasi BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) untuk meningkatkan perannya dalam perbaikan sistem
keuangan negara serta BUMN maupun dalam rangka meningkatkan kualitas
pemeriksaannya sebagai upaya pemberantasan korupsi itu.
Ada 3 peran pokok yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk ikut
memberantas korupsi dalam menjalankan fungsinya sebagai satu-satunya lembaga
pemeriksa keuangan negara.
Peran yang pertama adalah dengan meningkatkan kualitas hasil pemeriksaannya.
Pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) terdiri dari dua kelompok besar.
Kelompok pertama, adalah berupa pemeriksaan secara umum ( keuangan, kinerja,
atau pemeriksaan lainnya ). Kelompok kedua adalah pemeriksaan khusus yang
ditujukan untuk mendeteksi terjadinya tindak korupsi melalui pemeriksaan investigasi
dan pemeriksaan khusus (investigative and fraunt audit ). Pemeriksaan investigasi
dan pemeriksaan khusus itu dilakukan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mulai
tahun 1999 berkenaan dengan pemeriksaan BLBI (Bantual Likuiditas Bank
Indonesia). Laporan Pemeriksaan atas BLBI itu telah diserahkan oleh BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) kepada DPR dan Kejaksaan Agung pada tanggal 4 Agustus
2000. Tindak lanjut Laporan Pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
tersebut sangat lambat, baik untuk menghukum para pelakunya maupun para pejabat
negara yang terlibat. Pelacakan pelarian modal periode krisis, 1997-1998, pun tidak
pernah dilakukan, apalagi recovery-nya.
Padahal sangat mudah dan murah untuk melakukan pelacakan pelarian modal hasil
korupsi dari BLBI itu, yaitu dengan meminta daftar nama orang yang memindahkan
uangnya keluar negeri pada periode itu yang disimpan pada tape computer beberapa
bank devisa utama yang berkantor di Jakarta.
Asal kita serius, penegak hukum negara lain pun bersedia membantu recovery hasil
korupsi dan BLBI yang dilarikan dari Indonesia itu. Selama tahun 2005 BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) telah menyampaikan kurang lebih 14 temuan yang
menngindikasikan terjadinya tindak pidana korupsi kepada Kejaksaan Agung dengan
nilai temuan sebesar Rp 2,9 triliun dan US $ 39,08 juta.
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) melaporkan secara khusus hal-hal yang diduga
mengandung aspek kriminal kepada penegak hukum : Kejaksaan Agung, Kepolisian
(POLRI) maupun KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Penerima utama Laporan
Pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) adalah DPR-RI Tingkat Nasional
serta DPRD Propinsi serta Kabupaten/Kota. Ketiga tingkat DPR itu merupakan
pemegang Hak Bujet di daerahnya masing-masing. Laporan Pemeriksaan BPK
(Badan Pemeriksa Keuangan) juga dimuat selengkapnya di website nya untuk dapat
diketahui dan dikritisi oleh umum.
Peran kedua yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) adalah dengan ikut
mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Peran ini dilakukan BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) melalui partisipasi aktif dalam perombakan sistem administrasi
keuangan negara yang sangat tidak transparan dan tidak akuntabel selama masa Orde
Baru. Sebagaimana diketahui, anggaran negara dalam masa Orde Baru dibagi dalam
dua bagian, yakni : Anggaran Rutin Dan Anggaran Pembangunan. Anggaran rutin
dikontrol oleh Ditjen Anggaran sedangkan Anggaran Pembangunan dikendalikan oleh
Bappenas. Anggaran Pembangunan juga meliputi suplemen anggaran rutin seperti
honor dan gaji maupun biaya perjalanan pelaksana proyek. Disamping anggaran
resmi juga ada anggaran non bujeter yang bersumber dari yayasan, dana pensiun,
koperasi/badan usaha. Baik modal awal maupun kegiatan usaha instansi ataupun
perusahaan satelit, pada hakikatnya, adalah bersumber dari induk instansinya.
Tiga paket UU di Bidang Keuangan Negara yang dikeluarkan tahun 2003 – 2004
telah memberikan design sistem akuntabilitas keuangan negara yang memadai. Tidak
ada lagi pemisahan antara anggaran rutin dengan anggaran pembangunan sedangkan
anggaran non bujeter semakin ditiadakan. Tiga UU tersebut ditambah dengan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
telah merubah jenis dan format laporan keuangan negara, memberlakukan sistem
akuntansi berpasangan, menggunakan sistem akuntansi yang terpadu dan
terkomputerisasi, dan menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara
berjenjang. Namun temuan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) selama
Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat ( LKPP ) tahun 2004
menggambarkan bahwa sistem akuntabilitas keuangan negara yang diatur dalam
ketiga paket UU tersebut belum sepenuhnya berjalan. BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan) tidak dapat menyatakan pendapat atas Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat yahun 2004 karena adanya kelemahan-kelemahan signifikan dalam Sistem
Pengendalian Intern serta ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
dalam penyajian Laporan Keuangan Tahun 2004. Beberapa temuan signifikan yang
diperoleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) adalah belum berjalannya sistem
akuntansi pemerintahan dengan baik. Sampai triwulan pertama tahun 2006, masih
terdapat 957 rekening atas nama pribadi ( termasuk pribadi yang sudah lama
meninggal dunia ) yang menyimpan uang negara dengan nilai total minimal sebesar
Rp 20,55 triliun.
Berbagai penerimaan negara ( PNBP ) dan piutang negara lainnya yang tidak
dilaporkan dan disetorkan ke kas negara. Contohnya adalah berupa denda pengganti
hukuman yang dipungut oleh Kejaksaan Agung sebesar Rp 6,6 triliun. Sudah menjadi
pengetahuan umum dan ditemukan oleh pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan) berbagai penyelewengan atas penjualan tanah negara, royalty
penambangan ataupun iuran hasil hutan ataupun dana pemeliharaan lingkungan oleh
perusahaan pertambangan dan perkayuan.
Peran ketiga yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dalam meningkatkan
peran sertanya dalam pemberantasan korupsi adalah dengan melakukan reformasi dan
mebangun kembali lembaga itu. Sama dengan lembaga negara lainnya, BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) dewasa ini juga tengah mengalami proses reformasi. Reformasi
tersebut terjadi akibat, pertama, dari perubahan sistem politik kita dari sistem otoriter
Orde Baru ke sistem politik yang demokratis.
Kedua, adanya perubahan dari sistem pemerintahan yang sentralitis pada masa Orde
Baru ke sistem dengan otonomi daerah yang luas dewasa ini. Dalam sistem politik
dan sistem pemerintahan yang baru itu, Pasal 23 E Perubahan UUD 1945 menuntut
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk dapat memeriksa setiap sen uang negara
darimana pun sumbernya, dimana pun disimpan dan untuk apapun dipergunakan.
UUD 1945 dan UU No. 15 Tahun 2004 menugaskan BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan) melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan ketiga
tingkat pemerintahan : Pusat, Propinsi dan Kabupaten / Kotamadya di seluruh
Indonesia.
Dari segi kelembagaan, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) berusaha untuk menjadi
suatu lembaga pemeriksa yang benar-benar independen, bebas dan mandiri, sesuai
dengan harapan UUD 1945. Dimasa pemerintahan otoriter, baik pada masa
pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
berada dibawah kendali Eksekutif.
Perubahan sikap, mental dan moral pemeriksa BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
merupakan kunci sukses perubahannya / reformasi BPK. Untuk itu dilakukan melalui
empat cara. Cara yang pertama adalah menerapkan kode etik dan menegakkan aturan
yang berlaku dengan lebih tegas. Sesuai dengan aturan dan kode etiknya, pemeriksa
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tidak boleh mengungkapkan informasi yang
diperolehnya dari pemeriksaannya kepada pihak lain diluar BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan). Sebagaimana disebut diatas, ada tatacaranya penyampaian dugaan
perbuatan kriminal kepada penegak hukum. Pemeriksa BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan) bukan ‘whistle-blower’ karena informasi itu ia peroleh adalah semata-
mata karena kewenangan yang diperolehnya secara hukum sebagai pejabat ataupun
petugas BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Cara kedua adalah menjatuhkan
hukuman, termasuk pemberhentian dengan tidak hormat, auditor BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) yang diketahui menerima uang suap dari auditee. Untuk
pertama kali dalam sejarahnya, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) telah memecat
karyawannya pada tahun 2005 yang terbukti menerima suap pemeriksaan Dana Abadi
Umat, Departemen Agama.
Cara ketiga untuk merubah moral pemeriksa BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
adalah dengan mengupayakan perbaikan penghasilan karyawan dan memberikan
tanda jasa serta kenaikan pangkat dipercepat kepada auditor berprestasi.
Dengan bantuan tambahan anggaran dari DPR dan Pemerintah, mulai tahun 2005,
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tidak menerima dana pemeriksaan dari auditee.
Mulai tahun 2006, penghasilan auditor BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sudah
dapat ditingkatkan sehingga setara dengan penghasilan karyawan Departemen
Keuangan maupun BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan).
Tambahan anggaran untuk modernisasi peralatan komputer, gaji dan pendidikan
lanjutan diluar negeri maupun tenaga ahli untuk pendidikan audit investigasi serta
fraud audit dan penyusunan rencana strategis adalah diperoleh dari sumbangan
organisasi internasional maupun berbagai lembaga pemberi bantuan asing.
Cara keempat adalah dengan melakukan rotasi kerja diantara pemeriksa agar tidak
sempat mempunyai hubungan emosional dengan auditee yang diperiksanya.
Pemerintah Orde Baru sangat membatasi objek pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan). Dimasa lalu itu, Bank Indonesia, Pertamina, bank-bank milik negara dan
berbagai BUMN lainnya bukan merupakan objek pemeriksaan BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan). Tanpa seijin Menkeu dan Dirjennya sendiri, BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) tidak dapat memeriksa Ditjen Pajak dan Bea Cukai.
Demikian juga dengan BUMN yang sudah ‘go public’ maupun yayasan yang terkait
dengan kedinasan, Dewasa ini objek pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
diperluas meliputi seluruh aspek keuangan negara yang telah disebut diatas.
Mengingat luasnya objek pemeriksaannya dan terbatasnya kemampuannya, prioritas
audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dewasa ini adalah diarahkan pada aspek
pengeluaran dan penerimaan negara dan Pemda terpenting. Pada sisi pengeluaran,
pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) diprioritaskan pada objek-objek
yang sangat membebani keuangan negara, seperti bank-bank pemerintah, Pertamina,
Bank Indonesia, serta BUMN lainnya. Prioritas kedua adalah pengeluaran negara
yang rawan korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti pengadaan barang dan jasa oleh
pemerintah. Sebagai contoh, tidak mungkin Indonesia memiliki Angkatan Bersenjata
yang tangguh jika anggaran yang terbatas untuk membeli peralatan dikorupsi.
Demikian juga tidak mungkin prajurit mau mengikuti perintah komandan yang
mengkorupsi anggaran kesatuan termasuk tabungan hari tuanya. Prioritas ketiga
pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) adalah sektor-sektor yang strategis
bagi perekonomian dan penting bagi hajat hidup orang banyak, seperti Departemen
Pendidikan Nasional, Departemen kesehatan, Departemen Pemukiman dan Prasarana
Wilayah, Bulog dan Perusahaan Listrik Negara. Pada sisi penerimaan, pemeriksaan
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) diprioritaskan pada penerimaan pajak,
penerimaan negara non pajak, penjualan asset negara dan Pemda, termasuk divestasi
asset PPA, dan tukar guling asset negara.
BAB VI
Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Korupsi di Indonesia secara umum sering dikaitkan dengan masalah gaji yang
sangat kecil, kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan, krisis mental para
pejabat terutama para pemegang proyek yang dipercayakan sampai pada
administrasi dan banyaknya birokrasi yang harus dilalui untuk perijinan dan
prosedur yang berbelit-belit dapat mengakibatkan timbulnya korupsi. Di sisi
lain timbulnya korupsi dikarenakan pula akibat kemajuan tehnologi diberbagai
sector kehidupan yang sedikit banyak juga memberikan dampak negatif yaitu
meningkatnya kebutuhan sehingga apabila tidak sabar dan tabah maka
mendorong orang dengan sengaja memakai uang negara yang dipercayakan
kepadanya.
Buruknya system akuntansi dan sistem hukum bagi perekonomian nasional
serta lambannya perbaikan sistem akuntasi dan sistem hukum di indonesia
memberi dampak pada rapuhnya fundamental ekonomi dan perekonomian
nasional
Ada 3 peran pokok yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk
ikut memberantas korupsi dalam menjalankan fungsinya sebagai satu-satunya
lembaga pemeriksa keuangan negara.
2. Saran
Dalam upaya perbaikan system akuntansi, system hukum, system politik dan
birokrasi di Indonesia, diperlukan langkah nyata dan dukungan dari setiap elemen
bangsa, untuk itu wewenang lembaga-lembaga seperti BPK, KPK, Kejaksaan
POLRI dan PPATK harus diberikan kepastian hukum / payung hukum yang lebih
kuat, sehingga memungkinkan para personil di lembaga-lembaga tersebut dapat
bekerja secara independen, bebas dari rasa takut / sungkan dan bebas dari tekanan
dari pihak manapun. Bahkan tidak menutup kemungkinan apabila personil yang
akan duduk sebagai pimpinan di lembaga-lembaga tinggi negara tidak lagi
diangkat berdasarkan usulan Presiden dan selanjutnya dimintakan persetujuan
DPR, akan tetapi dimungkinkan usulan nama-nama calon pimpinan lembaga
tinggi negara tersebut berasal dari rakyat secara langsung dan transaparan, melalui
mekanisme pendaftaran dan uji saringan (fit and proper test) langsung, dimana
semua orang boleh mendaftar apabila merasa memiliki kemampuan dan keinginan
untuk adanya perbaikan bagi bangsa dan negara, sehingga memungkinkan
munculnya pimpinan lembaga tinggi negara yang professional dan independent.
System ini mungkin dirasakan berlebihan bagi sebagian orang, namun hal ini
harus diambil apabila kita menginginkan perbaikan / reformasi total atas kondisi
bangsa dan negara Indonesia yang sudah terlanjur rusak parah, ibarat penyakit
kanker tidak bisa lagi hanya dengan obat, namun harus dengan jalan tindakan
operasi atau amputasi.
Secara khusus untuk BPK, langkah reformasi lembaga yang saat ini dilakukan
oleh BPK harus didukung dan harus diikuti oleh lembaga negara lainnya. Untuk
memberi kepastian dan mendapatkan hasil reformasi yang baik, pelaksanaannya
perlu diberikan kepastian hukum melalui Ketetapan MPR / Tap MPR, sehingga
reformasi benar-benar merupakan cerminan dari amanat rakyat dan bangsa
Indonesia.
Daftar Pustaka