Anda di halaman 1dari 31

Peranan dan Strategi BPK

(Badan Pemeriksa Keuangan)


Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia
(Tema : Korupsi dan Perkembangan Kejahatan Ekonomi di Indonesia)

Makalah Kuliah Pasca Sarjana – Hukum Bisnis, UPH


Disusun Oleh : Antonius Ketut D

Bab I Pendahuluan
1. Latar Belakang
2. Masalah Pokok

Bab II Kerangka Teori dan Konsepsional

Bab III Analisa dan Pembahasan

Bab IV Kesimpulan dan Saran

Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Maraknya kasus korupsi yang terungkap akhir-akhir ini menunjukkan bahwa


kejahatan korupsi yang sudah diperangi sejak decade tahun enampuluhan
bukannya surut tetapi malahan semakin menggila. Apabila pada awalnya korupsi
masih dilakukan dalam bentuk suap secara kecil-kecilan sekarang sudah
melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, bahkan akhir-akhir ini terkuak sampai pada
kaum akademisi dan pemuka agama. Suatu fenomena tragis karena bangsa kita
dikenal memiliki moralitas yang berbudaya tinggi dan masyarakatnya teramat
religius.
Berbagai bentuk kejahatan korupsi dapat ditengarai sebagai kejahatan yang
merugikan Negara, baik dalam bentuk aktif yaitu hilangnya keuangan maupun
asset Negara dan dalam bentuk pasif yaitu hilangnya pendapatan Negara yang
semestinya diterima oleh Negara, sehingga pada akhirnya mengakibatkan
terpuruknya ekonomi nasional yang menyengsarakan kehidupan rakyat banyak,
selain juga merusak tata nilai moral bangsa yang apabila tidak segera di lakukan
langkah-langkah konkret dalam pencegahan dan pemberantasannya akan
mengahancurkan kehidupan bangsa dari generasi ke generasi, maka sudah saatnya
kondisi yang memprihatinkan bangsa ini mendapat perhatian lebihserius dari
pemerintah dan penyelenggara Negara, juga keikutsertaan segenap lapisan
masyarakat dalam pemberantasan korupsi untuk mewujudkan pemerintahan yang
bersih ( Good Governance ).1/
Secara genealogis korupsi sudah dikenal sejak jaman raja-raja dengan budaya
pemberian upeti sebagai tanda penghormatan dan ungkapan terimakasih, juga
tentunya terselubung tujuan untuk memperoleh “kebaikan-kebaikan” yang timbal
balik.
______________
1/Gayus Lumbuun, Artikel Jurnal Keadilan Vol.4, No.2, Tahun 2005/2006.
Demikian pula di Indonesia, korupsi yang pada awalnya hanya dilakukan oleh
masyarakat berupa suap terhadap pejabat untuk memperoleh kemudahan dalam
berbagai urusan, dari urusan pembuatan KTP atau untuk memperlancar urusan
bisnis misalnya, sampai urusan dalam berperkara untuk dimenangkan atau
dibebaskan dari tuntutan hukum, terus berkembang dengan melibatkan pejabat
publik untuk mencuri keuangan Negara melalui berbagai kejahatan melalui
kerjasama dengan anggota masyarakat atau berkolusi antar oknum penyelenggara
Negara yang merugikan keuangan Negara dalam jumlah besar, sebagaimana
lazimnya dikenal sebagai “White color crime”. Jaringan kejahatan tersebut di
lakukan secara nasional maupun transnasional sehingga meningkat pada bentuk
kejahatan Money Laundering.
Sejak era reformasi bergulir di pertengahan tahun 1998 masalah korupsi menjadi
salah satu sajian menarik untuk diangkat ke permukaan. Hal ini senada dengan
Satjipto Rahardjo, yang mengemukakan : 2/

“ Indonesia tengah berada di pusat gejolak besar yang disebut reformasi. Untuk
mengoptimalkan reformasi, seyogianya kita memiliki kejernihan dan ketajaman
konsep serta visi mengenai reformasi tersebut. Dewasa ini KKN ( Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme) sudah menjadi semacam trade mark reformasi. Untuk
kebutuhan praktis dan jangka dekat itu baik-baik saja, tetapi tidak untuk tujuan
dan cita-cita reformasi sebenarnya. Kita membutuhkan suatu landasan filosofis
atau semacam weltenschaung, yang dapat memberikan kekayaan spiritual kepada
reformasi kita.”
Usaha-usaha pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia secara yuridis
sudah dimulai sejak tahun 1957 dengan dikeluarkannya peraturan pemberantasan
korupsi; Peraturan Penguasa Militer Angkatan Darat dan Laut Republik Indonesia
Nomor Prt/PM/06/1957 “sebagai dampak ketidakmampuan KUHP dalam
menanggulangi meluasnya korupsi”. 3/

________________
2/Satjipto Rahadjo, “Kultur POLRI Yang Mandiri Dalam Era Masyarakat Indonesia Modern”, Bandung hal.20
3/BPKP, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Jakarta, hal 117

Kemudian dilanjutkan dengan usaha-usaha pemberantasan korupsi oleh


Pemerintah sejak awal 1970-an, yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden
Nomor 228 Tahun 1967 tentang Tim Pemberantasan Korupsi ( TPK) hingga
lhirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Begitu juga dengan upaya pembinaan dari pejabat-pejabat telah ditingkatkan
melalui pengawasan yang ketat, baik yang dilakukan oleh intern departemen dan
lembaga maupun secara ekstern oleh Menteri Aparatur Negara. Namun seiring
dengan perkembangan zaman dan pesatnya pembangunan yang semakin melaju,
terasa pula semakin meningkatnya kebocoran dalam pembangunan, terbukti
dengan kasus-kasus korupsi yang menyangkut kerugian Negara milyaran hingga
trilyunan rupiah.4/
Pemberantasan korupsi memerlukan peningkatan transparansi serta akuntabilitas
sektor publik dan dunia usaha. Pada gilirannya hal ini memerlukan upaya terpadu
melalui perbaikan system akuntansi, system hukum dan system politik, guna
meningkatkan mutu kerja serta memadukan pekerjaan lembaga pemeriksa dan
pengawas keuangan, serta lembaga terkait lainnya seperti : BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) (Badan Pemeriksa Keuangan), Irjen (Inspektorat Jenderal),
Bawasda (Badan Pengawas Daerah), dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisa
Transaksi Keuangan), serta penegak hukum seperti : Kepolisian / POLRI,
Kejaksaan, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) maupun Departemen
Kehakiman .
Sebagaimana sudah kita alami sendiri, kelemahan system politik dan birokrasi di
Indonesia serta budaya korupsi dalam satu mata rantai kelembagaan di Indonesia
telah membuat negara kita dewasa ini, masuk sebagai daftar dari sebagai salah
satu negara yang terkorup didunia dan telah menyengsarakan rakyat. Akibat dari
kelemahan dan ulah sendiri tersebut, perekonomian dan seluruh sendi-sendi
kehidupan sosial kita telah runtuh yang dimulai sejak tahun 1997/1998, Timor
Timur memisahkan diri dari NKRI dan Indonesia dianggap merupakan ‘the sick
of Asia’ hingga saat sekarang ini.
________________
4/Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, masalah dan Pemecahannya, Jakarta hal.3
2. Masalah Pokok

Fundamental Ekonomi dan Perekonomian Nasional yang rapuh sebagai dampak


dari Buruknya System Akuntansi dan Sistem Hukum Bagi Perekonomian
Nasional.
Dampak dari buruknya fundamental perekonomian, berupa sistem akuntansi serta
sistem hukum tersebut, sudah kita rasakan dewasa ini. Laporan keuangan negara
maupun badan usaha di Indonesia yang kurang transparan dan kurang akuntabel
sebelum krisis tahun 1997 tidak dapat dijadikan sebagai pegangan untuk
mengetahui dan mengantisipasi keadaan serta menjadi dasar dalam pengambilan
keputusan. Semua bank di rekapitalisir karena tidak dapat dibedakan mana yang
masih viable dan mana yang tidak. Biaya rekapitalisasi perbankan dan
pembersihan kredit bermasalah perbankan nasional seluruhnya digeser menjadi
tanggungan negara sehingga menjadi beban rakyat yang tidak berdosa. Biaya
tersebut mencapai sekitar Rp 640 triliun atau setara dengan 50 persen dari nilai
PDB kita pada tahun 1999. Diukur dari persentase terhadap PDB itu, biaya krisis
perbankan di Indonesia adalah merupakan yang termahal diseluruh dunia. 5/

Lambannya Perbaikan sistem akuntasi dan sistem hukum di Indonesia


Indonesia dewasa ini belum banyak kemajuan dalam perbaikan sistem akuntansi
dan sistem hukum maupun dalam meningkatkan mutu personil bankir, pengusaha
serta birokratnya. Pihak-pihak yang ikut bertanggung jawab terjadinya krisis di
Indonesia masih banyak yang belum disentuh hukum.

Peran BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dalam usaha pemberantasan tindak


pidana korupsi.
Ada berbagai peran yang dapat dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
untuk ikut memberantas korupsi dalam menjalankan fungsinya sebagai satu-
satunya Lembaga Pemeriksa Keuangan Negara.
________________
5/Majalah Warta Ekonomi, Volume 2, Tahun 2005
Peran yang pertama adalah dengan meningkatkan kualitas pemeriksaannya. Peran
kedua yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) adalah dengan ikut
mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Peran ketiga yang dilakukan BPK
(Badan Pemeriksa Keuangan) dalam meningkatkan peran sertanya dalam
pemberantasan korupsi adalah dengan melakukan reformasi dan membangun
kembali lembaga itu. /6

__________________
6/www.bpk.go.id
BAB II
Kerangka Teori dan Konsepsional

Di Indonesia secara yuridis upaya pemberantasan korupsi sudah ada sejak tahun
1957 dalam bentuk peraturan penguasa militer – Angkatan darat dan Laut RI,
Nomor : PRT/PM/06/1957. Peraturan Penguasa Militer tersebut dibuat karena
Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ) dianggap tidak mampu
menanggulangi meluasnya korupsi.

Pada masa itu, korupsi telah dianggap sebagai suatu penyakit masyarakat yang
menggerogoti kesejahteraan rakyat, menghambat pelaksanaan pembangunan,
merugikan perekonomian dan mengabaikan moral. Peraturan penguasa militer
dapat dikatakan sebagai upaya awal dari pemerintah dalam menanggulangi
korupsi, namun dalam perjalanannya korupsi bukannya menjadi surut namun
malah menjadi semakin meluas sehingga dikeluarkan Tap MPR RI Nomor :
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan sebagai tindak lanjutnya, keluarnya Undang-
Undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan
bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kemudian Undang-Undang No. 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Disebabkan ketentuan dalam pasal 44 Bab VII undang-undang RI No. 31 tahun


1999 yang menyatakan : “ Bahwa undang-undang RI No. 3 Tahun 1971 tidak
berlaku lagi sejak diundangkannya undang-undang RI No. 31 Tahun 1999“ /7

timbul berbagai interprestasi atau persepsi menyangkut proses tindak pidana


korupsi yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang RI No. 31 Tahun 1999,
untuk mengatasinya dilakukan amandemen sehingga keluar undang-undang RI
Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang RI No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
________________
/7 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Namun demikian penanganan korupsi oleh banyak kalangan dinilai tidak juga
mengalami peningkatan, sehingga keluarlah Tap MPR RI Nomor : VII/MPR/2001
Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme, diantaranya disebutkan dalam pasal 2 yang berisi :
a. Mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintahan terutama
aparat penegak hukum dan penyelenggaraan negara yang diduga
melakukan praktek KKN serta dapat dilakukan tindakan administrative
untuk memperlancar proses hukum.
b. Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap
semua kasus korupsi yang telah terjadi di masa lalu dan bagi mereka yang
telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya.
c. Mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan
kepada pihak yang berwenang berbagai dugaan praktek KKN yang
dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggaran negara dan anggota
masyarakat.
Tindak pidana korupsi di Indonesia menjadi masalah menonjol sebagaimana
dinyatakan dalam penjelasan umum undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi karena sudah meluas dalam masyarakat,
indikatornya dari tahun ke tahun perkembangannya terus meningkat baik dari segi
kualitas yang semakin sistematis, karenanya tindak pidana korupsi digolongkan
menjadi kejahatan yang luar biasa atau extra ordinary crime, sehingga untuk
pemberantasannya juga harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa.
Sekarang ini berdasarkan ketentuan dalam pasal 50 undang-undang No. 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat 3 ( Tiga ) institusi negara,
yaitu Polri, Kejaksaan dan KPK mempunyai kewenangan untuk melakukan
penyidikan kasus korupsi.
Dari 3 ( Tiga ) Institusi tersebut, dihubungkan dengan proses penanganan suatu
perkara tindak pidana korupsi maka posisi Polri paling berbeda dibandingkan
dengan kejaksaan dan KPK yaitu hasil penyidikan kasus korupsi yang dilakukan
oleh penyidik Polri, diserahkan kepada Kejaksaan selaku Penuntut Umum,
sedangkan hasil penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan atau KPK secara
langsung sudah terintegrasi dengan fungsi Kejaksaan dan KPK yang masing-
masing disamping mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan juga
mempunyai kewenangan untuk melakukan penuntutan.
Apabila hal tersebut dikaji lebih jauh, tentu akan diperoleh hal-hal positif dan juga
negatif, diantaranya hal positif adalah hasil penyidikan yang dilakukan oleh Polri
karena dikontrol oleh instutisi penegak hukum lainnya bisa jadi akan lebih
obyektif, sedangkan segi negatifnya adalah pengembalian berkas perkara
berulang-ulang (bolak-balik perkara), sehingga timbul kesan proses
penyelesaiannya begitu lambat dan bahkan sering terjadi stagnasi sehingga
memunculkan citra negatif terhadap aparatur penegak hukum.
Korupsi di Indonesia secara umum sering dikaitkan dengan masalah gaji yang
sangat kecil, kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan, krisis mental para
pejabat terutama para pemegang proyek yang dipercayakan sampai pada
administrasi dan banyaknya birokrasi yang harus dilalui untuk perijinan dan
prosedur yang berbelit-belit dapat mengakibatkan timbulnya korupsi.
Di sisi lain timbulnya korupsi dikarenakan pula akibat kemajuan tehnologi
diberbagai sector kehidupan yang sedikit banyak juga memberikan dampak
negatif yaitu meningkatnya kebutuhan sehingga apabila tidak sabar dan tabah
maka mendorong orang dengan sengaja memakai uang negara yang dipercayakan
kepadanya.
Dari segi latar belakang pelaku Tindak Pidana yang disidik oleh Polri dan KPK
serta BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) bagi penyelenggara dan lembaga negara,
terlihat beragam, terdiri dari kalangan swasta, mantan menteri, gubernur,
bupati/walikota dan Kepala Dinas ditingkat propinsi dan kabupaten / kota.
Sedangkan modus operandi dari pelaku, juga sangat beragam dan dari waktu ke
waktu terus berkembang, antaranya : /8

_____________________
/8 Materi Seminar Nasional “ Sinergi Pemberantasan Korupsi : Peran dan Tantangan PPATK” Selasa 4 April 2006.
a. Pelanggaran dalam batas maksimum pemberian kredit oleh bank (BMPK)
misalnya : Dilakukan rekayasa agar kredit yang disalurkan kepada suatu
grup perusahaan-perusahaan, terlihat tidak melebihi dari ketentuan batas
kredit yang ditentukan.
b. Penyimpangan dalam perencanaan, modusnya : Kegiatan pembangunan
dengan menggunakan dana APBN dan atau APBD dimulai dengan
penetapan program yang dijabarkan dalam proyek-proyek, dimana
pembuatan owner’s estimate ( Perkiraan Harga ) yang akan dijadikan
dasar dalam menyusun Daftar Usulan Proyek ( DUP ) dan menjadi bagian
dari bestek seharusnya dibuat atas dasar investigasi dan study kelayakan
yang memadai tetapi hal itu tidak dilakukan, justru terkadang item
pekerjaan ( Bill Of Quantity ) dan harga dalam owner’s estimate di mark-
up sehingga harganya jauh dari tingkat kewajaran. Kegiatan selanjutnya
setelah DUP disetujui menjadi Daftar Isian Proyek ( DIP ), Engineer
Estimate tersebut seharusnya segera dimuthakhirkan oleh pimpinan
proyek menjadi owner’s estimate ( Harga Perkiraan Sendiri ). Namun
ketika melakukan pemuthakhiran kegiatan perbandingan harga dengan
kontrak sejenis dan harga pasar tidak dilakukan, sehingga secara formal
tampak nilainya cukup wajar. Proses berikutnya ketika pelelangan / tender
dilakukan, rincian dari owner’s estimate tersebut dibocorkan kepada
rekanan yang dikehendaki oleh pengelola proyek.
c. Penyimpangan Tata Niaga, modusnya : Melakukan pengaturan tata niaga
untuk pengadaan dan distribusinya selanjutnya melakukan manipulasi
data-data.
d. Tukar guling ( Ruitslag ), modusnya : Merekayasa prosedur pelelangan
sedemikian rupa sehingga developer yang ditunjuk sesuai dengan yang
dikehendaki oleh pejabat Ruitslag selanjutnya Panitia Penaksir / Penilai
Inter Departemen yang seharusnya bekerja independent, ternyata berkolusi
agar asset dinilai serendah-rendahnya, dan sebaliknya menilai asset
pengganti dengan nilai yang setinggi-tingginya.
Agar kelihatan wajar, oknum tersebut merekayasa Nilai Jual Obyek Pajak
( NJOP ) dan harga pasar yang akan dilepas dengan nilai yang serendah-
rendahnya, dan dilain pihak menaikkan nilai asset pengganti sangat tinggi
dan tidak wajar.
e. Pengaturan Kewajiban Pajak, modusnya : Pemeriksa pajak yang
memeriksa wajib pajak berkolusi dengan wajib pajak sehingga pajak yang
dibayarkan jauh dibawah kewajibannya, untuk bantuannya tersebut
petugas pajak mendapat imbalan yang diambil dari kekurangan kewajiban
penyetoran.
f. Pengaturan perkara pada tingkat penyidikan, penuntutan dan atau
peradilan, modusnya : Berupa “Suap” ataupun “Gratifikasi” ( Pemberian
dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya ),

Jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari kejahatan korupsi di Indonesia


sudah sangat besar, sehingga sampai saat ini Indonesia tercatat sebagai kelompok
negara terkorup di dunia.
Meskipun upaya pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini sudah semakin
gencar, namun upaya untuk mengembalikan uang negara dari para pelaku korupsi
ternyata tidak semudah mengembalikan barang bukti seperti menangani tindak
pidana lainnya.
Masih banyaknya uang negara yang belum dapat dikembalikan tentu bukan hanya
disebabkan oleh factor belum optimalnya penyidikan, pengawasan dan
pencegahan, namun juga disebabkan oleh factor-faktor lain yang sangat
kompleks, seperti factor system hukum dan nuansa politik yang muncul disaat
suatu kasus korupsi diungkap. Kondisi tersebut merupakan tantangan yang berat
bagi BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sebagai satu-satunya Lembaga Pemeriksa
Keuangan Negara.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka upaya pemeriksaan keuangan negara
di lembaga-lembaga negara, penanggulangan dan pemberantasan korupsi serta
pengembalian uang negara hasil korupsi melalui optimalisasi upaya pemeriksaan
dan penyidikan secara tegas dalam rangka pemberantasan korupsi harus terus
dilakukan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) bersama lembaga terkait
lainnya.
BAB III
Analisis dan Pembahasan

1. Buruknya System Akuntansi dan Sistem Hukum Bagi Perekonomian Nasional,


menjadi dampak bagi rapuhnya fundamental ekonomi dan perekonomian nasional.
Sejak delapan tahun terakhir (dimulai tahun 1998), anggaran negara tidak dapat
dipergunakan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi karena besarnya porsi
pengeluaran negara untuk melunasi beban hutang pemerintah, membayar subsidi dan
mengatasi konflik horizontal di berbagai daerah. Karena kurangnya anggaran,
infrastruktur ekonomi kita sudah lama tidak terurus, kesehatan masyarakat dan
pendidikan nasional sudah lama kurang terpelihara. Kredit perbankan nasional tidak
dapat ditingkatkan karena sebagian besar dari modal dan portepelnya adalah berupa
Surat Utang Negara ( SUN ), SBI dan Fasilitas Bank Indonesia (Fasbi). Karena masih
sempit dan dangkalnya pasar SUN, menyebabkan surat berharga itu kurang likuid.
Sementara itu, upaya menggerakkan ekonomi melalui peningkatan ekspor dan
investasi swasta tersendat karena rendahnya produktifitas ekonomi nasional dan
buruknya iklim investasi. Kalaupun ada peningkatan ekspor hanya terjadi karena
adanya kenaikan harga komoditas primer di pasar dunia dan bukan karena
peningkatan daya saing. Akibatnya pengangguran tenaga kerja menjadi semakin
meningkat.
Kurang seriusnya kita memperbaiki sistem Hukum dan sistem Akuntansi itu juga
telah sekaligus menghambat pemulihan kegiatan perekonomian nasional setelah
terjadinya krisis ekonomi dan politik nasional sejak tahun 1997/1998. Setelah
mengalami krisis, negara lain segera berupaya memperbaiki sistem Hukum serta
meningkatkan Transparansi serta Akuntabilitas sistem akuntansinya sebagai bagian
dari peningkatan kualitas pengelolaan keuangan negara (good and clean
government ) maupun pengelolaan badan usahanya ( good corporate governance ).
Sebagai contoh setelah terjadinya rangkaian skandal dunia usaha (seperti Dotcom
dan Enron ) Amerika Serikat menyempurnakan sistem akuntansinya dengan
mengintrodusir The Serbannes-Oxley Act tahun 2002.
Dalam industri perbankan, transparansi itu meliputi pengetatan aturan kehati-hatian -
prudential (seperti the Basel Core Principles), penyempurnaan sistem pembukuan
dan peningkatan keterbukaan ( disclosures ) untuk mewujudkan akuntabilitas semua
pihak terkait seperti : otoritas atau pejabat pengatur, pemegang saham, nasabah
maupun industri perbankan itu sendiri. Nasabah kredit bank juga dipaksa agar
menjadi lebih transparan dan akuntabel. Sistem hukum ditingkatkan agar dapat
menjadi lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan konflik kepentingan secara
adil sehingga tidak bertele-tele dan tidak perlu pakai cara ancam mengancam ataupun
menggunakan jasa debt collectors.

Di negara lain, kualitas bankir ditingkatkan melalui proses pengujian kepatutan dan
kelayakan ( fit and proper test) maupun pendidikan berjenjang. Para pelaku kejahatan
maupun pejabat yang bertanggung jawab penyebab krisis dihukum berat sebagai
contoh di KOREA SELATAN telah menghukum dua mantan PRESIDEN, mantan
PANGAB dan JENDERAL BINTANG 4, beserta kerabatnya karena terlibat KKN. Di
negara lain, bankir bermasalah dikenakan hukuman penjara atau dilarang menjadi
pengurus ataupun pemilik pengendali bank.

2. Lambannya Perbaikan Sistem Akuntasi dan Sistem Hukum Di Indonesia.


Indonesia dewasa ini belum banyak mengalami kemajuan dalam perbaikan Sistem
Akuntansi dan Sistem Hukum maupun dalam meningkatkan mutu personil bankir,
pengusaha serta birokratnya. Pihak-pihak yang ikut bertanggung jawab terjadinya
krisis di Indonesia masih banyak yang belum disentuh hukum.

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat ( LKPP ) yang mendapatkan opini disclaimer


sejak tahun 2004. Praktek buruk Orde Baru yang menyimpan uang negara atas nama
pribadi pejabat Depkeu ( termasuk yang sudah lama meninggal dunia ) masih terus
berlanjut. Berbagai penerimaan negara bukan pajak maupun piutang lainnya belum
dilaporkan dan dimasukkan ke kas negara.

Akibat buruknya administrasi dan kondisi keuangan negara dan perekonomian


tersebut, rating Indonesiadi pasar internasional masih tetap rendah sehingga kupon
surat utang negara yang ditawarkan di pasar internasional tetap relatif tinggi dan
upaya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak dengan jalan
meningkatkan jumlah pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP ) sebesar empat
kali lipat dalam waktu sebulan, tetap belum mampu meningkatkan Tax Ratio
Indonesia, dimana Tax Ratio Indonesia tidak bergeming dari tingkat 13 % s/d 14%
dari PDB.
Sementara itu, komitmen nasional untuk melakukan restrukturalisasi industri
perbankan dalam rangka program IMF mulai ditinggalkan satu demi satu. Bankir
yang sudah tercemar (tidak lulus fit and proper test), kini diperbolehkan kembali
menjadi pengurus serta pemilik pengendali bank. Sebagian bankir BUMN dan
politisi kita mulai mengemukakan secara terbuka keberatan mereka atas pengumuman
nama nasabah kredit bermasalah Bank-Bank Negara (BUMN) dalam laporan Audit
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Alasan pihak yang mengkritisi Laporan
Pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), antara lain, adalah karena para
nasabah mereka yang namanya diumumkan itu akan pindah ke bank-bank lain.
Padahal, pemuatan nama nasabah kredit bermasalah tersebut adalah dalam rangka
peningkatan keterbukaan (disclosures), tidak melanggar Undang-Undang Kerahasiaan
Bank dan sudah dimulai oleh BPPN sejak awal berdiri pada tahun 1998 hingga masa
akhir tugasnya pada tahun 2003. Dari daftar nama BPPN itu terungkap bahwa
sebagian besar dari penerima kredit murah dari bank-bank negara, dan yang tidak
melunasi hutangnya, adalah pihak yang erat kaitannya dengan penguasa politik Orde
Baru. Sungguh bertolak belakang dengan pemerataan yang diindoktrinasikan dalam
Penataran P-4 selama masa pemerintahan itu.
Nasabah yang tidak melunasi hutangnya yang disebut namanya dalam Laporan
Pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) itu bukanlah merupakan nasabah
yang berharga (non-valued customers ) dan karena reputasinya yang buruk, akan sulit
mendapatkan kredit dari bank lain.

Biasanya, nasabah yang baik pindah dari satu ke bank lain adalah karena pelayanan
banknya yang lama kurang baik dan produknya yang terbatas. Karena tidak bankable
ditempat lain, nasabah yang diumumkan namanya dalam Laporan Pemeriksaan BPK
(Badan Pemeriksa Keuangan) itu justru berusaha memperbaiki citranya dengan
semakin melunasi hutangnya kepada bank-bank negara tersebut. Dalam hal yang
terakhir ini, bank sentral serta bank-bank negara (BUMN) seyogyanya berterimakasih
kepada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang secara tidak langsung berfungsi
sebagai penagih hutang ( debt collector ).
Alasan kedua pihak yang mengkritisi Laporan Audit BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan) adalah bahwa disclosures akan menghambat ekspansi kredit oleh bank-
bank BUMN. Padahal, hambatan terbesar dari ekspansi kredit BUMN adalah karena
struktur portepelnya yang kurang likuid, seperti yang disebut diatas. Sementara itu,
sebagaimana disebut diatas, Laporan BPPN mencerminkan bahwa cukup besar porsi
kredit bank-bank negara dimasa lalu yang diberikan berdasarkan KKN (Korupsi,
Kolusi, Nepotisme) dan bukan berdasarkan analisis kredit berdasarkan kemampuan,
karakter, kolateral maupun kesediaan modal pemohon kredit. Cukup besar pula porsi
kredit bank-bank negara tersebut digunakan untuk menambah kapasitas terpasang,
yang selain tidak produktif juga hanya menyumbang pada pengingkatan kredit
bermasalah ( NPL ) dengan biaya yang digelembungkan atau di mark up. Sebagian
dari kredit bank negara masa Orde Baru digunakan oleh penerimanya untuk pelarian
modal ataupun melakukan ekspansi usahanya di luar negeri. Sebagai contoh skandal
L/C fiktif di Bank BNI tahun 2003 adalah merupakan tindak pidana korupsi dan
bukan kegiatan pemberian kredit perbankan yang umum.
Pengkritik Laporan Pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) itu pun tidak
faham struktur BUMN di Indonesia yang sangat berbeda dengan di negara-negara
lain yang lebih maju dan teratur. Di negara lain, modal BUMN memang merupakan
uang negara yang dipisahkan dari kerugiaannya tidak lagi merupakan kewajiban
kontijensi negara.
Pengurusnya pun akuntabel dan bertanggung jawab penuh kepada prestasi kerja
perusahaan yang diurusnya. Sebaliknya, walaupun BUMN di Indonesia sudah ‘go
public’, Pemerintah masih tetap memiliki ‘golden share‘ dalam perusahaan itu.
Artinya, Pemerintah Indonesia masih memiliki kekuasaan yang dominan dalam
menentukan pengurus maupun arah kebijakan perusahaan itu. Dengan demikian,
segala kerugiaannya adalah merupakan kewajiban kontijensi Pemerintah. Sebagai
contoh Bank BNI yang sudah ‘go public’ jauh sebelum krisis tahun 1997-1998.
Pengurusnya masih ditunjuk oleh Pemerintah dan pemberian kreditnya pun tidak
berbeda dengan sebelum ‘go public’, dimana kental dengan nuansa KKN. Setelah
krisis tahun 1997-1998 masih juga terjadi skandal L/C fiktif pada tahun 2003 yang
menjadi beban rakyat. Belum ada satu pun pengurus BUMN pada era krisis dan masa
skandal sesudahnya yang sudah masuk penjara sesuai dengan Undang-Undang
Perbankan Tahun 1992.
Tanpa adanya perbaikan sistem hukum dan sistem akuntansi itu, tidak mungkin kita
dapat meningkatkan efisiensi perekonomian dan badan usaha nasional. Peningkatan
efisiensi seperti ini akan memungkinkan perekonomian dan badan usaha nasional kita
mampu berperan dalam era globalisasi dan dapat bersaing di pasar nasional maupun
pasar dunia. Hal ini dapat di lihat dari prestasi kantor cabang bank-bank nasional kita
diluar negeri. Hampir seluruhnya merupakan proyek rugi, menghamburkan asset
bangsa karena hanya mengandalkan penempatan dana dari Kantor Pusatnya di
Indonesia. Hampir semua kredit yang diberikan oleh kantor-kantor cabang di luar
negeri itu menjadi bermasalah dan cukup besar yang diberikan kepada nasabah-
nasabah di Indonesia atas dasar KKN yang dalam istilah sekarang dapat disebut
sebagai ‘money laundering’. Kita bercita-cita membuat Bank BNI, misalnya, atau
bank milik nasional lainnya setidaknya dapat menyamai Development Bank of
Singapore (DBS ) yang mampu bersaing di pasar regional dan internasional. Kita juga
ingin melihat perusahaan penerbangan kita mampu bersaing dengan Silk Air jika
belum mampu menyaingi Singapore Airlines. Untuk merubah citra, tidak cukup
hanya dengan sekedar merubah logo yang banyak membuang uang. Citra hanya
dirubah melalui peningkatan kualitas pelayanan, ekspansi dan perolehan keuntungan
usaha.

3. Peran BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dalam rangka pemberantasan korupsi dan
program reformasi yang dilakukan oleh BPK dalam sistem politik yang beralih dari
sistem otoriter orde baru ke sistem demokrasi, serta peralihan sistem pemerintahan
sentralistis orde baru ke otonomi daerah yang luas dewasa ini.

Berikut ini disampaikan ulasan mengenai peran dan program reformasi BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) untuk meningkatkan perannya dalam perbaikan sistem
keuangan negara serta BUMN maupun dalam rangka meningkatkan kualitas
pemeriksaannya sebagai upaya pemberantasan korupsi itu.
Ada 3 peran pokok yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk ikut
memberantas korupsi dalam menjalankan fungsinya sebagai satu-satunya lembaga
pemeriksa keuangan negara.
Peran yang pertama adalah dengan meningkatkan kualitas hasil pemeriksaannya.
Pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) terdiri dari dua kelompok besar.
Kelompok pertama, adalah berupa pemeriksaan secara umum ( keuangan, kinerja,
atau pemeriksaan lainnya ). Kelompok kedua adalah pemeriksaan khusus yang
ditujukan untuk mendeteksi terjadinya tindak korupsi melalui pemeriksaan investigasi
dan pemeriksaan khusus (investigative and fraunt audit ). Pemeriksaan investigasi
dan pemeriksaan khusus itu dilakukan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mulai
tahun 1999 berkenaan dengan pemeriksaan BLBI (Bantual Likuiditas Bank
Indonesia). Laporan Pemeriksaan atas BLBI itu telah diserahkan oleh BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) kepada DPR dan Kejaksaan Agung pada tanggal 4 Agustus
2000. Tindak lanjut Laporan Pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
tersebut sangat lambat, baik untuk menghukum para pelakunya maupun para pejabat
negara yang terlibat. Pelacakan pelarian modal periode krisis, 1997-1998, pun tidak
pernah dilakukan, apalagi recovery-nya.
Padahal sangat mudah dan murah untuk melakukan pelacakan pelarian modal hasil
korupsi dari BLBI itu, yaitu dengan meminta daftar nama orang yang memindahkan
uangnya keluar negeri pada periode itu yang disimpan pada tape computer beberapa
bank devisa utama yang berkantor di Jakarta.
Asal kita serius, penegak hukum negara lain pun bersedia membantu recovery hasil
korupsi dan BLBI yang dilarikan dari Indonesia itu. Selama tahun 2005 BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) telah menyampaikan kurang lebih 14 temuan yang
menngindikasikan terjadinya tindak pidana korupsi kepada Kejaksaan Agung dengan
nilai temuan sebesar Rp 2,9 triliun dan US $ 39,08 juta.
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) melaporkan secara khusus hal-hal yang diduga
mengandung aspek kriminal kepada penegak hukum : Kejaksaan Agung, Kepolisian
(POLRI) maupun KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Penerima utama Laporan
Pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) adalah DPR-RI Tingkat Nasional
serta DPRD Propinsi serta Kabupaten/Kota. Ketiga tingkat DPR itu merupakan
pemegang Hak Bujet di daerahnya masing-masing. Laporan Pemeriksaan BPK
(Badan Pemeriksa Keuangan) juga dimuat selengkapnya di website nya untuk dapat
diketahui dan dikritisi oleh umum.
Peran kedua yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) adalah dengan ikut
mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Peran ini dilakukan BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) melalui partisipasi aktif dalam perombakan sistem administrasi
keuangan negara yang sangat tidak transparan dan tidak akuntabel selama masa Orde
Baru. Sebagaimana diketahui, anggaran negara dalam masa Orde Baru dibagi dalam
dua bagian, yakni : Anggaran Rutin Dan Anggaran Pembangunan. Anggaran rutin
dikontrol oleh Ditjen Anggaran sedangkan Anggaran Pembangunan dikendalikan oleh
Bappenas. Anggaran Pembangunan juga meliputi suplemen anggaran rutin seperti
honor dan gaji maupun biaya perjalanan pelaksana proyek. Disamping anggaran
resmi juga ada anggaran non bujeter yang bersumber dari yayasan, dana pensiun,
koperasi/badan usaha. Baik modal awal maupun kegiatan usaha instansi ataupun
perusahaan satelit, pada hakikatnya, adalah bersumber dari induk instansinya.
Tiga paket UU di Bidang Keuangan Negara yang dikeluarkan tahun 2003 – 2004
telah memberikan design sistem akuntabilitas keuangan negara yang memadai. Tidak
ada lagi pemisahan antara anggaran rutin dengan anggaran pembangunan sedangkan
anggaran non bujeter semakin ditiadakan. Tiga UU tersebut ditambah dengan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
telah merubah jenis dan format laporan keuangan negara, memberlakukan sistem
akuntansi berpasangan, menggunakan sistem akuntansi yang terpadu dan
terkomputerisasi, dan menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara
berjenjang. Namun temuan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) selama
Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat ( LKPP ) tahun 2004
menggambarkan bahwa sistem akuntabilitas keuangan negara yang diatur dalam
ketiga paket UU tersebut belum sepenuhnya berjalan. BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan) tidak dapat menyatakan pendapat atas Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat yahun 2004 karena adanya kelemahan-kelemahan signifikan dalam Sistem
Pengendalian Intern serta ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
dalam penyajian Laporan Keuangan Tahun 2004. Beberapa temuan signifikan yang
diperoleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) adalah belum berjalannya sistem
akuntansi pemerintahan dengan baik. Sampai triwulan pertama tahun 2006, masih
terdapat 957 rekening atas nama pribadi ( termasuk pribadi yang sudah lama
meninggal dunia ) yang menyimpan uang negara dengan nilai total minimal sebesar
Rp 20,55 triliun.

Berbagai penerimaan negara ( PNBP ) dan piutang negara lainnya yang tidak
dilaporkan dan disetorkan ke kas negara. Contohnya adalah berupa denda pengganti
hukuman yang dipungut oleh Kejaksaan Agung sebesar Rp 6,6 triliun. Sudah menjadi
pengetahuan umum dan ditemukan oleh pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan) berbagai penyelewengan atas penjualan tanah negara, royalty
penambangan ataupun iuran hasil hutan ataupun dana pemeliharaan lingkungan oleh
perusahaan pertambangan dan perkayuan.

Peran ketiga yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dalam meningkatkan
peran sertanya dalam pemberantasan korupsi adalah dengan melakukan reformasi dan
mebangun kembali lembaga itu. Sama dengan lembaga negara lainnya, BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) dewasa ini juga tengah mengalami proses reformasi. Reformasi
tersebut terjadi akibat, pertama, dari perubahan sistem politik kita dari sistem otoriter
Orde Baru ke sistem politik yang demokratis.

Kedua, adanya perubahan dari sistem pemerintahan yang sentralitis pada masa Orde
Baru ke sistem dengan otonomi daerah yang luas dewasa ini. Dalam sistem politik
dan sistem pemerintahan yang baru itu, Pasal 23 E Perubahan UUD 1945 menuntut
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk dapat memeriksa setiap sen uang negara
darimana pun sumbernya, dimana pun disimpan dan untuk apapun dipergunakan.
UUD 1945 dan UU No. 15 Tahun 2004 menugaskan BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan) melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan ketiga
tingkat pemerintahan : Pusat, Propinsi dan Kabupaten / Kotamadya di seluruh
Indonesia.

Dari segi kelembagaan, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) berusaha untuk menjadi
suatu lembaga pemeriksa yang benar-benar independen, bebas dan mandiri, sesuai
dengan harapan UUD 1945. Dimasa pemerintahan otoriter, baik pada masa
pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
berada dibawah kendali Eksekutif.

Kendali cabang pemerintahan Eksekutip pada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)


tercermin dalam hal pemilihan anggota, pengaturan organisasi, karyawan, penetapan
anggaran, pembatasan objek pemeriksaan dan penetapan metodologi pemeriksaan.
Pada masa itu, pemutakhiran (finalisasi) Laporan Hasil Pemeriksaan BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) dikonsultasikan dengan Pemerintah agar tidak mengganggu
stabilitas politik. Setelah lebih dari 60 tahun Indonesia Merdeka, kini BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) baru memiliki kantor perwakilan di 14 propinsi dan 5
diantaranya baru dibuka tahun 2005 yang lalu termasuk di propinsi besar seperti Jawa
Barat dan Jawa Timur.
Kantor-kantor perwakilan baru itu menggunakan fasilitas yang sangat terbatas milik
Pemda. Jumlah karyawan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) hanya sepertiga dari
karyawan BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan) dengan kualitas
pendidikan yang lebih rendah pula.

Perubahan sikap, mental dan moral pemeriksa BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
merupakan kunci sukses perubahannya / reformasi BPK. Untuk itu dilakukan melalui
empat cara. Cara yang pertama adalah menerapkan kode etik dan menegakkan aturan
yang berlaku dengan lebih tegas. Sesuai dengan aturan dan kode etiknya, pemeriksa
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tidak boleh mengungkapkan informasi yang
diperolehnya dari pemeriksaannya kepada pihak lain diluar BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan). Sebagaimana disebut diatas, ada tatacaranya penyampaian dugaan
perbuatan kriminal kepada penegak hukum. Pemeriksa BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan) bukan ‘whistle-blower’ karena informasi itu ia peroleh adalah semata-
mata karena kewenangan yang diperolehnya secara hukum sebagai pejabat ataupun
petugas BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Cara kedua adalah menjatuhkan
hukuman, termasuk pemberhentian dengan tidak hormat, auditor BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) yang diketahui menerima uang suap dari auditee. Untuk
pertama kali dalam sejarahnya, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) telah memecat
karyawannya pada tahun 2005 yang terbukti menerima suap pemeriksaan Dana Abadi
Umat, Departemen Agama.

Cara ketiga untuk merubah moral pemeriksa BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
adalah dengan mengupayakan perbaikan penghasilan karyawan dan memberikan
tanda jasa serta kenaikan pangkat dipercepat kepada auditor berprestasi.

Dengan bantuan tambahan anggaran dari DPR dan Pemerintah, mulai tahun 2005,
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tidak menerima dana pemeriksaan dari auditee.
Mulai tahun 2006, penghasilan auditor BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sudah
dapat ditingkatkan sehingga setara dengan penghasilan karyawan Departemen
Keuangan maupun BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan).
Tambahan anggaran untuk modernisasi peralatan komputer, gaji dan pendidikan
lanjutan diluar negeri maupun tenaga ahli untuk pendidikan audit investigasi serta
fraud audit dan penyusunan rencana strategis adalah diperoleh dari sumbangan
organisasi internasional maupun berbagai lembaga pemberi bantuan asing.
Cara keempat adalah dengan melakukan rotasi kerja diantara pemeriksa agar tidak
sempat mempunyai hubungan emosional dengan auditee yang diperiksanya.

Sebagai otorita pemeriksaan keuangan negara, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)


berwenang mengekuarkan peraturan terkait pemeriksaan keuangan negara, menguji
dan mengambil sumpah Kantor Akuntan Publik ( KAP ) yang melakukan
pemeriksaan keuangan negara serta memeriksa hasil kerjanya. Secara teknis, BPK
(Badan Pemeriksa Keuangan) akan membina pengawas internal, termasuk Irjen dan
Bawasda, yang menjadi mitra kerjanya. Pendelegasian wewenang seperti ini sangat
penting karena selain tidak akan mampu, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) pun
tidak perlu melakukan sendiri audit semua lembaga dan organisasi pemerintahan,
termasuk BUMN dan BUMD. Sebagian besar dari pekerjaan audit tersebut akan
didelegasikan kepada KAP sedang BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) akan
berkosentrasi pada audit objek-objek pemeriksaan yang sangat penting dan strategis
saja.

UUD 1945 sekaligus memberikan kewenangan legislasi kepada BPK (Badan


Pemeriksa Keuangan). Kewenangan quasi-judicial seperti itu memberikan
kewenangan kepada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk menetapkan ganti rugi
kerugian negara dalam hal pelanggaran administrasi keuangan negara.

Pemerintah Orde Baru sangat membatasi objek pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan). Dimasa lalu itu, Bank Indonesia, Pertamina, bank-bank milik negara dan
berbagai BUMN lainnya bukan merupakan objek pemeriksaan BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan). Tanpa seijin Menkeu dan Dirjennya sendiri, BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) tidak dapat memeriksa Ditjen Pajak dan Bea Cukai.
Demikian juga dengan BUMN yang sudah ‘go public’ maupun yayasan yang terkait
dengan kedinasan, Dewasa ini objek pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
diperluas meliputi seluruh aspek keuangan negara yang telah disebut diatas.
Mengingat luasnya objek pemeriksaannya dan terbatasnya kemampuannya, prioritas
audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dewasa ini adalah diarahkan pada aspek
pengeluaran dan penerimaan negara dan Pemda terpenting. Pada sisi pengeluaran,
pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) diprioritaskan pada objek-objek
yang sangat membebani keuangan negara, seperti bank-bank pemerintah, Pertamina,
Bank Indonesia, serta BUMN lainnya. Prioritas kedua adalah pengeluaran negara
yang rawan korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti pengadaan barang dan jasa oleh
pemerintah. Sebagai contoh, tidak mungkin Indonesia memiliki Angkatan Bersenjata
yang tangguh jika anggaran yang terbatas untuk membeli peralatan dikorupsi.
Demikian juga tidak mungkin prajurit mau mengikuti perintah komandan yang
mengkorupsi anggaran kesatuan termasuk tabungan hari tuanya. Prioritas ketiga
pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) adalah sektor-sektor yang strategis
bagi perekonomian dan penting bagi hajat hidup orang banyak, seperti Departemen
Pendidikan Nasional, Departemen kesehatan, Departemen Pemukiman dan Prasarana
Wilayah, Bulog dan Perusahaan Listrik Negara. Pada sisi penerimaan, pemeriksaan
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) diprioritaskan pada penerimaan pajak,
penerimaan negara non pajak, penjualan asset negara dan Pemda, termasuk divestasi
asset PPA, dan tukar guling asset negara.
BAB VI
Kesimpulan dan Saran

1. Kesimpulan

 Pemberantasan korupsi memerlukan peningkatan transparansi serta


akuntabilitas sektor publik dan dunia usaha. Hal tersebut memerlukan upaya
terpadu melalui perbaikan System Akuntansi, System Hukum dan System
Politik, dari lembaga pemeriksa dan pengawas keuangan, serta lembaga
terkait lainnya.
 Kelemahan system politik dan birokrasi di Indonesia serta budaya korupsi
dalam satu mata rantai kelembagaan di Indonesia telah membuat negara kita
dewasa ini, masuk sebagai daftar dari sebagai salah satu negara yang terkorup
didunia dan telah menyengsarakan rakyat.
 Masalah Pokok yang dihadapi oleh Indonesia dewasa ini meliputi :
 Fundamental Ekonomi dan Perekonomian Nasional Yang Rapuh
sebagai dampak dari Buruknya System Akuntansi dan Sistem
Hukum Bagi Perekonomian Nasional.
Dampak dari buruknya fundamental perekonomian, berupa sistem
akuntansi serta sistem hukum tersebut, sudah kita rasakan dewasa
ini. Laporan keuangan negara maupun badan usaha di Indonesia
yang kurang transparan dan kurang akuntabel.
 Lambannya Perbaikan sistem akuntasi dan sistem hukum di
Indonesia. Sebagai contoh hingga saat ini pihak-pihak yang ikut
bertanggung jawab terjadinya krisis di Indonesia masih banyak
yang belum disentuh hukum.
 Ada berbagai peran yang dapat dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
untuk ikut memberantas korupsi dalam menjalankan fungsinya sebagai satu-
satunya Lembaga Pemeriksa Keuangan Negara. Peran tersebut meliputi :

 Peran yang pertama adalah dengan meningkatkan kualitas


pemeriksaannya.
 Peran kedua yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
adalah dengan ikut mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
 Peran ketiga yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
dalam meningkatkan peran sertanya dalam pemberantasan korupsi
adalah dengan melakukan reformasi dan membangun kembali
lembaga itu.

 Korupsi di Indonesia secara umum sering dikaitkan dengan masalah gaji yang
sangat kecil, kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan, krisis mental para
pejabat terutama para pemegang proyek yang dipercayakan sampai pada
administrasi dan banyaknya birokrasi yang harus dilalui untuk perijinan dan
prosedur yang berbelit-belit dapat mengakibatkan timbulnya korupsi. Di sisi
lain timbulnya korupsi dikarenakan pula akibat kemajuan tehnologi diberbagai
sector kehidupan yang sedikit banyak juga memberikan dampak negatif yaitu
meningkatnya kebutuhan sehingga apabila tidak sabar dan tabah maka
mendorong orang dengan sengaja memakai uang negara yang dipercayakan
kepadanya.
 Buruknya system akuntansi dan sistem hukum bagi perekonomian nasional
serta lambannya perbaikan sistem akuntasi dan sistem hukum di indonesia
memberi dampak pada rapuhnya fundamental ekonomi dan perekonomian
nasional
 Ada 3 peran pokok yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk
ikut memberantas korupsi dalam menjalankan fungsinya sebagai satu-satunya
lembaga pemeriksa keuangan negara.

 Peran yang pertama adalah dengan meningkatkan kualitas hasil


pemeriksaannya. Pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
terdiri dari dua kelompok besar.

Kelompok pertama, adalah berupa pemeriksaan secara umum


( keuangan, kinerja, atau pemeriksaan lainnya ). Kelompok kedua
adalah pemeriksaan khusus yang ditujukan untuk mendeteksi
terjadinya tindak korupsi melalui pemeriksaan investigasi dan
pemeriksaan khusus (investigative and fraunt audit ).
 Peran kedua yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
adalah dengan ikut mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
Peran ini dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) melalui
partisipasi aktif dalam perombakan sistem administrasi keuangan
negara yang sangat tidak transparan dan tidak akuntabel selama
masa Orde Baru.
 Peran ketiga yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
dalam meningkatkan peran sertanya dalam pemberantasan korupsi
adalah dengan melakukan reformasi dan mebangun kembali
lembaga itu. Reformasi tersebut terjadi akibat, pertama, dari
perubahan sistem politik kita dari sistem otoriter Orde Baru ke
sistem politik yang demokratis. Kedua, adanya perubahan dari
sistem pemerintahan yang sentralitis pada masa Orde Baru ke
sistem dengan otonomi daerah yang luas.
 Perubahan sikap, mental dan moral pemeriksa BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan) merupakan kunci sukses perubahannya / reformasi BPK. Untuk
itu dilakukan melalui empat cara, yaitu meliputi :
 Cara yang pertama adalah menerapkan kode etik dan menegakkan
aturan yang berlaku dengan lebih tegas.
 Cara kedua adalah menjatuhkan hukuman, termasuk
pemberhentian dengan tidak hormat, auditor BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) yang diketahui menerima uang suap dari
auditee.

 Cara ketiga untuk merubah moral pemeriksa BPK (Badan


Pemeriksa Keuangan) adalah dengan mengupayakan perbaikan
penghasilan karyawan dan memberikan tanda jasa serta kenaikan
pangkat dipercepat kepada auditor berprestasi.
 Cara keempat adalah dengan melakukan rotasi kerja diantara
pemeriksa agar tidak sempat mempunyai hubungan emosional
dengan auditee yang diperiksanya.
 Pemerintah Orde Baru sangat membatasi objek pemeriksaan BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan). Dimasa lalu itu, Bank Indonesia, Pertamina, bank-bank
milik negara, Ditjen Pajak dan Bea Cukai dan berbagai BUMN lainnya bukan
merupakan objek pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Dewasa
ini objek pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) diperluas meliputi
seluruh aspek keuangan negara yang telah disebut diatas.
 Mengingat luasnya objek pemeriksaannya dan terbatasnya kemampuannya,
prioritas audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dewasa ini adalah
diarahkan pada aspek pengeluaran dan penerimaan negara dan Pemda
terpenting. Pada sisi pengeluaran, pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan) diprioritaskan pada objek-objek yang sangat membebani keuangan
negara, seperti bank-bank pemerintah, Pertamina, Bank Indonesia, serta
BUMN lainnya. Prioritas kedua adalah pengeluaran negara yang rawan
korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti pengadaan barang dan jasa oleh
pemerintah. Prioritas ketiga pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
adalah sektor-sektor yang strategis bagi perekonomian dan penting bagi hajat
hidup orang banyak, seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen
kesehatan, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Bulog dan
Perusahaan Listrik Negara. Pada sisi penerimaan, pemeriksaan BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) diprioritaskan pada penerimaan pajak, penerimaan
negara non pajak, penjualan asset negara dan Pemda, termasuk divestasi asset
PPA, dan tukar guling asset negara.

2. Saran

 Dalam upaya perbaikan system akuntansi, system hukum, system politik dan
birokrasi di Indonesia, diperlukan langkah nyata dan dukungan dari setiap elemen
bangsa, untuk itu wewenang lembaga-lembaga seperti BPK, KPK, Kejaksaan
POLRI dan PPATK harus diberikan kepastian hukum / payung hukum yang lebih
kuat, sehingga memungkinkan para personil di lembaga-lembaga tersebut dapat
bekerja secara independen, bebas dari rasa takut / sungkan dan bebas dari tekanan
dari pihak manapun. Bahkan tidak menutup kemungkinan apabila personil yang
akan duduk sebagai pimpinan di lembaga-lembaga tinggi negara tidak lagi
diangkat berdasarkan usulan Presiden dan selanjutnya dimintakan persetujuan
DPR, akan tetapi dimungkinkan usulan nama-nama calon pimpinan lembaga
tinggi negara tersebut berasal dari rakyat secara langsung dan transaparan, melalui
mekanisme pendaftaran dan uji saringan (fit and proper test) langsung, dimana
semua orang boleh mendaftar apabila merasa memiliki kemampuan dan keinginan
untuk adanya perbaikan bagi bangsa dan negara, sehingga memungkinkan
munculnya pimpinan lembaga tinggi negara yang professional dan independent.
System ini mungkin dirasakan berlebihan bagi sebagian orang, namun hal ini
harus diambil apabila kita menginginkan perbaikan / reformasi total atas kondisi
bangsa dan negara Indonesia yang sudah terlanjur rusak parah, ibarat penyakit
kanker tidak bisa lagi hanya dengan obat, namun harus dengan jalan tindakan
operasi atau amputasi.
 Secara khusus untuk BPK, langkah reformasi lembaga yang saat ini dilakukan
oleh BPK harus didukung dan harus diikuti oleh lembaga negara lainnya. Untuk
memberi kepastian dan mendapatkan hasil reformasi yang baik, pelaksanaannya
perlu diberikan kepastian hukum melalui Ketetapan MPR / Tap MPR, sehingga
reformasi benar-benar merupakan cerminan dari amanat rakyat dan bangsa
Indonesia.

Daftar Pustaka

1. Gayus Lumbuun, Artikel Jurnal Keadilan Vol.4, No.2, Tahun 2005/2006.


2. Satjipto Rahadjo, “Kultur POLRI Yang Mandiri Dalam Era Masyarakat Indonesia
Modern”, Bandung hal.20
3. BPKP, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Jakarta, hal 117
4. Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, masalah dan Pemecahannya, Jakarta hal.3
5. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Perubahan Ketiga UUD
1945 Bab VIII A tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
6. Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
7. Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
8. Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
9. Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
10. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1992 Tentang Perubahan Undang-
Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
11. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
12. Politik Hukum Di Indonesia, Moh.Mahfud MD, LP3ES.
13. Materi Seminar Nasional “ Sinergi Pemberantasan Korupsi : Peran dan Tantangan
PPATK” Selasa 4 April 2006, Bank Indonesia, Jakarta, Prof.DR.Anwar Nasution,
Abdul Rahman Saleh, Jenderal Pol.Drs.Sutanto, DR.Yunus Husein.
14. TV Programe : “Todays Dialoge” – Metro TV, Rabu 5 April 2006, Prof.DR.Anwar
Nasution, Taufiqqurahman Ruki, Denny Indrayana (Indonesian Court Monitoring).
15. Majalah/Koran/Jurnal mengenai ulasan Ekonomi, Bisnis dan Hukum (Warta
Ekonomi, SWA, Kompas dan Bisnis Indonesia).
16. Website BPK : www.bpk.go.id

Anda mungkin juga menyukai