Anda di halaman 1dari 6

Konsep Etnik (Kesukubangsaan)

Dalam mempelajari hubungan antar etnik dapat di lakukan dengan melihat kasus-
kasus yang terjadi. Terutama bagi etnik yang jarang mengalami konflik dan bertahan terhadap
gesekan yang terjadi. Tujuanya adalah untuk mengidentifikasi bagaimana cara mereka
menghadapi setiap gesekan yang terjadi tanpa adanya konflik. Menurut Barth,(hasbullah,
2013: 26) kelompok etnik dapat disebut sebagai suatu unit kebudayaan karena kelompok
etnik mempunyai ciri utama yang penting, yaitu kemampuan untuk berbagi sifat budaya yang
sama. Dan ia berasumsi bahwa tiap kelompok etnik mempunyai ciri budayanya sendiri. Ada 2
hal pokok yang dapat dibahas dalam mengamati kelompok- kelompok etnik dengan ciri-ciri
unit budayanya yang khusus ini, yaitu: kelanggengan unit-unit budaya dan faktor-faktor yang
mempengaruhi terbentuknya unit budaya tersebut. Ada beberapa implikasi ketika melihat
kelompok etnik sebagai unit kebudayaan, yaitu: (1) klasifikasi individu atau kelompok
tertentu dinyatakan sebagai anggota suatu kelompok etnik tertentu tergantung dari
kemampuannya untuk memperlihatkan sifat budaya kelompok etnik tersebut, dan (2) Bentuk-
bentuk budaya yang tampak menunjukkan adanya pengaruh ekologi, tetapi bukan berarti ini
menunjukkan bahwa semua itu hanya merupakan bentuk penyesuaian diri terhadap
lingkungan semata-mata. Namun, lebih tepat dikatakan bahwa bentuk budaya ini merupakan
hasil penyesuaian para anggota kelompok etnik ketika berhadapan dengan berbagai faktor
luar. Seperti ketika suatu kelompok etnik yang tinggal tersebar di daerah yang mempunyai
lingkungan ekologi bervariasi, akan memperlihatkan perilaku yang berbeda sesuai dengan
daerah tinggalnya, tetapi tidak mencerminkan orientasi nilai budaya yang berbeda.
Konsep Kesukubangsaan saat ini telah bergeser pengertiannya dari mengenai isi
kebudayaan menjadi mengenai jati diri atau identitas yang muncul dalam interaksi sosial.
batas-batas suku bangsa dan atribut-atribut kesukubangsaan yang mencakup simbol-simbol
kebudayaan menjadi fokus kajian mengenai kesukubangsaan. Pergeseran tersebut dimulai
oleh Frederik Barth menunjukkan bahwa kajian mengenai suku bangsa bukanlah kajian
mengenai kolektiva dengan isi atau taksonomi kebudayaannya, tetapi kajian yang mengenai
organisasi sosial yang askriptif berkenaan dengan asal muasalnya yang mendasar dan umum
dari para pelakunya; sebab, jika kajiannya mengenai kolektiva dan isi kebudayaannya yang
dilakukan secara taksonomi maka yang dihasilkan adalah kajian- kajian mengenai taksonomi
kebudayaan, pola-pola kebudayaan, akulturasi kebudayaan, atau perubahan kebudayaan; dan
bukan kajian kesukubangsaan. Lebih lanjut, kajian kesukubangsaan adalah kajian yang
memusatkan perhatian pada antar hubungan di antara pelaku, dengan jatidiri suku bangsanya
sebagai atribut-atribut yang digunakan dalam interaksi- interaksi sosial. Karena itu, Barth
dalam tulisannya tersebut mengemukakan pentingnya perhatian kajian mengenai suku bangsa
pada batas-batas suku bangsa, yang terwujud dalam hubungan antar suku bangsa, karena
dalam interaksi tersebut perbedaan- perbedaan jati diri dari para pelaku nampak jelas
ditunjukkan; yang terwujud baik dengan sengaja ataupun dilakukan secara spontan, maupun
yang terwujud sebagai atribut-atribut fisik, simbol-simbol yang tersurat maupun yang tersirat
(hasbullah, 2013, 25).
Kesukubangsaan di nilai sebagai hubungan antar individu dengan kebudayaanya
sebagai atribut atribut dalam interaksi sosial. Hubungan ini perlu diperhatikan karena setiap
individu memiliki latar belakang yang berbeda sehingga rentan untuk mengalami gesekan
yang akan tumbuh menjadi konflik. Pencegahan antar konflik dapat di lakukan dengan
menggali potensi akar penyebab masalah yang terjadi di masyarakat. Permasalahan batas
etnik ini sangat perlu untuk di selesaikan melalui pendekatan empirik dan juga pendekatan
yang sifatnya teoretis. Barth (hasbullah, 2013, 25), mengungkapkan bahwa seharusnya kita
menyelidiki secara terperinci fakta-fakta empirik dari berbagai kasus, untuk kemudian
menyelaraskan dengan konsep teoretisnya sehingga dapat dilakukan penafsiran yang tepat.
Pendekatan teoretis utama yang menonjol dalam adalah: (a) Kelompok-kelompok etnik
tersebut terbentuk karena adanya ciri yang ditentukan oleh kelompok itu sendiri, lalu
kemudian membentuk pola tersendiri dalam proses interaksinya dengan sesamanya, (b)
Melakukan penyelidikan tentang berbagai proses yang diperkirakan mempengaruhi
pembentukan dan bertahannya berbagai kelompok etnik, sehingga dengan demikian para
peneliti tidak melakukan kajian berdasarkan tipologi kelompok etnik dan hubungan antar
kelompok, dan (c) Untuk dapat mengamati proses-proses tersebut di atas, kita harus
mengalihkan sasaran dari penyelidikan perundang-undangan dan sejarah masing-masing
kelompok etnik ke hal yang berkaitan dengan batas- batas etnik dan bertahannya batas-batas
etnik.

POLITIK IDENTITAS
Konsep ini dijelaskan oleh Gabriel Almond (Tri Yudha Handoko,2009)secara panjang lebar
dan mudah dimengerti, yaitu sebagai berikut ini. Sarana-sarana, pengalaman-pengalaman,
dan pengaruh-pengaruh tersebut, yang semuanya membentuk sikapsikap individu,
selanjutnya menciptakan apa yang disebut politik identitas seseorang, yaitu suatu
kombinasi dari beberapa perasaan dan sikap:

1. Di dalam sistem politik terdapat sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan dasar seperti


nasionalisme, identifikasi etnik atau kelas, keterikatan ideologis, dan perasaan fundamental
akan hak-hak, keistimewaan dan kewajiban pribadi;
2. Kurang terdapat komitmen emosional terhadap, dan pengetahuan tentang,
lembagalembaga pemerintahan dan politik seperti pemilihan umum, struktur badan
perwakilan, kekuasaan badan eksekutif, struktur badan pengadilan; dan system hukum;
3. Lebih banyak terdapat pandangan-pandangan yang cepat berubah tentang peristiwa-
peristiwa, kebijaksanaan politik, issue-issue politik dan tokohtokoh politik yang sedang
terkenal. Politik identitas memang sejauh ini dipahami dan diarahkan dalam artian identitas
personal dan identitas kolektif seperti identitas yang dibangun atas dasar gender, orientasi
seksual, suku, agama dan bangsa.

Politik identitas tionghoa


Merujuk pada Castells yang mengatakan bahwa identitas merupakan
atribut
yang melekat kepada seseorang secara kultural,23 masyarakat Tionghoa
di Indonesia
secara tegas teridentifikasi sebagai kelompok masyarakat non pribumi
yang terpisah
dari masyarakat asli Indonesia walaupun dalam diri mereka melekat
identitas
kesukuan Indonesia seperti Jawa (Cina jawa), Batak (Cina Batak), Manado
(Cina
manado), Betawi (Cina Benteng), dan lain-lain, identifikasi tersebut tidak
hanya
diberikan oleh orang diluar Tionghoa tetapi dilekatkan pula oleh
komunitas mereka
sendiri berdasarkan struktur silsilah etnis mereka secara genetik dan
budaya nenek
moyang.
Menurut Wang (1988), konsep identitas orang Cina adalah konstruksi akademik dalam
wacana ahli ilmu sosial yang mengkaji komunitas Cina. Menurutnya, orang Cina dalam
kehidupan sehari-hari tidak membicarakan isu identitas mereka seperti apa yang dilakukan para
akademisi, kendatipun mereka jarang menyebut perkataan identitas dalam hidup keseharian.
Mereka lebih menyadari dan menekankan being Chinese dan becoming un-Chinese atau
apa yang disebut Wang sebagai kecinaan. Tahap kecinaan itu berbeda dari individu satu ke
individu yang lain, karena ada sebagian orang Cina dapat dianggap lebih Chinese , tetapi
yang lain pula kurang Chinese . Wang menambah, konsep identitas orang Cina itu sudah
dihasilkan dalam wacana para akademisi, kemudian dipopularkan ahli ilmu sosial yang
mengkaji komunitas Cina sejak tahun 1950. Dalam konteks ini, kecinaan adalah konsep yang
lebih merujuk kepada bagaimana orang Cina memandang diri mereka dan kesemua itu terkait
erat dengan pengetahuan mereka tentang budaya, geopolitik, dan sejarah.
Realitas ini sama dengan apa yang dimaksudkan oleh Shamsul (1996) sebagai
yang ditetapkan oleh pihak yang berkuasa dalam struktur
pemerintahan. Dari segi epistemologi, konsep kecinaan dan identitas orang Cina dapat
dilihat sebagai dua realitas yang dihasilkan dalam dua situasi sosial yang berbeda, walaupun
pada masa yang sama hasbullah 2013 27.

Politik identitas dikalangan orang Tionghoa bisa dengan sangat mudah


tampak pada streotip yang ditunjukkan dan menjadi asumsi umum
misalnya
kebiasaan orang Tionghoa yang hidup berkelompok di wilayah tertentu 24
(disebut
pecinan), perayaan tradisi yang dilakukan secara bersamaan seperti Imlek
dan Cap
Go Meh, namun demikian, Castells juga menegaskan bahwa: Identities
can also be
originated from dominant institutions, they become identities only when
and if social
actors internalize them and construct their meaning around this
internalization25Castells mengemukakan bahwa identitas tidak hanya
tentang
bagaimana individu mengidentifikasi dirinya sendiri, tetapi juga
bagaimana
kelompok dominan memberikan klaim dan menginternalisasi seseorang
atau
kelompok tertentu yang dilekatkan pada ciri-ciri dan streotif yang
dilekatkan pada
mereka Sementara Buchari dengan mengutip Jumadi (2009)
mengemukakan bahwa konsep identitas secara umum dapat dimaknai
sebagai sebuah citra yang membedakan individu atau
suatu kelompok dengan individu atau kelompok lain, hal tersebut
dilakukan secara
simultan dalam interaksi sosial sampai memunculkan opini tertentu yang
berkaitan
dengan keberadaan individu atau kelompok tersebut.21 Dalam
menentukan politik identitas, menurut Castells harus lebih dahulu
dilakukan identifikasi bagaimana konstruksi sebuah identitas muncul yang
menurutnya bisa dilihat dengan 3 model bentukkan identitas, yaitu:
a. Legitimizing identity atau legitimasi identitas, yaitu identitas yang
dibangun
oleh institusi (penguasa) yang dominan ada dalam kehidupan sosial.
Institusi
ini menunjukkan dominasinya dengan melekatkan sebuah identitas
tertentu
pada seseorang atau kelompok.
b. Resistance identity atau resistensi identitas, yaitu identitas yang
dilekatkan
oleh aktor aktor sosial tertentu dimana pemberian identitas tersebut
dilakukan
dalam kondisi tertekan karena adanya dominasi hingga memunculkan
satu
resistensi dan membentuk identitas baru yang berbeda dari kebanyakan
anggota komunitas sosial yang lain, konstruksi identitas inilah yang oleh
Coulhoun dimaknai sebagai politik identitas.
c. Project identity atau proyek identitas, konstruksi identitas pada model
ini
dilakukan oleh aktor sosial dari kelompok tertentu dengan tujuan
membentuk
identitas baru untuk bisa mencapai posisi posisi tertentu dalam
masyarakat,
hal ini bisa terjadi sebagai implikasi dari gerakan sosial yang bisa
merubah
struktur sosial secara keseluruhan.26
Merujuk pada beberapa pemahaman diatas, politik identitas berakar pada
streotif yang dilekatkan dengan menggunakan perspektif primordialisme.
Mengikuti
konsep polity Aristoteles, Primordialisme berarti berperang ke luar dan
konsolidasi
ke dalam.Karena itu, politik identitas selalu diwarnai konflik baik yang
bersifat
frontal maupun yang dialektik. Politik identitas selalu ada dalam wilayah
ketegangan
antara superioritas dan inferioritas, antara mayoritas dan minoritas.
Manuel Castells, The Power Of Identity: The Information Age, Economy, Society and
Cultural,
Vol II, Australia: Blacwell Publishing, 2003 hal. 7
Dari beberapa pemahaman diatas, politik identitas dapat dipahami
sebagai
tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari
anggotaanggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau
karakteristik, baik
berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Politik identitas
merupakan
rumusan lain dari politik perbedaan.

Dimensi-dimensi Hubungan antar Etnik


Sebagaimana manusia individual yang tidak dapat hidup tanpa adanya kerjasama atau
hubungan dengan individu yang lain, demikian pula halnya dengan kelompok-kelompok
etnik. Kebudayaan bukan hanya berkembang secara unik pada setiap masyarakat, tetapi
kebudayaan juga selalu mendapat peluang untuk saling berhubungan dan menyesuaikan diri
terus menerus terhadap lingkungan sekitar, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial.
Graham Kinlock, seperti yang dikutip Haryo S. Martodirdjo (2000), mengemukakan empat
dimensi penting yang perlu diperhatikan sebagai faktor yang berpengaruh dalam setiap proses
dan hasil yang dicapai. Keempat dimensi hubungan pokok tersebut adalah; dimensi sejarah,
dimensi sikap, dimensi institusi, dan dimensi gerakan sosial.
Kajian dari dimensi sejarah diarahkan pada masalah tumbuh dan berkembangnya hubungan
antar kelompok etnik yang terjadi, di samping latar belakang sejarah masing-masing
kelompok. Kapan kontak sosial antar kelompok etnik tersebut terjadi, bagaimana bentuknya,
apa motivasi dan sasaran utamanya, bagaimana pula kontak sosial tersebut kemudian
berkembang menjadi hubungan yang bagaimana, dan sebagainya. Dimensi sejarah penting
dalam mengikuti akumulasi proses hubungan yang terjadi dan untuk analisis prediktif ke
masa depan.
Melalui kajian dimensi sikap akan terungkap sikap dasar anggota kelompok satu terhadap
anggota yang lain atau terhadap kelompok yang dihadapi dan sebaliknya. Stereotip dan
prasangka apakah yang dimiliki seseorang atau suatu kelompok terhadap orang atau
kelompok yang lain. Stereotip dan prasangka yang didasari oleh sikap ini penting dan besar
pengaruhnya dalam proses hubungan sosial yang terjadi. Misalnya, stereotip dan prasangka
kelompok asli tentang kelompok pendatang atau sebaliknya, kelompok etnik kaya tentang
kelompok miskin atau sebaliknya, tentang kelompok etnik yang saling berbeda kepercayaan
yang dianut, dan sebagainyaSikap tertentu yang diikuti stereotip dan
prasangka tentang seseorang atau kelompok etnik lain biasanya ditunjang atau didukung oleh
institusi- institusi tertentu pula, misalnya institusi ekonomi, institusi politik, institusi sosial,
institusi religius, dan lain-lain. Lembaga swadaya masyarakat, partai politik, organisasi
pemuda, organisasi buruh, lembaga profesi, misalnya merupakan institusi-institusi dalam
kehidupan masyarakat yang biasanya mendukung atau memperkuat tujuan dan pola
hubungan antar kelompok etnik yang didasari oleh suatu sikap dan prasangka tertentu.
Melalui pendekatan dimensi institusi atau kelembagaan-kelembagaan masyarakat ini
seringkali usaha memahami hubungan antar etnik menjadi lebih efektif dan lebih jelas
hasilnya.
Kajian dari perspektif dimensi gerakan sosial biasanya melengkapi dimensi institusi sehingga
menjadi lebih terarah dan lebih jelas lagi sebagai usaha memahami hubungan antar kelompok
yang dihadapi. Gerakan anti narkoba atau gerakan cinta produksi dalam negeri atau gerakan
menabung misalnya, memiliki dasar, tujuan, idealisme, dan pedoman operasional yang jelas.
Gerakan-gerakan sosial di bidang politik lebih banyak lagi dan biasanya jangkauannya lebih
luas, bisa lintas daerah atau bahkan lintas negara.

Pola-pola Hubungan antar Etnik


Hubungan antaretnik hanya bisa terjadi ketika setiap kelompok etnik terlibat dalam
pertukaran sosial, kerjasama, persaingan dan koflik dan ketika keterlibatan setiap kelompok
etnik itu dibatasi oleh faktor status, peran, kelompok, jaringan interaksi, dan institusi sosial.
Hubungan antar etnik dapat terjadi di mana saja, seperti dalam pergaulan sosial, kehidupan
bertetangga, dalam kegiatan perdagangan, dan sebagainya.
Terkait dengan pola-pola hubungan antar etnik, Haryo S. Martodirdjo (2000) menjelaskan
bahwa analog dengan alam semesta yang dalam keanekaragamannya yang luar biasa tercipta
susunan dan dinamika yang harmonis, demikian juga dengan dunia kehidupan manusia. Alam
fauna dan floran yang sangat bervariasi di dalam hutan belantara atau di samudra raya tetap
menampakkan adanya hubungan simbiose di antaranya sepanjang masa. Hubungan-
hubungan simbiose tersebut terjadi dalam berbagai bentuk; parasitisme ; amensalisme;
kommmensalisme ; netralisme ; dan mutualisme secara terus menerus. Berbagai bentuk
hubungan tersebut mempunyai akibat yang bermacam-macam, ada yang baik dan ada yang
buruk. Secara keseluruhan tercipta keseimbangan yang harmonis dalam konteks
terpeliharanya kelestarian alam. Dalam hal ini hubungan antar individu ataupun antar
kelompok masyarakat pada dasarnya berada dalam pola hubungan yang sama. Keharmonisan
hubungan yang bersifat mutualistis seharusnya dapat tercipta apabila prinsip dan nilai- nilai
dasar kemanusiaan selalu dipertimbangkan dalam mengikuti gerak dinamikanya aturan-
aturan kultural yang berlaku. Michael Banton, seperti seperti yang dikutip Haryo S.
Martodirdjo (2000), mengungkapkan beberapa pola hubungan antar individu ataupun antar
kelompok etnik yang umum terjadi dalam kehidupan masyarakat. Beberapa pola hubungan
tersebut di indentifikasi dalam proses kontak sosial yang terjadi, yaitu; akulturasi, dominasi,
paternalisme, pluralisme, dan integrasi.
Akulturasi terjadi jika dua kelompok etnik mengadakan kontak dan saling mempengaruhi.
Dominasi terjadi jika suatu kelompok etnik menguasai kelompok yang lain. Paternalisme
merupakan bentuk hubungan antar kelompok etnik yang menampakkan adanya kelebihan
salah satu kelompok terhadap kelompok yang lain, tanpa adanya unsur dominasi. Pluralisme
merupakan pola hubungan yang terjadi di antara sejumlah kelompok etnik yang di dalamnya
mengenal adanya pengakuan persamaan hak politik dan hak perdata bagi kelompok-
kelompok masyarakat yang berkaitan. Sedangkan integrasi adalah pola hubungan yang
menekankan persamaan dan bahkan saling mengintegrasikan dari satu dengan yang lain.

Anda mungkin juga menyukai