PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan
kebudayaannya masing- masing. Perbedaan-perbedaan suku bangsa, adat, agama, dan ciri-ciri
kedaerahan yang lain menyebabkan masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat
majemuk (plural society). Masyarakat dikatakan majemuk jika secara struktural memiliki
sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse dan berbeda. Kemajemukan (pluralitas dan
heterogenitas) bangsa Indonesia itu tentu saja merupakan nilai positif dan sekaligus
menyimpan nilai negatif yang terkadang tak terhindarkan. Dengan pluralitas komponen
bangsa Indonesia itu, di satu sisi kita dapat menghimpun dan mengembangkan berbagai
potensi bangsa yang ada. Pluralitas budaya yang ada di tanah air merupakan kekayaan yang
tiada tara dan harus disyukuri. Namun, di sisi lain pluralitas tradisi dan agama, mudah sekali
menimbulkan gesekan antar berbagai kelompok komunal, yang pada gilirannya akan dapat
memunculkan kekerasan sosial. Oleh karena untuk memahami kebudayaan Indonesia dari
berbagai segi penting artinya dalam rangka menemukan integrasi sebagai unsur penting
dalam usaha persatuan bangsa. Kebudayaan Indonesia berakar dari kebudayaan etnik (lokal)
di Indonesia yang memiliki keragaman. Pantaslah motto Bhinneka Tunggal Ika menjadi
bingkai dalam memahami isi (nilai) kebudayaan ini. Berkaitan dengan tujuan inilah sangat
penting dipupuk rasa persatuan dalam pembinaan dan pengembangan kebudayaan Indonesia
untuk memahaminya lewat pendekatan kebudayaan se-Indonesia.
Masyarakat indonesia dulunya dikenal bersifat religius dan berbudaya santun: halus
budi bahasanya, berbudi pekerti luhur, ramah-tamah perangainya, suka kerukunan, dan
perdamaian. Pepatah Jawa mengatakan bahwa Rukun agawe santosa lan congkrah agawe
bubrah (rukun/damai membuat kita menjadi kuat dan bersengketa membuat kita menjadi
rusak/lemah). Pandangan serupa juga ditemukan dalam masyarakat Melayu bahwa
perdamaian itu lebih baik dan pertikaian tidak akan mendatangkan manfaat dan malah
merugikan semua pihak. Seperti disebutkan dalam pepatah Melayu Menang jadi arang kalah
jadi abu .
Salah satu persoalan yang belum terselesaikan dalam hubungan etnik Cina dengan
masyarakat pribumi adalah persoalan pembauran yang menuju kepada integrasi bangsa.
Sebagai konsekuensi logis dalam kehidupan masyarakat yang pluraslistis adalah terjadinya
suatu proses hubungan sosial, yang di dalamnya terdapat suatu hubungan antara manusia satu
dengan lainnya melalui interaksi sosial. Rasman Sonjaya mengatakan bahwa proses
hubungan sosial ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk, yaitu kerjasama, persaingan,
pertentangan, dan akomodasi (Hasbullah, 2015: 24).
Pasca runtuhnya Orde Baru dan berganti menjadi era Reformasi dijadikan momentum
bagi orang Tionghoa membuka dan menyadarkan mereka akan pentingnya memperjuangkan
aspirasi mereka melalui saluran-saluran politik. Hal ini didukung oleh iklim demokrasi yang
lebih baik yang membuka katup-katup politik dan mengundang partisipasi semua warga
negara dalam proses ini. Banyak tokoh Tionghoa yang tidak setuju mendirikan partai etnis
Tionghoa. Mereka lebih condong bergabung dengan partai yang dibentuk oleh Pribumi. Ada
juga yang tidak mau mendirikan partai politik atau bergabung dengan partai politik pribumi
tetapi membentuk grup-grup kepentingan dan penekan untuk memperbaiki kedudukan
minoritas Tionghoa. Yang agak dikenal adalah Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia
(PSMTI) dan Perhimpunan keturunan Tionghoa Indonesia (INTI) (Suryadinata, 2002:94-95).
Kedua organisasi tersebut merupakan organisasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru dan
merupakan organisasi nasional yang telah memiliki perwakilan-perwakilan di berbagai
daerah yang bertujuan sebagai wadah penyaluran aspirasi dan wadah penyelesaian masalah
Tionghoa. Selain itu meskipun organisasi tersebut merupakan organisasi non-politik, namun
kader-kader dari organisasi ini tidak sedikit yang telah ikut serta dalan kancah perpolitikan di
Indonesia yang bertujuan untuk mewakili etnis mereka dalam mempengaruhi kebijakan
pemerintah.
B. KAJIAN PUSTAKA
1. Konsep Etnik (Kesukubangsaan)
Dalam mempelajari hubungan antar etnik dapat di lakukan dengan melihat kasus-
kasus yang terjadi. Terutama bagi etnik yang jarang mengalami konflik dan bertahan terhadap
gesekan yang terjadi. Tujuanya adalah untuk mengidentifikasi bagaimana cara mereka
menghadapi setiap gesekan yang terjadi tanpa adanya konflik. Menurut Barth,(hasbullah,
2013: 26) kelompok etnik dapat disebut sebagai suatu unit kebudayaan karena kelompok
etnik mempunyai ciri utama yang penting, yaitu kemampuan untuk berbagi sifat budaya yang
sama. Dan ia berasumsi bahwa tiap kelompok etnik mempunyai ciri budayanya sendiri. Ada 2
hal pokok yang dapat dibahas dalam mengamati kelompok- kelompok etnik dengan ciri-ciri
unit budayanya yang khusus ini, yaitu: kelanggengan unit-unit budaya dan faktor-faktor yang
mempengaruhi terbentuknya unit budaya tersebut. Ada beberapa implikasi ketika melihat
kelompok etnik sebagai unit kebudayaan, yaitu: (1) klasifikasi individu atau kelompok
tertentu dinyatakan sebagai anggota suatu kelompok etnik tertentu tergantung dari
kemampuannya untuk memperlihatkan sifat budaya kelompok etnik tersebut, dan (2) Bentuk-
bentuk budaya yang tampak menunjukkan adanya pengaruh ekologi, tetapi bukan berarti ini
menunjukkan bahwa semua itu hanya merupakan bentuk penyesuaian diri terhadap
lingkungan semata-mata. Namun, lebih tepat dikatakan bahwa bentuk budaya ini merupakan
hasil penyesuaian para anggota kelompok etnik ketika berhadapan dengan berbagai faktor
luar. Seperti ketika suatu kelompok etnik yang tinggal tersebar di daerah yang mempunyai
lingkungan ekologi bervariasi, akan memperlihatkan perilaku yang berbeda sesuai dengan
daerah tinggalnya, tetapi tidak mencerminkan orientasi nilai budaya yang berbeda.
Konsep Kesukubangsaan saat ini telah bergeser pengertiannya dari mengenai isi
kebudayaan menjadi mengenai jati diri atau identitas yang muncul dalam interaksi sosial.
batas-batas suku bangsa dan atribut-atribut kesukubangsaan yang mencakup simbol-simbol
kebudayaan menjadi fokus kajian mengenai kesukubangsaan. Pergeseran tersebut dimulai
oleh Frederik Barth menunjukkan bahwa kajian mengenai suku bangsa bukanlah kajian
mengenai kolektiva dengan isi atau taksonomi kebudayaannya, tetapi kajian yang mengenai
organisasi sosial yang askriptif berkenaan dengan asal muasalnya yang mendasar dan umum
dari para pelakunya; sebab, jika kajiannya mengenai kolektiva dan isi kebudayaannya yang
dilakukan secara taksonomi maka yang dihasilkan adalah kajian- kajian mengenai taksonomi
kebudayaan, pola-pola kebudayaan, akulturasi kebudayaan, atau perubahan kebudayaan; dan
bukan kajian kesukubangsaan. Lebih lanjut, kajian kesukubangsaan adalah kajian yang
memusatkan perhatian pada antar hubungan di antara pelaku, dengan jatidiri suku bangsanya
sebagai atribut-atribut yang digunakan dalam interaksi- interaksi sosial. Karena itu, Barth
dalam tulisannya tersebut mengemukakan pentingnya perhatian kajian mengenai suku bangsa
pada batas-batas suku bangsa, yang terwujud dalam hubungan antar suku bangsa, karena
dalam interaksi tersebut perbedaan- perbedaan jati diri dari para pelaku nampak jelas
ditunjukkan; yang terwujud baik dengan sengaja ataupun dilakukan secara spontan, maupun
yang terwujud sebagai atribut-atribut fisik, simbol-simbol yang tersurat maupun yang tersirat
(hasbullah, 2013, 25).
2. POLITIK IDENTITAS
Konsep ini dijelaskan oleh Gabriel Almond secara panjang lebar dan mudah
dimengerti, yaitu sebagai berikut ini. Sarana-sarana, pengalaman-pengalaman, dan pengaruh-
pengaruh tersebut, yang semuanya membentuk sikapsikap individu, selanjutnya menciptakan
apa yang disebut politik identitas seseorang, yaitu suatu kombinasi dari beberapa perasaan
dan sikap:
a. Di dalam sistem politik terdapat sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan dasar seperti
nasionalisme, identifikasi etnik atau kelas, keterikatan ideologis, dan perasaan
fundamental akan hak-hak, keistimewaan dan kewajiban pribadi;
b. Kurang terdapat komitmen emosional terhadap, dan pengetahuan tentang,
lembagalembaga pemerintahan dan politik seperti pemilihan umum, struktur badan
perwakilan, kekuasaan badan eksekutif, struktur badan pengadilan; dan system hukum;
c. Lebih banyak terdapat pandangan-pandangan yang cepat berubah tentang peristiwa-
peristiwa, kebijaksanaan politik, issue-issue politik dan tokohtokoh politik yang sedang
terkenal. Politik identitas memang sejauh ini dipahami dan diarahkan dalam artian
identitas personal dan identitas kolektif seperti identitas yang dibangun atas dasar gender,
orientasi seksual, suku, agama dan bangsa.
Merujuk pada Castells yang mengatakan bahwa identitas merupakan atribut yang
melekat kepada seseorang secara kultural,23 masyarakat Tionghoa di Indonesia secara tegas
teridentifikasi sebagai kelompok masyarakat non pribumi yang terpisah dari masyarakat asli
Indonesia walaupun dalam diri mereka melekat identitas kesukuan Indonesia seperti Jawa
(Cina jawa), Batak (Cina Batak), Manado (Cina manado), Betawi (Cina Benteng), dan lain-
lain, identifikasi tersebut tidak hanya diberikan oleh orang diluar Tionghoa tetapi dilekatkan
pula oleh komunitas mereka sendiri berdasarkan struktur silsilah etnis mereka secara genetik
dan budaya nenek moyang.
Menurut Wang hasbullah (2013: 27), konsep identitas orang Cina adalah konstruksi
akademik dalam wacana ahli ilmu sosial yang mengkaji komunitas Cina. Menurutnya, orang
Cina dalam kehidupan sehari-hari tidak membicarakan isu identitas mereka seperti apa yang
dilakukan para akademisi, kendatipun mereka jarang menyebut perkataan identitas dalam
hidup keseharian. Mereka lebih menyadari dan menekankan being Chinese dan
becoming un-Chinese atau apa yang disebut Wang sebagai kecinaan. Tahap kecinaan itu
berbeda dari individu satu ke individu yang lain, karena ada sebagian orang Cina dapat
dianggap lebih Chinese , tetapi yang lain pula kurang Chinese . Wang menambah, konsep
identitas orang Cina itu sudah dihasilkan dalam wacana para akademisi, kemudian
dipopularkan ahli ilmu sosial yang mengkaji komunitas Cina sejak tahun 1950. Dalam
konteks ini, kecinaan adalah konsep yang lebih merujuk kepada bagaimana orang Cina
memandang diri mereka dan kesemua itu terkait erat dengan pengetahuan mereka tentang
budaya, geopolitik, dan sejarah. Realitas ini sama dengan apa yang dimaksudkan oleh
Shamsul (1996) sebagai yang ditetapkan oleh pihak yang berkuasa dalam struktur
pemerintahan. Dari segi epistemologi, konsep kecinaan dan identitas orang Cina dapat dilihat
sebagai dua realitas yang dihasilkan dalam dua situasi sosial yang berbeda, walaupun pada
masa yang sama (hasbullah. 2013: 27).
Politik identitas dikalangan orang Tionghoa bisa dengan sangat mudah,tampak pada
streotip yang ditunjukkan dan menjadi asumsi umum misalnya kebiasaan orang Tionghoa
yang hidup berkelompok di wilayah tertentu (disebut pecinan), perayaan tradisi yang
dilakukan secara bersamaan seperti Imlek dan Cap Go Meh, namun demikian, Castells juga
menegaskan bahwa: Identities can also be originated from dominant institutions, they
become identities only when and if social actors internalize them and construct their meaning
around this internalization25Castells mengemukakan bahwa identitas tidak hanya tentang
bagaimana individu mengidentifikasi dirinya sendiri, tetapi juga bagaimana kelompok
dominan memberikan klaim dan menginternalisasi seseorang atau kelompok tertentu yang
dilekatkan pada ciri-ciri dan streotif yang dilekatkan pada mereka Sementara Buchari dengan
mengutip Jumadi (2009) mengemukakan bahwa konsep identitas secara umum dapat
dimaknai sebagai sebuah citra yang membedakan individu atau suatu kelompok dengan
individu atau kelompok lain, hal tersebut dilakukan secara simultan dalam interaksi sosial
sampai memunculkan opini tertentu yang berkaitan dengan keberadaan individu atau
kelompok tersebut.21 Dalam menentukan politik identitas, menurut Castells harus lebih
dahulu dilakukan identifikasi bagaimana konstruksi sebuah identitas muncul yang
menurutnya bisa dilihat dengan 3 model bentukkan identitas, yaitu:
a. Legitimizing identity atau legitimasi identitas, yaitu identitas yang dibangun oleh
institusi (penguasa) yang dominan ada dalam kehidupan sosial. Institusi ini
menunjukkan dominasinya dengan melekatkan sebuah identitas tertentu pada
seseorang atau kelompok.
b. Resistance identity atau resistensi identitas, yaitu identitas yang dilekatkan oleh aktor
aktor sosial tertentu dimana pemberian identitas tersebut dilakukan dalam kondisi
tertekan karena adanya dominasi hingga memunculkan satu resistensi dan membentuk
identitas baru yang berbeda dari kebanyakan anggota komunitas sosial yang lain,
konstruksi identitas inilah yang oleh Coulhoun dimaknai sebagai politik identitas.
c. Project identity atau proyek identitas, konstruksi identitas pada model ini dilakukan
oleh aktor sosial dari kelompok tertentu dengan tujuan membentuk identitas baru
untuk bisa mencapai posisi posisi tertentu dalam masyarakat, hal ini bisa terjadi
sebagai implikasi dari gerakan sosial yang bisa merubah struktur sosial secara
keseluruhan.26
Merujuk pada beberapa pemahaman diatas, politik identitas berakar pada streotif yang
dilekatkan dengan menggunakan perspektif primordialisme. Mengikuti konsep polity
Aristoteles, Primordialisme berarti berperang ke luar dan konsolidasi ke dalam.Karena itu,
politik identitas selalu diwarnai konflik baik yang bersifat frontal maupun yang dialektik.
Politik identitas selalu ada dalam wilayah ketegangan antara superioritas dan inferioritas,
antara mayoritas dan minoritas.
Dari beberapa pemahaman diatas, politik identitas dapat dipahami sebagai tindakan
politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggotaanggota suatu kelompok
karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas,
jender, atau keagamaan. Politik identitas merupakanrumusan lain dari politik perbedaan.
Sebagaimana manusia individual yang tidak dapat hidup tanpa adanya kerjasama atau
hubungan dengan individu yang lain, demikian pula halnya dengan kelompok-kelompok
etnik. Kebudayaan bukan hanya berkembang secara unik pada setiap masyarakat, tetapi
kebudayaan juga selalu mendapat peluang untuk saling berhubungan dan menyesuaikan diri
terus menerus terhadap lingkungan sekitar, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial.
Graham Kinlock, seperti yang dikutip Haryo S. Martodirdjo (2000), mengemukakan empat
dimensi penting yang perlu diperhatikan sebagai faktor yang berpengaruh dalam setiap proses
dan hasil yang dicapai. Keempat dimensi hubungan pokok tersebut adalah; dimensi sejarah,
dimensi sikap, dimensi institusi, dan dimensi gerakan sosial.
Kajian dari dimensi sejarah diarahkan pada masalah tumbuh dan berkembangnya
hubungan antar kelompok etnik yang terjadi, di samping latar belakang sejarah masing-
masing kelompok. Kapan kontak sosial antar kelompok etnik tersebut terjadi, bagaimana
bentuknya, apa motivasi dan sasaran utamanya, bagaimana pula kontak sosial tersebut
kemudian berkembang menjadi hubungan yang bagaimana, dan sebagainya. Dimensi sejarah
penting dalam mengikuti akumulasi proses hubungan yang terjadi dan untuk analisis prediktif
ke masa depan.
Melalui kajian dimensi sikap akan terungkap sikap dasar anggota kelompok satu
terhadap anggota yang lain atau terhadap kelompok yang dihadapi dan sebaliknya. Stereotip
dan prasangka apakah yang dimiliki seseorang atau suatu kelompok terhadap orang atau
kelompok yang lain. Stereotip dan prasangka yang didasari oleh sikap ini penting dan besar
pengaruhnya dalam proses hubungan sosial yang terjadi. Misalnya, stereotip dan prasangka
kelompok asli tentang kelompok pendatang atau sebaliknya, kelompok etnik kaya tentang
kelompok miskin atau sebaliknya, tentang kelompok etnik yang saling berbeda kepercayaan
yang dianut, dan sebagainya .Sikap tertentu yang diikuti stereotip dan prasangka tentang
seseorang atau kelompok etnik lain biasanya ditunjang atau didukung oleh institusi- institusi
tertentu pula, misalnya institusi ekonomi, institusi politik, institusi sosial, institusi religius,
dan lain-lain. Lembaga swadaya masyarakat, partai politik, organisasi pemuda, organisasi
buruh, lembaga profesi, misalnya merupakan institusi-institusi dalam kehidupan masyarakat
yang biasanya mendukung atau memperkuat tujuan dan pola hubungan antar kelompok etnik
yang didasari oleh suatu sikap dan prasangka tertentu. Melalui pendekatan dimensi institusi
atau kelembagaan-kelembagaan masyarakat ini seringkali usaha memahami hubungan antar
etnik menjadi lebih efektif dan lebih jelas hasilnya.
Kajian dari perspektif dimensi gerakan sosial biasanya melengkapi dimensi institusi
sehingga menjadi lebih terarah dan lebih jelas lagi sebagai usaha memahami hubungan antar
kelompok yang dihadapi. Gerakan anti narkoba atau gerakan cinta produksi dalam negeri
atau gerakan menabung misalnya, memiliki dasar, tujuan, idealisme, dan pedoman
operasional yang jelas. Gerakan-gerakan sosial di bidang politik lebih banyak lagi dan
biasanya jangkauannya lebih luas, bisa lintas daerah atau bahkan lintas negara.
Hubungan antaretnik hanya bisa terjadi ketika setiap kelompok etnik terlibat dalam
pertukaran sosial, kerjasama, persaingan dan koflik dan ketika keterlibatan setiap kelompok
etnik itu dibatasi oleh faktor status, peran, kelompok, jaringan interaksi, dan institusi sosial.
Hubungan antar etnik dapat terjadi di mana saja, seperti dalam pergaulan sosial, kehidupan
bertetangga, dalam kegiatan perdagangan, dan sebagainya.
Akulturasi terjadi jika dua kelompok etnik mengadakan kontak dan saling
mempengaruhi. Dominasi terjadi jika suatu kelompok etnik menguasai kelompok yang lain.
Paternalisme merupakan bentuk hubungan antar kelompok etnik yang menampakkan adanya
kelebihan salah satu kelompok terhadap kelompok yang lain, tanpa adanya unsur dominasi.
Pluralisme merupakan pola hubungan yang terjadi di antara sejumlah kelompok etnik yang di
dalamnya mengenal adanya pengakuan persamaan hak politik dan hak perdata bagi
kelompok-kelompok masyarakat yang berkaitan. Sedangkan integrasi adalah pola hubungan
yang menekankan persamaan dan bahkan saling mengintegrasikan dari satu dengan yang lain.
C. PEMBAHASAN
1. Etnis di kepulauan riau
Provinsi Kepulauan Riau merupakan provinsi yang mayoritas penduduknya
berasal dari Etnis Melayu. Otonomi daerah memberikan kesermpatan lebih untuk
mengembalikan kembali ke masa ketika Tanjungpinang menjadi jantung bagi ranah
melayu dan mempunyai kedudukan yang mantap dalam ekonomi kawasan itu.
Tindakan memisahkan diri dari Provinsi Riau yang beribukota Pekanbaru dengan
tujuan membentuk Provinsi Kepulauan Riau sepintas lalu dipandang sebagai jawaban
terbaik bagi keterpecahbelahan ideologis yang sudah lama terjadi pada identitas
Melayu itu (Carole Faucher,2014:580)
Meskipun ingin menciptakan sebuah provinsi atas dasar etnis yang akan
menguntungkan bagi orang-orang melayu, dalam realita populasi pulau
Batam,Karimun dan Bintan adalah migran. Dengan demikian akan jauh lebih sulit
untuk menekan kemelayuan lokal sebagai penanda sebuah dentitas provinsi ini, untuk
mengatasi hal ini, elit melayu dan para akademisi lokal di kepri berusaha
menghidupkan kembali suatu solidaritas melayu serumpun yang bersifat trans-
nasional. Tetapi pada saat yang sama perkawinan campuran sangat umum, khususnya
di daerah perkotaan, yang membuat masalah-masalah identitas etnis semakin
kompleks.
Secara keseluruhan, komposisi etnis sangat tidak merata. Meskipun Melayu
merupakan mayoritas di daerah pedesaan -85%di Lingga dan Natuna, akan tetapi di
Kota misalnya Tanjung Balai Karimun dan Tanjungpinang, melayu tidak lebih dari
40% saja. Di Tanjungpinang Jawa merupakan etnis terbesar kedua dengan angka 25%,
sementara etnis Tionghoa menjadi kelompok ketiga terbesar dengan13%. Jika pada
gambaran ini kita tambahkan arus migran terbaru, orang bisa menyatakan bahwa
setidak-tidaknya di Tanjungpinang sudah tercipta suatu jaringan pluralistis multietnis
setelah desentralisasi.(Carole Faucher,2014:581)
2. Aspek-aspek lain yang mempengaruhi Meningkatnya Modal Social Etnis Tionghoa
a. Aspek Budaya dan Agama
Masyarakat melayu memiliki kebudayaan yang terbuka sehingga mudahnya
terjadi akulturasi di dalamnya. Sebagai contoh dapat di lihat dari beberapa suku
melayu yang ada di riau tepatnya di kuantan singigi yang berdekatan dengan sumatra
barat, memiliki kecendrungan budaya yang lebih mirip dengan minangkabau. Dengan
terbukanya pola kehidupan masyarakat Kota tanjungpinang membuat semakin
mudahnya masyarakat Tionghoa di tanjungpinang untuk mengeksplore dan
memperkenalkan budaya mereka apalagi sejarah mengatakan bahwa di salah satu
tempat yang ada di kota Tanjungpinang yakni senggarang adalah tempat awal mula
masuknya orang-orang tiongkok di Tanjungpinang. Banyak sekali yang terpengaruh
dan mempelajari budaya Tionghoa disana sehingga budaya melayu mulai tergeser dan
hanya menjadi pertunjukan seni saja (Eki 2017: 20). perkembangan orang melayu di
kawasan nusantara yang dominan berada di kawasan semenanjung tanah melayu dan
pesisir timur sumatra. Proses migrasi di sekitar kawasan melayu riau baik di masa
kerajaan maupun setelah masa kemerdekan, makin terbuka bagi para pendatang.
Proses pembauran dan asimilasi tak terhindarkan sebagai proses alamiah terbentuknya
sebuah orang melayu yang baru, orang melayu ini yang membentuk pluralitas
sehingga orisinalitasnya sangat sulit ditemukan sejak dulu.
Orang melayu riau tersebar dan dipengaruhi sekurang-kurangnya 5 sub-kultur
yang sangat berbeda. Pengaruh bugis tersebar di walayah kepulauan dan sebagian
indragiri hilir, pengaruh minangkabau (yaitu kampar, taluk kuantan dan kuantan
singigi). Pengaruh banjar (indragiri hilir), pengaruh mandahiling (rokan hulu) dan
pengaruh arab (siak sriindrapura). Pengaruh ini dapat dilihat dari berbagai kegiatan
seperti, perkawinan, kelahiran anak, pemberian gelar adat dan pengangkatan pemuka
adat memiliki cara yang berbeda-beda di masing-masing daerah. Menurut tan sri
ismail husein, rumpun melayu nusantara harus dipandang sebagai kesatuan budaya
melayu makro. Yaitu, minangkabau, jawa, sunda, bugis, di indonesia dapat dipandang
sebagai rumpun melayu dalam arti yang luas (Dediarman, 2014).
Karakteristik sosial budaya penduduk di wilayah perencanaan secara garis besar
bersifat heterogen yang terdiri dari percampuran suku bangsa dan golongan etnis
seperti Melayu sebagai penduduk asli/lokal yang telah turun temurun bermukim di
daerah ini dan sebagian lainnya berasal dari suku Batak, Minang, Jawa, Tionghoa,
Bugis (Sulawesi) dan dari daerah lainnya di Sumatera serta berbagai suku bangsa
lainnya.
Dengan kondisi demikian, pluralisme sudah menjadi ciri khas utama
kebudayaan masyarakat Kota Tanjungpinang. Sebagian penduduk Kota
Tanjungpinang merupakan penduduk kepulauan yang hidupnya bersentuhan langsung
dengan karakteristik laut, seperti musim angin, musim ikan, daya jangkau laut antar
pulau. Hal ini sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat setempat dan
mempengaruhi pola sanitasi dan perilaku hidup bersih dengan adanya gerak keluar
yang relatif dominan dan gerak ke dalam yang kurang sehingga pola kehidupan sosial
masyarakanya lebih terbuka.
b. Aspek Ekonomi
Bagi warga tionghoa,berusaha dan bekerja keras serta saling membantu antara
sesama mereka sangatlah terasa.Tidaklah mengherankan kalau ikatan perdagangan
antara mereka untuk saling membantu sampai saat ini masih terjaga,"Modal usaha
untuk sukses itu,Sabar,tekun,Kerja jeras dan jangan lupa jujur,"lambat laun pasti
sukses.kalau usaha macam-macam cuma kuncinya itu saja,"Kata asun salah sorang
pengusaha di jalan merdeka kepada Haluan kepri,Selasa(12/7).
Sri Astuti Buchari, 2014Kebangkitan Etnis Menuju politik Identitas, Jakarta: YOI, ,
Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa. Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia