Anda di halaman 1dari 7

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Definisi Identitas

Dalam setiap kelompok atau individu memiliki sesuatu yang tidak dapat

dilepaskan dari sebuah usaha untuk dikenal oleh pihak lain, dan pengenalan

tersebut terjadi dengan berbagai cara atau usaha, sampai kemudian dikatakan

sebagai identitas kelompok atau identitas individu. Jadi, identitas adalah bagian

dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang

keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai

dan emosional dari keanggotaan tersebut.1 Identitas sosial berkaitan dengan

keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga dari keanggotaan dalam suatu

kelompok tertentu, suatu esensi yang dapat dimaknai melalui tanda-tanda selera,

kepercayaan, sikap dan gaya hidup.2

Identitas merujuk pada cara-cara di mana individu dan kolektifitas-

kolektivitas dibedakan dalam hubungan mereka dengan individu dan lokeltivitas

lain.3 Makna identitas di atas sejalan dengan definisi kata “identitas” dan kata

“sosial” dalam Kamus Bahasa Indonesia, yakni: Identitas didefinisikan sebagai

“ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri, sedangkan sosial didefinisikan

1
Tajfel, H. and Turner, J.C. (1986) The Social Identity Theory of Intergroup Behavior.
Psychology of Intergroup Relations, 5, 7-24.
2
Chris Barker, Cultural Studies Teori dan Praktik, diterjemahkan oleh Nurhadi
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013), 174.
3
Richard jenkis, Social Identity, Third Edition, (United Kingdom: Routledge, 2008), 18

13
sebagai “yang berkenaan dengan masyarakat.”4 Dengan demikian, maka identitas

sosial dapat dirumuskan sebagai ciri-ciri khas yang dimiliki seseorang,

sekelompok orang atau masyarakat.

Bagian yang penting dari kenyataan subjektif dan bagaimana realita

subjektif terkait dengan dialektis dengan masyarakat itulah identitas. Dalam

hubungan sosial selalu ada berbagai variasi untuk memberikan sentuhan

pemeliharaan, modifikasi atau bahkan dibentuk ulang. Karena identitas dibangun

oleh relasi antara organisme, kesadaran individu dan struktur sosial. Dengan

demikian, identitas sosial sebagai rasa keterkaitan, peduli, bangga dapat berasal

dari pengetahuan seseorang dalam berbagai kategori keanggotaan sosial dengan

anggota yang lain, bahkan tanpa perlu memiliki hubungan personal yang dekat,

mengetahui atau memiliki berbagai minat5.

Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural, karena alasan-alasan

berikut:6

 Pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang

adalah pertanyaan kultural. Sebagai contoh, individualisme adalah

ciri khas masyarakat modern.

 Sumber daya yang membentuk materi bagi proyek identitas, yaitu

bahasa dan praktik kultural, berkarakter sosial. Walhasil, apa yang

dimaksud dengan perempuan, anak, orang Asia atau orang tua

4
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Jakarta, 2008
5
Hogg, Michael A & Abrams, D (1990). Social Identification; A Psychology of
Intergroup Relation and Group Process.
6
Chris Barker, Cultural Studies Teori dan Praktik, diterjemahkan oleh Nurhadi., 175-
176.

14
dibentuk secara berbeda pada konteks-konteks kultural yang

berbeda.

Dalam kajian yang dilakukan Erikson (1989)7, identitas dibedakan

menjadi dua macam, yaitu identitas pribadi dan identitas ego. Identitas pribadi

seseorang berpangkal pada pengalaman langsung bahwa selama perjalanan waktu

yang telah lewat, kendati mengalami berbagai perubahan, seseorang iru akan tetap

tinggal sebagai pribadi yang sama. Identitas pribadi akan dapat disebut identitas

ego jika identitas tersebut disertai dengan kualitas eksistensial sebagai subjek

yang otonom yang mampu menyelesaikan konflik-konflik di dalam batinnya

sendiri serta masyarakatnya. Menurutnya proses pembentukan identitas terjadi

secara perlahan-lahan dan pada awalnya terjadi secara tidak sadar dalam diri

individu. Proses pembentukan identitas itu sebenarnya sudah dimulai pada periode

pertama, yakni periode kepercayaan dasar lawan kecurigaan dasar.

Dengan demikian, dalam perkembangannya berbagai sumber daya yang

dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan situasional

di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam konteks kultural

tertentu. Akan menjadi persoalan apakah kita hitam atau putih, laki-laki atau

perempuan, orang Afrika atau Amerika, kaya atau miskin, karena adanya sumber

daya yang berbeda yang akan dapat kita akses. Di sini identitas bukan hanya soal

deskripsi-diri melainkan juga soal label sosial. Pendapat Giddens (1991),

Identitas sosial... diasosiasikan dengan hak-hak normatif,


kewajiban dan sanksi, yang pada kolektivitas tertentu, membentuk

7
Erik H. Erikson, Identitas dan Siklus Hidup Manusia, terj. Agus Cremers (Jakarta:
Gramedia, 1989)

15
peran. Pemakaian tanda-tanda yang terstandarisasi, khususnya yang
terkait dengan atribut badaniah umur dan gender, merupakan hal
yang fundamental di semua masyarakat, sekalipun ada begitu
banyak variasi lintas budaya yang dapat dicatat.8
Menurut Weeks, singkatnya, identitas adalah soal kesamaan dan

perbedaan, tentang aspek personal dan sosial, „tentang kesamaan anda dengan

sejumlah orang dan apa yang membedakan.

2.2 Teori Asimilasi

Memahami berbagai hubungan atau relasi yang berkembang dalam

kehidupan bergereja, tidak terlepas dari komunikasi yang terbentuk, baik secara

sadar maupun secara alamiah dengan konteksnya. Ada kalanya kedua kolektivitas

yang berhubungan itu mencapai taraf integritas, dimana masing-masing

kolektivitas tetap hidup atas identitasnya sendiri, akan tetapi hubungan antara

kedua pihak dapat dilakukan dengan baik, saling menguntungkan dan saling isi

mengisi.9 Dalam sistem nilai mereka ada anggapan, bahwa yang perlu dicapai

ialah taraf pembauran sosial atau asimilasi, dimana kedua fihak lebur menjadi satu

kolektivitas dengan menghilangkan segala faktor yang terdahulu menjadi unsur

pemisah.10

Proses asimiliasi, proses masyarakat yang akan timbul bila ada :11

i) Kelompok manusia yang berasal dari lingkungan kebudayaan yang

berbeda;

8
Anthony Giddens. Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age
(Stanford, CA: Stanford University Press, 1991).
9
M. Bambang Pranowo, dkk, Steriotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial, (Jakarta:
Pustaka Grafika Kita, 1988), 5
10
M. Bambang Pranowo, dkk, Steriotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial., 5.
11
M. Bambang Pranowo, dkk, Steriotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial., 174-175.

16
ii) Individu dari kelompok tadi saling bergaul langsung secara intensif

untuk waktu yang cukup lama, sehingga

iii) Kebudayaan dapat kelompok tadi masing-masing berubah saling

menyesuaikan diri menjadi satu.

Dengan demikian, asimilasi ialah two way-process, menyangkut pihak

yang diintegrasikan dan kelompok/anggota lain yang mengintegrasikan. Ditinjau

dari segi pendatang, asimilasi merupakan proses penetrasi, sedangkan dari segi

penerimaan menjadi proses pengakuan. Oleh karena itu, konsep asimilasi

sebenarnya merupakan tahap yang paling mendekati integrasi dalam bentuk

idealnya. Mempelajatri asimilasi sebenarnya sudah berarti mempelajari salah satu

tahap dari integrasi itu sendiri.

Milton Gordon, seorang ahli sosiologi Amerika memperinci konsep ini

dalam tujuh macam asimilasi yang berkaitan satu sama lain yaitu: 12

1) Asimilasi kebudayaan/perilaku (atau akulturasi) yang bertalian

dengan perubahan dalam pola kebudayaan guna penyesuaian diri

dengan kelompok mayoritas;

2) Asimilasi struktural yang bertalian dengan masuknya golongan

minoritas secara besar-besaran ke dalam klik, perkumpulan, dan

pranata pada tingkat kelompok primer dari golongan mayoritas;

3) Asimilasi perkawinan (amalgamasi) yang bertalian dengan

perkawinan antargolongan secara besar-besaran;

12
M. Bambang Pranowo, dkk, Steriotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial., 175.

17
4) Asimilasi identifikasi yang bertalian dengan perasaan nasional

berdasarkan mayoritas;

5) Asimilasi sikap yang bertalian dengan tak adanya prasangka;

6) Asimilasi prilaku yang bertalian dengan tak adanya diskriminasi,

dan

7) Asimilasi “civic” yang bertalian dengan tak adanya bentrokan

mengenai sistem nilai dan pengertian kekuasaan.

Dalam memahami bahwa setiap kepemimpinan yang kelola dengan model

kharismatik, Weber memandang individu yang memiliki kekuatan adikodrati dan

daya kharisma adalah aktor pembentuk masyarakat dimana ia tumbuh dan

berkembang, seperti tindakan para utusan Tuhan dan rohaniawan dalam

mengkonstruksi dunia sosial.13 Gereja Kristen Jawa dalam gerak pelayanan yang

dilakukan dalam kepentingan membangun, dalam hal ini adalah gerakan

pelayanan dalam mengembangkan budaya lokal.

Terkait dengan keberadaan Gereja sebagai bagian dari struktur masyarakat

yang terikat dan lekat, Durkeim berpendapat bahwa masyarakat yang membentuk

individu di mana individu tunduk pada tatanan sosial yang mengikatnya sebagai

anggota masyarakat. Jika ada individu yang tidak tunduk atau menyimpang dari

masyarakat, ia menjadi individu yang mengalami anomali. Jadi masyarakat

merupakan individu-individu yang mengikatkan diri dalam kelompok.14 Gereja

menjadi bagian dalam masyarakat atau Gereja merupakan masyarakat, sehingga

13
Max Weber, Economy And Society, Volume I, An Outline of Intepretative Sociology,
Guenther Roth and Claus Wittich, ed., (California: The Regent of University of California, 1978,
Chapter I&III), 240-241.
14
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teory Sosiologi Modern, diterjemahkan oleh
Alimanda (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), 22.

18
menjadi hal yang benar apabila di dalam kehidupan Gereja memiliki tatanan yang

bersifat mengikat.

Gereja Kristen Jawa yang telah berkembang saat ini, dalam konteks

tertentu perlu dicermati bahwa perkembangannya itu tidak begitu cepat, terkesan

sangat lambat. Hal tersebut bukan berarti bahwa Gereja Kristen Jawa tanpa

berpartisipasi dalam skala yang luas. Keterlibatan Gereja sebagai lembaga

keagamaan itu tampaknya dilihat oleh Durkheim, agama yang dianggap sudah

ketinggalan zaman ternyata masih dibutuhkan oleh masyarakat modern, karena

agama adalah gejala universal yang terdapat di semua kategori masyarakat. 15

Kebudayaan yang bersifat adi luhung itu merupakan kesatuan yang

paripurna dalam keberadaannya ditengah pelayanan Gerejawi, dan tentu lebih luas

lagi di masyarakat. Tentu dalam menjawab banyak hal tentang kehidupan umat

manusia bersama dengan alam semesta.

15
K. J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-
Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1985),162.

19

Anda mungkin juga menyukai