Anda di halaman 1dari 5

Nama : Devi Fitriyani

NIM : 1198030059
Kelas : Sosiologi B Semester 2
Mata Kuliah : Filsafat Sosial
Materi : Identitas

1. Konsep Identitas

Identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang ; jati diri. Menurut Gardiner
W. Harry dan Kosmitzki Corinne melihat identitas sebagai pendefinisian diri seseorang
sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan sikap. Identitas itu tidak hanya
dikaitkan dengan etnisitas, bahasa, ideologi, adat- istiadat dan agama tetapi juga pada tempat
(ruang).

H.A.R. Tilaar (2007) dalam bukunya berjudul “Mengindonesia Etnisitas dan Identitas
Bangsa”, menguraikan hubungan antara identitas individu, identitas etnis terbentuk menjadi
identitas bangsa. Menguraikan bahwa setidaknya terdapat empat konsep yang dapat
berkembang:

1) Identitas berarti indentik dengan yang lain. Mengarah pada adanya kesamaan antara
individu dengan individu lainnya;

2) Identitas berarti menjadi diri sendiri, dilahirkan sebagai suatu individu yang
memiliki jiwa sendiri yang terhubung dengan proses pemerdekaan;

3) Indentitas berarti menjadi identik dengan suatu ide. Ide yang melepaskan kekuasaan
individu, dan ide dalam konteks ini adalah suatu yang transendental;

4) Identitas berarti individu yang realistis yang hidup bersama individu lainnya.

Identitas dalam pengertian ini lebih dari hanya menjadi diri sendiri yang tidak
terlepas dari lingkungan budaya maupun lingkungan alamiah (118 – 120). Identitas dimulai
dari identitas individu berkembang menjadi identitas etnis dan lebih besar lagi menjadi
identitas nasional atau bangsa.
Dalam perspektif psikologi kepribadian, identitas diri merupakan suatu konsep yang
digunakan untuk membedakan individu satu dengan individu lainnya. Dengan demikian,
identitas diri adalah suatu pengertian yang mengacu pada identitas spesifik dari individu.

Dalam presfektif sosiologi terdapat suatu pertanyaan mengenai kesamaan sameness,


di mana identitas menjadi sesuatu yang dapat dilihat sebagai poin yang memperhatikan
keterbukaan individu terhadap dunia luar melalui hubungan individu lainnya dalam suatu
masyarakat.

Kemudian terdapat pertanyaan mengenai solidaritas yang lebih menitikberatkan pada


hubungan dan perbedaan sebagai dasar dalam pembentukkan aksi sosial. Berdasarkan tiga
konsep tersebut, makan identitas dapat disimpulkan sebagai suatu konsep diri yang terbentuk
di lingkungan tempat dia berada yang dapat membedakan satu dengan lainnya.

Identitas yang dilekatkan pada ideologi terhubung dengan faham yang biasanya di
bawah kontrol suatu negara untuk menjalankan hubungan diplomasi dengan bangsa-bangsa
lain. Identitas dalam konteks ini sering digolongkan sebagai identitas bangsa, hasil konstruksi
dari berbagai kelompok identitas etnis. J. Jones (1972) menguraikan etnis atau kelompok
etnis adalah sebuah himpunan manusia yang dipersatukan oleh suatu kesadaran atas
kesamaan sebuah kultur atau subkultur, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa
bahkan peran dan fungsi tertentu (Alo Liliweri, 2007: 14).

Identitas yang dikaitkan pada agama kadang kala dihubungkan dengan identitas
nasional. Banyak negara menjadikan agama disamping kultur sebagai pusat identitas
nasionalnya. Negara Malaysia misalnya, memiliki tiga pilar yang dianggap sebagai pusat
identitas nasional, yakni bahasa (bahasa atau negara melayu), agama (agama atau Islam), dan
raja (kerajaan), ketiganya sangat berhubungan dengan kaum mayoritas (Parekh, 2008: 310).

Terdapat 3 pendekatan pembentukan identitas, yaitu:

1. Primodialisme. Identitas diperoleh secara alamiah, turun temurun.

2. Konstruktivisme. Identitas sebagai sesuatu yang dibentuk dan hasil dari proses sosial yang
kompleks. Identitas dapat terbentuk melalui ikatanikatan kultural dalam masyarakat.

3. Instrumentalisme. Identitas merupakan sesuatu yang dikonstruksikan untuk kepentingan


elit dan lebih menekankan pada aspek kekuasaan.
Perkembangan konsep identitas tidak hanya selalu dikaitkan dengan etnisitas, bahasa,
ideologi, adat-istiadat dan agama, tetapi juga pada tempat (ruang).

2. Sejauh mana politik identitas terjadi di indonesia

Sebelum mengetahui sejauh mana politik identitas terjadi di Indonesia. Kita meski
paham terlebih dahulu apa itu politik identitas?. Politik identitas mengacu pada mekanisme
politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai
sumberdaya dan sarana politik (Setyaningrum, 2005: 19).

Menurut Cressida Heyes (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2007)


mendefinisikan politik identitas sebagai penandaan aktivitas politis dalam pengertian yang
lebih luas dan teorisasi terhadap ditemukannya pengalaman pengalaman ketidakadilan yang
dialami bersama anggota-anggota dari kelompok-kelompok sosial tertentu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa politik identitas adalah suatu tindakan politik yang
dilakukan individu atau sekelompok orang yang memliki kesamaan identitas baik dalam hal
etnis, jender, budaya, dan agama untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan anggotanya.
Politik identitas sering digunakan untuk merekrut dukungan orang-orang yang
termarjinalkan dari kelompok mayoritas.

Klaus Von Beyme menganalisis karakter gerakan identitas dalam beberapa tahap
perkembangannya, mulai dari tahap pramodern sampai dengan postmodern. Perpecahan
fundamental, kelompok-kelompok kesukuan dan kebangsaan memunculkan gerkan sosial
politik yang menyeluruh. Dalam hal ini mobilisasi secara ideologis diprakarsai oleh para
pemimpin. Tujuannya adalah perampasan dan perebutan kekuasaan dari suatu penguasa ke
penguasa yang baru.

Pada tahap modern, gerakan tersebut muncul dengan adanya pendekatan kondisional,
keterpecahan membutuhkan sumbersumber untuk dimobolisasi. Terjadi keseimbangan
mobilisasi dari atas dan partisipasi dari bawah, peran pemimpin tidak lagi dominan dan
tujuan akhirnya adalah pembagian kekuasaan. Kemudian pada perkembangan pos modern,
munculnya gerakangerakan itu berasal dari dinamikanya sendiri, protes muncul atas berbagai
macam kesempatan individual, tidak ada satu kelompok atau pecahan yang dominan. Pola
aksi dan kegiatannya berdasarkan kesadaran diri yang bersifat otonami sebagai tujuan
finalnya.

Gerakan politik identitas pada dasarnya membangun kembali "narasi besar"' yang
prinsipnya mereka tolak dan membangun suatu teori yang mengendalikan faktor-faktor
biologis sebagai penyusun perbedaan-perbedaan mendasar sebagai realitas kehidupannya.
Dalam gerakan politik identitas ada suatu tendensi untuk membangun sistem apartheid
terbalik. Jadi ketika kekuasaan tidak dapat ditaklukkan dan pembagian kekuasaan tidak
tercapai sebagai tujuan gerakan, maka pemisahan dan pengecualian diri diambil sebagai jalan
keluar.

Politik identitas di Indonesia sangat perpengaruh terhadap dunia politik maupun


agama. Ketika identitas agama dipergunakan oleh keuntungan politik suatu partai tertentu,
hal itu akan menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat itu sendiri serta dapat
memberikan keuntungan atau kerugian bagi para pemilik kepentingan baik individu atau
suatu partai tertentu.

Aksi intoleransi yang cenderung meningkat saat berlangsungnya Pemilu maupun


Pilkada terjadi karena politik identitas yang membeda-bedakan keanggotaan masyarakat juga
cenderung menguat. Masyarakat akhirnya rentan menjadi sarana dalam perebutan kekuasaan
politik dalam kepentingan politik praktis.

Wacana politik identitas digunakan oleh sebagian elit politik untuk menggalang
kekuatan massa dan menjatuhkan lawan politik yang berbeda identitasnya. Isu ini disebarkan
melalui serangkaian propaganda yang dikemas melalui komunikasi politik nan piawai dan
menembus alam bawah sadar pendukungnya. Inilah yang menjadi ancaman nyata bagi
keberlangsungan demokrasi di Indonesia.Dalam konteks kehidupan berdemokrasi, politik
identitas akan membawa masalah bagi demokrasi setidaknya dilihat dari dua hal utama.

Pertama, demokrasi lahir dan tumbuh dari prinsip kesetaraan dan rasionalitas publik.
Politik identitas, di level ini berusaha menginterupsinya dengan menjadikan pilihan publik
berjangkar pada ikatan primordial seperti kesamaan etnisitas, kesukuan dan agama. Hal
tersebut tidak bermasalah sejauh kualitas, kredibilitas dan rekam jejak calon menjadi
pertimbangan lain. Namun, politik identitas akan bermasalah ketika ikatan emosional jauh
lebih dikedepankan dibanding alasan yang lebih rasional.
Kedua, politik identitas riskan untuk digiring menjadi praktik yang monolitik.
Pemaksaan kehendak sebagai perwujudan truth claim dikhawatirkan akan menambah
segresasi sosial di tengah masyarakat. Rajutan persatuan dan kesatuan bangsa pada titik ini
tentu akan akan mendapati tantangan yang amat serius.

Pasca Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu misalnya, peran para pemuka agama, tokoh
masyarakat, maupun tokoh politik sangat diperlukan untuk menanggulangi politik identitas
demi persatuan bangsa. Hal ini karena rekonsiliasi tidak hanya mempertemukan pihak yang
saling benci, namun rekonsiliasi adalah suatu tempat yang di dalamnya mengandung
kebenaran (truth), sifat welas asih manusia (mercy), keadilan (justice), maupun damai
(peace). (John Paul Lederach, 1999: 29).

Selain itu, rekonsiliasi juga selalu membutuhkan suatu cara pandang untuk dapat
melihat permasalahan utama yang ada, wacana yang berkembang, maupun usaha-usaha yang
telah ada, agar dapat menemukan suatu inovasi baru dalam upaya rekonsiliasi. Rekonsiliasi
merupakan tindakan yang berfokus pada cara untuk membangun kembali hubungan yang
telah rusak akibat konflik, sehingga dalam rekonsiliasi harus ada sikap saling memaafkan
baik dari pihak korban maupun pelaku penindasan. Seperti halnya yang terjadi pasca
kontestasi politik Pilkada DKI Jakarta 2017, salah satu tindakan rekonsiliasi yang dilakukan
oleh masyarakat muncul dalam kegiatan 1000 lilin serta nyanyian lagu kebangsaan di gedung
kantor Gubernur DKI Jakarta.

Gerakan ini merupakan salah satu contoh gerakan yang dilakukan oleh masyarakat
untuk merajut kembali semangat pluralisme yang sempat terkoyak dalam kontestasi pilkada
di DKI Jakarta. Namun demikian, tindakan tersebut tidak cukup bila tidak didukung oleh
adanya peran serta tokoh masyarakat maupun pemerintah serta DPR RI. Oleh sebab itu, perlu
adanya kesadaran masyarakat dan setiap eleman bangsa agar tidak terprovokasi dalam
benturan identitas, sehingga, masyarakat dapat kembali ke konsensus identitas Pancasila dan
mampu menerima setiap perbedaan yang ada.

Anda mungkin juga menyukai