Anda di halaman 1dari 8

Perspektif politik identitas dalam pemahaman

primordealisme

PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009

NAMA PENULIS : MUNAWAR KHALIL

: ARI ALMUFIT

KELOMPOK :1

PRODI : ILMU POLITIK

FISIP UIN AR-RANIRY BANDA ACEH


EMAIL : 210801003@student.ar-raniry.ac.id

EMAIL : 210801091@student.ar-raniry.ac.id
A. PENDAHULUAN

Primordial dapat berarti mula-mula, pokok, pertama. kesetiaan terhadap unsur-unsur


yang diperoleh dalam sosialisasi sejak dilahirkan. Primordialisme pengelompokan
manusia yang dilandasi dengan kesetiaan terhadap unsur-unsur sejak lahir berupa
unsur-unsur pokok dalam kehidupan manusia. Primordialisme dalam masyarakat
umumnya dilandasi faktor, seperti keyakman ideologi, adanya kepentingan pribadi atau
golongan, keturunan darah, dan kesamaan daerah. Manurut istilah primordialisme
berasal dari hahasa lattin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan
atau ikatan. Dengan demikian, kata primordial(isme) dapat berarti ikatan-ikatan utama
seseorang dalam kihidupun sosial, dengan hai-hal yang dibawanya sejak lahir seperti
suku bangsa, ras, klen. asal usul kedaerahan, dan agama.
primordialisme dalam masyarakat majemuk merupakan satu hal hampir pasti selalu
terjadi. Anda tentu sering mendengar atau melihat praktik-praktik primordialisme
dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam sebuah perusahaan yang dipimpin oleh
seorang dan suku bangsa tertentu menempatkan orang-orang yang bersuku bangsa sama
dengannya sebagai orang kepercayaannya.
Primordialisme dapat terjadi karena faktor-faktor berikut;
1) Adanya sesuatu yang dianggap istimewa oleh individu dalam suatu kelompok atau
perkumpulan sosial.
2) Adanya suatu sikap untuk mempertahankan keutuhan suatu kelompok atau kesatuan
sosial dari ancaman luar.
3) Adanya nilai-nilai yang berkaitan dengan sistem keyakinan, seperti nilai keagamaan
dan pandangan.
Primordialisme sebagai identitas suatu golongan atau kelompok sosial merupakan
faktor penting untuk memperkuat ikatan golongan atau kelompok yang bersangkutan,
terutama dalam menghadapi ancaman dari luar. Namun seiring dengan itu,
primordialisme juga dapat membangkitkan perasangka dan permusuhan terhadap
golongan atau kelompok sosial lain. Hal ini tentu merupakan potensi konflik yang dapat
menggangu integrasi sosial.
Dalam konteks Indonesia, menguatnya sentimen identitas primordial yang kemudian
memicu sentimen kedaerahan dan kesadaran politik baru di era demokrasi telah dimulai
bahkan tak lama setelah indonesia memasuki era reformasi. Dan format keetnisan,
sentimen primordial tercermin mulai dari upaya memasukan nilai-nilai primordial ke
dalam peraturan daerah, memisahkan wilayah administrasi pernerintahan, keinginan
mendapatkan otonomi khusus, sampai dengan munculnya gerakan sparatis.
Fenornena tersebut sejatinya menunjukan adanya sebuah tantangan internal bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Penelitian ini melihat beberapa faktor penyebab
yang menjadi penting untuk di fahami. Hal ini tidak saja menjadi sebuah pijakan awal
bagi pembangunan sebuah sistem kebangsaan dan pemerintahan dikemudian hari.
Faktor-faktor tersebut adalah:

Pertama, masih berlangsungnya interpretasi yang kurang tepat akan hakikat


keindonesiaan. Kesalahan memahami makna keindonesiaan yang bercirikan antara lain
pluralisma, demokrasi, dan karakter republikan yang seharusnya menjadi sendi
pemerintahan Indonesia, pada gilirannya tidak saja memicu kegagalan dalam
mempertahankan makna kebangaan sebagaimana yang disyaratkan oleh para pendiri
bangsa, namun pula dalam konteks yang lebih konkret menyebabkan salah urus
pemerintahan yang berlarut-larut.

Kedua, hadirnya sebuah negara yang memonopoli simbol-simbol kebangsaan atas


nama kesatuan geografis, modernitas, dan industrialisasi. Hal ini disatu sisi memang
merupakan salah satu konsekuensi dari prilaku negara dalam mempertahankan entitas
negara-bangsa, namun manakala cara penguatannya menafikan egalitarianisme dan
penghormatan terhadap beragam elemen etnis pendukung bangun kebangsaan, hasilnya
adalah justru kondisi menyesakkan bagi Sebagian kelompok primordial. Kondisi
Seperti problematika bagi eksistensi negara- bangsa itu sendiri. inilah yang justru
memicu

Ketiga, perubahan institusional pemerintahan. perubahan institusional, yang


berimplikasi pada berubahnya tatanan sosial, konstelasi kekuasaan dan pola distribusi
kesejahteraan, memicu kehawatiran sekaligus peluang terhadap kelompok-kelompok
primordial. Kehawatiran itu muncul terutama terkait dengan potensi berubahnya status
kedudukan kelompok primordial tertentu. Dalam konteks inilah kebangkitan sentimen
primordial hadir sebagai uapaya mempertahankan keduduakan politik, status sosial dan
juga ekonomi yang mulai terancam. Sementara dalam konteks terciptanya "peluang"
terutama terkait dengan relaksasi pemerintahan pusat. Dalam hal inilah perubahan
institusional memberikan peluang bagi bangkitnya sebuah kesadaran primordial
sebagai respon makin terbukanya kesempatan nilai-nilai primordial dalam
mempengaruhi kebijakan di daerah.
Keempat, ketimpangan keterwakilan politik dan budaya. Ketidak proporsionalan
politik dan budaya memainkan peran penting dalam menciptakan sebuah frustasi
politik. pengabaian keterwakilan budaya dan secara konkret kelambanan memicu
munculnya fragmentasi politik atas dasar primordial, yang kemudian biasanya disusul
dengan tumbulmya kesadaran primordial kelompok yang mengalami marginalisasi.

Meski faktor-faktor trsebut dalam batas-batas tertentu masih melekat kuat, namun
penelitian ini melihat adanya potensi bagi bangsa untuk mempertahankan itu dari dua
kecenderungan yang dapat cermati dari fenomena kebangkitan sentimen primordial
dibeberapa daerah. Kecenderungan pertama, adanya fakta bahwa ekpresi kebangkitan
primordial itu secara umum terjadi lebih sebagai upaya "pemulihan keterwakilan"
ketimbang upaya serius "melepaskan diri" dari NKRI. Kecenderungan Kedua, bahwa
ekspresi kebangkitan sentimen primordial itu secara umum masih disalurkan dengan
cara-cara legal-formal atau masih dalam batas aturan main bernegara, ketimbang
melalui jalur-jalur inkonstutional dan kekerasan. hal ini menunjukan bahwa sebagai
penggiat kebangkitan sentimen primordial itu masih mengakui institusi politik dan
eksistensi pemerintah yang sah.

B. PEMBAHASAN / INTISARI
Pergulatan mencari identitas etnis ini (dalam konteks masyarakat Indian sexing
disebutkan bersama sebagai 'identitas komunal') merupakan ciri yang paling menarik
dari provinsi-provinsi Indonesia sejak akhir masa Orde Baru. Dalam pembahasan dari
bagian bab ini etnisitas dilihat sebagai ideologi perjuangan politik. Namun, etnisitas
temyata lebih dari sekadar ideologi. Etnisitas memberi perasaan yang sangat mendalam.
Sekelumit sejarah mungkin bisa membantu menjelaskan hal ini sekaligus menunjukkan
konteks yang lebih luas.
Di bawah pemerintahan Orde Baru, etnisitas, agama, ras, dan kelas (dirangkum dalam
singkatan akronim SARA) secara politis merupakan wilayah terlarang, dan
menyiratkan bahwa segala macam wacana publik menyangkut topiktopik ini akan
diawasi oleh pemerintah. Meskipun demikian, masih saja ada wacanawacana tentang
budaya, adat, agama, dan kesukuan, dan semua ini merupakan penghalang yang
kompleks bagi pembentukan identitas. Isu-isu menyangkut agama dan adat benar-benar
terus dimonitor oleh aparat negara, sementara fenomena tentang kesenjangan ditutupi
dengan paksa. Selain itu, kebudayaan dilembagakan dan dijadikan folklore.
Jika peta perpolitikan Indonesia dikuasai oleh orang Jawa, maka dirasa wajarwajar saja,
karena penduduk Jawa-Madura jumlahnya 50% dari jumlah penduduk Indonesia.
Sedangkan pembentukan daerah pemilihan pemilu baik pemilu legislatif maupun
pemilu presiden berdasarkan jumlah penduduk.
Kita bisa lihat hal tersebut dalam Lampiran UU no.8 tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang baru diterbitkan bulan Mei 2012 lalu.
Dalam pemilu 2014 nanti, dari total 560 orang anggota DPR, Sumatera akan diwakili
oleh 120 orang, Jawa 306, Bali, NTB dan NTT, 32, Kalimantan 35, Sulawesi 47,
Maluku dan Papua 20.
Sudah sejak lama populasi di pulau Jawa dan Madura padat. Sehingga untuk
menghindari ketidakterwakilan wilayah atau provinsi lain yang populasinya kecil, sejak
awal diselenggarakannya pemilu di Indonesia, dimunculkan kebijakan bahwa setiap
provinsi di Indonesia harus mempunyai wakil di DPR. Meskipun populasinya kecil dan
tidak mencukupi bilangan pembagi untuk pembentukan sebuah daerah pemilihan.

Isu etnisitas dan agama dalam konteks kekuasaan atau kepresidenan kembali
mengemuka pada pemilihan presiden (selanjutnya disebut pilpres) 2009 ketika
pasangan Jusuf Kalla (selanjutnya disebut dengan JK) dan Wiranto menggunakan isu
tersebut sebagai advokasi politik. Isu etnisitas dilontarkan melalui slogan “Pasangan
Nusantara”. Pasangan Nusantara yang dimaksud adalah perpaduan antara kandidat
yang berasal dari luar Jawa, yaitu JK berasal dari Makasar dan Wiranto berasal dari
Jawa. Isu agama dilontarkan melalui slogan Istri Muslimah' dan jilbab Loro. Slogan ini
diusung karena istri pasangan JK-Wiranto mengenakan jilbab dalam kesehariannya.
JK-Wiranto juga memiliki isu politik mengenai personality trait yang dituangkan
dalam slogan "Lebih Cepat Lebih Baik". Namun, studi ini hanya membahas dua isu
politik, yaitu etnisitas dan agama.
Etnisitas dan agama digunakan JK-Wiranto sebagai isu politik karena kedua hal
tersebut secara ideologis bisa digunakan oleh elit politik dalam melakukan hegemoni
ideologinya. `Pasangan Nusantara' bisa dimaknai sebagai sebuah simbol dominasi.
Melalui terminologi tersebut, dibangun sebuah kesadaran palsu seolah-olah pasangan
tersebut merupakan representasi dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Namun,
`Pasangan Nusantara' bisa juga dibaca sebagai counter hegemony terhadap sebuah
kesadaran palsu yang selama ini berkembang bahwa hanya orang Jawa yang berhak
menjadi presiden. Melalui simbol-simbol agama: Istri Muslimah dan “Loro",4
terkandung makna bahwa pasangan JK-Wiranto merupakan representasi dari umat
Islam, agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indoneia. Kedua slogan tersebut
bisa juga dimaknai bahwa JK-Wiranto merupakan kandidat yang paling Islami. Dengan
demikian, agama dalam hal ini merupakan aparatus ideologis untuk melanggengkan
domininasi.
Advokasi politik melalui media baru berkembang seiring dengan perkembangan
teknologi media baru. Berkembangnya media baru diikuti oleh berkembangnya
komunitas baru yang disebut dengan netters, bloggesr, facebookers, yaitu komunitas
yang menggunakan dan mengembangkan Blog dan facebook sebagai forum untuk
mendiskusikan berbagai masalah termasuk politik.
Setelah reformasi 1998, politik dan demokrasi di Indonesia menunjukkan beberapa
perkembangan yang menunjukan bahwa terdapat beberapa tokoh yang berasal dart
etnik minoritas yang menang dalam pilkada. Zakina (2008) menuturkan bahwa
minoritas sehagai pemenang pilkada menarik untuk dikaji karena ada asumsi bahwa
dominasi politik di Indonesia dan negara lain biasanya dilakukan oleh kelompok
mayoritas.
Dalam pertimabangan sebuah partai politik dalam mengusung calon lebih cenderung
melihat sosok figur yang akan diusung, dan yang menjadi sebuah pertimbangan penting
adalah trekrekor figur itu sendiri, seberapa mahal harga jual di kalangan masyarakat,
dan seberapa unggul dibandingkan calon-calon lainnya, sehingga parpol dan tim sukses
bisa mengemas ituuntuk kemudian dtawarkan kepada masyarakat umum. Seperti
halnya SBY yang kala itu adalah mantan presiden periode sebelumnya,kemudian
megawati yang berdarah proklamator Indonesia Ir. Soekarno, didukung lagi dengan
Prabowo sorang jendral TNI yang sudah tidak diragukan.
Primordialisme adalah rasa, kedekatan, dan aspek tertentu yang diesebut emosional
atau dalam bahasa weber lebih dikenalmekanik, jadi aspek primordial, atau aspek
dukungan kedekatan seseorang diangap wajar. Seperti, orang sunda dekat dengan orang
sunda, orang jawa dekat dengan orang jawa, orang islam dekat dengan orang Islam itu
suatu adalah masalah yang wajar dalam hal antropologi karena manusia itu mempunyai
ikatan, atau juga marga-marga dan lainnya.
Primordialisme dalam masyarakat terbentuk melalui proses sejarah, dan juga melalui
sosiologis,sehingga itu menguat dalam asumsi masyarakat. Seperti halnya dengan
kepresidenan, entah faktor suku menjadi sesuatu bagian yang diyakini karena mungkin
dikarenakan suku tersebut dianggap pantas karena lebih tua, atau mungkin juga karena
suku tersebut yang lebih banyak masyarakatnya, sehinga diluar kelompok sukunya
dianggap suku-suku yang marginal, kecil atau teraleniasi.
Budaya prilaku primordialisme yang terbentuk di masyarakat merupakan kebiasaan
persepsi masyarakat tentang kepemimpinan. Pemicu tersebarnya isu SARA pada setiap
kali Pilpres hanya spontanitas masyarakat dari apa yang mereka rasakan. Menurut
Khamami Zada,selain dari jumlah penduduk, tidak ada kelompok yang memicu
terjadinya prilaku primordialisme, itu hanya sebatas persepsi masyarakat saja di
karenakan pada saat ini yang lebih rasional dan muncul tokoh-tokoh yang memiliki
pengalaman maka itulah yang dipilih, secara kebetulan itu dari Suku Jawa. Lihat saja
sosok yang muncul di Pilpres 2014, keduanya sama-sama berasal dari Suku Jawa.
Namun akhirnya Jokowi yang terpilih, bukan karena faktor kesukuannya namun karena
dianggap memiliki pengalaman kepemimpinan yang bagus dari semenjak menjadi
Gubernur Solo hingga di Jakarta meskipun tidak begitu lama.
Meski tidak ada kelompok atau perseorangan memicu menguatnya budaya prilaku
primordialisme namun nampaknya hal ini masih menguat pada setiap lapisan
masyarakat, Secara keseluruhan di Indonesiabisa hal-hal yang terkait dengan
primordialisme masih kuat baik dari primordialisme agama, primordialisme suku, dan
dari segi primordialisme lain-lainnya itu masih kuat karena 70% lebih peduduk
Indonesia itu di desa, dan ciri masyarakat desa itu selalu melihat sisi kedekatan
(primorsial), baik kedekatan suku dan lain sebagainya.
C. PENUTUP

Pengaruh primordialisme kesukuan pada Pilpres 2009 masih memiliki peran besar bagi
kadidat seorang calon presiden, dikarenakan penduduk Pulau Jawa yang lebih banyak
dan dominan dari jumlah penduduk pulau-pulau lainnya di Indonesia. Sehingga,
seorang yang berasal dari Suku Jawa dan maju mencalonkan diri dalam perebutan Kursi
Kepresidenan Indonesia berpotensi besar menjadi Pemenang di banding pesaing
lainnya yang berasal dari luar Jawa. Tidak jauh berbeda bahwa, jika berbicara
kesempurnaan seorang kandidat Khalifah itu Suku Quraisy, maka bagi seorang yang
ingin mencalonkan diri menjadi Presiden Indonesia, haruslah berlatar belakang Suku
Jawa dan Agama Islam.

D. DAFTAR PUSAKA

Basrowi, dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rineka cipta,2008.

Arboko, Cholid dan Ahmadi, Abu, Metode Penelitian, Jakarta: Bumi Pustaka, 1999.

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press, 2007.

Hitti, Philip K. History of the Arabs. terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet
Riyadi dari History of the Arabs., Jakarta: Serambi 2006.

Maryati, Kun dan Suryawati, Juju, Sosilologi imprint Erlangga: 2001.

Nordholt, Henk Schulte dan Klinken, Gerry van, Politik Lokal Di Indonesia, terj.
Bernard Hidayat, dari Local Politics In Post-Suharto Indonesia. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2007.

Pusat Penelitian Politik Year Book 2007, Democrazy Pilkada, UPI

Anda mungkin juga menyukai