Anda di halaman 1dari 6

TUGAS AGAMA HINDU

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Anggota Kelompok :
Ni Luh Putu Eka Safitri (1913511036)

Ni Putu Dian Praftikayanti (1913511038)

Putu Echa Priyaning Aryunisha (1913511041)

Ni Luh Widya Verayanti (1913511084)

Ni Putu Pradnyana Dewi (1913521054)

FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2019
BAB VIII

BAGAIMANA MEMBANGUN KERUKUNAN SESUAI AJARAN HINDU

Menyimak berbagai kerusuhan yang terjadi selama ini kita melihat betapa beragam
bentuk perwujudannya dan betapa kompleks faktor penyebabnya. Kerusuhan-kerusuhan yang
terjadi di berbagai tempat itu terwujud dalam berbagai bentuk kekerasan, penjarahan, dan
perusakan, tidak hanya terhadap milik pribadi akan tetapi juga milik pemerintah atau negara
bahkan simbol-simbol keagamaan. Kita ragu menyatakan bahwa kerusuhan itu merupakan
konflik agama (semata) namun sulit untuk menafikannya sama sekali sebab perusakan
sejumlah rumah-rumah ibadah yang dianggap sakral dan merupakan simbol kehadiran sebuah
agama dan komunitas para pemeluknya terjadi.

Kemungkinan faktor-faktor lain berperan sebagai sumber penyebabnya juga sukar


dibantah. Misalnya masalah kaum pendatang dan penduduk asli tampak kentara dalam kasus
Sambas, Kupang, Ambon, Poso di Indonesia, beberapa negara di Asia dan di belahan dunia
ini. Kalau dalam semua kasus ini ada bisa karena perbedaan agama, kasus yang terjadi di
beberapa tempat justru terjadi antara dua suku yang seagama. Mungkin saja kasus-kasus ini
sedikit banyak mengandung nuansa kesenjangan ekonomi karena kaum pendatang biasanya
bekerja lebih giat dan lebih berhasil sehingga menguasai sektor perekonomian lokal. Lalu ada
juga yang berkaitan dengan konflik antara rakyat dan penguasa yang mengisyaratkan gejala
ketidakpercayaan terhadap aparat keamanan dan pemerintahan.

Perusakan markas-markas polisi dan kantor-kantor Pemerintah dari Tingkat Desa


hingga Kabupaten/Kota (eksekutif) dan juga Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif)
memperlihatkan kecenderungan itu. Kasus-kasus kerusuhan di atas memperlihatkan bahwa
salah satu tantangan serius yang dihadapi dunia saat ini adalah fenomena munculnya budaya
kekerasan.

A. Menelusuri urgensi kerukunan dalam membangun masyarakat yang


damai.

Beberapa waktu terakhir ini kerukunan hidup di negara kita kerap menjadi
perhatian banyak pihak. Semua kejadian ini tentu mengakibatkan kerugian bagi
berbagai aspek kehidupan, terutama bagi stabilitas bangsa dan negara, serta
mengganggu kelancaran pembangunan nasional menuju ”Indonesia Baru“. Agama
yang sejatinya menjadi sentrum integrator kehidupan untuk menghindari manusia dari
situasi perpecahan, ternyata telah menjadi pemicu disintegrasi sosial (bangsa).
Dari beberapa peristiwa atau kasus yang terjadi, dapat diidentifikasi masalah-
masalah yang menjadi penyebabnya, yaitu:
1. Eksklusivisme : suatu sikap kelompok yang hanya memperhatikan kelompoknya
saja dan tidak menganggap adanya kekuatan dari luar
kelompoknya.
2. Puritanisasi agama : usaha untuk memurnikan agama dari pengaruh unsur luar
yang bukan asaliah agamanya. Agama dianggap tidak pantas
bila dihubungkan dengan sifat-sifat kemanusiaan. Kemutlakan
atas kebenaran ajaran agama memang merupakan esensi
”sradha” (iman) namun dalam wujud ”yadnya” dan ”karma”
maka faktor sosiokultural menjadi amat dominan. sering kali
terjadi upaya pemurnian ajaran agama dengan menghilangkan
pengaruh kebudayaan setempat yang sebenarnya dapat menjadi
faktor integratif para penganut agama yang berbeda dalam
suasana kebhinekaan yang tunggal, dengan semangat ”obligatio
in salidum” (semangat kegotongroyongan yang mengikat)
seperti misalnya ”pela” di Maluku, ”ngayah” di Bali, dan
sebagainya.

3. Dilema solidaritas : Masalah solidaritas kelompok ataupun pemeluk suatu


agama terhadap sesama pemeluk agama adalah merupakan
suatu loyalitas yang wajar, loyalitas kepada suatu golongan
sering kali disalahgunakan untuk kepentingan solidaritas yang
bersifat emosional
4. Dilema kepatuhan : Kepatuhan adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan
oleh umat beragama, walaupun hal itu (mungkin) bertentangan
dengan norma-norma agama yang diyakininya. Kepatuhan ini
berhubungan dengan seorang pemimpin. Bila seorang
pemimpin agama salah dalam menafsirkan gejala sosial
keagamaan yang ada, maka akibatnya akan fatal terutama yang
menyangkut masalah hubungan antara umat beragama.
5. Analisis satu sisi : Problematik sentral yang dapat dikemukakan ialah masalah
”analisis satu sisi” di mana orang atau kelompok hanya ingin
melihat apa yang ia ingin lihat dan buta terhadap sesuatu yang
ia tidak ingin lihat. Analisis agama misalnya menulis atau
mengkritik agama lain dengan menggunakan perbendaharaan
yang tidak populer lagi (tidak objektif), mengutip kalimat-
kalimat yang ”ingin dilihat saja” untuk tujuan tertentu, sehingga
dapat menimbulkan salah pengertian yang mengelirukan.
6. Dilema prasangka : Sering kali terjadi kasus SARA yang sebenarnya berawal
dari munculnya prasangka, kemudian merebak menjadi isu,
seperti Islamisasi, Kristenisasi, Balinisasi, Jawanisasi dan
sebagainya.
7. Dilema kepentingan politik dan kekuasaan : Apalagi bila politik dan kekuasaan
yang mengacu pada norma hukum dan norma moral menuju
cita-cita luhur bangsa terkontaminasi oleh penonjolan
kepentingan sesaat, tentu dapat mengakibatkan disharmoni,
kerusuhan, bahkan (mungkin) disintegrasi. Demikianlah
beberapa masalah yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab
timbulnya kesenjangan/disharmoni ataupun konflik antar umat
beragama sebagai warga bangsa yang harus dicari jalan
keluarnya.

B. Menanya alasan mengapa diperlukan membangun kerukunan

Keberagaman kehidupan beragama merupakan salah satu ciri khas kehidupan


masyarakat di Indonesia yang sudah ada sejak dulu kala. Sejarah mencatat masyarakat
kerajaan Majapahit pada waktu itu memeluk agama Budha dan Hindu dapat hidup
berdampingan. Konon Islam pun juga sudah dianut oleh sebagian masyarakat pada
waktu itu. Keharmonisan kehidupan yang ditunjukkan pada waktu itulah yang
kemudian ditulis oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma sebagai Bhinnêka tunggal
ika tan hana dharma mangrwa. Kata Bhinnêka Tunggal Ika itulah yang oleh para
pendiri negara ini dijadikan sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu cara paling ampuh untuk melanggengkan kerukunan ialah dengan
menanamkan arti pentingnya kerukunan umat beragama bahkan ketika Anda sudah
masuk perguruan tinggi. Masyarakat bukanlah sebuah entitas organis yang statis,
perubahan yang ia alami akan memiliki corak yang sangat bervariasi sehingga
memperkaya dan menambah kompleksitas perbedaan. Tantangan yang dihadapi oleh
manusia dan masyarakat adalah bukan menghilangkan perbedaan dan pertentangan
sebagai realitas sosial dan kultural melainkan bagaimana mengelolanya secara kreatif
sehingga terwujud dalam “cooperation” dan “competition”, kerja sama dan
persaingan.
Pluralitas horizontal dapat dilihat dari perbedaan etnis atau ras dan agama,
sedangkan pluralitas vertikal dalam perbedaan peran politik antara penguasa dan
rakyat, dalam kemampuan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin, dan dalam
tingkat pendidikan antara kaum terpelajar dan masyarakat awam. Akibat lebih jauh
adalah terjadinya pluralitas vertikal yang terwujud dalam tingkatan strata politik,
ekonomi maupun keterpelajaran. Dari perspektif ini kita bersinggungan dengan
konsep pluralisme. Terdapat suatu kelompok masyarakat yang hanya mengutamakan
kelompoknya sendiri saja dan tidak menganggap adanya potensi dari luar
kelompoknya. Mereka tidak mau menerima pluralisme sebagai sebuah kenyataan
dalam hidup ini. Pluralisme tentu saja lahir dari kesadaran dan kesediaan menerima
perbedaan untuk kemudian mengolahnya, sebagai unsur kreatif masyarakat kita
sebagai sebuah kesatuan yang mengandung dan merangkum kemajemukan.

C. Menggali sumber historis, sosiologis, politik, dan filosofis dalam


membangun kerukunan.

Sejak zaman dahulu, di masa gong gentanya pura kencana Majapahit bergema,
seorang cendikiawan bergelar Mpu Tantular telah menyadari kenyataan kebhinekaan
itu. Beliau menyuratkan pemikirannya di dalam pustaka Sutasoma yang berbunyi
”bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” yang artinya: ”walaupun itu berbeda
tetapi pada hakikatnya satu, tak ada kebenaran yang ganda“. Kebenaran tidak pernah
ganda, karena itu harus disadari, digali dari nilai-nilai budaya luhur yang kita miliki,
terutama nilai-nilai luhur agama yang disucikan. Menyadari hal itu maka jiwa dan
semangat kemanunggalan harus tetap terpatri dalam hati sanubari setiap manusia
Indonesia sebagai warga bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada
tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno Hatta. Dengan tetap berpegang teguh pada
sesanti “Bhineka Tunggal Ika”, maka dapat dikembangkan pandangan hidup rukun
dan damai serta tentang peningkatan solidaritas beragama, solidaritas sosial,
multikulturalisasi nilai-nilai luhur agama, dalam proses pembangunan nasional,
sehingga dengan demikian tercipta manusia-manusia yang cinta damai dan mau
bekerjasama dalam menyelesaikan problem yang dihadapi bangsa Indonesia. Pada
hakikatnya umat Hindu adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tidak dapat dipisahkan
antara yang satu dengan yang lainnya karena merupakan satu kesatuan yang utuh.
Tidak dapat memisahkan dirinya dari sebuah perbedaan, karena ia berasal dari Tuhan
dan kembali ke Tuhan jua. Oleh karena itu dalam rangka sosialisasi dan aplikasi nilai-
nilai luhur agama dalam proses pembangunan nasional, maka umat Hindu dapat
mengamalkan ajarannya secara benar dengan mengupayakan revitalisasi terhadap
mantra-mantra suci Veda, sehingga mampu memberikan kontribusinya terhadap
kelancaran pelaksanaan pembangunan nasional menuju Masyarakat yang aman
tentram damai dan selamat sejahtera.

D. Membangun argumen tentang dinamika dan tantangan dalam membangun


kerukunan.
Kita harus menyadari bahwa agama selalu hidup di tengah kehidupan umat
manusia sepanjang masa. Tidak seperti yang diyakini Nietzsche dan Feurbach, Tuhan
(agama) telah mati. Secara sosiologis agama tetap memiliki fungsi yang sangat
berpengaruh bagi kehidupan umat manusia. Saat ini agama tampaknya bukan lagi alat
kedamaian umat, tetapi sudah menjadi ancaman menakutkan. Hal ini dapat dilihat dari
hubungan positif antara praktik beragama dengan aksi kekerasan yang terjadi akhir-
akhir ini. Sebab, kekerasan yang terjadi belakangan ini menunjukkan adanya faktor
agama sebagai pendorong kekerasan yang amat efektif, terutama praktik dan
pemahaman beragama yang mengarah sikap fanatisme dan militansi. Selain itu,
radikalisme agama juga terus mengancam eksistensi perdamaian universal. Dengan
demikian, agama memiliki dua sisi paradoksal: berfungsi sebagai kenyamanan
spiritual untuk kedamaian, sekaligus menjadi media subur untuk menciptakan
peperangan.

E. Mendeskripsikan esensi dan urgensi membangun kerukunan

Svami Chinmayananda dalam bukunya “The Art Of Living” menyatakan


bahwa: “sekelompok manusia yang tinggal di suatu bagian geografis tertentu tidak
dapat disebut bangsa, tapi hanya merupakan sekelompok manusia. Oleh sebab itu
konsep Tat Tvam Asi, Dharma Agama, Dharma Negara yang dapat diwujudkan dalam
pengamalan ajaran Tri Hita Karana adalah merupakan konsep pemikiran Hindu yang
menjadi dasar umat berpola perilaku dan berinteraksi dengan sesama mahkluk
termasuk dengan Tuhan. Konsep pemikiran Hindu tentang hidup rukun dan
damai ini merupakan refleksi dari ajaran Kitab suci Veda. Apabila konsep
tersebut dapat dilaksanakan secara utuh maka hasil akhir yang dicapai adalah
”Anandam dan Santih”, kerukunan, kebahagiaan dan kedamaian. Salah satu faktor
penyebab terjadinya kerukunan tersebut adalah karena mereka lebih memedomani
‘agama’ kepercayaannya tersebut ketimbang agama-agama yang diakui secara
konstitusi. Namun, jika ada orang yang berharap bahwa kerukunan ini akan tercapai
melalui kemenangan dari suatu ajaran agama terhadap penghancuran agama lainnya,
maka kepadanya saya akan katakan: "Saudara harapan anda itu hanyalah impian yang
mustahil" (Svami Mumukshananda, 1992: 24).

F. Rangkuman tentang hakikat dan pentingnya membangun kerukunan

Melihat permasalahan dan ketidakharmonisan yang terjadi di Indonesia


belakangan ini, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu:

a. Filsafat Tat Tvam Asi, Dharma Agama, Dharma Negara adalah dasar pijakan atau
pedoman hidup bagi umat Hindu dalam menjalankan kewajibannya.

b. Berpedoman pada ajaran Tat Tvam Asi Umat Hindu

c. Pengamalan Dharma Agama tidak disarankan menyimpang dari petunjuk Veda

d. Ajaran Tat Tvam Asi, Dharma Agama, dan Dharma Negara

Anda mungkin juga menyukai