Anda di halaman 1dari 20

PLURALISME MASYARAKAT

Disusun oleh kelompok 2 :

ATIKAH (1810103010066)

ELSA PUTRI ZAI (1810103010062)

RISA SANIRA (1810103010010)

TAMIZI (18101030100)

YUSRIL YUDI SAFAAT (1810103010056)

PRODI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

2019
Daftar isi

Cover

Daftar isi

Bab I

a. Latar belakang
b. Permasalahan

Bab II

Bab III

Kesimpulan

Daftar pustaka
BAB 1

A. LATAR BELAKANG

Secara etimologi Pluralisme merupakan kata dari bahasa Inggris yang terdiri
dari dua kata, yakni Plural yang berarti ragam dan Isme yang berarti faham. Jadi
pluralisme bisa diartikan sebagai berbagai faham atau bermacam-macam faham.
Secara terminology, pluralisme merupakan suatu kerangka interaksi yang mana
setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi
tanpa konflik atau asimilasi.

Pluralisme juga diartikan sebagai suatu paham atau pandangan hidup yang
mengakui dan menerima adanya “kemajemukan” dan keanekaragaman” dalam
suatu kelompok masyarakat. Kemajemukan yang dimaksud misalnya dilihat dari
segi agama, suku, ras, dan adat-istiadat, dll. Segi-segi inilah yang biasanya menjadi
dasar pembentukacn aneka macam kelompok lebih kecil, terbatas dan khas, serta
yang mencirikhaskan dan membedakan kelompok yang satu dengan kelompok
yang lain, dalam suatu kelompok masyarakat yang majemuk dan yang lebih besar
atau yang lebih luas.

Jadi pluralisme berbeda dengan sinkritisme (penggabungan) dan asimilasi


atau akulturasi (penyingkiran). Juga pluralisme tidak persis sama dengan
inkultirasi, kendati didalam pluralisme atau kemajemukan bisa terjadi inkulturasi
dimana keaslian tetap diperthankan.

Definisi masyarakat menurut pakar sosiologi (Setiadi, 2013: 36):

1. Selo Soemardjan mengartikan masyarakat sebagai orang-orang yang hidup


bersama dan menghasilkan kebudayaan
2. Max Weber mengartikan masyarakat sebagai struktur atau aksi yang pada
pokoknya ditentukan oleh harapan dan nilainilai yang dominan pada
warganya

Emile Durkheim mendefinisikan masyarakat sebagai kenyataan objektif


individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya.Kehidupan sebuah
masyarakat merupakan sebuah sistem sosial di mana bagian-bagian yang ada di
dalamnya saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan menjadikan
bagian-bagian tersebut menjadi suatu kesatuan yang terpadu. Manusia akan
bertemu dengan manusia lainnya dalam sebuah masyarakat dengan peran yang
berbeda-beda, sebagai contoh ketika seseorang melakukan perjalanan wisata, pasti
kita akan bertemu dengan sebuah sistem wisata antara lain biro wisata, pengelola
wisata, pendamping perjalanan wisata, rumah makan, penginapan dan lain-lain.
(Bambang Tejokusumo, Dinamika Masyarakat Sebagai Sumber Belajar Ilmu
Pengetahuan Sosial)

Masyarakat pluralisme adalah suatu masyarakat yang terdiri atas berbagai


unsur dengan sebkulturnya masing-masing lalu menjalin kesepakatan menampilkan
diri sebagai suatu komunitas yang utuh. Berbeda dengan masyarakat heterogen
yang unsur-unsurnya tidak memiliki komitmen ideologis yang kuat. Masyarakat
pluralisme tidak hanya sebatas mengakui dan menerima kenyataan kemajemukan
masyarakat, tetapi pluralisme harus dipahami sebagai suatu ikatan dan pertalian
sejati sebagaimana disimbolkan dalam Bhineka Tunggal Ika.

B. PERMASALAHAN

Dalam pluralisme, permasalahan mengenai keragaman agama, budaya,


adat, bahasa telah ada sejak awal sejarah Indonesia. Sesuai dengan dinamika sosial
politik dari satu priode sejarah ke priode lain, masalah-masalah terkait keragaman
itu mengambil bentuk yang berbeda-beda. Gejala ini tidak bisa dilepaskan dari
terbukanya ruang kebebasan setelah reformasi 1998.

Secara umum hubungan anatara agama diindonesia berjalan baik hampir


diselururuh wilayah Indonesia, meskipun tidak bisa dipungkiri masih ada beberapa
masalah, khususnya setelah reformasi 1998 ada sumber-sumber ketegangan dalam
hubungan antar komunikasi agama yang tak jarang berubah menjadi kekerasan.
Kekerasan komunal ini melibatkan komunitas-komunitas beda agama dalam skala
besar, seperti beberapa kasus yang terjadi disekitar 1998.
Dua jenis kasus utama yang sering muncul adalah persoalan rumah ibadah
dan wacana penyesatan, baik terhadap kelompok dalam suatu agama ataupun
kelompok-kelompok keagamaan baru. Ketegangan-ketegangan seperti itu dalam
banyak kasus mengarah kepada penggunaan kekerasan oleh kelompok-kelompok
masyarakat tertentu. Ketegangan tersebut bukan sekedar ketegangan antar
kelompok agama tertentu, namun negara memiliki andil yang cukup besar. Salah
satu andil pemerintah adalah dalam penegakan hukum yang tak tegas atau terlambat
selain itu, beberapa kebijakan publik juga tak selalu membantu.

Terlepas dari reformasi hukum, kebijakan negara terhadap umat beragama


masih dilandasi oleh paradigma lama. Kemajuan yang bisa disebut adalah
dimasukkannya pasal-pasal HAM dalam UUD hasil amandemen, yang
memperteegas jaminan kebebasan beragama. Namun masih ada pembedaan
terhadap agama non resmi, yaitu diluar enam agama yang dalam manifestasi
terakhir, muncul dalam sensus 2010. UU No 23 tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan memperluas pengakuan agama, tapi belum sepenuhnya menghapus
unsur diskrimatif.

Dalam beberapa perumusan kebijakan publik lain, yang tak selalu


menyangkut isu-isu agama, ada tarik menarik kelompok-kelompok agama dengan
negara. Perumusan peraturan daerah belakangan ini bersamaan dengan
desentralisasi telah menjadi ajang lain yang melibatkan norma agama. Karena
desentralisasi bentuk keragaman ini menjadi terartikulasikan. Perkembangan ini
maupun perkembangan-perkembangan lain diatas, tak bisa dipahami tanpa
memahami konteks terdekat perubahan Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir
ini, mauun konteks yang lebih jauh upaya mengatasi keragaman yang telah ada
sejak masa awal sejarah Indonesia.
BAB 2

A. PLURALISME

Keberagaman menjadi suatu isu yang sering diperbincangkan pada kurun


waktu sekarang. Isu ini merebak karena secara faktual sering kali menjadi benturan
didalam masyarakat yang beragam atau majemuk daripada masyarakat yang
homogen baik dilingkungan internasional maupun lokal. Benturan di masyarakat
yang majemuk terjadi tidak tunggal penyebabnya, akan tetapi melibatkan banyak
variabel lain seperti kesenjangan ekonomi, sosial maupun ketidaksetaraan politik.

Salah satu penyebab terjadinya pertentangan, benturan bahkan kekerasan


pada akhir-akhir ini adalah karena adanya sekelompok orang yang mengklaim
memiliki kebenaran mutlak dari ilahi dan oleh karenanya menyakini hak untuk
meniadakan hak hidup orang lain yang berbeda keyakinan.

Dalam masyarakat yang beragam akan selalu berhadapan dua pihak . Yaitu
mereka yang memiliki paradigma pluralisme atau yang mengakui keberagaman
dalam hidup bersama berhadapan dengan paradigma yang meyakini bahwa
keyakinannya yang paling benar dan berdasarkan hal itu menegasikan hak hidup
pihak yang berkeyakinan lain. Pihak yang kedua biasa dijuluki sebagai golongan
agama radikal atau fundamentalis agama. Sebagai suatu gerakan, radikalisme
mengenai berbagai agama di dunia seperti Islam, Judaisme, Kristen, Hindu, Sikh
bahkan juga Konghucu. Gerakan radikal tidak muncul begitu saja sebagai suatu
reaksi spontan terhadap gerakan modernisasi maupun globalisasi yang dinilai telah
terlalu merasuk jauh ke hakekat kehidupan masyarakat. Gerakan modernisasi dan
globalisasi ini dianggap merusak sendi-sendi kehidupan nyaman sebelumnya.
Kemajuan teknologi dan pertumbuhan yang berbasiskan pada perekonomian liberal
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan drastis dalam keseimbangan baik
dalam kekuasaan, ekonomi maupun budaya. Secara perlahan otoritas agama yang
sebelumnya mendominasi kehidupan masyarakat tergeser dan hanya menjadi
pinggiran yang tidak menentukan lagi.
Pada dasarnya globalisasi mengubah semua yang ada pada dunia, hal itu
menyangkut terhadap pemikiran politik, ekonomi, budaya, agama etnis, termasuk
dimensi keamanan dan strategi. Cara pandang terhadap pluralisme merupakan suatu
yang berperan sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tak jarang cara
pandang pluralisme menjadi sorotan utama dan menimbulkan sikap tertentu,
misalnya keterbukaan, ketertutupan, kebencian, dan lain-lain. Agama adalah salah
satu aspek yang dinilai dan dilihat sebagai sesuatu yang paling sering dibicarakan.
Hal ini disebabkan oleh nilai-nilai mutlak yang terkandung didalam ajaran agama
tersebut dan juga karena agama sangat mempengaruhi cara berelasi orang-orang
beragama. Dengan munculnya mengenai pluralisme sendiri menjadi sorotan
banyak orag yang menimbulkan pro kontra dikalangan cendikiawan, pemikir dan
tokoh agama. Secara khusus dalam hal agama, berbagai masyarakat yang menganut
agama atau kepercayaan berbeda-beda, dengan gambaran seperti itu, dapat
dikatakan bahwa pluralisme agama bukanlah kenyataan yang mengaharuskan orang
untuk saling mejatuhkan, saling merendahkan, atau mempercampuradukkan antara
agama yang satu dengan yang lainnya, tetapi justru mempertahankannya pada
posisi saling menghormati dan bekerja sama. (https://student.cnnindonesia.com)

Sejatinya pluralisme bukanlah paham yang tiba-tiba muncul dari ruang


hampa, akan tetapi disitu terdapat penghubung yang kokoh antara diskursus
sekularisme, liberalisme yang kemudian lahirlah pluralisme. Disis lain pluralisme
bisa dikatakan sebagai etika global yang didasarkan pada penderitaan manusia
akibat adanya kelesuan moral. Sehingga dengan pluralisme tersebut tercapai
kesejahteraan manusia dan lingkunganya.

a. Pro Pluralisme

Bagi yang pro pluralisme agama, keberagaman agama ini dianggap sebagai hal
yang positif. Ini disebabkan karena keberagaman di Indonesia ini bisa menjadikan
Indonesia sebagai contoh yang baik bagaimana kehidupan kerukunan antar agama,
dan keberagaman agama di Indonesia memang berasal dari masa lalu yang tidak
bisa diubah. Selain itu bagi kelompok pro pluralisme ini mereka juga
mengutamakan kesatuan dari NKRI.
b. Kontra Pluralisme

Bagi kelompok kontra pluralisme, pluralisme itu sendiri dianggap bisa mengancam
kemurnian ajaran suatu agama. Ini disebabkan karena pada dasarnya setiap agama
memiliki ajaran masing-masing. Dan ketakutan para kelompok kontra pluralisme
ini adalah bahwa nantinya ajaran setiap agama akan saling bercampur baur dengan
ajaran agama lain. Selain tu jika dilihat dari praktek di lapangan, sangat jelas bahwa
pengaplikasian toleransi masih belum dapat dilaksanakan dengan baik. Kerukunan
antar umat beragama bisa dibilang masih jauh dari yang diharapkan. Sebagai contoh
adalah ketakutan kristenisasi di daerah Islam dan islamisasi di daerah Kristen
membuat setiap penganut agama akan sedikit menutup diri dari penganut agama.

Macam-macam pluralisme

Di Indonesia terdiri dari banyak sukum agama, politik dan budaya, maka di
dalamnya juga terdapat pluralism antara lain:

1. Pluralisme agama bisa diartikan sebagai upaya saling mengenal antar


agamayang satu dengan agama yang lainnya. #isitu kemudian terjadi
perluasan wawasandengan tidak bermaksud mendiskreditkan. Ada
penghargaan terhadap perbedaan, bukan mencemooh perbedaan tersebut.
Bahkan pada kondisi tertentu menempatkan perbedaan tersebut sebagai
nilai kebenaran bentuk lain daripada apa yang dinyatakan dalam agama.
Pluralisme agama di Indonesia bisa juga menjadi masalah ketika rakyat
Indonesia tidak mampu memaknai perbedaan dengan baik dan bijak.
seringkali perbedaan agama justru menjadi sumber dari masalah. seperti
peristiwa perusakan gereja di Temanggung, Jawa Tengah. untuk mencegah
kejadian yang sama terulang kembali, masing-masing warga negara harus
mampu memahami dan bertoleransidalam perbedaan agama yang ada.
2. Pluralisme politik Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat pluralisme politik
di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya partai politik yang
terbentuk dan mengikuti pemilu. Anggota partai politik pun berasal dari
berbagai macam latar belakang yang berbeda. Dengan latar belakang yang
berbeda, kemudian akan memunculkan perbedaan pendapat ataupun
pandangan dalam melihat suatu permasalahan. Namun, karena kurangnya
pemahaman tiap indiviidu mengenai makna pluralisme, kemudian muncul
sikap antipluralisme. Sikap antipluralisme ini muncul karena kurangnya
pemahaman mengenai pancasila. Selain itu rasa kebangsaan terhadap
Indonesia juga semakin menurun. Rasa memiliki dan menjadikan pancasila
sebagai pandangan hidup semakin berkurang.\
3. Pluralisme Sosial-Budaya. Di Indonesia terdapat berbagai macam suku
bangsa dan budaya. Pluralitas tidak bisa dihindarkan apalagi ditolak
meskipun manusia tertentu cenderung menolaknya karena pluralitas
dianggap ancaman terhadap eksistensinya atau eksistensi komunitasnya.
Pemahaman pluralisme budaya diperlukan sejalan dengan
dinamikamasyarakat di era otonomi daerah. Di lain pihak, pluralisme
budaya cenderung dianggap sebagai kambing hitam, mengingat belum
bagusnya implementasi otonomidaerah, maraknya anarkisme, dan konflik
sosial. Pemerintah tentu perlu memperbaiki tatanan otonomi daerah agar
pluralisme dapat dilihat secara lebih baik.

B. PLURALISME DAN MASYARAKAT

Maraknya konflik-konflik horizontal bernuansa kultural di Indonesia pasca


orde baru merupakan sintom atau analisis dari suatu masyarakat pasca politik.
Konflik-konflik antar kelompok, baik dalam afiliansi baik dalam etnis maupun
agama yang menorehkan catatan kelam dalam sejarah reformasi di Indonesia,
menandai kelahiran masyarakat pasca politik itu. Disini, politik didepak keluar dari
gelanggang ekonomi dengan memunculkan sosok lain yang disebut kebudayaan.
Konflik-konflik horizontal tidak akan disebut sebagai konflik yang disebabkan
krisis dalam politik, tetapi sebagai konflik kultural persoalan identitas semata.
Narasi tentang toleransi pluralisme, multikulturalisme banyak diwartakan sebagai
alternatif dalam pengelola keragaman.
Perbedaan antar kelompok akibat disparitas sosial ekonomi menjadi
terabaikan karena semua perbedaan itu dilihat dalam kacamata persoalan
kebudayaan. Krisis yang muncul akibat ketidakadilan sosial ekonomi antar
kelompok dalam masyarakat, diredam untuk tidak mengusik politik tetapi dengan
menyebarkan ide toleransi, hargailah perbedaan jika ingin disebut sebagai
masyarakat yang beradab. Kajian mengenai toleransi antar kelompok semakin
memperoleh perhatian penting dalam ilmu-ilmu sosial. Teori identitas sebagai
bagian dari teori besar kebudayaan terus berkembang untuk memperoleh penjelasan
yang lebih baik mengapa dan bagaimana konflik etnis dan agama sering terjadi.

C. KONSEP MULTIKULTURALISME DAN PLURALISME

Pluralisme merupakan salah satu ciri dari multikulturalisme. Dua ciri


lainnya ialah adanya cita-cita mengembangkan rasa kebangsaan yang sama dan
kebanggaan untuk terus mempertahankan kebhinekaan itu. Secara konstitusional
Indonesia bercita-cita mewujudkan masyarakat multikultural. Faktanya masih
banyak tantangan yang harus dihadapi baik terkain soal-soal kebangsaan mauppun
keagamaan.

Pertama, ialah adanya para pengambil kebijakan publik yang adil yang
mampu mengantisipasi dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh kebijakan
publik yang akan diambilnya. Kedua, ialah adanya pemimpin agama yang
berwawasan kebangsaan yang luas dan lebih mengedepankan agama sebagai nilai
daripada agama institusional. Ketiga, ialah adanya masyarakat yang berpendidikan
dan rasional dalam menyikapi keragaman keagamaan dan perubahan sosial.

Multikulturalisme pada akhirnya sebuah konsep akhir untukmembangun


kekuatan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai latarbelakang etnik, agama, ras,
budaya dan bahasa, dengan menghargai dan menghormati hak-hak sipil mereka,
termasuk hak-hak kelompok minoritas. Sikap apresiatif tersebut akan dapat
meningkatkanpartisipasi mereka dalam membesarkan sebuah bangsa, karena
mereka akan menjadi besar dengan kebesaran bangsanya, dan mereka akan bangga
dengan kebesaran bangsanya itu.
Sedangkan multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan
akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas.
Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana setiap pulau
tersebut dihuni olehsekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari
masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu
sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat
banyak dan beraneka ragam.

D. PLURALISME KEWARGAAN

Penggunaan istilah kewargaan diajukan, alasan pertama, sebagai pembeda


dari wacana pluralisme teologis, sekaligus menunjukkan bahwa pemecahan
masalah terkait keragaman agama kini menuntut dikembangkannya pendekatan
yang lebih langsung bergulat dengan masalah-masalah sosial-politik itu. Wilayah
nonteologis itu di sini diidentifikasi sebagai wilayah kewargaan, yaitu arena ketika
warga negara, sebagai warga negara, baik secara sendiri-sendiri atau dalam suatu
asosiasi, bertindak (menyampaikan pendapat, melakukan sesuatu, mendukung,
menentang.

Gagasan mengenai pluralisme kewargaan memusatkan perhatian pada


bagaimana masyarakat, yang terdiri dari kelompokkelompok identitas yang
berbeda dapat hidup bersama, khususnya dalam ikatan konteks suatu negara-bangsa
yang mempersatukan kelompok-kelompok berbeda itu. Wilayah isu ini,
sebagaimana ditegaskan dengan kuat oleh Marty, tak lain dan tak bukan adalah
wilayah politik. Isunya bukan sikap teologis seseorang, tetapi apa yang disebutnya
sistem tata kelola pluralis (pluralist polity). Titik berangkatnya adalah pluralisme
struktural minimal bahwa masyarakat terdiri dari unsur-unsur yang bersaing satu
dengan lainnya, seperti agama, sukubangsa, dan pemerintahan, dan dari sana
kemudian bergerak untuk menemukan aturan main bersama.

Diana Eck membedakan wilayah kewargaan (civic) dengan teologis secara


cukup tegas, meskipun belum cukup mendalam, ketika berbicara mengenai
pluralisme agama baru di Amerika Serikat. Eck, yang memimpin Pluralism Project
di Harvard University dan juga salah satu figur acuan penting yang kerap muncul
dalam wacana Indonesia, dalam salah beberapa artikelnya (2008a, 2008b)
membedakan arena wacana pluralisme, antara pluralisme teologis dan pluralisme
kewargaan

Pluralisme kewargaan adalah upaya menggagas suatu modus politik negara


demokratis yang majemuk. “Pluralisme” berarti memberikan pengakuan atas
kemajemukan itu dan ruang yang lebih besar bagi setiap komponen kemajemukan
itu untuk tampil mewarnai kehidupan publik. “Kewargaan” mengacu pada dua hal:
pertama, modus politik itu didasarkan pada prinsip kewarganegaraan yang setara,
termasuk bahwa seseorang atau kelompok dapat diperlakukan berbeda karena
perbedaan identitasnya, tapi tak dapat didiskriminasi atau mendiskriminasi warga
negara lain. Kedua, setiap warganegara dituntut berpartisipasi sebagai bagian dari
masyarakat sipil; namun partisipasi itu mesti juga dilakukan secara beradab, tanpa
mendominasi ruang publik. Isu redistribusi kesejahteraan dan keadilan muncul
setidaknya karena dua alasan. Pertama, ia menjadi syarat adanya kesetaraan akses
pada ruang publik dan dengan demikian menjadi syarat melakukan dialog atau
mengajukan nalar kewargaan; di samping itu, ia menjadi agenda utama atau tujuan
bersama yang ingin dicapai melalui deliberasi dan tindakantindakan kolektif
masyarakat. Budaya kewargaan, suatu budaya bersama yang membingkai
konsensus bersama untuk memecahkan masalah-masalah bangsa, sekaligus juga
kompetensi ataupun etos untuk memecahkan masalah, ketegangan, konflik
antarwarga atau kelompok dengan cara yang beradab. Budaya kewargaan
dikembangkan karena beberapa alasan: pertama, sarana partisipasi masyarakat
sebagai warganegara yang setara; kedua, basis budaya bersama untuk pencapaian
konsensus; ketiga, sebagai sarana pemecahan masalah yang tidak perlu
diregulasikan, namun selalu dinegosiasikan. Sesuai karakter dan signifikansinya,
metode utamanya adalah dialog. Budaya kewargaan sering mewakili etos yang
dapat diinstitusionalisasikan, tapi mungkin juga hidup dalam suatu masyarakat
sebagai jalan komplementer di luar hukum. Jika pengakuan keragaman hanya
ditegakkan dengan hukum, ia akan menjadi terlalu legalistik dan mengingkari, atau
bahkan memiskinkan, kemampuan masyarakat memecahkan masalahnya sendiri
Terkadang hukum dibuat dengan argumen supaya individu atau kelompok
masyarakat tidak main hakim sendiri; namun alternatif dari regulasi tentu bukanlah
main hakim sendiri, tapi dialog pada tingkat masyarakat. Kompetensi kewargaan
bukan hanya kompetensi untuk terlibat dalam politik dalam perumusan kebijakan
atau pemilihan pemimpin, tapi juga kompetensi untuk menyelesaikan masalah
secara beradab tanpa harus melalui hukum. Bagaimana pun hukum terbatas, dan tak
perlu mencakup seluruh wilayah kehidupan manusia. Nyatanya, sebagian besar
masalah sesungguhnya diselesaikan sendiri oleh masyarakat dengan sumber
dayanya, tanpa melalui hukum negara, meskipun negara dapat saja
memfasilitasinya, minimal tidak merusaknya. Pada akhirnya tak dapat diingkari
bahwa dialog adalah mekanisme yang “tak sempurna”, dalam artian ia tak
menjamin hasil yang memuaskan semua pihak atau suatu hasil terbaik. Konsensus
dialogis tidak selalu menekankan pada penilaian atas dasar seperangkat prinsip
tertentu, tetapi dapat mulai dengan suatu sistem nilai yang sudah ada, namun
kemudian membuka ruang dialog untuk menegosiasikan keberatan-keberatan.
Sifatnya sangat kontekstual, dan hasil akhirnya terbuka. Dialog memang bukan
jaminan diperolehnya penyelesaian yang memuaskan semua pihak dan karenanya
dipatuhi oleh semua. Salah satu tugas terpenting negara ada di sini, namun di sini
jugalah negara sering gagal: menjaga ruang publik yang bebas dan aman dari
intimidasi, dominasi, atau bahkan kekerasan. Terkadang hukum dibuat dengan
argumen supaya individu atau kelompok masyarakat tidak main hakim sendiri;
namun alternatif dari regulasi tentu bukanlah main hakim sendiri, tapi dialog pada
tingkat masyarakat. Kompetensi kewargaan bukan hanya kompetensi untuk terlibat
dalam politik dalam perumusan kebijakan atau pemilihan pemimpin, tapi juga
kompetensi untuk menyelesaikan masalah secara beradab tanpa harus melalui
hukum. Bagaimana pun hukum terbatas, dan tak perlu mencakup seluruh wilayah
kehidupan manusia. Nyatanya, sebagian besar masalah sesungguhnya diselesaikan
sendiri oleh masyarakat dengan sumber dayanya, tanpa melalui hukum negara,
meskipun negara dapat saja memfasilitasinya, minimal tidak merusaknya. ( Zainal
Abidin Bagir, dkk. Pluralisme Kewargaan)
E. MASYARAKAT PLURAL

Kita perlu menyelamatkan bangsa dan negara dengan kembali kepada nilai-
nilai luhur yang pasti melekat pada sebagian besar orang, kelompok, dan
masyarakat di negeri ini. Persoalannya tidak setiap orang atau kelompok yang mau
mengakui pluralisme dan multikulturalisme. Padahal dengan saling mengenal,
kelompok masyarakat yang plural dapat mengembangkan apresiasi, penghormatan,
bahkan kerjasama antara yang satu dengan yang lain (A’la, 2008). Subkhan
(2007:29) menyatakan pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang
adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap
kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai
dimana-mana. Didalam masyarakat tertentu, dikantor tempat kita bekerja, di
sekolah tempat kita belajar, bahkan di pasar tempat kita berbelanja. Tapi seseorang
baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebutapabila ia dapat berinteraksi positif
dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain pluralisme agama
adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan
persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Intan (2007)
menyatakan pluralisme agama yang berpondasikan solidaritas individual niscaya
membuahkan beberapa implikasi positif:

Pertama, Pemahaman kemajemukan agama bukan lagi sekedar


“kenyataan”, melainkan menjadi “keharusan” yang tidak dapat dihilangkan. Pada
realitas ini muncul usaha saling memperhatikan yang lahir dari kesadaran
interpendensi. Pada kondisi ini, agama didorong memberi kontribusi karena
interdependensi agama mensyaratkan ketidakaktifan satu agama akan berpengaruh
kepada hasil-hasil yang akan dicapai. Jika kesadaran interdependensi agama terus
bertumbuh, partisipasi agama-agama dapat dimaksimalkan. Kedua, pluralisme
agama berbasis solidaritas intelektual menjunjung prinsip take and give. Dialog
yang baik akan menghasilkan perubahan kedua belah pihak. Ketiga, berdasarkan
solidaritas intelektual, pluralisme agama mengharuskan kebebasan beragama bukan
sebatas negatif immunity, bahwa agama harus bebas dari cengkraman sosial-politik
termasuk negara. Keempat, Pluralisme agama dengan solidaritas intelektual
berpotensi menghasilkan nilai-nilai yang mengandung common good. Yang
dimaksudkan dengan masyarakat plural dalam tulisan ini, adalah masyarakat
majemuk yang ditandai adanya beragam suku bangsa, agama, budaya atau adat
istiadat.

Pada masyarakat majemuk atau plural, secara horizontal ditandai dengan


adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, perbedaan
agama, adat, dan perbedaan kedaerahan, dan sebagainya. Sedangkan ditinjau secara
vertical ternyata adanya perbedaan yang mencolok antara lapisan atas dengan
lapisan bawah. Kondisi masyarakat yang demikian akan mudah munculnya
berbagai kerusuhan berupa konflik antar etnis, konflik atas nama agama, dan
adanya kecemburuan sosial yang disebabkan adanya kesenjangan yang cukup tajam
antara golongan kaya dan miskin. Apabila suatu masyarakat atau komunitas tidak
mampu mencegah atau mengelola konflik dan kekerasan serta tidak mampu
melindungi warga masyarakatnya yang rentan, hal ini mencerminkan lemahnya
ketahanan sosial masyarakat tersebut. Solusi yang ditawarkan, yaitu dengan
pendekatan toleransi. Sebagai nilai kebijakan dalam kehidupan bersama.

Untuk membangun toleransi sebagai nilai kebijakan setidak ada dua modal
yang dibutuhkan yaitu: Pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui
percakapan dan pergaulan yang intensif. Kedua, membangun kepercayaan diantara
berbagai kelompok dan aliran. Prinsip dasar semua agama adalah toleransi, karena
semua agama pada dasarnya mencintai perdamaian dan anti kekerasan. Christopher
(2005).

Ada dua model toleransi, yaitu : Pertama, toleransi pasif, yakni sikap
menerima perbedaan sebagai sesuatu yang bersifat faktual. Kedua, toleransi aktif,
melibatkan diri dengan yang lain ditengah perbedaan dan keragaman. Toleransi
aktif merupakan ajaran semua agama. Hakikat toleransi adalah hidup berdampingan
secara damai dan saling menghargai diantara keragaman. Di Indonesia, praktek
toleransi mengalami pasang surut. Pasang surut ini dipicu oleh pemahaman
distingtif yang bertumpu pada relasi “mereka” dan “kita”. Tak pelak, dalam
berbagai kontemporer, sering dikemukakan bahwa, radikalisme, ekstremisme, dan
fundamentalisme merupakan baju kekerasan yang ditimbulkan oleh pola
pemahaman yang eksklusif dan antidialog atas teks-teks keagamaan. Seluruh
agama harus bertanggung jawab untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian.
Toleransi yang dimaksudkan adalah: sikap saling menghormati, saling menghargai,
dan saling menerima ditengah keragaman budaya, suku, agama dan kebebasan
berekspresi. Dengan adanya sikap toleransi, warga suatu komunitas dapat hidup
berdampingan secara damai, rukun, dan bekerja sama dalam mengatasi berbagai
permasalahan yang terjadi dilingkungannya.

Pada masyarakat majemuk atau plural, secara horizontal ditandai dengan


adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, perbedaan
agama, adat, dan perbedaan kedaerahan, dan sebagainya. Solusi yang ditawarkan,
yaitu dengan pendekatan toleransi sebagai nilai kebijakan dalam kehidupan
bersama. (Rosalina Ginting, Toleransi dalam Masyarakat Plural)

5 CONTOH PLURALISME MASYARAKAT INDONESIA

1. Konflik Etnis di Indonesian

Sejak Indonesia merdeka, berbagai catatatan adanya konflik yang terjadi di


salah satu daaerah memang sudah banyak terdengar. Yang paling terkenal adalah
konflik SARA yang terjadi antara warga Dayak dengan warga Madura di daerah
Kalimantan Tengah. Konflik ini terjadi dengan menewaskan setidaknya 315 orang
dari etnis Madura. Hal ini berdampak pada berlanjutnya konflik yang lebih luas
sampai ke daerah lain sepertu Kuala Kapuas, Pangkalam Bun hingga Palangkaraya.

Konflik ini dilatarbelakangi oleh sikap dua orang pejabat yaitu Fedlik dan Lewis
yang menjabat di Dinas Kehutanan dan Kantor Bappeda dimana mereka berencana
membatalkan pelantikan 10 pejabat Eselom I, II, dan III karena berasal dari
kalangan agama Islam. Sungguh miris bukan? Agama yang seharusnya menjadi
sebuah keyakinan individu yang tak seharusnya dipersoalkan apalagi diperdebatkan
hanya demi sebuah jabatan malah berimbas pada adnya konflik. Yang perlu
menjadi perhatian disini adalah kurangnya penanaman pendidikan pluralisme
sebagai sebuah pegangan yang harusnya dimiliki oleh kedua pejabat tadi. Mereka
sudah sangat mencerminkan betapa sangat minimnya rasa toleransi yang mereka
miliki hingga mereka melakukan segala cara walapun harus dengan mengadu
domba antar etnis demi menggaggalkan sebuah pelantikan pejabat eselon.

Perbedaan etnik dan ras berikutnya adalah banyaknya orang Cina, Arab,
Pakistan dan Amerika yang ada di Indonesia. Kita mengetahui bahwa mereka
secara fisik sangat berbeda dengan kita, mereka memiliki warna kulit putih, kuning
dan hitam. Kita juga tak luput melihat bahasa yang digunakan oleh daerah-daerah
yang ada di Indonesia seperti daerah Papua, Jawa, Ambon ataupun Nusa Tenggara
Timur. Mereka semua berbeda tak hanya dari segi bahasa, tetapi juga pakaian,
makanan dan minuman yang biasa mereka konsumsi.

2. Kelompok Etnik Jawa Timur di Era Otonomi Derah.

Memperbincangkan kelompok etnik Jawa Timur pada era otonomi daerah


menjadi topik yang sangat menarik. Hal ini dipicu dari beberapa faktor. Pertama
kita mengetahui bahwa Propinsi Jawa Timur adalah salah satu Provinsi di Indonesia
yang memiliki keberagaman etnik dan budaya masyarakat yang sangat banyak nan
luas. Kedua, pada kenyataanya, etnik dan budaya yang sangat luas dan beragam ini
menjadi salah satu dasar sebagai bentuk pembangunan yang penting. Ketiga, hanya
beberapa kelompok etnik saja yang mempunyai kesetaraan akses dalam memproses
aspek politik dan ekonomi daerah pada masa orde baru. Keempat, pandangan ahli
yang berhasil dipatahkan mengenai penghapusan persoalan etnis melalui
pembanguan kemajuan ekonomi dan sistem politik. Kelima, implikasi era otonomi
daerah pada pengakuan neegata terhadap contoh pluralisme dalam masyarakat
dalam berbagai kebergaman etnik dan budaya.

3. Pluralisme dalam Media

Dengan memiliki berbagai suku daerah yang terdiri dari banyak budaya
yang beragam. Media juga menjadi salah satu aspek penting yang tak kalah dari
kemajuan dan perkembangan pluralisme itu sendiri. Dalam segi media, pluralisme
adalah sebuah alat penyiaran informasi yang memiliki wewenang secara bebas dan
merdeka dimana keberadaannya sudah diakui oleh Negara dan seluruh masyarakat
Indonesia. Media massa yang ada di Indonesia harus dijadikan sebagai salah satu
wadah kontrol sosial di bawah naungan manajemen profesional sehingga fungsi
media sendiri dapat berjalan sesuai dengan hukum dan sebagaimana mestinya.
Selain itu, dewasa ini media juga harus dijadikan sebagai ajang mengutarakan
pendapat sebebas bebasnya namun, dalam rangka mengontrol jalannya
pemerintahan bukan untuk merugikan salah satu pihak.

4. Pluralisme dari Segi Pendidikan Indonesia

Kita semua sudah mengetahui bahwa Indonesia adalah salah satu negara
ayng mempunyai masyarakat multikultural. Pengertian msyarakat multikukltural
adalah setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan daerah lain.
Dampak postitif keberagaman budaya memang ada, namun melalui pendidikan bisa
mengajarkan arti pluralisme sangat mutlak untuk dibutuhkan. Apa itu pendidikan
pluralisme? Adalah suatu pendidikan yang berfungsi sebagai wadah melindungi
dan menjaga beragam pluralisme yang ada di Indonesia mulai dari suku, agama ras
dan budaya, ikut memunculkan tata nilai, keterbukaan dan dialog bagi penerus
bangsa khususnya anak muda. Pendidikan pluralisme dimaksudkan untuk
meningkatkan pemahaman kita tentang betapa kita sangat luas dan mampu untuk
menembus berbagai perbedaan etnis, budaya dan agama dengan tujuan ada rasa
kemanusiaan yang muncul di sana. Pendidikan dasar kemanusiaan untuk membuka
solidaritas para warga negara. Disini, dalam pendidikan pluralisme juga diharapkan
para pendidik dapat mendefinisikan dan menerangkan secara jelas mengenai
keberagaman budaya dalam menghadapi bermacam-macam perubahan yang
mungkin saja terjadi di salah satu daerah atau bahkan di dunia sekalipun.
Pendidikan pluralisme diharuskan dapapt memberikan respon cepat terhadap segala
bentuk perkembangan atau penuntutan persamaan keadilan di lingkungan sekolah
misalnya.
5. Budaya dalam Pluralisme

Kebragaman budaya juga menjadi salah satu penyebab terbesar yang


seringkali memicu timbulnya konflik di Indonesia. Ini merupakan salah satu faktor
yang menjadi pengahalang utama dan pemicu maslah dalam suatu kelompok etnik
dimana kelompok tersebut lalai dalam mengahargai berbagai perbedaan yang ada.
Hal ini dapat memicu timbulnya persaingan dan mengganggap etnik sendiri sebagai
yang terbaik sedangkan etnik lain dianggap buruk. Akan tetapi, dengan memahami
budaya dalam pluralisme, kita dapat memperkecil timbulnya konflik. Masyarakat
etnik ini bisa diajak untuk belajar nmemberikan tanggapan terhadap lingkungan
sosial sekitar dan membuka kesempatan seluas-luasnya contoh pluralisme dalam
masyarakat kepada budaya yang barus saja masuk. Budaya yang baru masuk ini
bisa disaring terlebih dahulu, mana yang harus dipertahankan, mana yang memang
perlu adanya perbaikan. Selanjutnya, pluralisme dalam budaya juga diusahakan dari
sikap saling menerima antar etnik yang berdekatan. Hal ini bisa kita tunjukkan
melalui kegiatan penyatuan dua budaya bersama-sama.

Demikian contoh pluraslisme dalam masyarakat Indonesia. Sekali lagi,


sebagai Negara majemuk yang memiliki beragam sosial budaya masyarakat, kita
sebagai warga Negara Indonesia tidak akan pernah bisa menghindari pluralisme
tersebut. Se-yogyanya kita hanya membutuhkan suatu sikap lapang dada dan
penerimaan bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku adat dan budaya serta peran
pemerintah dalam mengelola keberagaman sosial budaya sehingga kita tidak
menghadapi kemungkinan penyebab terjadinya konflik yang malah akan membuat
kita semakin terpecah belah. Semoga penjelasan ini dapat menambah wawasan
pengetahuan kita khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan sosial dan bermanfaat
di kehidupan selanjutnya.

KESIMPULAN

1. Pluralisme merupakan sebuah kelompok yang menunjukkan rasa saling


menghormati dan toleransi antar sesamanya. Terdapat perbedaan dalam pluralisme
di masyarkat seperti agama, budaya, suku, etnis, dll.
2. Dengan pluralisme berarti bangsa kita siap menerima keberagaman. Agama
adalah salah satu aspek yang dinilai dan dilihat sebagai suatu hal yang paling sering
dibicarakan dan sensitif ketika dibahas. Dengan adanya perbedaan pluralisme,
bukanlah kenyataan yang mengahruskan orang untuk mejatuhkan satu sama lain,
tetapi justru untuk saling menghormati dan bekerja sama.

Anda mungkin juga menyukai