PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an banyak memberi isyarat kepada kita agar dalam hidup dan kehidupan
manusia, senantiasa menyesuaikan diri dengan kehidupan yang serba majemuk.
Dalam soal kepercayaan (agama), kita tidak boleh memaksakan orang lain (agama
lain) untuk memeluk agama yang kita yakini kebenarannya (QS. al-Baqarah: 256).
Sebab itu, andaikata Tuhan menghendaki, tentulah (akan) beriman semua orang yang
di muka bumi ini seluruhnya (QS. Yunus: 99). Allah tidak melarang kepada kita
untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kita
karena agama dan tidak pula mengusir kita dari negeri Islam (QS. Muntahanah: 8-9),
(Sjadzali, 1993: 6-7).
Oleh karena itu, dalam masyarakat yang pluralis, keharmonisan hidup bersama
harus senantiasa dijaga dan dipelihara. Untuk menjaga keharmonisan hidup dalam
masyarakat majemuk, maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Saling menerima, di sini tiap subyek memandang dan menerima subyek lain
dengan segala keberadaannya, dan bukan menurut kehendak dan kemauan
subyek pertama. Dengan kata lain setiap golongan umat beragama menerima
golongan agama lain, tanpa memperhitungkan perbedaan, kelebihan atau
kekurangan.
b. Sikap saling mempercayai merupakan kenyataan dan pernyataan dari saling
menerima. Hambatan utama dalam memelihara keharmonisan pergaulan bila
hilang sikap saling mempercayai dan berganti dengan saling berprasangka serta
saling mencurigai. Karena itu, langgeng atau tidaknya, retak atau tidaknya
pergaulan baik antara pribadi maupun antar golongan sangat ditentukan oleh
bertahan atau tidaknya sikap saling mempercayai. Dengan demikian kerukunan
dalam pergaulan hidup antara umat beragama akan tetap terpelihara dengan
terpeliharaya saling mempercayai antara satu golongan agama dengan golongan
agama lain.
c. Prinsip berpikir positif. Fungsional kerukunan antar umat beragama sebagai
pengatur hubungan luar dalam tata cara bermasyarakat yang mewujudkan
dengan kerjasama dalam proses social kemasyarakatan. Karena itu, tiap pihak
harus berusaha agar tiap masalah yang timbul, dihadapi, dipecahkan dan
diselesaikan secara obyektif dengan cara berpikir positif (al Munawar, 2003:
11).
Kedasaran yang luas terhadap pluralitas dari berbagai lapisan masyarakat agama
tersebut akan menimbulkan sikap-sikap pluralis bagi masyarakat agama yang luas
pula. Kesadaran itu dapat disosialisasikan secara nasional yang dimulai dari pemuka-
pemuka agama dari masing-masing agama. Pastor atau pendeta dalam agama Kristen
merupakan sosok yang paling strategis membawa jemaatnya untuk menyadari
urgensitas eksistensi pluralitas bagi masyarakat Kristiani. Ustaz atau muballigh
merupakan figur yang paling penting dalam agama Islam memberikan pengajaran
bagi kaum muslimin di lingkungannya. Biksu atau pendeta merupakan tokoh yang
paling berpengaruh memberikan semangat pluralitas bagi agama Budha dan Hindu,
(al Munawar: 2003: 11).
B. Rumusan Masalah
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ujian Tengah
Semester mata kuliah metode dakwah dan menjawab pertanyaan yang ada pada
rumusan masalah.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pluralisme
Pluralisme (bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural (beragam)
dan isme (paham) yang berarti beragam pemahaman atau bermacam-macam paham.
Dalam diskursus filsafat, pluralisme adalah sistem berpikir yang dilawankan dengan
monisme. Pluralisme beranggapan bahwa hakikat sesuatu adalah plural (banyak),
sedangkan monisme beranggapan bahwa hakekat sesuatu adalah tunggal. Pluralisme
dalam masyarakat Barat digunakan untuk menyatakan adanya otonomi yang dimiliki
oleh banyak pihak.
Secara etimologi, pluralisme agama berasal dari dua kata yaitu "pluralisme" dan
"agama". Dalam bahasa Arab diterjemahkan "al-ta'addudiyyah al diniyyah" dan
dalam bahasa Inggris "religious pluralism". Oleh karena istilah pluralisme agama
berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus
merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti "jama'" atau lebih dari satu.
Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha (2005: 11) mempunyai
tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang
memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua
jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan.
Kedua, pengertian filosofis; berarti system pemikiran yang mengakui adanya
landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian
sosio-politis: adalah suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok,
baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi
aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok
tersebut.
Sedang dalam istilah agama, pluralisme agama merupakan hasil dari upaya
pemberiansuatu landasan bagi teologi Kristiani agar toleran terhadap agama non-
Kristen. Para penganut pluralis dalam beragama menegaskan bahwa semua agama
umumnya menawarkan jalan keselamatan bagi umat manusia dan semuanya
mengandung kebenaran religius. Jadi, Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada
interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati
dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan
hasil tanpa konflik asimilasi.
B. Pengertian Dakwah
Dengan cara yang lebih singkat, Pierre L. van den Berghe menyebutkan beberapa
karakteristik masyarakat majemuk, sebagai berikut:
Hasil final dari semua pengaruh kebudayaan tersebut kita jumpai dalam bentuk
pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Di luar Jawa, hasilnya kita lihat
pada timbulnya golongan Islam modernis terutama di daerah-daerah yang strategis di
dalam jalur perdagangan internasional pada waktu masuknya reformasi agama Islam,
golongan Islam konservatif-tradisional di daerah pedalaman-pedalaman, dan
golongan Kristen (Katholik dan Protestan) di daerah-daerah Maluku, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Utara, Tapanuli, dan sedikit di daerah Kalimantan Tengah; serta
golongan Hindu Bali (Hindu Dharma) terutama di Bali.
Bahwa pada dasarnya setiap kelompok atau golongan sosial, baik itu suku
bangsa, agama, ras, ataupun aliran memiliki ukuran-ukuran dan nilai-nilainya sendiri
tentang suatu hal, meskipun tidak tertutup kemungkinan ditemukakannya common
platform atau kesamaan di antara kelompok atau golongan-golongan yang saling
berbeda itu.
Dalam berda’wah seorang da’i harus memiliki akhlak yang menjadi modal
pertama seorang da’i, ini dikarenakan dia akan menjadi orang yang akan ditiru,
beberapa pokok akhlak yang harus dimiliki seorang da’i, sebagai berikut:
Ihlas, yaitu sikap yang menujukan segala sesuatu, baik itu perbuatan,
perkataan, pembimbingan dan pengajaran kepada umat karena Allah semata,
tidak ada sekutu dan tuhanmelainkan-Dia.
Sopan, yaitu sikap lemah lembut dalam perkataan dan perbuatan.
Jujur, yaitu sikar mengkabarkan apa yang sebenarnya tanpa dikurangi atau
dilebihkan. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah saw. “ sesungguhnya
kejujuran menunjukan kepada kebenaran, dan kebenaran menunjukan kepada
surga…” ( Muttafaqun A’laih).
Sabar, yaitu sikap menahan diri dari putus asa, menahan lisan dari keluhan.
Menghadapi mad’u yang beragam tingkat pendidikan, strata sosial, dan latar
belakang budaya, para da’i memerlukan hikmah, sehingga ajaran Islam mampu
memasuki ruang hati para mad’u dengan tepat. Oleh karena itu, para da’i dituntut
untuk mampu mengerti dan memahami sekaligus memanfaatkan latar belakangnya,
sehingga ide-ide yang diterima dirasakan sebagai sesuatu yang menyentuh dan
menyejukkan kalbunya, (M. Munir, dkk., 2003: 11-12).
Penyiapan da’i yang arif sekaligus bersikap inklusif bukan eksklusif, memilih
materi dakwah yang menyejukkan dan dakwah berparadigma transformatif sebagai
modal menuju kerjasama antar umat beragama. Yang pertama, erat kaitannya
dengan penyiapan kompetensi personal seorang dai sedang sisanya kompetensi
penunjang yang harus menjadi concern seorang pendakwah atau muballigh.
Adalah tugas setiap umat Islam untuk tidak hanya melaksanakan ajaran
agamanya, tetapi juga mendakwahkannya keadaan diri sendiri maupun orang lain
di manapun dan kapan pun. Dakwah sebagai upaya penyebaran ajaran Islam
merupakan misi suci sebagai bentuk keimanan setiap muslim akan kebenaran
agama yang dianutnya. Al-Qur’an surah al-Nahl (16): 125 secara tegas
menyebutkan, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan beragumentasilah dengan mereka dengan yang baik (pula).
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk”. Demikian juga sebuah hadis yang sering kita dengar secara eksplisit
menyerukan agar kita menyampaikan kebenaran dari nabi meskipun satu ayat
(sedikit) serta beberepa beberpa dalil lain yang kompatible dengan anjuran
berdakwah.
Setelah memiliki kompetensi (atau lebih tepatnya etika dasar) personal berikut
internalisasi nilai-nilai atau prinsip pluralitas pada diri seorang da’i, maka langkah
selanjutnya yang harus diperhatikan oleh seorang da’i adalah memilih materi
dakwah. Memilih materi dakwah yang dimaksud di sini adalah dengan sedapat
mungkin mengedepankan pesan-pesan agama yang memberi kesejukkan dan
menghindari provokasi massa ke arah yang destruktif.
Kemaslahatan adalah inti dari syariat Islam. Al-Syatibi dengan sangat baik
mendiskripsikan hal ini. Menurutnya, agama tidak hanya memuat ajaran yang
menekankan aspek peribadatan atau ritual (ta‘âbudiyah) semata, tetapi juga
membawa kemaslahatan bagi manusia (al-maslahah al-‘âmmah).
d. Metode Dakwahnya :
1. Dakwah bil hikmah.
Hikmah dalam dunia dakwah mempunyai posisi yang sangat penting, yaitu
dapat menentukan sukses tidaknya dakwah. Sebagai metode dakwah, al-Hikmah
diartikan bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih,
dan menarik perhatian orang kepada agama atau Allah. Dapat dipahami bahwa
al-Hikmah adalah merupakan kemampuan dan ketepatan seorang da’i dalam
memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif
mad’u. Al-Hikmah merupakan kemampuan da’i dalam menjelaskan ajaran-ajaran
Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang
komunikatif.
Dakwah dengan diskusi atau dalam bahasa Al-Qur’an sering disebut dengan
“Fajadilhum billati hiya ahsan” adalah suatu cara diskusi untuk saling tukar
pengalaman maupun ilmu yang biasanya dilakukan umat satu agama/antar Ormas
dan juga antar agama seperti yang dilakukan oleh forum silaturokhim Muslim
dan Kristen Amerika Serikat yang diketua oleh Dr. Naek ( muslim) dan Dr.
Camble (nasrani). Diskusi ini dilakukan setiap tahun sekali dengan tujuan
memperkokoh tali silaturokhmi diantara dua agama ini, sedangkan isi diskusi itu
adalah lebih mengutamakan pembahasan tentang dalil naqli yang ada pada
AlQuran dan AlKitab(Injil) dengan disesuaikan pada dalil-dalil aqli (sains) untuk
mencari kebenaran diantara AlQuran dan Injil. Jadi tidak heran jika setelah
diskusi selesai banyak orang yang akhirnya menyatakan dirinya masuk Islam
ataupun sebaliknya.
Salah satu metode dalam berdakwah adalah dengan metode aksi nyata, yakni
metode pemberdayaan masyarakat. Dakwah dengan upaya membangun daya,
dengan cara mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan
potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya dengan dilandasi
proses kemandirian. Dengan metode ini jika diterapkan dalam masyarakat yang
pluralisme agama maka akan efektif karena pesan dakwahnya tersampaikan
dalam wujud pengembangan potensi masyarakat, sebagai contoh: penguluhan
pertanian, pengembangan skil pertukangan, pelatihan menjahit dsb.
6. Dakwah dengan kelembagaan masyarakat atau ormas.
7. Dakwah kultural.
8. Dakwah struktural
9. Dakwah infiltrasi.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dakwah adalah kewajiban yang harus diemban bagi setiap muslim dan
disampaikannya dengan cara-cara yang arif dan bijaksana.
2. Dalam pelaksanaan dakwah pada masyarakat yang pluralis, metode dakwah bi
al-hikmah harus di kedepankan.
3. Keragaman atau kemajemukan hidup manusia dalam berbagai hal merupakan
sunnatullah.
4. Mengakui dan menerima keragaman dalam seluruh aspek adalah sesuatu yang
wajar.
5. Hidup dalam masyarakat majemuk akan eksis jika setiap orang saling
memahami, saling mengerti, saling menghargai, saling menerima dan saling
memaklumi.
6. Dakwah Islamiah akan lebih bermakna jika dilakukan dengan melibatkan
kerjasama dengan semua pihak termasuk mereka yang berada di luar Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Sjadzali, H. Munawir. Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Edisi
V; Jakarta: UI, 1993.
Budi Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,
Jakarta: Paramadina, 2001.
Husain al Munawar, H.Said Agil. Fihih: Hubungan Antar Agama, Cet. II;
Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: CV. Jumaaanatul 'Ali, 2004.
Umi Sumbulah, Islam “Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial
Aktivis Hizb al-Tahrir Dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan
Yahudi, (Badan LITBANG dan DIKLAT Kementerian Agama RI, 2010)
Komarudin, dkk, Dakwah & Konseling Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2008),
Muhammad Legenhausen, Satu Agama atau Banyak Agama (Kajian tentang
Liberalisme & Pluralisme Agama), (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1999),
Munir, M. dkk., Metode Dakwah, Edisi I, Jakarta: Kencana, 2003.
http://choirul-alquds.blogspot.com/2011/05/dawah-agama-islam-dalam-
masyarakat.html
http://altajdidstain.blogspot.com/2011/02/dakwah-dalam-masyarakat-pluralis.html
http://dewiroudloh.blogspot.com/2014/01/dakwah-pada-masyarakat-plural.html
http://cahsabar.wordpress.com/mata-kuliah-2/sosiologi-dakwah/