Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an banyak memberi isyarat kepada kita agar dalam hidup dan kehidupan
manusia, senantiasa menyesuaikan diri dengan kehidupan yang serba majemuk.
Dalam soal kepercayaan (agama), kita tidak boleh memaksakan orang lain (agama
lain) untuk memeluk agama yang kita yakini kebenarannya (QS. al-Baqarah: 256).
Sebab itu, andaikata Tuhan menghendaki, tentulah (akan) beriman semua orang yang
di muka bumi ini seluruhnya (QS. Yunus: 99). Allah tidak melarang kepada kita
untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kita
karena agama dan tidak pula mengusir kita dari negeri Islam (QS. Muntahanah: 8-9),
(Sjadzali, 1993: 6-7).

Oleh karena itu, dalam masyarakat yang pluralis, keharmonisan hidup bersama
harus senantiasa dijaga dan dipelihara. Untuk menjaga keharmonisan hidup dalam
masyarakat majemuk, maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Saling menerima, di sini tiap subyek memandang dan menerima subyek lain
dengan segala keberadaannya, dan bukan menurut kehendak dan kemauan
subyek pertama. Dengan kata lain setiap golongan umat beragama menerima
golongan agama lain, tanpa memperhitungkan perbedaan, kelebihan atau
kekurangan.
b. Sikap saling mempercayai merupakan kenyataan dan pernyataan dari saling
menerima. Hambatan utama dalam memelihara keharmonisan pergaulan bila
hilang sikap saling mempercayai dan berganti dengan saling berprasangka serta
saling mencurigai. Karena itu, langgeng atau tidaknya, retak atau tidaknya
pergaulan baik antara pribadi maupun antar golongan sangat ditentukan oleh
bertahan atau tidaknya sikap saling mempercayai. Dengan demikian kerukunan
dalam pergaulan hidup antara umat beragama akan tetap terpelihara dengan
terpeliharaya saling mempercayai antara satu golongan agama dengan golongan
agama lain.
c. Prinsip berpikir positif. Fungsional kerukunan antar umat beragama sebagai
pengatur hubungan luar dalam tata cara bermasyarakat yang mewujudkan
dengan kerjasama dalam proses social kemasyarakatan. Karena itu, tiap pihak
harus berusaha agar tiap masalah yang timbul, dihadapi, dipecahkan dan
diselesaikan secara obyektif dengan cara berpikir positif (al Munawar, 2003:
11).

Kedasaran yang luas terhadap pluralitas dari berbagai lapisan masyarakat agama
tersebut akan menimbulkan sikap-sikap pluralis bagi masyarakat agama yang luas
pula. Kesadaran itu dapat disosialisasikan secara nasional yang dimulai dari pemuka-
pemuka agama dari masing-masing agama. Pastor atau pendeta dalam agama Kristen
merupakan sosok yang paling strategis membawa jemaatnya untuk menyadari
urgensitas eksistensi pluralitas bagi masyarakat Kristiani. Ustaz atau muballigh
merupakan figur yang paling penting dalam agama Islam memberikan pengajaran
bagi kaum muslimin di lingkungannya. Biksu atau pendeta merupakan tokoh yang
paling berpengaruh memberikan semangat pluralitas bagi agama Budha dan Hindu,
(al Munawar: 2003: 11).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai


berikut:

a. Apakah Pengertian Pluralisme?


b. Apakah Pengertian Dakwah?
c. Apa Sajakah Ciri-Ciri Masyarakat Plural?
d. Bagaimana Kondisi Sosial-Budaya ada Masyarakat Plural?
e. Seperti Apakah Metode Dakwah Islam Pada Masyarakat Plural?
C. Tujuan Penulisan

Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ujian Tengah
Semester mata kuliah metode dakwah dan menjawab pertanyaan yang ada pada
rumusan masalah.

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan


penyusun dan pembaca tentang bagaimana berdakwah pada masyarakat pluralism.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pluralisme

Pluralisme (bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural (beragam)
dan isme (paham) yang berarti beragam pemahaman atau bermacam-macam paham.
Dalam diskursus filsafat, pluralisme adalah sistem berpikir yang dilawankan dengan
monisme. Pluralisme beranggapan bahwa hakikat sesuatu adalah plural (banyak),
sedangkan monisme beranggapan bahwa hakekat sesuatu adalah tunggal. Pluralisme
dalam masyarakat Barat digunakan untuk menyatakan adanya otonomi yang dimiliki
oleh banyak pihak.

Secara etimologi, pluralisme agama berasal dari dua kata yaitu "pluralisme" dan
"agama". Dalam bahasa Arab diterjemahkan "al-ta'addudiyyah al diniyyah" dan
dalam bahasa Inggris "religious pluralism". Oleh karena istilah pluralisme agama
berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus
merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti "jama'" atau lebih dari satu.
Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha (2005: 11) mempunyai
tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang
memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua
jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan.
Kedua, pengertian filosofis; berarti system pemikiran yang mengakui adanya
landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian
sosio-politis: adalah suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok,
baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi
aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok
tersebut.
Sedang dalam istilah agama, pluralisme agama merupakan hasil dari upaya
pemberiansuatu landasan bagi teologi Kristiani agar toleran terhadap agama non-
Kristen. Para penganut pluralis dalam beragama menegaskan bahwa semua agama
umumnya menawarkan jalan keselamatan bagi umat manusia dan semuanya
mengandung kebenaran religius. Jadi, Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada
interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati
dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan
hasil tanpa konflik asimilasi.

B. Pengertian Dakwah

Secara harfiah dakwah diartikan ajakan, panggilan, seruan, dan permohonan.


Sehingga dakwah seringkali diartikan ajakan, panggilan, atau seruan, yang dilakukan
seseorang kepada orang lain. Atau juga dapat didefinisikan dengan upaya untuk
merubah manusia baik perasaan, pemikiran, maupun tingkah lakunya dari jahiliyah
ke Islam, atau dari yang sudah Islam menjadi lebih kuat lagi Islamnya. Jadi, dengan
definisi “usaha mengubah keadaan” tersebut menjelaskan, bahwa dakwah bukan
sekedar seruan kepada orang lain agar melakukan kebaikan, melainkan harus disertai
dengan usaha untuk melakukan perubahan. Proses yang dilakukan dalam merubah
kondisi harus bersifat inqilabiyyah, yaitu perubahan yang dimulai dari asas, berupa
perubahan aqidah, bukan perubahan ishlahiyyah yang hanya sekedar perubahan dari
kulitnya saja tanpa menyentuh asasnya (aqidah).

Sebagai bagian dari prinsip perjuangan dalam Islam, dakwah memiliki


konstribusi yang cukup besar dalam memperluas ajaran Islam, sehingga Islam
menjadi agama yang dianut dan diyakini oleh berbagai bangsa diseluruh pelosok
dunia.
C. Ciri-Ciri Masyarakat Plural

Suatu masyarakat disebut majemuk (plural) apabila masyarakat tersebut secara


struktural memiliki subkebudayaan-subkebudayaan yang bersifat diverse. Masyarakat
yang demikian ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau konsensus yang
disepakati oleh seluruh anggota masyarakat, oleh berkembangnya sistem nilai dari
kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para
anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuknya yang relatif murni, serta
oleh sering tumbuhnya konflik-konflik sosial, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya
integrasi dan saling ketergantungan di antara kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi
bagian-bagiannya. Sehubungan dengan keadaan yang demikian, Clifford Geertz
menjelaskan bahwa masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terbagi-bagi
ke dalam subsistem-subsistem yang masing-masing terikat ke dalam ikatan-ikatan
yang bersifat primordial.

Dengan cara yang lebih singkat, Pierre L. van den Berghe menyebutkan beberapa
karakteristik masyarakat majemuk, sebagai berikut:

a. Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali


memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama lain.
b. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang
bersifat nonkomplementer.
c. Kurang mampu mengembangkan konsensus di antara para anggota-
anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
d. Secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang
satu dengan kelompok yang lain.
e. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi, serta.
f. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.
Apabila mengikuti pandangan para penganut teori fungsionalisme-struktural,
sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas landasan dua hal, yaitu:

a. konsensus di antara sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai


kemasyarakatan yang bersifat fundamental,
b. Anggota-anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai
kesatuan sosial (cross-cutting affiliation), sehingga tumbuhcross-cutting
loyalities, loyalitas yang silang-menyilang dari para anggota masyarakat
terhadap kelompok-kelompok atau satuan-satuan sosial di mana mereka
menjadi anggotanya.
D. Kondisi Sosial-Budaya pada Masyarakat Plural

Telah sejak lama masyarakat Indonesia memperoleh berbagai pengaruh


kebudayaan bangsa lain melalui para pedagang asing. Pengaruh yang pertama kali
menyentuh masyarakat Indonesia adalah agama Hindu dan Budha dari India sejak
kurang lebih empat ratus tahun sebelum masehi.

Pengaruh kebudayaan Islam mulai memasuki masyarakat Indonesia sejak abad


ke-13, akan tetapi baru benar-benar mengalami proses penyebaran yang luas pada
abad ke-15. Pengaruh Islam sangat kuat terutama pada daerah-daerah di mana Hindu
dan Budha tidak tertanam cukup kuat. Karena keadaan yang demikian, cara beragama
yang sinkretik sangat terasakan, kepercayaan-kepercayaan animisme, dinamisme
bercampur dengan kepercayaan agama Hindu, Budha, dan Islam. Pengaruh reformasi
agama Islam yang memasuki Indonesia pada permulaan abad ke-17 dan terutama
akhir abad ke-19 ternyata tidak berhasil mengubah keadaan tersebut, kecuali
memperkuat pengaruh agama Islam di daerah-daerah yang sebelumnya memang telah
merupakan daerah pengaruh agama Islam. Sementara itu, Bali masih tetap merupakan
daerah agama Hindu.

Pengaruh kebudayaan Barat mulai memasuki masyarakat Indonesia melalui


kedatangan Bangsa Portugis pada permulaan abad ke-16. Kedatangan mereka ke
Indonesia tertarik oleh kekayaan rempah-rempah di daerah Kepulauan Maluku, suatu
jenis barang dagangan yang sedang laku keras di Eropa pada waktu itu. Kegiatan
missionaris yang menyertai kegiatan perdagangan mereka, dengan segera berhasil
menanamkan pengaruh agama Katholik di daerah tersebut. Ketika bangsa Belanda
berhasil mendesak bangsa Portugis ke luar dari daerah-daerah tersebut pada kira-kira
tahun 1600-an, maka pengaruh agama Katholik pun segera digantikan pula oleh
pengaruh agama Kristen Protestan. Namun demikian, sikap bangsa Belanda yang
lebih lunak di dalam soal agama apabila dibandingkan dengan bangsa Portugis, telah
mengakibatkan pengaruh agama Kristen Protestan hanya mampu memasuki daerah-
daerah yang sebelumnya tidak cukup kuat dipengaruhi oleh agama Islam dan Hindu.

Hasil final dari semua pengaruh kebudayaan tersebut kita jumpai dalam bentuk
pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Di luar Jawa, hasilnya kita lihat
pada timbulnya golongan Islam modernis terutama di daerah-daerah yang strategis di
dalam jalur perdagangan internasional pada waktu masuknya reformasi agama Islam,
golongan Islam konservatif-tradisional di daerah pedalaman-pedalaman, dan
golongan Kristen (Katholik dan Protestan) di daerah-daerah Maluku, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Utara, Tapanuli, dan sedikit di daerah Kalimantan Tengah; serta
golongan Hindu Bali (Hindu Dharma) terutama di Bali.

Di Pulau Jawa dijumpai golongan Islam modernis terutama di daerah-daerah


pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan kebudayaan pantainya, serta
sebagian besar daerah Jawa Barat, golongan Islam konservatif-tradisional di daerah-
daerah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta golongan Kristen yang
tersebar di hampir setiap daerah perkotaan Jawa.

Dalam prespektif ilmu sosial, pluralisme yang meniscayakan adanya diversitas


dalam masyarakat memiliki dua wajah, yaitu konsensus dan konflik, sebagaimana
digagas Dahrendorf, bahwa teori konsensus mengandaikan bahwa masyarakat yang
memiliki latar belakang yang berbeda-beda itu akan survive (bertahan hidup) karena
para anggotanya menyapakati hal-hal tertentu sebagai aturan bersama yang harus
ditaati, sedangkan teori konflik justru memandang sebaliknya.

Di dalam masyarakat majemuk terdapat potensi konflik di antara kelompok-


kelompok atau golongan-golongan sosial yang ada. Hubungan yang demikian
menimbulkan masalah dalam proses integrasi sosial dalam masyarakat majemuk.
Lahirlah faham multikulturalisme yang lebih didasarkan pada pandangan tentang
relativisme kebudayaan.

Bahwa pada dasarnya setiap kelompok atau golongan sosial, baik itu suku
bangsa, agama, ras, ataupun aliran memiliki ukuran-ukuran dan nilai-nilainya sendiri
tentang suatu hal, meskipun tidak tertutup kemungkinan ditemukakannya common
platform atau kesamaan di antara kelompok atau golongan-golongan yang saling
berbeda itu.

Pluralitas agama dalam konteks masyarakat Indonesia adalah realitas, karena


Indonesia dihuni oleh sekelompok manusia yang memiliki SARA (suku bangsa,
agama, ras, atau pun aliran/golongan-golongan) yang berbeda-beda.

E. Metode Dakwah Islam pada Masyarakat Plural

Dalam berda’wah seorang da’i harus memiliki akhlak yang menjadi modal
pertama seorang da’i, ini dikarenakan dia akan menjadi orang yang akan ditiru,
beberapa pokok akhlak yang harus dimiliki seorang da’i, sebagai berikut:

Ihlas, yaitu sikap yang menujukan segala sesuatu, baik itu perbuatan,
perkataan, pembimbingan dan pengajaran kepada umat karena Allah semata,
tidak ada sekutu dan tuhanmelainkan-Dia.
Sopan, yaitu sikap lemah lembut dalam perkataan dan perbuatan.
Jujur, yaitu sikar mengkabarkan apa yang sebenarnya tanpa dikurangi atau
dilebihkan. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah saw. “ sesungguhnya
kejujuran menunjukan kepada kebenaran, dan kebenaran menunjukan kepada
surga…” ( Muttafaqun A’laih).
Sabar, yaitu sikap menahan diri dari putus asa, menahan lisan dari keluhan.

Masalah berdakwah dalam masyarakat plural sekarang menjadi sesuatu yang


cukup sulit, jika tidak ingin dikatakan sangat sulit karena dalam misi da’wah ini
selain harus mempunyai akhlaqiyatu-d-da’iyah seorang da’i juga dituntut
untuk memahami kondisi sosio-budaya masyarakat yang menjadi objeknya, sehingga
tidak terjadi kesalahpahaman ataupun pelecehan terhadap kelompok masyarakat
tertentu dan menimbulkanpertikaian.

Menghadapi mad’u yang beragam tingkat pendidikan, strata sosial, dan latar
belakang budaya, para da’i memerlukan hikmah, sehingga ajaran Islam mampu
memasuki ruang hati para mad’u dengan tepat. Oleh karena itu, para da’i dituntut
untuk mampu mengerti dan memahami sekaligus memanfaatkan latar belakangnya,
sehingga ide-ide yang diterima dirasakan sebagai sesuatu yang menyentuh dan
menyejukkan kalbunya, (M. Munir, dkk., 2003: 11-12).

F. Pola-Pola Dakwah Pada Masyarakat Plural


a. Dakwah yang Arif dan Transformatif

Berbagai gambaran riil di lapangan menunjukkan bahwa merajut tali kerukunan


dan toleransi di tengah pluralitas agama memang bukan perkara mudah. Beberapa
faktor berikut jelas merupakan ancaman bagi tercapainya toleransi. Pertama, sikap
agresif para pemeluk agama dalam mendakwahkan agamanya. Kedua, adanya
organisasi-organisasi keagamaan yang cenderung berorientasi pada peningkatan
jumlah anggota secara kuantitatif ketimbang melakukan perbaikan kualitas
keimanan para pemeluknya. Ketiga, disparitas ekonomi antar para penganut agama
yang berbeda, (Subhan, 2000:28). Guna meminimalisir ancaman seperti ini
(terutama ancaman pertama dan kedua), maka mau tidak mau umat Islam,
demikian juga umat lain, dituntut untuk menata aktifitas penyebaran atau dakwah
agama secara lebih proporsional dan dewasa.

Penyiapan da’i yang arif sekaligus bersikap inklusif bukan eksklusif, memilih
materi dakwah yang menyejukkan dan dakwah berparadigma transformatif sebagai
modal menuju kerjasama antar umat beragama. Yang pertama, erat kaitannya
dengan penyiapan kompetensi personal seorang dai sedang sisanya kompetensi
penunjang yang harus menjadi concern seorang pendakwah atau muballigh.

b. Da’i yang Arif lagi Inklusif

Adalah tugas setiap umat Islam untuk tidak hanya melaksanakan ajaran
agamanya, tetapi juga mendakwahkannya keadaan diri sendiri maupun orang lain
di manapun dan kapan pun. Dakwah sebagai upaya penyebaran ajaran Islam
merupakan misi suci sebagai bentuk keimanan setiap muslim akan kebenaran
agama yang dianutnya. Al-Qur’an surah al-Nahl (16): 125 secara tegas
menyebutkan, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan beragumentasilah dengan mereka dengan yang baik (pula).
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk”. Demikian juga sebuah hadis yang sering kita dengar secara eksplisit
menyerukan agar kita menyampaikan kebenaran dari nabi meskipun satu ayat
(sedikit) serta beberepa beberpa dalil lain yang kompatible dengan anjuran
berdakwah.

c. Materi Dakwah yang Menyejukkan

Setelah memiliki kompetensi (atau lebih tepatnya etika dasar) personal berikut
internalisasi nilai-nilai atau prinsip pluralitas pada diri seorang da’i, maka langkah
selanjutnya yang harus diperhatikan oleh seorang da’i adalah memilih materi
dakwah. Memilih materi dakwah yang dimaksud di sini adalah dengan sedapat
mungkin mengedepankan pesan-pesan agama yang memberi kesejukkan dan
menghindari provokasi massa ke arah yang destruktif.

Untuk memilih materi dakwah seperti termaksud di atas, di samping ditentukan


oleh apresiasi positif kepada ‘yang lain’, juga yang terpenting adalah kematangan
para dai dalam memahami pesan-pesan atau ide moral Islam secara keseluruhan.
Sekedar ilustrasi sederhana, mengapa kita suka menonjolkan ayat semisal “Tidak
akan rela orang-orang Yahudi dan Nasrani (terhadapmu) sampai kamu mengikuti
agama mereka” tanpa dibarengi dengan penjelasan terhadap konteks ayat tersebut,
sementara masih banyak ayat (pluralis) lainnya yang menghargai agama lain
seperti terungkap di atas. Atau contoh lain, kenapa hadis Nabi yang artinya,
“Ucapkan salam kepada orang lain baik yang kau kenal maupun yang tidak kau
kenal (man arofta wa man lam ta’rif)”, (Lasyin, 1970:233-237) justeru terdesak
oleh larangan atau fatwa yang mengharamkan umat Islam mengucapkan salam
kepada orang (agama) lain, (Madjid, 2004: 66-78).

Kemaslahatan adalah inti dari syariat Islam. Al-Syatibi dengan sangat baik
mendiskripsikan hal ini. Menurutnya, agama tidak hanya memuat ajaran yang
menekankan aspek peribadatan atau ritual (ta‘âbudiyah) semata, tetapi juga
membawa kemaslahatan bagi manusia (al-maslahah al-‘âmmah).

d. Metode Dakwahnya :
1. Dakwah bil hikmah.

Hikmah dalam dunia dakwah mempunyai posisi yang sangat penting, yaitu
dapat menentukan sukses tidaknya dakwah. Sebagai metode dakwah, al-Hikmah
diartikan bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih,
dan menarik perhatian orang kepada agama atau Allah. Dapat dipahami bahwa
al-Hikmah adalah merupakan kemampuan dan ketepatan seorang da’i dalam
memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif
mad’u. Al-Hikmah merupakan kemampuan da’i dalam menjelaskan ajaran-ajaran
Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang
komunikatif.

2. Dakwah bil hal.

Adalah cara dakwah dengan menekankan pada uswatun khasanah/contoh atau


pribadi yang sholih seperti sikap yang jujur, sopan, tanggung jawab, disiplin,
tenggang rasa dll. Sehingga seseorang yang melihat atau mengetahui seseorang
yang mempunyai kepribadian yang sholih membuatnya ada sugesti untuk
menirunya. Dalam suatu hikayah diceritakan bahwasanyaRasulullah.saw setiap
pagi menyuapi pengemis dipinggiran pasar padahal pengemis itu setiap hari
selalu mencaci maki, menjelek dan mencerca Rasul, dia tidak tau kalau yang
setiap pagi menyuapi itu adalah Rasul, suatu ketika tatkala Rasul meninggal dan
tidak bisa menyuapinya lagi maka yang menyuapi pengemis buta itu digantikan
oleh shohabat Abu Bakar, tetapi ternyata pengemis tersebut merasakan kalau
yang menyuapi itu bukan orang yang biasanya, dan Abu Bakar pun bilang kalau
yang biasa menyuapi itu adalah Rasul yang setiap pagi kau cerca dan sekarang
beliau telah meniggal dunia, maka mengemis itu langsung nangis dan mnyatakan
diri untuk masul Islam. Cerita yang lain, setiap kali Rasul berjalan menuju ke
masjid ada seseorang yang sering mengganggu Rasul dengan meludai melempar
kotoran dsb, suatu ketika disaat Rasul menuju ke masjid orang tersebut tidak
melakukan hal itu hal, dan Rasul pun menanyakan kepada orang-orang, dimana
si fulan yang biasa ada disini,’’ Wahai Rasul orang tersebut sedang sakit, maka
Rasulpun segera menjenguknya dengan membawa beberapa buah makanan, saat
Rasul sampai dirumahnya orang tersebut ketakuatan dan tersentuk dengan
prilaku Rasul yang begitu mulia dan akhirnya menyatakan masuk Islam.

3. Dakwah dengan diskusi.

Dakwah dengan diskusi atau dalam bahasa Al-Qur’an sering disebut dengan
“Fajadilhum billati hiya ahsan” adalah suatu cara diskusi untuk saling tukar
pengalaman maupun ilmu yang biasanya dilakukan umat satu agama/antar Ormas
dan juga antar agama seperti yang dilakukan oleh forum silaturokhim Muslim
dan Kristen Amerika Serikat yang diketua oleh Dr. Naek ( muslim) dan Dr.
Camble (nasrani). Diskusi ini dilakukan setiap tahun sekali dengan tujuan
memperkokoh tali silaturokhmi diantara dua agama ini, sedangkan isi diskusi itu
adalah lebih mengutamakan pembahasan tentang dalil naqli yang ada pada
AlQuran dan AlKitab(Injil) dengan disesuaikan pada dalil-dalil aqli (sains) untuk
mencari kebenaran diantara AlQuran dan Injil. Jadi tidak heran jika setelah
diskusi selesai banyak orang yang akhirnya menyatakan dirinya masuk Islam
ataupun sebaliknya.

4. Dakwah bil qolam.

Merupakan dakwah dengan media tulisan, seperti buku, majalah ataupun


media elektronik lainnya seperti internet, radio televisi dll. Sehingga dengan
pemanfaatan media ini diharap bisa memberikan pesan dakwah yang dalam
masyarakat yang plural agama, tidak terlalu kehilatan formal dan tidak bersifat
memaksa. Cara ini merupakan cara yang afektif karena kita ketahui dizaman
modern seperti ini elektronik dan media-media bil qolam merupakan kebutuhan
yang hampir menjadi pokok.

5. Dakwah dengan pemberdayaan masyarakat.

Salah satu metode dalam berdakwah adalah dengan metode aksi nyata, yakni
metode pemberdayaan masyarakat. Dakwah dengan upaya membangun daya,
dengan cara mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan
potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya dengan dilandasi
proses kemandirian. Dengan metode ini jika diterapkan dalam masyarakat yang
pluralisme agama maka akan efektif karena pesan dakwahnya tersampaikan
dalam wujud pengembangan potensi masyarakat, sebagai contoh: penguluhan
pertanian, pengembangan skil pertukangan, pelatihan menjahit dsb.
6. Dakwah dengan kelembagaan masyarakat atau ormas.

Metode kelembagaan yaitu pembentukan dan pelestarian norma dalam wadah


organisasi sebagai instrumen dakwah.10 Sebagai contoh yang telah ada realitanya
dalam kehidupan ini, ormas-ormas yang ada di Indonesia ini mempunyai potensi-
potensi yang dalam pengembangannya sebagai wujud pengabdian kepada
masyarakat. Ormas NU, mempunyai potensi dalam pengembangan pondok
pesantren dan sekarang juga perambah pada sekolah-sekolah. Ormas
Muhammadiah, mempunyai potensi dalam pengembangan rumah sakit dan juga
sekolah-sekolah dsb. Jika semua ini bersinergi dengan satu tujuan yakni dakwah
Islamiah maka akan membuat sinar yang akan selalu tampak ditengah
masyarakat yang pluralis sebagai wujud Islam yang rahmatan lil’alamin.

7. Dakwah kultural.

Dakwah kultural adalah dakwah yang menekankan Islam kuturan. Islam


kultural adalah salah satu pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan
doktrin yang formal antara Islam dan politik atau islam dan negara. Dakwah
kultural datang untuk mengukuhkan kearifan-kearifan lokal yang ada pada suatu
pola budaya tertentu dengan cara memisahkannya dari unsur-unsur yang
bertentangan dengan nilai sehingga dakwah in jika diterapkan dalam masyarakat
yang plural agama akan lebih mudah karena suatu masyarakat tidak terlepas dari
kebudayaannya. Dari kehidupan masyaraka akan timbul konflik baik konflik
eksternal dan internal. Jika konflik terjadi, maka tujuan hidup bermasyarakat juga
menjadi tujuan dakwah akan semakin cepat tercapai, dar salam’’ dan marhamah.

8. Dakwah struktural

Dakwah struktural adalah gerakan dakwah yang berada dalam kekuasaan.


Aktifitas dakwah ini memanfaatkan struktur sosial, politik maupun ekonomi
sebagai media dakwahnya.13Dengan dakwah ini mad’u(masyrakat pluralisme
agama) akan sedikit ada unsur paksaan dalam mengamalkan pesan-pesan
dakwahnya.

9. Dakwah infiltrasi.

Dakwah infiltrasi adalah metode dakwah sisipan yang pesan-pesan


dakwahnya terselip dalam suatu media hingga tidak terlihat. Dalam metode ini
jika diterapkan dalam masyarakat pluralisme agama ada nilai keefektifan karena
pesanya tidak terlalu kelihatan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang dikemukakan di atas, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan


sebagai berikut:

1. Dakwah adalah kewajiban yang harus diemban bagi setiap muslim dan
disampaikannya dengan cara-cara yang arif dan bijaksana.
2. Dalam pelaksanaan dakwah pada masyarakat yang pluralis, metode dakwah bi
al-hikmah harus di kedepankan.
3. Keragaman atau kemajemukan hidup manusia dalam berbagai hal merupakan
sunnatullah.
4. Mengakui dan menerima keragaman dalam seluruh aspek adalah sesuatu yang
wajar.
5. Hidup dalam masyarakat majemuk akan eksis jika setiap orang saling
memahami, saling mengerti, saling menghargai, saling menerima dan saling
memaklumi.
6. Dakwah Islamiah akan lebih bermakna jika dilakukan dengan melibatkan
kerjasama dengan semua pihak termasuk mereka yang berada di luar Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Sjadzali, H. Munawir. Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Edisi
V; Jakarta: UI, 1993.
Budi Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,
Jakarta: Paramadina, 2001.
Husain al Munawar, H.Said Agil. Fihih: Hubungan Antar Agama, Cet. II;
Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: CV. Jumaaanatul 'Ali, 2004.
Umi Sumbulah, Islam “Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial
Aktivis Hizb al-Tahrir Dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan
Yahudi, (Badan LITBANG dan DIKLAT Kementerian Agama RI, 2010)
Komarudin, dkk, Dakwah & Konseling Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2008),
Muhammad Legenhausen, Satu Agama atau Banyak Agama (Kajian tentang
Liberalisme & Pluralisme Agama), (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1999),
Munir, M. dkk., Metode Dakwah, Edisi I, Jakarta: Kencana, 2003.
http://choirul-alquds.blogspot.com/2011/05/dawah-agama-islam-dalam-
masyarakat.html
http://altajdidstain.blogspot.com/2011/02/dakwah-dalam-masyarakat-pluralis.html
http://dewiroudloh.blogspot.com/2014/01/dakwah-pada-masyarakat-plural.html
http://cahsabar.wordpress.com/mata-kuliah-2/sosiologi-dakwah/

Anda mungkin juga menyukai