DI SUSUN :
O
KELOMPOK: VIII/8
NAZARUDDIN
MULKAN ZADID
DOSEN PEMBIMBING
CUT FAUZIAH, LC,M.T.H
Segala puji syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah
kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, besarta sahabat, keluarga dan seluruh pengikut beliau
hingga akhir zaman. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Etika Dakwah”.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini tentunya masih banyak
kekurangan. Oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi
perbaikan kami di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai ajakan untuk memikirkan klaim terpenting tentang hidup dan mati, kebahagiaan atau
siksa yang abadi, kebahagiaan dunia atau kesengsaraan, kebajikan dan kejahatan, maka misi dakwah
harus dilaksanakan dengan integritas penuh pendakwah dan objek pendakwah. Bila pihak-pihak
merusak integritas ini, degan cara meminta atau menerima suap dengan menerima keuntungan,
menerapkan paksaan atau tekanan, memanfaatkan demi tujuan bukan dijalan Allah, maka ini
merpakan kejahatan besar dalam berdakwah atau dakwah islam menjadi tidak sah. Dakwah islam itu
harus dijalankan dengan serius, melalui aturan-aturan yang benar sehingga diterima dengan komitmen
yang sama terhadap kebenaran islam. Objek dakwah harus merasa bebas dari paksaan, ancaman, serta
nila-nilai yang bersifat merusak yang cenderung untuk anarki.
Karena itu para pelaku dakwah dalam hal ini da’I tidak diperintahkan menyeru islam begitu
saja, ada aturan-aturan yang telah ditetapkan. Jelas dakwah islam tidak bersifat melontarkan isu-isu
yang bersifat fanatis, memaksa, provokatif, celaan-celan yang menimbulkan permusuhan, dan bukan
pula aktivitas-aktiviata yang bersifat destruktif. Karena etika manusia memandang dakwah yang
dipaksakan sebagai pelanggaran berat, maka itu dakwah islam mengkhususkan penggunaannya secara
persuasif.
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan penulisan
HALAMAN JUDUL………………………………………………….
KATA PENGANTAR………………………………………………...
DAFTAR ISI…………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………….
b. Rumusan Masalah…………………………………………………...
c. Tujuan Makalah……………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………..
A. Etika Dakwah………………………………………………………...
1. Ucapan Yang Baik………………………………………………..
2. Ucapan Yang Benar……………………………………………….
3. Ucpan Yang Pantas………………………………………………..
a. Pengertian Etika……………………………………………………..
BAB II PENUTUP………………………………………………….
Kesimpulan…………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………
BAB II
PEMBAHASAN
A. ETIKA DAKWAH
a. Pengertian etika
Etika berasal dari kata ethos yaitu untuk suatu kehendak baik yang tetap. Etika berhubungan
dengan soal baik atau buruk,benar atau salah. Etika adalah jiwa atau semangat yang menyertai
suatu tindakan. Dengan demikian etika dilakukan oleh seorang untuk perlakuan yang baik agar
tidak menimbulkan keresahan dan orang lain menganggap bahwa tindakan tersebut memang
memenuhi landasan etika. [1]
Baik dan buruk berhubungan dengan kemanusiaan dan sering di kaitkan dengan perasaan dan
tujuan seseorang, tidak berlaku umum dan merata. Seorang yang menganggap suatu perbuatan itu
baik, belum tentu di anggap baik pula oleh orang lain, tergantung pada kebiasaan yang di pakai
oleh tiap-tiap kelompok. Meskipun demikian, etika berlainan dengan adat, karena adat hanya
memandang lahir, melihat tindakan yang di lakukan, sementara etika lebih memperhatikan hati
dan jiwa orang yang melakukan dengan maksud apa dilakukan.
Terjemah Arti: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-
wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan
mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu
akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan
janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah,
sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya,
dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Tafsir Quran Surat Al-Baqarah Ayat 235 235. Dan kalian tidak
berdosa menyatakan keinginan kalian dengan kata-kata sindiran
untuk meminang wanita yang sedang menjalani masa idah karena
kematian suaminya atau ditalak bain (talak tiga). Tetapi kalian tidak
boleh menyatakan keinginan kalian itu secara eksplisit (terus terang).
Misalnya dengan mengatakan, “Jika masa idahmu habis beritahu
aku.” Dan kalian tidak berdosa bila menyembunyikan keinginan
kalian untuk menikahi wanita yang menjalani masa idah setelah
masa idahnya berakhir. Allah mengetahui bahwa kalian akan
menyebut nama wanita-wanita itu karena kuatnya keinginan kalian
untuk menikahi mereka. Maka Allah mengizinkan kalian menyatakan
keinginan kalian melalui sindiran bukan secara eksplisit. Jangan
sekali-kali kalian secara diam-diam berjanji akan menikah sementara
wanita tersebut sedang menjalani masa idah, kecuali dengan ucapan
yang baik, yaitu melalui sindiran. Dan janganlah kalian memutuskan
untuk melaksanakan akad nikah pada masa idah! Dan ketahuilah
bahwa Allah mengetahui apa yang kalian sembunyikan di dalam hati,
baik yang dihalalkan maupun yang diharamkan bagi kalian. Maka
berhati-hatilah, dan jangan melanggar perintah-Nya. Dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Pengampun bagi hamba-hamba-Nya yang
bertaubat, lagi Maha Penyantun, tidak lekas menjatuhkan hukuman
kepada orang-orang yang berdosa. Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz
Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah
bin Humaid (Imam Masjidil Haram) Dan tidak ada dosa atas diri
kalian (wahai kaum laki-laki) terkait apa yang kalian ucapkan berupa
isyarat dan mengharapkan perkawinan dengan wanita-wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya atau wanita-wanita yang ditalak dengan
talak bain di tengah masa iddahnya. Dan tidak ada dosa atas kalian
jika terkait apa yang kalian sembunyikan dalam hati kalian berupa
niat untuk menikahi mereka setelah selesainya masa iddah mereka.
Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kalian itu akan menyebut-
nyebut wanita-wanita yang masih dalam masa iddah mereka dan
kalian tidak sanggup bersabar untuk menjaga mulut tentang mereka
karena kelemahan jiwa kalian. Oleh karena itu Allah
memperbolehkan dari kalian untuk menyebutnya dalam bentuk
isyarat kata atau pendaman niat didalam hati. Dan jauhilah tindakan
mengeluarkan janji kepada mereka untuk menikahi mereka secara
rahasia melalui perzinaan atau kesepakatan menikah ditengah masa
iddah, kecuali kalian sekedar mengucapkan perkataan yang
terpahami bahwa wanita seperti dia itu diinginkan oleh kaum laki-laki
untuk dinikahi, dan janganlah kalian berketetapan hati untuk
melangsungkan akad nikah pada masa iddah masih berlangsung
hingga massanya itu selesai dengan tuntas. Dan ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di hati kalian, maka
takutlah kepada Nya dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia Maha
Penyayang terhadap siapa saja yang bertaubat kepada Nya dari
dosa-dosanya, juga Maha penyantun kepada hamba-hamba Nya
tidak menyegerakan hukuman kepada mereka
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu
yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.
Tafsir Jalalayn
Tafsir QuraishShihab
Diskusi
(Perkataan yang baik) atau ucapan yang manis dan penolakan secara lemah lembut terhadap si
peminta (serta pemberian maaf) kepadanya atas desakan atau tingkah lakunya (lebih baik
daripada sedekah yang diiringi dengan menyakiti perasaan) dengan mencerca atau
mengomelinya (Dan Allah Maha Kaya) hingga tidak menemukan sedekah hamba-hambanya (lagi
Maha Penyantun) dengan menangguhkan hukuman terhadap orang yang mencerca dan
menyakiti hati si peminta.
( وه ْم َوقُولُوا ل َُه ْم َق ْواًل َم ْع ُروفًا ِ ُالس َفهاء أَموالَ ُكم الَّتِي جعل اللَّهُ لَ ُكم قِياما وار ُزق
ُ سُ وه ْم ف َيها َوا ْك
ُ ْ َ ًَ ْ َ ََ ُ َ ْ َ َ ُّ َواَل ُت ْؤتُوا
)5
Artinya:
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang bodah, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah untukmu sebagai penegak. Berikanlah rizki dan sandangilah
mereka dari harta-harta tersebut dan berkatalah kepada mereka dengan perkataan yang baik.
Kita dilarang menyerahkan harta, uang, atau barang yang berharga yang diamanatkan kepada kita
kepada orang yang tidak mampu mengelolanya (menunaikan hak-hak harta tersebut), baik karena
masih kecil seperti anak yatim atau orang yang memang bodoh tentang pengelolaan harta secara
benar seperti orang gila atau sejenisnya. Dan menjadi kewajiban bagi kita untuk memberi nafkah
kepada mereka, memberi pakaian, dan mencukupi kebutuhan mereka dari hasil pengelolaan harta
tersebut, dan berbicara kepada mereka dengan perkataan yang bagus. Kita tidak boleh menyakiti
mereka baik dengan kata-kata atau lebih dari itu, dengan perlakuan fisik.
1. اء
َ الس َف َه
ُّ bentuk jamak dari kata safih. Artinya orang yang bodoh. Banyak penafsirannya, di antaranya
anak kecil, anak yang belum berakal, orang gila, dsb. Orang yang mubadzirkan hartanya juga bisa
masuk dalam kategori safih.
2. Disebutkan كم
ُ َأ َْم َوال, padahal sebenarnya itu harta yang dititipkan pada kita. Ini tujuannya supaya
ُ
yang mendapatkan amanah untuk mampu menjaga harta anak yatim itu seperti serasa miliknya
sendiri sehingga tidak menggunakannya semaunya atau melakukan berbagai penyelewengan.
3. اما ِ الَّتِي َج َع َل اللَّهُ لَ ُك ْم harta tersebut Allah jadikan untukmu sebagai penegak, pemegang amanah.
ً َقي
Artinya, kamu diberi hak atau tugas untuk mengelola, menjaganya dengan baik agar tidak tersia-
sia. Hal ini meninjukkan kepada kita, bahwa untuk menyerahkan harta itu harus kepada orang yang
benar-benar bisa amanah dan mengelola terhadap harta tersebut dengan baik. Kalau mau investasi,
harus tahu bahwa orang tsb bisa mengelola harta dengan baik, sehingga
harta kita akan terus berkembang. Artinya orang yang mendaptkan amanah untuk menjaga harta
anak yatim itu dianggap mampu mengelola dan mengembangkan harta tersebut, supaya bisa
memberi rizki kepada mereka.
4. Penggunaan kata يها ِ
َ ف “fiha”, bukan “minha”, padahal secara maksud pengertian adalah penuhilah
kebutuhan anak-anak yatim tadi dari harta yang dititipkan kepadamu. Menurut Imam
Zamakhsyari, lafal ini (يها ِ
َ )فmenunjukkan bahwa wali anak yatim diharapkan tidak memberi nafkah
kepada mereka dari pokok harta mereka, tetapi dari hasil pengembangan harta anak yatim. Karena
kalau diambil dari pokok harta, lama kelamaan harta mereka akan habis sebelum mereka dewasa.
Beginilah Islam itu mengajrkan tentang masa depan. Pemikiran ini juga yang dilakuakn Nabi Yusuf.
Dia menyuruh untuk menanan dan disimpan untuk periode 7 th.
f. Quran Surat Muhammad Ayat 21 وا َ اع َز َمٱأْل َمْ ُر َفلَ ْو
۟ ُصدَ ق َ اع ٌة َو َق ْولٌمَّعْ رُوفٌ ۚ َفإِ َذ
َ َط
ٱللَّ َهلَ َكا َن َخيْرً الَّ ُه ْم
Beberapa etika dakwah yang hendaknya di lakukan oleh para juru dakwah dalam melakukan
dakwahnya antara lain sebagai berikut.
1. Sopan
Sopan berhubungan dengan adaan adat dan kebiasaan yang berlaku secara umum dalam tiap
kelompok. suatan kebiasaan yang berlaku secara umum dalam tiap kelompok. Suatu pekerjaan di
anggap tidak sopan, tatkala bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di suatu komunitas.
Standar atau ukuran suatu kesopanan bagi masing-masing komunitas tidak sama. Masing-
masing memiliki standar sendri, akan tetapi aturan yang berlaku umum dapat di jadikan rujukan
dalam menentukan suatu standar kesopanan.
Kesopanan harus kita pelihara dalam perbuatan dan pembicaraan. Sesuatu yang kita lahirkan di
dalam dan di luar pembicaraan, cara mengenakan pakaian, harus di jaga serapi mungkin, sehingga
tidak melanggar norma-norma tertentu dan tidak membosankan. Gerak-gerak yang tetap dan
berulang-ulang akan membosankan bagi penerima dakwah. Sekali-kali seorang da’i harus
berlainan dalam melakukan gerak gerik, seperti memandang ke depan, kekiri, kekanan atau
kebelakang dalam batas-batas kesopanan dengan tetap memperhatikan respons dari pembicaraan
yang diucapkan. Cara berpakaian dan bentuk pakaian yang dikenakan harus dijaga sebaik
mungkin, tidak mencolok, dan tidak bertentangan dengan adat kebiasaan masyarakat setempat.
Yang perlu diingat oleh da’i adalah ia bertindak sebagai mubalighyaitu penyampaian ajaran
kebenaran islam atau, bukan sebagai peragawan atau peragawati ataupun model. Karena itu
kesopanan dan kepantasan menjadi hal yang harus dipertimbangkan oleh da’i dalam melakukan
aktivitas dakwahnya.
Cara berpakaian dan cara berbuat yang meskipun bertentangan dengan kebiasaan masyarakat,
tetapi masih dapat diterima kehadirannya, yaitu dalam unsur propaganda yang disebut
“Flainfleksdevice”, yaitu berbuat yang sebagai biasa dilakukan oleh rakyat biasa. Umpamanya
seorang da’i mengenakan kain sarung dan berpeci dalam suatu acara umum. Akan tetapi, hal itu
harus dilakukan dalam batas-batas tertentu, sehingga perhatian kepada pakaian yang dikenakan
tidak boleh lebih besar dari pada perhatian kepada isi ceramah da’i atau mubaligh tersebut.
Tindakan dan sikap yang dilakukan oleh da’i juga harus sejalan dengan pembicaraan yang
disampaikan. Pembicaraan yang disampaikan haruslah benar, tidak menyampaikan berita bohong
dan memutarbalikan keadaan yang sebenarnya. Dalam istilah propaganda hal demikian disebut
“cardstanckingdevice”, yaitu tindakan dan sikap yang dilakukan sejalan dengan pembicaraan yang
disampaikan, tidak mengada-ada bahkan menyampaikan berita bohong ataupun memutarbalikan
kenyataan.[2]
2. Jujur
Dalam menyampaikan berita, umpamanya dimedia massa atau surat kabar, dapat terjadi hal-
hal yang melanggar etika kejujuran, misalnya dalam:
Untuk menceritakan sesuatu kejadian pencurian misalnya, dapat saja diberitakan dalam
kalimat yang bermacam-macam, dari membenci pencurian itu sampai pada menyukai pencurian
tersebut. Dapat pula diselipkan didalamnya pujian, kritik, atau cacian kepada pihak yang
berwajib, tergantung pada kalimat yang dipergunakan. Bahkan berita dalam kalimat yang sama
dapat pula mempunyai kesan yang berlainan bagi pembacanya, hanya karena berlainan tempatnya,
dilembar tertentu, berdekatan dengan berita lain, dicetak dengan huruf tebal, diantara tanda petik
dan sebagainya. Semua hal itu dapat menimbulkan kesan yang lain disebut dengan
“colorizationofnews”.
Spekulasi (speculation),
yaitu tidak menceritakan semua berita, hanya memilih berita yang menguntungkan kelompok
saja, sedang berita yang daapat merugikan tidak di muat. Sebenarnya tidak semua kejadian di
muat di surat kabar, dan surat kabar tidak selalu mengambarkan kejadian yang sebenarnya dalam
arti sedetail-detailnya. Surat kabar hanya selalu memuat kejadian-kejadian yang di anggap aktual,
hangat, yang menarik perhatian karena jarang atau tidak pernah terjadi.[3]
3. Tidak Menghasut
Seorang da’i dalam melaksanakan tugas dakwahnya, ia tidak boleh menghasut apalagi
memfitnah, baik kepada pribadi lain maupun kelompok lain yang berselisih faham. Karena jika itu
di lakukan, yang bingung dan resah adalah masyarakat pendengar sebagai objek dakwah.
Masyarakat akan merasa bingung pendapat da’i yang mana yaang benar dan harus diikuti.
Adapun yang perlu di ingat oleh da’i adalah bahwa dalam melakukan tugas dakwahnya itu,
ia harus menyampaikn kebenaran bukan harus menghasut. Menyampaikan kebeneran tidak harus
di smpaikan dengan menghasut atau bahkan melakukan provokasi. Tindakan ini sebenarnya tidak
cocok di lakukan oleh seorang da’i. Apalagi jika perselisihan pendapat itu masih dalam tema
khilafiyah (perselisihan faham) yang bukan prinsip dalam agama.
Akan tetapi, jika memang yang di sampaikan adalah masalah penegakan kebenaran secara
hak, maka hendaklah da’i menyampaikan kebenaran terssebut walau pahit sekalipun.
Sebagaimana disampaikan oleh nabi bahwa, “sampaikanlah kebenaran walau pahit sekalipun.”
Istilah kode etik lazimnya merujuk pada aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang mermuskan
perilaku benar dan salah. Secara umum etika dakwah itu adalah etika islam itu sendiri dan
pengertian kode etik dakwah adalah rambu-rambu etis yang harus dimiliki seorang juru dakwah.
Namun secara khusus dalam dakwah terdapat kode etik tersendiri.[4] Dan sumber dari rambu-
rambu etis bagi seorang pendakwah adalah Al-Qur’an seperti yang telah dicontohkan Rasulullah
SAW.
Para da’i hendaknya tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan, dalam artian apa saja
yang diperintahkan kepada mad’u, harus pula dikerjakan oleh da’i. seorang da’i yang tidak
beramal sesuai dengan ucapannya ibarat pemanah tanpa busur. Hal ini bersumber pada QS. Al-
shaff:2-3 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang
tidak kalian kerjakan? Amat besar murka disisi Allah, bahwa kalian mengatakan apa yang tidak
kalian kerjakan”.
Tasamuh memang dinjurkan dalam islam, tetapi hanya dalam batas-batas tertentu dan tidak
menyangkut masalah agama.
“dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”.
“Dia(Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta padanya”.
Dalam hal ini memang masih terjadi perbedaan anatara boleh atau tidaknya memungut imbalan
dalam berdakwah. Ada 3 kelompok yang berpendapat mengenai hal ini:
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa memungut imbalan dalam berdakwah hukumnya haram secara
mutlaq, baik dengan perjanjian sebelumya atau tidak.
Imam Malik bin anas, Imam Syafi’I, membolehkan memungut biaya atau imbalan dalam
menyebarkan islam baik dengan perjanjian sebelunya atau tidak.
Al-Hasan al-Basri, Ibn Sirin, Al-Sya’ibi dan lainnya, mereka membolehkan memungut biaya dalam
berdakwah, tapi harus diadakan perjanjian terlebih dahulu.
6. Tidak Berteman Dengan Pelaku Maksiat
Berkawan dengan pelaku maksiat ini dikhawatirkan akan berdampak buruk, karena orang yang
bermaksiat itu beranggapan seakan-akan perbuatan maksiatnya itu direstui dakwah, pada sisi lain
integritas seorang da’i tersebut akan berkurang.
Da’i yang menyampaikan suatu hukum, sementara ia tidak mengetahui hukum itu pasti ia akan
menyesatkan umat. Seorang dakwah tidak boleh asal menjawab pertanyaan orang menurut
seleranya sendiri tanpa ada dasar hukumnya.[5] Hal ini berdasarkan QS. Al-Isra’:36
“dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggung
jawabannya.”
Rambu-rambu etis dalam berdakwah atau yang disebut dengan kode etik dakwah apabila
diaplikasiakn dengan sungguh-sungguh akan berdampak pada mad’u atau oleh sang da’i. pada
mad’u akan memperoleh simpati atau respon yang baik karena dengan menggunakan etika
dakwah yang benar akan tergambaar bahwa islam itu merupakan agama yang harmonis, cinta
damai, dan yang penuh dengan tatanan-tatanan dalam kehidupan masyarakat. Namun secara
umum hikmah dalam pengaplikasian kode etik dakwah itu adalah:
Kemajuan ruhani, dimana bagi seorang juru dakwah ia akan selalu berpegang pada rambu-rambu
etis islam, maka secara otomatisia akan memiliki akhlak yang mulia.
Sebagai penuntun kebikan, kode etik dakwah bukan menuntun sang da’i pada jalan kebaikan
tetapi mendorong dan memotivasi membentuk kehidupan yang suci dengan memprodusir
kebaikan dan kebajikan yang mendatangkan kemanfaatan bagi sang da’i khususnya dan umat
manusia pada umumnya.
Membawa pada kesmpurnaan iman. Iman yag sempurna akan melahirkan kesempurnaan diri.
Dengan bahasa lain bahwa keindahan etika adalah manifestasi kesempurnaan iman.
Kerukunan antar umat beragama, untuk membina keharmonisan secara ekstern dan intern pada
diri sang da’i.
BAB III
PENUTUP
kesimpulan
Etika berasal dari kata ethos yaitu untuk suatu kehendak baik yang tetap. Etika berhubungan
dengan soal baik atau buruk,benar atau salah. Etika adalah jiwa atau semangat yang menyertai suatu
tindakan. Beberapa etika dakwah yang hendaknya di lakukan oleh para juru dakwah dalam melakukan
dakwahnya antara lain : sopan, jujur dan tidak menghasut.
kode etik lazimnya merujuk pada aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang mermuskan perilaku
benar dan salah. Secara umum etika dakwah itu adalah etika islam itu sendiri dan pengertian kode etik
dakwah adalah rambu-rambu etis yang harus dimiliki seorang juru dakwah. Diantara kode etik dakwah
adalah sebagai berikut: Tidak Memisahkan Antara Ucapan Dan Perbuatan, Tidak Melakukan
Toleransi Agama, tidak menghina sesembahan non muslim, tidak melakukan diskriminasi sosial, tidak
berteman dengan pelaku maksiat, dan tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui.
Adapun hikamah menerapakan kode etik dakwah yaitu: kemajuan ruhani, sebagai penuntun
kebaikan, membawa pada kesempurnaan iman, dan kerukunan antar umat beragama.
DAFTAR PUSTAKA
Jafar, Iftitah. TAFSIR AYAT DAKWAH: Pesan, Metode, dan Prinsip Dakwah Inklusif. Cet. I;
Makassar: Mishbah Press. 2010.
Nabiry, Fathul Bahri. Meneliti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i. Cet. I; Jakarta: Amzah,
2008.