Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada masa sekarang banyak problematika dan kontroversi di kalangan masyarakat,
contohnya saja dalam masalah ekonomi, terfokus lagi kepada kasus korupsi yang sampai
sekarang belum ditemukan obat penawarnya. Suap menyuap menjamur dan tumbuh
subur di negara ini. Dari yang kecil sampai besar, dari yang sedikit sampai banyak. Dari
korupsi ratusan ribu sampai ratusan miliyar.
Masalah ekonomi selanjutnya adalah monopoli barang dan menimbun barang. Disaat
krisis ekonomi di Indonesia tak dapat ditanggulangi, banyak para pedagang pedagang
nakal yang berdagang secara tidak benar. Bahkan menimbulkan kerugian bagi banyak
pihak.
Kedua permasalahan tersebut akan penulis bahas di dalam makalah, mulai dari hadits
hadits yang memberikan landasan hukum atas problematika diatas.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah hadits tentang larangan suap menyuap ?
2. Apakah hadits tentang larangan menerima hadiah ?
3. Apakah hadits tentang larangan jual beli makelar ?
4. Apakah hadits tentang larangan menimbun barang ?
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui hadits tentang larangan suap menyuap
2. Untuk mengetahui hadits tentang larangan menerima hadiah
3. Untuk mengetahui hadits tentang larangan jual beli makelar
4. Untuk mengetahui hadits tentang larangan menimbun barang

BAB II
PEMBAHASAN
A. LARANGAN KORUPSI DAN KOLUSI
1. Larangan Menyuap

(hadits riwayat) dari Abdullah Ibn Amr dia berkata : aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda : Allah melaknat orang yang menerima suap.H.R Ibnu Hibban.
a. Tinjauan Bahasa

b. Penjelasan Isi
Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa
uang maupun lainnya kepada penegak hukum agar terlepas dari ancaman hukum
atau mendapat hukuman ringan.1
Laknat bermakna menyimpang dan jauh dari rahmat Allah. Orang yang
melakukan suap, tidak mendapatkan rahmat Allah dalam bentuk ketenangan dan
keberkahan

terhadap apa

yang akan diperolehnya. Karena sesungguhnya

perilaku suap itu menyimpang dari ajaran yang digariskan oleh Allah.
Kata al rasyi bermakna orang yang memberikan suap, yaitu sesuatu yang
diberikan kepada orang lain dengan maksud untuk membatalkan hak orang lain
atau memperoleh hak yang bathil.2
Perbuatan seperti itu sangat dilarang dalam Islam dan disepakati oleh para
ulama sebagai perbuatan haram. Harta yag diterima dari hasil menyuap tersebut
1

Rahmat Syafei, Al Hadits, Aqidah, Sosial dan Hukum, (Bandung : Pustaka Setia,
2000), hal: 151-152
2
Ali Sati dan Maizuddin, Hadits I, (Padang : Hayfa Press, 2009), hal. 83

tergolong dalam harta yang diperoleh melalui jalan batil. Allah SWT berfirman
dalam al Quran : 3

Dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil, (janganlah kamu) membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian pada harta benda orang lain
dengan (jalan) berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.
Perbuatan memberi suap yang melibatkan ihak pihak lainnya sangat
dilarang di dalam agama sehingga perbuatan ini dilaknat oleh Allah dan Rasul.
Sebagian ulama meyatakan bahwa perbuatan yang diberi kata laknat bila
melakukannya termasuk salah satu dosa yang sangat merusak.
Dikatakan merusak karena tidak hanya merusak individu yang terkait dengan
perbuatan itu, tetapi juga merugikan hak hak orang lain. Hak hak yang
seharusnya berada di tangan pemiliknya tidak bisa didapatkan lagi karena
perbuatan suap menyuap. Hal ini sangat bertentangan dengan perintah Allah
yang menginginkan agar memberikan hak kepada pemiliknya, dan larangan yang
memakan harta orang lain secara batil. Tatanan masyarakat menjadi kacau, karena
orang berada dalam kezaliman. Dalam situasi seperti ini, di mana seseorang
senantiasa terzalimi, maka dapat memotivasi setiap orang untuk berbuat zalim.
Islam melarang perbuatan tersebut, bahkan menggolongkannya sebagai salah
satu dosa besar, yang dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena perbuatan
tersebut tidak hanya melecehkan hukum, tetapi lebih jauh lagi melecehkan hak
seseorang untuk mendapat perlakuan yng sama di depan hukum.

Rahmat Syafei, Op.cit.

Untuk mengurangi perbuatan suap menyuap dalam masalah hukum, jabatan


hakim lebih utama diberikan kepada mereka yang berkecukupan daripada dijabat
oleh mereka yang hidupnya serba kekurangan karena kemiskinan seorang hakim
akan mudah membawa dirinya untuk berusaha mendapatkan sesuatu yang bukan
haknya.
Suap menyuap tidak hanya dilarang dalam masalah hukum saja, tetapi
dalam berbagai aktivitas dan kegiatan. Dalam beberpa hadits lainnya, suap
menyuap tidak dikhususkan terhadap masalah hukum saja, tetapi bersifat umum,
seperti dalam hadits :

Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah Saw, melaknat penyuap dan orang yang
disuap. (H.R. Tirmudzi)
Contohnya, dalam penerimaan tenaga kerja, jika didasarkan pada besarnya
suap, bukan pada profesionalisme dan kemampuan, hal itu diyakini akan merusak
kualitas dan kuantitas hasil kerja, bahkan tidak tertutup kemungkinan bahwa
pekerja tersebut tidak mampu melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan
kepadanya, sehingga akan merugikan rakyat.
Dengan demikian, kapan dan dimana saja, suap akan menyebabkan kerugian
bagi masyarakat banyak. Dengan demikian, larangan Islam untuk menjauhi suap
tidak lain agar manusia terhindar dari kerusakan dan kebinasaan di dunia dan
siksa Allah SWT kelak di akhirat. 4
2. Larangan Pejabat Menerima Hadiah

Rahmat Syafei, Al Hadits, Aqidah, Sosial dan Hukum, (Bandung : Pustaka Setia,
2000), hal: 153-154

Abu Humaid Assaid r.a berkata, Rasulullah SAW, mengangkat seorang pegawai
untuk menerima sedekah/ zakat kemudian sesudah selesai ia datang kepada Nabi
SAW dan berkata, ini untuk mu dan yang ini untu hadiah yang diberikan orang
kepada ku. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, mengapakah anda tidak duduk
saja di rumah ayah atau ibu anda untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak
(oleh orang) ?. Kemudian sesudah salat, Nabi SAW berdiri setelah tasyahud memuji
Allah selayaknya, lalu bersabda, Amma Badu, mengapakah seorang pegawai yang
diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata , ini hasil untuk kamu dan ini aku
berikan hadiah, mengapa ia tidak duduk saja dirumah ayah dan ibunya untuk melihat
apakah diberi hadiah atau tidak. Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya,
tiada seseorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan

menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya, jika berupa onta bersuara, atau
kambing yang mengembek, maka sungguh aku telah menyampaikna. Abu Humaid
berkata, kemudian Nabi SAW mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat
melihat putih kedua ketiaknya.
(Dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam kitab Iman dan Nadzar, bab :
Bagaimana Cara Nabi SAW. Bersumpah.)
a. Tinjauan Bahasa

b. Penjelasan Materi
Dalam Islam, hadiah dianggap sebagai salah satu cara untuk lebih
merekatkan persaudaraan atau persahabatan, sebagaimana disebutkan dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Muwatha dari Al
Khurasany :

Saling

bersalamanlah

kamu

semua,

niscaya

akan

menghilangkan

kedengkian, saling memberi hadiahlah kamu semua, niscaya akan saling


mecintai, dan menghilangkan percekotan.5
Turmudzi meriwayatkan hadits lain dari Abu Hurairah :

Saling memberi hadiahlah kamu semua, sesungguhnya hadiah itu meghilangkan


kebencian dan kemarahan.
Bagi orangnya yang diberi hadiah, disunahkan untuk menerimanya meskipun
hadiah tersebut kelihatannya hina dan tidak berguna.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa pada dasarnya memberikan hadiah
kepada orang lain sangat baik dan dianjurkan untuk lebih meningkatkan rasa
saling mencintai. Begitu pula bagi yang diberi hadiah disunahkan untuk
menerimanya.
Akan tetapi, Islam pun memberi rambu rambu tertentu dalam masalah
hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun penerimanya.
Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah, misalnya
bagi seorang pejabat atau pemegang kekuasaan.
Islam melarang seoarang pejabat atau petugas negara dalam posisi apapun
untuk menerima atau memperoleh hadiah dari siapapun, karena tidaklah layak
dan dapat menimbulkan fitnah. Di samping sudah mendapatkan gaji dari negara,
alasan pemberian hadiah tersebut berkat kedudukannya. Bila dia tidak memiliki
kedudukan atau jabatan, belum tentu orang orang tersebut aka memberinya
hadiah.

Ibid. Hal. 158 - 159

Dengan kata lain, hadiah yang diberikan kepada seorang pejabat sebenarnya
bukanlah haknya. Di samping itu, niat orang orang memberikan hadiah kepada
para pejabat atau para pegawai, dipastikan tidak didorong dan didasarkan pada
keihklasan sehingga perbuatan mereka akan sia sia di hadapan Allah SWT.
Kalau memang ingin memberi hadiah, mengapa tidak memberikannya kepada
mereka yang lebih membutuhkan daripada pejabat tersebut. Jelaslah bahwa
mereka menginginkan balas budi dari hadiah yang diberikan tersebut, antara lain
mengharapka agar pejabat tersebut mengingatnya dan mempermudah urusannya.
Dalam kaitannya dengan pekerjaan Rasulullah melarang para pekerja untuk
menerima hadiah dalam pekerjaanya. Rasulullah menyadarkannya bahwa hadiah
yang diterimanya itu tidak layak. Perilaku manusia menerima hadiah dalam
pekerjaan dapat memotivasi seseorang untuk menggunakan kekuasaan yang telah
diperolehnya untuk mengeruk keuntungan pribadn i. Motivasi ini akhirnya akan
mengalahkan pelaksanaan amanah rakyat yang telah dibebankan kepadanya.
Padahal Rasulullah mengingatkan bahwa pemimpin, pejabat atau para pemegang
jabatan lainnya adalah pelayan rakyat.
Al Khauli menjelaskan bahwa di sini Rasulullah memberi contoh sebagai
pemimpin untuk mengawasi para pekerja dan orang orang yang beliau pimpin
untuk tidak menutup mata dan membiarkan mereka menggunakan kesempatan
bekerja untuk mengumpulkan kekayaan mereka sendiri dan mencuri harta rakyat.
Rasulullah juga mengingatkan akibat buruk yang ditimbulkan oleh para pemimpin
atau pekerja yang berani mengambil apa saja yang bukan haknya. Dan juga
menjelaskan bahwa pada hari kiamat nanti mereka akan memikul beban yang
berat dipundaknya seraya membeberkan masalahnya dan kezhaliman yang
dilakukannya dengan suara yang keras.6
Dengan demikian, sangatlah pantas kalau Rasulullah melarang seorang
pegawai atau petugas negara untuk merima hadiah karena menimbulkan
kemudharatan walaupun pada asalnya menerima hadiah itu di anjurkan. Dalam

Ali Sati dan Maizuddin, Hadits I, (Padang : Hayfa Press, 2009), hal. 87

kaidah Ushul Fiqh dinyatakan bahwa : suatu perantara yang akan menimbulkan
suatu kemudharatan, tidak boleh dilakukan.
Namun demikian, kalau kaidah tersebut betul betul murni dan tidak ada
kaitannya dengan jabatannya, Islam tentu saja memperbolehkannya. Misalnya
sebelum dia memangku suatu jabatan, dia sudah terbiasa menerima hadiah dari
seseorang. Begitu pula setelah dia menduduki suatu jabatan, orang tersebut masih
tetap memberinya hadiah. Pemberian seperti itu kemungkinan besar tidak ada
kaitannya dengan jabatannya atau kedudukannya dan ini boleh diterima olehnya. 7
B. LARANGAN MONOPOLI DAN MENIMBUN BARANG
1. Larangan Monopoli

:
: : : . :
. :
(Hadis riwayat) dari ibn Abbas RA, dia berkata: rasulullah SAW bersabda:
Janganlah kamu mencengat orang-orang desa (yang ingin menjual barangnya ke
kota) dan jangan pula orang-orang kota menjajalkan buat orang-orang desa. Saya
bertanya kepada ibn abbas berkata :jangan ia menjadi perantara baginya. (H.R
Bukhari dan muslim).
Dalam hadis ini Rasulullah SAW melarang orang para makelar yang mencegat
orang untuk memasarkan dagangannya ke pasar dengan terlebih dahulu membelinya
sebelun sampai ke pasar. Perilaku ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat Arab
yang pekerjaannya sebagai pedagang membawa barang dagangannya untuk dijual ke
negeri lainnya, begitupun sebaliknya pedagang dari negeri tetangga atau kafilah juga
berdatangan.8 Mereka berhenti di suatu pasar atau tempat berkumpulnya penduduk.
Meraka berdagang dengan harga yang murah, karena mereka adalah pemjual pertama.
Tetapi mereka sering dicegat oleh para makelar dan para tengkulak yang memberi
semua barang-barang mereka. Barang ini dijual kembali dengan harga yang tinggi,
sehingga para penduduk terpaksa membeli dengan harga tinggi.9
Karena itulah Rasulullah melarang para tengkulak ini melakukan aksinya
membeli semua barang dan menjualnya kembali dengan harga tinggi. Rasulullah
7

Rahmat Syafei, Al Hadits, Aqidah, Sosial dan Hukum, (Bandung : Pustaka Setia,
2000), hal: 159 - 162
8
9

Ilfi Nur Diana. 2012. Hadis-hadis ekonomi. Malang: UIN-MALIKI PRES. h. 68


Ali Sati dan Maizuddin, Hadits I, (Padang : Hayfa Press, 2009, h. 89

hanya mengizinkan agar jual beli terjadi di pasar dan tidak boleh mencegat kafilah di
luar pasar.


.
(Hadis) dari ibnu Umar RA ia berkata: kami dahulu mencegat para pedagang lalu
membeli makanan dari mereka, maka Rasulullah melarang bertransaksi barang
sehingga para kafilah itu sampai di pasar makanan. H.R bukhari.
Menurut Hadawiyah dan Ay-syafiiyah, larangan mencegat barang adalah di
luar daerah. Dengan alasan bahwa larangan tersebut erat kaitannya dengan penipuan
terhadap para kafilah. Apabila para kafilah sudah sampai di daerah maka ia akan
mengetahui harga sebenarnya. Sedangkan ulama Malikiyah, Ahmad, dan Ishaq,
berpendapat bahwa hadis itu melarang mencegat para kafilah di luar pasar secara
mutlak dengan mengamalkan zahir hadis.
Adapun hukum menemui kafilah, menurut Al-Kahlany, adalah haram jika
sudah mengetahui larangan menemui kafilah tersebut. Dengan demikian, para ulama
berbeda pendapat. Menuru ulama Hanafiyah dan Al-AujaI dibolehkan mencegat
para kafilah jika tidak memadaratkan penduduk, tetapi jika memadaratkan penduduk,
hukumnya makruh.10
Adapun hukum transaksi yang dilakukan ketika mencegat para kafilah tersebut
adalah sah menurut Al-hadawiyah. Menurut ulama Syafi`iyah, diperbolehkan khiyar
bagi para kafilah tersebut, yakni hak memilih untuk dijadikan atau membatalkan
penjualan sebelum kafilah tibah di pasar.
Perilaku ini jelas akan merugikan kafilah dagang dan juga masyarakat. Ketika
mereka dicegat di luar pasar, tentu saja mereka tidak mengetahui harga yang
sebenarnya karena mereka adalah kafilah yang datang dari negeri yang jauh. Dapat
saja mereka tertipu dengan kecerdikan pada makelar sehingga dapat membeli dengan
harga yang murah melebihi harga pasaran. Di sisi lain, masyarakat yang membeli
barang tidak lagi dari tangan pertama, tetapi bisa dari tangan ketiga, keempat atau
seterusnya yang tidak terkontrol sehingga harga barang yang semula murah dapat
melambung menjadi mahal. Keadaan seperti inilah yang menguntungkan para
makelar yang sementara para pedagang dan masyarakat dirugikan oleh sekelompok
orang yang menjadi makelar.11
Dari sini dapat terlihat bahwa islam menginkan keuntungan bersama dari suatu
proses transaksi. Perilaku seperti ini adalah perilaku eksploitasi yang merupakan
kezaliman.
10

Rachmat syafei.2000. Al-hadis, Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum. Bandung: pustaka
setia. h.171
11
Ibid. h.89

2. Larangan menimbun barang.





Dari Ma'mar RA, dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Barang siapa
menimbun bahan makanan, berarti ia telah berbuat dosa.'" Lalu seseorang berkata
kepada Said bin Musayyab, "Bukankah kamu sendiri sering menimbun makanan
wahai Said?" Said bin Musayyab menjawab, "Sebenarnya Ma'mar, sahabat yang
menceritakan hadits ini, dahulu yang sering menimbunnya." {Muslim: }
Menimbun barang yang dimaksudkan dalam hadis diatas adalah membeli
barang dalam jumlah besar lalu simpan dengan maksud menjualnya kembali dengan
harga relative tinggi saat orang yang membutuhkan. Perilaku ini adalah perilaku yang
merugikan masyarakat, dengan mempermainkan keadaan dan situasi sehingga barang
menjadi langkah, dan pada saat yang sama masyarakat sangat membutuhkannya.
Masyarakat terpaksa membeli dengan harga tinggi karena sangaat membutuhkan.12
Dalam hadis diatas, tidak dijelaskan jenis barang yang dilarang untuk
ditimbun, sehingga kalangan ulama berbeda pendapat bahwa diharamkan menimbun
barang apa saja yang akan memadaratkan orang lain. Salah satunya adalah Abu Yusuf
yang dinyatakan bahwa barang apa saja dilarang untuk ditimbun kalau akan
menyebabkan kemadaratan kepada manusia walaupun barang tersebut emas dan
perak. Pendapat ini disepakati oleh sebagian ulama terakhir dari Hanabillah, Ibn
Abidin Syaukani dan Sebagian Ulama Malikiyah. Adapun menurut ulama syafiiyyah
dan hanabilah, barang yang dilarang untuk ditimbun adalah barang kebutuhan primer,
sedangkan barang kebutuhan sekunder tidaklah diharamkan. Ulama lainnya
berpendapat penimbulan yang dilarang adalah barang-barang yang biasa
diperdagangkan karena akan menimbulkan ketidakstabilan harga.
Para Ahli Fiqh, sebagaimana dikutip oleh DRs. Sudirman. M. MA.
Berpendapat bahwa penimbungan diharamkan bila terdapat syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya atau dapat dijadikan persediaan
untuk setahun.
2. Barang yang ditimbun dalam usaha menunggu saat naiknya harga, sehingga
barang tersebut di jual dengan harga tinggi dan para konsumen sangat
membutuhkannya.
3. Penimbungan itu dilakukan pada saat manusia sangat membutuhkannya, seperti:
makanan, pakaian, dan lain-lainnya.
Sedangkan mengenai hukum dari penimbungan barang tersebut, di kalangan
ulama terjadi perbedaan pendapat, yaitu:
12

Ali Sati dan Maizuddin, Hadits I, (Padang : Hayfa Press, 2009. h.90

1. Menurut mazhab jumhur dare kalangan Syafiiyah, Malikiyah, Hanabilah,


Zahiriyah, Zaidiyah, Ibadiyah, Al-Imaniyah, dan Al-Kasani dari golongan
Hanafiyah, bahwa penimbungan barang hukunnya haram. Dengan pertimbangan
bahwa perbuatan tersebut akan menimbulkan kemadaratan bagi manusia.
2. Menurut pendapat Fuqaha dare kalangan mazhab Hanafiayh, bahwa penimbungan
barang dagangan hukumnya adalah makruh tahrim. Dengan pertimbangan bahwa
penimbunan tersebut diperbolehkan jika kemaslahatan manusia.
Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmizi dan Sahih
Muslim dari Mamar. bahawa Rasulullah SAW bersabda:

siapa saja melakukan penimbunan, ia dipandang (dianggap) bersalah
Para penimbun dianggap sebagai sejelek-jeleknya hamba yang secara tidak
langsung telah merampas hak dan kehidupan orang lain demi kepentingan diri sendiri.
Rasulullah SAW bersabda:
.
Sejelek-jeleknya hamba adalah si penimbun, jika ia mendengar barang
murah ia murka dan jika barang menjadi mahal ia gembira.
Bahkan, mereka yang menimbun barang 40 hari, dianggap telah terlepas dari
Allah SWT, sabda Rasulullah SAW:

siapa yang menimbun barang pangan selama 40 hari ia sungguh telah
terlepas dari allah dan allah lepas darinya.
Larangan yang lebih tegas tentang penimbunan ini terdapat dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Hakim dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW
bersabda:

orang-orang yang menawarkan barang dan menjualnya dengan harga
murah (jalib) diberi rezeki, sedangkan penimbun dilaknat
Dalam islam orang yang menimbun barang, terutama makanan pokok untuk
dijual dengan harga tinggi pada waktu orang lain sangat membutuhkan adalah dosa
besar. Akan tetapi, kalau menimbun barang demi kemaslahatan penduduk dalam
rangka menyiapkan musim paceklik tidak termasuk dosa besar. Seperti penimbunan
barang yang dilakukan oleh pemerintah untuk menstabilkan keberadaan barang dan
menetralisir harganya menjadi normal.13
13

Ibid.h.91

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Larangan Suap Menyuap
Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun
lainnya kepada penegak hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau mendapat hukuman
ringan.
Laknat bermakna menyimpang dan jauh dari rahmat Allah. Orang yang melakukan suap,
tidak mendapatkan rahmat Allah dalam bentuk ketenangan dan keberkahan terhadap apa
yang akan diperolehnya. Karena sesungguhnya perilaku suap itu menyimpang dari ajaran
yang digariskan oleh Allah.
2. Larangan Menerima Hadiah
Dalam Islam, hadiah dianggap sebagai salah satu cara untuk lebih merekatkan
persaudaraan atau persahabatan. Memberikan hadiah kepada orang lain sangat baik dan
dianjurkan untuk lebih meningkatkan rasa saling mencintai. Begitu pula bagi yang diberi
hadiah disunahkan untuk menerimanya.
Namun menerima hadiah menjadi larangan di akibat oleh keadaan si penerimanya,
contohnya para pejabat negara yang sudah menerima gaji dari negara, tidaklah layak seorang

pejabat tersebut menerima hadiah, apalagi sang pemberi berniat memberi hadiah karena
bertujuan untuk dimudahkan urusannya oleh si pejabat tersebut.
3. Larangan Monopoli
Rasulullah SAW melarang orang para makelar yang mencegat orang untuk memasarkan
dagangannya ke pasar dengan terlebih dahulu membelinya sebelum sampai ke pasar. Perilaku
ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat Arab yang pekerjaannya sebagai pedagang
membawa barang dagangannya untuk dijual ke negeri lainnya, begitupun sebaliknya
pedagang dari negeri tetangga atau kafilah juga berdatangan. Mereka berhenti di suatu pasar
atau tempat berkumpulnya penduduk. Meraka berdagang dengan harga yang murah, karena
mereka adalah pemjual pertama. Tetapi mereka sering dicegat oleh para makelar dan para
tengkulak yang memberi semua barang-barang mereka. Barang ini dijual kembali dengan
harga yang tinggi, sehingga para penduduk terpaksa membeli dengan harga tinggi.
4. Larangan Menimbun Barang
Menimbun barang yang dimaksudkan dalam hadis diatas adalah membeli barang dalam
jumlah besar lalu simpan dengan maksud menjualnya kembali dengan harga relative tinggi
saat orang yang membutuhkan. Perilaku ini adalah perilaku yang merugikan masyarakat,
dengan mempermainkan keadaan dan situasi sehingga barang menjadi langkah, dan pada saat
yang sama masyarakat sangat membutuhkannya. Masyarakat terpaksa membeli dengan harga
tinggi karena sangaat membutuhkan

Anda mungkin juga menyukai