Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Manusia Sebagai Pelaku Dakwah

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata kuliah : Filsafat Dakwah
Dosen Pengampu : Mualamatul Musawamah, M.S.I.

DisusunOleh :
1. Syarifudin ( 2140310072 )
2. Aldi handoyo ( 2140310076)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM
MANAJEMEN DAKWAH
2022

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga dapat menyusun makalah ini dengan baik dan selesai tepat dengan waktunya.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dari Dosen pengampu mata
kuliah filsafat dakwah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi
kami sebagai penulis dan bagi para pembaca.

Kami selaku penulis tidak lupa untuk mengucapkan terimakasih kepada ibu
mualamatul musawwamah selaku Dosen pembimbing mata kuliah filsafat dakwah . Tidak
lupa pihak-pihak lain yang telah mendukung penulisan makalah ini kami ucapkan terima
kasih.

Terakhir, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, karena keterbatasan pengetahuan
dan pengalaman kami, Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bisa membangun
kemampuan kami demi kesempurnaan makalah ini.

Kudus, 9 Nov 2022

BAB 1
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Secara Etimologi manusia berasal dari kata “NASIA” yang artinya Lupa. Maksudnya
adalah bahwa manusia hakikatnya lupa akan perjanjian Allah sewaktu di alam ruh. Dalam arti
lain Hakikat manusia memang pelupa. Dalam sebuah hadits “Manusia adalah Tempatnya
salah dan Lupa” Masing-masing manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Sesuai
dengan hadits Nabi SAW yang mengatakan bahwa : “Tiap-tiap anak itu dilahirkan dalam
keadaan fitrah (suci)....”. Tentu dalam hal ini yang dimaksud “suci” adalah ruh si anak
tersebut. Karena manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan ruh (jiwa), ruh yang
ditiupkan ke dalam diri manusia itu suci dan bersih karena ia berasal dari Yang Maha Suci
(Allah). Da‘i harus berperan untuk melakukan perubahan social masyarakat ada di desa. Para
da‘i ketika itu memainkan peran penting sebagai penyebar agama hingga pengayom
masyarakat. Sehingga hubungan antara da‘i dengan masyarakatnya sangat dekat, tanpa sekat
yang menjauhkan antara keduanya. Hal inilah di lakukan dengan memasukkan unsur-unsur
Islam ke dalam kehidupan social masyarakat. Hal itu bertujuan untuk memberikan spirit
keagamaan bagi lingkungan masyarakat. oleh masyarakat. Sehingga Islam teintegrasi dalam
perubahan social masyarakat dengan bercampur segala dimensi kehidupan masyarakat di
dalamnya. Terbukanya ruang kemajuan ini membawa angin baru bagi perkembangan umat
Islam. Dari penemuan dan perkembangan tersebut tentu dapat dimanfaatkan sebagai media
untuk kemajuan dan perkembangan umat secara umum. Sekaligus umat Islam dengan mudah
mendapatkan berbagai kajian dan informasi hubungannya dengan keagamaan, jika
dibandingkan dengan media yang digunakan para tokoh agama pada abad-abad sebelumnya.
Penyajiannya juga dapat dengan mudah diketahui sebab susunan pesan yang disampaikan
dengan mudah dapat dianalisis dan semakin memudahkan umat untuk mengetahuinya secara
umum.

2. Rumusan Masalah

1. Apa Kebutuhan Manusia Terhadap Dakwah ?

2. Bagaimana Manusia Sebagai Da’i ?

3. Apa Prinsip-prinsip Dakwah Islam ?

3. Tujuan

1. Mengetahui Kebutuhan Manusia Terhadap Dakwah.

2. Mengetahui Manusia Sebagai Da’i.

3. Mengetahui Prinsip-prinsip Dakwah Islam.


BAB 2

PEMBAHASAN

1. Kebutuhan Manusia Terhadap Dakwah

Kebutuhan Manusia Kepada Dakwah Secara Fitrah manusia menginginkan “Kesatuan


Dirinya” dengan Tuhan, karena itulah pergerakan dan perjalanan hidup manusia adalah
sebuah evolusi spiritual menuju dan mendekat kepada sang pencipta. Kebutuhan manusia
terhadap dakwah adalah salah satu dari Fitrah manusia. Dengan adanya Fitrah agama pada
diri manusia yang pada perkembangannya tidak semua manusia mampu untuk
mempertahankannya, mengikutinya dan fitrah itu sendiri tidak akan berjalan dengan
otomatis, melainkan tergantung kepada manusia itu sendiri. Maka Allah mengutus rasul-Nya
sebagai contoh dan tauladan bagi manusia untuk menjelaskan bagaimana seharusnya manusia
hidup di muka bumi ini sesuai dengan fitrahnya. Karena manusia yang tidak mampu
mempertahankan fitrahnya maka derajatnya tidak akan berbeda dengan makhluk yang
lainnya. Kedudukan, fungsi dan kelebihan yang diberikan Allah SWT kepada manusia
(karena dibekali dengan akal dan qalbu) dibanding makhluk yang lainnya, menjadikan
manusia memiliki konsekwensi nilai moral relegius. Setiap manusia harus mempertahankan
dan mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya semasa di dunia kepada Allah
SWT. Oleh karena itu dalam rangka mengaplikasikan aturan agama yang diturunkan Allah
melalui rasul-Nya kepada seluruh manusia perlu adanya kegiatan dakwah agar manusia tidak
lari dari fitrahnya dan tidak manjadikan manusia lupa kepada penciptanya. Adapun dakwah
yang merupakan kegiatan menyampaikan informasi-informasi agama kepada manusia, yang
mana informasi yang paling mulia itu sendiri adalah wahyu(agama) dan setiap manusia akan
membutuhkan agama karena itu salah satu kegiatan yang dapat dilakukan untuk membimbing
dan mengingatkan manusia kepada penciptanya adalah dakwah. Berkaitan dengan pengertian
fitrah, Abu Su’ud menjelaskan sebagaimana yang dikutip Salmadanis bahwa fitrah adalah
potensi yang terdapat dalam diri manusia untuk menerima kebenaran. Bila manusia
mengingkari dan tidak mau menjadikan agama Islam sebagai landasan moralitas dalam
hidupnya, pada hakikatnya mereka telah disesatkan oleh tipu daya setan. Hal ini dapat
dibuktikan dari riwayat yang menjelaskan bahwa orang yang paling gencar mengingkari dan
menyerang Rasulullah SAW adalah pamannya sendiri Abu Lahab, pernah ditanya sahabatnya
ketika mereka berdua, tentang bagaimana sesungguhnya pendapat Abu Lahab terhadap Nabi
Muhammad SAW, Abu Lahab menjawab bahwa sesungguhnnya Nabi adalah orang yang
paling benar. Oleh karena itu fitrah yang ada pada diri manusia cenderung kepada kebaikan
dan kebenaran, namun karena rasa sombong dan cangkak yang ada dalam diri manusia itu
menjadikan manusia tidak mau dan enggan menerima agama tersebut. Maka manusia yang
memiliki dua unsur yaitu jasmani dan ruhani, harus dapat memberikan kebutuhannya masing-
masing. Jasmani butuh makanan dan begitu juga dengan ruhani, kalau jasmani makanannya
adalah bersifat material sebaliknya ruhani makanannya adalah non material (agama Islam),
apabila manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan jasmani dan ruhaninya maka tentu manusia
tersebut akan merasa gelisah dan gundah gulana dan hal ini tentu bertentangan dengan
fitrahnya sebagai manusia yang dibekali dengan aqal dan qalbu. Segala kebutuhan ruhani
manusia yang sesuai dengan agama disebut dengan ibadah. Dan ibadah itu dikerjakan adalah
dengan merendahkan diri kepada Allah SWT dan menghinakan diri di hadapan-Nya. Tugas-
tugas berupa perintah (untuk melaksanakanperintah-Nya) dan meninggalkan larangan-Nya
yang di perintahkan kepada mukallaf disebut sebagai ibadah, dikarenakan ibadah itu
dikerjakan dengan merendahkan dan menghinakan diri di hadapan Allah SWT. Kemudian,
ketika ibadah itu tidak mungkin dapat ditentukan perinciannya semua manusia dengan
akalnya, sebagaimana tidak mungkin pula akal manusia dapat mengetahui hukum-hukum
berupa perintah dan larangan secara terperinci, maka Allah SWT mengutus para rasul dan
menurunkan kitab-kitab suci untuk menjelaskan tentang tujuan Allah menciptakan makhluk,
menerangkan serta menguraikan perinciannya kepada manusia, sehingga mereka menyembah
Allah di atas petunjuk yang terang, dan sehingga mereka berhenti dari apa yang dilarang
Allah untuk mereka di atas petunjuk yang terang pula. Dakwah merupakan suatu hal yang
paling urgen, dan bahwasanya umat di setiap zaman dan tempat benar-benar sangat
membutuhkan kepada dakwah, bahkan kebutuan mereka terhadap dakwah adalah suatu hal
yang dharurat (sangat mendesak).

Dalam hal ini Jum’ah Amin Abdul Aziz

menyatakan bahwa manusia sangat membutuhkan dakwah karena beberapa faktor,


diantaranya;

1. Karena manusia membutuhkan orang yang dapat menjelaskan kepada mereka tentang apa
saja yang diperintahkan oleh Allah kepadanya sebagai hamba dan wakil tuhan di muka bumi.

2. karena kondisi manusia pasti diwarnai dengan kerusakan, ketamakan, dan hawa nafsu.

Apabila hal ini dikaitkan dengan keilmuan dakwah maka jelaslah bahwa dakwah agama yang
disampaikan si Da’i kepada manusia (Mad’unya) agar manusia tersebut hidup sesuai dengan
fitrahnya (menjalankan agama Islam) agar hidupnya bahagia di dunia dan di akhirat maka
mad’u yang tidak mengetahui dan tidak memahami bagaimana seharusnya ia hidup di muka
bumi ini sebagai wakil dan hamba Allah sangat jelas membutuhkan dakwah tersebut.

Mengapa Manusia Harus Di Dakwahi

a. Ditinjau dari Hakikat Manusia : Dapat dipahami bahwa manusia adalah mahluk yg mudah
lupa (tempatnya salah & Lupa). oleh karena itu dakwah merupakan hal yg penting bagi
manusia, untuk sama2 saling mengingatkan terhadap hal2 yg salah dan lupa.

b. Di tinjau dari Teori Kebutuhan manusia :

Bahwa setiap manusia memerlukan kebutuhan Spiritual. Karena manusia membutuhkan


ketenangan jiwa, salahsatu caranya adalah dengan ibadah. Manusia tidak akan mampu
beribadah apabila tidak ada dakwah, oleh karena itu dakwah begitu penting.

Akibat Ketika Manusia Tidak Didak Di Dakwahi Dan Tidak Melaksanakan Dakwah
a. Karena hakikatnya manusia adalah pelupa, maka manusia akan tetap dalam kebodohan
terhadap Akhlak dan moralitas sebagaimana yg terjadi pada zaman Jahiliyah.

b. Manusia tidak akan dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya, apabila tidak ada aktifitas
dakwah.

c. Cahaya hati manusia akan selaluberkurang. Ibarat Bunga yg tak pernah disiram.

d. Potensi Aqal tidak dipandu oleh pengetahuan-pengetahuan Agama (Syariat Islam),


sehingga ketika dakwah tidak ada maka , manusia cendrung mengikuti akal dan hafa nafsu,
bukan tuntunan agama.

2. Manusia sebagai dai

Peran da’I sebagai tokoh masyarakat dalam pembangunan sangat penting, karena
posisinya sebaga seorang “opinion leader” yaitu orang yang berpengaruh besar dalam
mengambil keputusan. Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses yang bertujuan
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam hal ini adalah kesejahteraan untuk individu
maupun kelompok.Setiap program pembangunan dalam bentuk dan jenis apapun yang
tujuannya untuk pemberdayaan social masyarakat di dalamnya diperlukan dukungan da’I
dalam setiap partisipasi masyarakat dalam penguatan spritual keagamaan guna meningkatkan
etos kerja masyarakat. Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa dalam melaukan rekonstruksi
social masyarakat banyak aktor yang terlibat dalam memulihkan masyarakat menuju ke
kondisi normal. Hal ini juga tidak berarti bahwa pendekatan terhadap tokoh formal gampong
(keuchik) harus diabaikan atau tidak penting dilakukan. Di gampong terdapat dua tokoh
masyarakat yang dikenal, yakni tokoh formal dan tokoh informal. Menurut Astrid Susanto
dalam Elly Irawan. Tokoh formal di pedesaan diberi wewenang/kekuasaan untuk mengambil
keputusan-keputusan tertentu, khususnya menangani masalah pemerintahan di tingkat desa.
Sedangkan tokoh informal di tingkat gampong adalah seseorang yang mempunyai
pengetahuan atau informasi yang sangat dibutuhkan masyarakat, tetapi tokoh ini tidak dipilih
secara resmi. Elly Irawan, menjelaskan bahwa dai sebagai tokoh informal pedesaan, biasanya
menguasai pengetahuan atau informasi yang sangat dibutuhkan masyarakat, sehingga Elly
Irawan mengatakan bahwa tokoh informal, kedudukannya di masyarakat pedesaan tetap
stabil sebagai tokoh yang diakui. Menurut Bambang Nugroho, potensi-potensi lokal yang
dimiliki oleh masing-masing daerah harus ditempatkan sebagai modal dasar yang dapat
dikembangkan menjadi kekuatan yang memberikan energi yang kondusif. Dalam konteks ini
kearifan lokal menjadi elemen penting yang signifikan dalam mewujudkan ketahanan sosial
masyarakat serta pembangunan kesejahteraan sosial dalam skala makro. Walaupun kearifan
lokal dinilai sebagai isu baru, tetapi secara substansi kearifan lokal sejak lama telah
dipandang memiliki makna yang sangat berarti dalam mendukung pembangunan
kesejahteraan sosial.

Kompetensi Da‘i adalah Kompetensi berasal dari kata competency, berarti


kemampuan, keahlian atau kacakapan. Istilah kopetensi sebenarnya memiliki banyak makna
menurut kamus umum bahasa Indonesia, kompetensi dapat di artikan (kewenangan)
kekuasaan untuk menetukan atau memutuskan suatu masalah.Menurut Abdullah Mulkhan,
kompetensi da‘i terdiri dari kompetensi subtantif dan kompetensi metodelogis, kompetensi
subtantif menekankan pada keberadaan da‘i dalam di mensi ideal dalam bidang pengetahuan,
sehingga da‘i mempunyai wawasan yang luas baik wawasan keislaman, wawasan keilmuan,
wawasan nasional dan intenasional, serta bersikap dan bertingkah laku yang mencerminkan
akhlak mulia sebagaimana tuntunan Al-Qur‘an.Kompetensi subtantantif seorang da‘i adalah
Memahami Agama Islam secara Komprehesif, tepat dan benar, memiliki Akhlak yang mulia,
mengetahui, perkembangan ilmu pengetahuan yang luas yaitu ilmu yang memiliki keterkaitan
dan sarana pendukung pelaksanaan dakwah, seperti, ilmu bahasa, komunikasi, sosiologi,
psikologi dakwah, teknologi informasi baik cetak maupun elektronik, ilmu patologi sosial
dan lain sebagainya.Sedangkan kompetensi metodologis, lebih kepada kemampuan praktis,
yang harus ada pada seorang da‘i dalam melakukan aktifitas dakwah, di antaranya
kemampuan, merencanakan, menganalisa objek dakwah, mengindentifikasi masalah baik
dengan lisan tulisan maupun dengan amal perbuatan, metode ini lebih kepada
profesionalisme da‘i.Dari dua kompetensi di atas dapat di lihat seorang da‘i harus mempu
melihat permasalahan yang di hadapi oleh umat serta mampu mendiagnosa untuk
menemukan permasalahan yang di hadapi oleh umat sehingga tujuan dakwah bisa tercapai

Kedudukan Da‘i dalam Aktivitas Dakwah Da‘i adalah seseorang yang menyampaikan
pesan pesan tentang mengajak umat manusia kepada jalan Allah dengan tujuan mewujudkan
kebahagian dan kesejahteraan hidup dunia akhirat yang di ridhai Allah, semua pribadi umat
Islam yang mukallaf secara otomatis memiliki kewajiban untuk menyampaikan kebaikan
kepada umat manusia di dunia, para ‘Ulama telah sepakat bahwa melaksanakan dakwah
adalah wajib.13 Sementara menurut Muhammad Abduh, hukum Pelaksanaan dakwah lebih di
pahami kepada wajib ‘ain, sementara asy-Syaukany berpendapat bahwa hokum dakwah
adalah wajib kifayah. Terlepas dari kedua pendapat tersebut di atas bahwa da‘i dalam
aktifitas dakwah adalah seseorang yang menyeru, mengajak, mengarahkan, membina, umat
manusia kepada jalan kebaikan, maka da‘i di sini adalah sebagai subjek dakwan dan mad‘u
sebagai objek dakwah.

Tujuan Da‘wah Da‘I yaitu Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang baik pula.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-
Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. al-Nahl
ayat 125)Persoalan dakwah akhir-akhir ini kembali menjadi sorotan ketika ada oknum yang
memasang tarif. Secara otomatis, perbuatan yang seperti ini dapat melunturkan nilai-nilai
sakral yang ada pada dakwah. Dengan kata lain, dakwah sudah dijadikan sebagai ajang bisnis
bukan sebagai ibadah.Jika dakwah dipahami sebagai ibadah maka hukum yang terdapat pada
ibadah dapat berlaku pada dakwah. Sebagai contoh, dalam ibadah dikenal hukum rukhshah
(keringanan) yang jika seseorang tidak mampu melakukan hal yang pokok maka dibolehkan
mengerjakan yang alternatif.Misalnya, jika seseorang tidak mampu melaksanakan shalat
dengan berdiri maka dibolehkan mengerjakannya sambil duduk. Demikian juga halnya
dengan dakwah, jika kepopuleran diri belum mampu menerima imbalan apa adanya maka
lebih baik mengambil pola dakwah yang sangat sederhana.Selain itu, para audience juga
harus selektif memanggil pendakwah dan jangan hanya melihat sisi-sisi popularitasnya saja
tapi yang lebih penting adalah materi yang disampaikannya. Sering kali materi yang
disampaikan tidak berbobot karena para pendakwah tidak memiliki ilmu pengetahuan yang
luas. Tipe pendakwah seperti inilah yang selalu memasang tarif tinggi.Kemudian, para
pendakwah yang materialis tidak segan-segan menjual diri di hadapan para penguasa dan
pengusaha. Mereka merelakan dirinya diperalat oleh para penguasa yang korup dan juga
menjual diri kepada pengusaha untuk produk iklan. Padahal hampir dapat dipastikan bahwa
pejabat yang suka korup dan pengusaha yang membuat iklan selalu akrab dengan
kebohongan.Meskipun demikian, seleksi alam tetap saja berlaku kepada para pendakwah. Di
antara mereka ada yang popularitasnya menonjol dengan cepat dan lenyapnya juga berjalan
dengan cepat. Oleh karena itu, pendakwah yang dibesarkan oleh media maka suatu saat dia
juga akan dihancurkan oleh media.

Dakwah dalam Alquran bertujuan untuk mengajak manusia ke jalan Tuhan (sabil al-
rabb). Tujuan ini mengisyaratkan bahwa hubungan pendakwah dengan Tuhan adalah
hubungan yang sangat akrab. Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika para pendakwah hanya
berharap imbalan kepada Tuhan tidak kepada manusia. Al-Samarqandi di dalam tafsirnya
Bahr al-‘Ulum, memahami bahwa yang dimaksud dengan “jalan Tuhan” ialah agama Tuhan
dan ketaatan kepada Tuhan. Menurut al-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya al-Kasysyaf,
bahwa yang dimaksud dengan “jalan Tuhan” adalah agama Islam. Dengan demikian,
keberhasilan dakwah dapat diukur melalui pengetahuan dan pengamalan seseorang tentang
Islam.Mengingat bahwa “jalan Tuhan” adalah jalan yang luas maka materi dakwah tidak
hanya terbatas kepada persoalan akidah, hukum dan akhlak. Akan tetapi bidang-bidang lain
yang membawa manfaat bagi kehidupan manusia seperti teknologi dan lain-lain adalah
bagian penting dari materi dakwah.Bila ajaran Islam diyakini sebagai ajaran yang cocok dan
sesuai disegala masa dan tempat maka otomatis metode dakwah akan mengalami perubahan.
Oleh karena itu, yang wajib dipikirkan oleh seorang pendakwah adalah bagaimana para
audience (pendengar) dapat menerima pesan-pesan dakwah bukan memikirkan berapa
banyak yang diterimanya dari para audience. Dakwah ialah upaya yang dilakukan kepada
orang lain untuk mengajaknya kepada jalan kebaikan (jalan Tuhan) dan meninggalkan
kejahatan (jalan setan). Cara ini dapat dilakukan melalui sikap, lisan dan tulisan untuk
meyakinkan audience bahwa apa yang disampaikan adalah pesan-pesan Allah yang mutlak
benar. Cara yang seperti ini populer disebut dengan da’wah bi al-hal, da’wah bi al-lisan dan
da’wah bi al-kitabah.Melihat defenisi dakwah di atas dapat dikatakan bahwa Islam adalah
agama dakwah karena misinya ialah mengajak manusia ke jalan Tuhan. Bahkan Alquran
sendiri memerintahkan bahwa wajib ada di antara orang-orang yang beriman untuk mengajak
manusia berbuat baik dan mengajak untuk meninggalkan kemunkaran yang disebut dengan
istilah amar ma’ruf dan nahi munkar. (Q.S. Ali ‘Imran ayat 104.). Mengingat bahwa tugas
dakwah adalah tugas yang dilakukan secara terus-menerus terhadap locus dan tempus (tempat
dan waktu) yang berbeda maka secara otomatis metode dakwah harus bervariasi. Selain itu,
tingkat pemahaman audience juga berbeda maka secara otomatis materi yang akan
disampaikan harus disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan audience.
3. Dakwah yang sistemik

Sistematika pesan dakwah dalam hal ini tidak bisa lepas dari rangkaian sistematika
pesan yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun demikian sistematika pesan dakwah tidak
sekedar tersampaikan secara teoritis, tetapi lebih jauh diarahkan pada pola pikir, sikap dan
perilaku yang arif-bijaksana (bil-hikmah) dengan pelajaran yang baik, nilai-nilai kebajikan
(mauidzoh hasanah) selanjutnya dalam proses yang terakhir dari sistematika tersebut interaksi
komunikasinya diselesaikan dengan mujadalah (cara yang komunikatif). Proses komunikasi
merupakan aktivitas yang mendasar bagi manusia sebagai makhluk sosial. Dalam proses
komunikasi tersebut mencakup sejumlah komponen atau unsur, salah satu komponen atau
unsur tersebut adalah pesan. Pesan adalah keseluruhan daripada apa yang disampaikan oleh
komunikator. Pesan yang disampaikan komunikator adalah pernyataan sebagai panduan
pikiran dan perasaan, dapat berupa ide, informasi keluhan, keyakinan, imbauan, anjuran dan
sebagainya.Pernyataan tersebut dibawakan oleh lambang, umumnya bahasa. Dikatakan
bahwa umumnya bahasa yang dipergunakan untuk menyalurkan pernyataan itu, sebab ada
juga lambang lain yang dipergunakan, antara lain kial, yakni gerakan anggota tubuh, gambar,
warna, dan sebagainya. Melambaikan tangan, mengedipkan mata, mencibirkan bibir, atau
menganggukkan kepala adalah kial yang merupakan lambang untuk menunjukkan perasaan
atau pikiran seseorang. Gambar, apakah itu foto, lukisan, sketsa, karikatur, diagram, grafik,
atau lain-lainnya, adalah lambang yang biasa digunakan untuk menyampaikan pernyataan
seseorang. Demikian pula warna, seperti pada lampu lalu lintas: merah berarti berhenti,
kuning berarti siap, dan hijau berarti berjalan; kesemuanya itu lambang yang dipergunakan
polisi lalu lintas untuk menyampaikan intruksi kepada para pemakai jalan. Diantara sekian
banyak lambang yang biasa digunakan dalam komunikasi adalah bahasa, sebab bahasa dapat
menunjukkan pernyataan seseorang mengenai hal-hal, selain yang kongkret juga yang
abstrak, baik yang terjadi saat sekarang maupun waktu yang lalu dan masa yang akan datang.
Tidak demikian kemampuan lambang-lambang lainnya. Pesan seharusnya mempunyai inti
pesan (tema) sebagai pengarah didalam usaha mecoba mengubah sikap dan tingkah laku
komunikan.

Pesan dapat bersifat informatif, persuasif, dan coersif :

a. Informatif

Memberikan keterangan-keterangan dan kemudian komunikan dapat mengambil kesimpulan


sendiri. Dalam situasi tertentu pesan informatif lebih berhasil daripada pesan persuasif
misalnya pada kalangan cendikiawan.

b. Persuasif

Bujukan yakni membangkitkan pengertian dan kesadaran seseorang bahwa apa yang kita
sampaikan akan memberikan rupa pendapat atau sikap sehingga ada perubahan. Tetapi
perubahan yang terjadi itu adalah atas kehendak sendiri, misalnya pada waktu diadakan
lobby, atau pada waktu istirahat makan bersama.
c. Coersif

Memaksa dengan menggunakan sanksi-sanksi. Bentuk yang terkenal dari penyampaian pesan
secara ini adalah agitasi dengan penekanan-penekanan yang menimbulkan tekanan batin dan
ketakutan diantara sesamanya dan pada kalangan publik. Coersif dapat berbentuk perintah,
instruksi dan sebagainya. Untuk merumuskan pesan agar mengena, pesan yang disampaikan
harus tepat, ibarat kita membidik dan menembak, maka peluru yang keluar haruslah tepat
kena sasarannya.

Pesan yang mengena harus memenuhi syarat-syarat :

a. Pesan harus direncanakan (dipersiapkan) secara baik, serta sesuai dengan kebutuhan kita.

b. Pesan itu dapat menggunakan bahasa yang tepat dimengerti kedua belah pihak.

c. Pesan itu harus menarik minat dan kebutuhan pribadi penerima serta menimbulkan
kepuasan. Pendapat lain mengatakan syarat-syarat pesan harus memenuhi :

a. Umum

Berisikan hal-hal yang umum dan mudah dipahami oleh komunikan/audience, bukan soal-
soal yang cuma berarti atau hanya dipahami oleh seseorang atau kelompok tertentu.

b. Jelas

Pesan yang disampaikan tidak samar-samar. Jika mengambil perumpamaan hendaklah


diusahakan contoh yang senyata mungkin, agar tidak ditafsirkan menyimpang dari yang kita
kehendaki.

c. Bahasa yang jelas

Sejauh mungkin hindarkanlah menggunakan istilah-istilah yang tidak dipahami oleh si


penerima atau pendengar. Gunakanlah bahasa yang jelas dan sederhana yang cocok dengan
komunikan, daerah dan kondisi dimana kita berkomunikasi, hati-hati pula dengan istilah atau
kata-kata dari bahasa daerah yang dapat ditafsirkan lain oleh

komunikan.

d. Positif

Secara kodrati manusia selalu tidak ingin mendengar dan melihat hal-hal yang tidak
menyenangkan dirinya. Oleh karena itu setiap pesan agar diusahakan dalam bentuk positif.

e. Seimbang

Pesan yang disampaikan oleh karena kita membutuhkan selalu yang baik-baik saja atau jelek-
jelek saja. Hal ini kadang-kadang berakibat senjata makan tuan, cenderung ditolak atau tidak
diterima oleh komunikan.

f. Penyesuaian dengan keinginan komunikan


Orang-orang yang menjadi sasaran dari komunikasi yang kita lancarkan selalu mempunyai
keinginan-keinginan tertentu, oleh sebab itu pesan-pesan yang disampaikan harus dapat
disesuaikan dengan keinginan-keinginan komunikan tersebut.

BAB 3

PENUTUP

KESIMPULAN

dakwah agama yang disampaikan si Da’i kepada manusia (Mad’unya) agar manusia
tersebut hidup sesuai dengan fitrahnya (menjalankan agama Islam) agar hidupnya bahagia di
dunia dan di akhirat maka mad’u yang tidak mengetahui dan tidak memahami bagaimana
seharusnya ia hidup di muka bumi ini sebagai wakil dan hamba Allah sangat jelas
membutuhkan dakwah tersebut.

Peran da’I sebagai tokoh masyarakat dalam pembangunan sangat penting, karena
posisinya sebaga seorang “opinion leader” yaitu orang yang berpengaruh besar dalam
mengambil keputusan.

Sistematika pesan dakwah dalam hal ini tidak bisa lepas dari rangkaian sistematika
pesan yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun demikian sistematika pesan dakwah tidak
sekedar tersampaikan secara teoritis, tetapi lebih jauh diarahkan pada pola pikir, sikap dan
perilaku yang arif-bijaksana (bil-hikmah) dengan pelajaran yang baik, nilai-nilai kebajikan
(mauidzoh hasanah) selanjutnya dalam proses yang terakhir dari sistematika tersebut interaksi
komunikasinya diselesaikan dengan mujadalah (cara yang komunikatif).

DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Al Ijtimaiyyah Prodi Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-
Raniry Vol.: 1 No. : 1 . Januari - Juni 2015

Jurnal Al-Ijtimaiyyah / VOL. 1, NO. 1, JANUARI - JUNI 2015

Salmadanis, Filsafat Dakwah, (Jakarta: Surau, 2003), h. 37-38

Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqh Dakwah, (Solo: Era Intermedia, 2003), h. 39

Anda mungkin juga menyukai